BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tahun sekitar setengah juta perempuan dan satu setengah juta bayi baru lahir kehilangan nyawa dikarenakan komplikasi yang terjadi pada persalinan. Kemudahan akses dan ketepatan waktu dalam menjangkau fasilitas medis untuk mendapatkan pelayanan pertolongan kedaruratan obstetrika dan bayi baru lahir sangat penting untuk menyelamatkan keduanya dari ancaman kejadian komplikasi (Honda et al., 2011). Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia difokuskan pada penyebab langsung yang terjadi 90% pada saat persalinan dan dan segera setelah persalinan yaitu perdarahan (28%), preeklamsia dan eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi pada puerpurium (8%) dan lain -lain. Kematian ibu juga diakibatkan oleh faktor keterlambatan yaitu dalam mengambil keputusan, memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada keadaan emergensi yang semua ini dikenal sebagai suatu tiga terlambat. Berdasarkan kesepakatan Millenium Development Goals (MDG s) pada tahun 2015, diharapkan angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 dan angka kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 (PERMENKES, 2011). Angka seksio sesarea dewasa ini meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Amerika Serikat, dari empat juta persalinan pada tahun 2005 diperkirakan 30,2% dilahirkan dengan seksio sesarea. Angka operasi sesar dibawah 5% pada suatu daerah merupakan gambaran susahnya dalam mencapai akses untuk mendapatkan pelayanan kedaruratan obstetri. Berdasarkan hasil dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menyebutkan angka seksio sesarea pada tahun 1997 berkisar 4,3% dari total persalinan. Angka ini semakin meningkat menjadi 22,8% pada tahun 2007 (Sinaga, 2009).
Vyas et al., (2011) menungkapkan bahwa rara-rata biaya seksio sesarea pada tahun 2008 di India mencapai 1823,67 rupee (365.271 rupiah) di rumah sakit pemerintah, 4232,87 rupee (847.821 rupiah) di rumah sakit perusahaan, dan 9754,67 rupee (1.953.809 rupiah) di rumah sakit swasta. Penelitian yang dilakukan di Islamabad pada tahun 2012 menyebutkan biaya seksio sesarea mencapai US$162. Rumah Tangga Miskin sering mencari alternatif dalam pertolongan kedaruratan obstetrika pada tradisional medicine. Biaya yang dihabiskan dari pelayanan kedaruratan obstetri khususnya operasi sesar, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan tanpa penyulit (Honda et al., 2011). Dalam era desentralisasi antara tahun 2000-2007 perkembangan rumah sakit daerah dan rumah sakit pemerintah pusat pada umumnya mengalami berbagai perubahan menarik. Sebagai catatan, sebelum era desentralisasi sudah terjadi dinamika dalam hal manajemen rumah sakit dengan adanya kebijakan swadana yang berupa Keputusan Presiden ( Keppres). Sebelum kebijakan desentraslisasi, sudah terjadi situasi yaitu kebijakan nasional yang bertujuan melakukan otonomi manajemen rumah sakit pemerintah. Dalam rentetan kebijakan tersebut, pada intinya terjadi pemisahan rumah sakit pemerintah dari dinas kesehatan secara manajemen (Trisnantoro, 2009). Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan ini menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintah karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. (Trisnantoro, 2009). Rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara misi melayani
masyarakat kelas menengah ke bawah dan adanya keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rumah sakit pemerintah mengalami kebingungan apakah rumah sakit dijadikan sebagai lembaga birokrasi dalam sistem kesehatan ataukah sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang tidak birokratis dan tidak memenuhi prinsip pelayanan (Basuki, 2007). Konstitusi dan undang-undang kementrian kesahatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial, dimulai dengan program yang bernama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JPKM) pada tahun 2005. Program tersebut lebih banyak dikenal sebagai program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin ( Askeskin) mulai tahun 2005 sampai dengan 2007, tetapi kemudian berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesmas). Semua program tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu penjaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan prinsip asuransi kesahatan sosial. Pada tahun 2011 dilaksanakan perbaikan berbagai aspek dalam program Jamkesmas (PERMENKES, 2011). Pada tahun 2011 diperkenalkan paket kesehatan yang dinamakan Indonesian Diagnosis Related Groups (INA-CBG s). Pada tahun 2010 Menteri Kesahatan menandatangani kesepakatan dengan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi untuk menjamin ketersediaan obat dan alat yang dibutuhkan oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) J amkesmas dengan harga yang terjangkau sebagaimana telah di tetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Pasien atau masyarakat yang berhak memperoleh pelayanan Jamkesmas adalah mereka masyarakat miskin yang memenuhi kriteria Rumah tangga Miskin (RTM) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan jika minimal memenuhi 9 variabel yang telah menjadi kriteria maka di kategorikan sebagai RTM (PERMENKES, 2011). Pada tahun 2011 mulai dikenal Jaminan Persalinan (Jampersal). Jaminan Persalinan dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan Jaminan Persalinan, yang didalamnya termasuk pemeriksaan
kehamilan, pelayanan nifas termasuk Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Tujuan khusus dari program ini yaitu meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten serta terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel (PERMENKES, 2011). Mayoritas pasien ibu bersalin di RSUP Dr. Sardjito menggunakan pembiayaan persalinannya dengan Jampersal sejak tahun 2011 sampai dengan akhir 2013. Mulai tahun 2014 sejak bulan januari nama dari system pembiayaan ini berubah menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang didalamnya melebur dari seluruh sistem pembiayaan sebelumnya. Jaminan Kesehatan Nasional yang kemudian dikenal dan dikelola dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai diterapkan sejak Januari 2014 di RSUP Dr. Sardjito yang di dalamnya tergabung mulai dari Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan Jampersal (Kemenkes, 2013). Sistem pembiayaan pada JKN ini menggunakan prinsip casemix INA-CBG s berdasarkan casemix dari International Classification of Disease X (ICD X) yang dijadikan sebagai pedoman penetapan tarifnya. Di Indonesia konsep casemix awalnya dikenal dengan nama Indonesian Diagnosis Related Group (INA-DRG) yang disusun oleh pemerintah dengan mengacu pada standar penyusunan tarif pelayanan rumah sakit internasional atau International Refined Diagnosis Related Groups (IR-DRG) versi dua. Standar tarif baku ini dibuat berdasarkan kumpulan data biaya pelayanan rumah sakit dan uji coba penerapan sistem pembiayaan terpadu berbasis layanan di 15 rumah sakit vertikal tahun 2006. Sistem casemix merupakan pengelompokkan episode perawatan pasien di rumah sakit yang memiliki kesamaan penggunaan sumber daya dan karakteristik klinis. Diagnosis Related Group (DRG) merupakan salah satu jenis sistem casemix yang menggunakan diagnosis dan prosedur medis sebagai dasar pengelompokan.. Dasar pengelompokkan menggunakan ICD 10 untuk diagnosis (terdapat 14.500 kode dan ICD 9 untuk prosedur atau tindakan terdapat 7500 kode). INA-DRG di gantikan dengan INA-CBG s pada tahun 2010.
Untuk mengendalikan biaya, pihak rumah sakit memerlukan sistem akuntansi yang tepat, khususnya metode penghitungan penentuan biaya guna menghasilkan informasi biaya yang akurat berkenaan dengan biaya aktivitas pelayanannya. Selama ini pihak rumah sakit dalam menentukan harga pokoknya hanya menggunakan sistem biaya tradisional yang penentuan harga pokoknya tidak lagi mencerminkan aktivitas yang spesifik karena banyaknya kategori yang bersifat tidak langsung dan cenderung tetap (Kamaruddin, 2007). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Berapa besarnya biaya rata-rata pada pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea pada RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Berapa besarnya biaya pada pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan karakteristik pasien? 3. Apakah biaya pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito sudah sesuai dengan tarif yang dibayarkan oleh pengelola asuransi BPJS untuk JKN? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pada penelitian ini adalah: 1. Mengetahui besarnya rata-rata biaya total pada pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito 2. Mengetahui besarnya biaya pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan karakteristik pasien. 3. Mengetahui kesesuaian antara biaya pasien JKN yang menjalani seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito dengan tarif yang dibayarkan oleh pengelola asuransi BPJS untuk JKN.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Mengetahui besarnya biaya rata-rata pasien JKN yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito pada Januari-Juni tahun 2014 dari berbagai karakteristik pasien. 2. Mengetahui kesesuaian antara biaya pasien JKN yang menjalani seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito dengan tarif yang dibayarkan oleh pengelola asuransi BPJS untuk JKN. 3. Menjadi gambaran untuk memperbaiki kesesuaian tarif INA-CBG s yang dijadikan dasar tarif asuransi JKN. 4. Sebagai bahan bacaan atau literatur bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pengelolaan managemen rumah sakit yang berhubungan dengan keuangan. E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan desain kohort yang dilakukan Storeng et al. (2008) tentang Paying the prece: The Cost and consequences of emergency obstetric care in Burkina Faso menganalisis perbandingan biaya yang dihabiskan pada suatu emergensi kasus obstetrik pada wanita yang mengalami komplikasi obstetrik mengancam nyawa dengan wanita yang menjalani persalinan tanpa komplikasi. Hasilnya biaya yang dihabiskan sangat signifikan lebih tinggi pada wanita yang menjalani persalinan dengan komplikasi obsteri. Penelitian secara kohort juga dilakukan oleh Khan dan Zaman (2010) tentang Cost of vaginal delivery and Caesarean section at a tertiary level pubic hospital in Islamabad menggambarkan perbandingan rata-rata biaya yang dihabiskan antara persalinan vaginal dengan persalinan seksio sesarea. Persalinan seksio sesarea mempunyai biaya rata-rata 140US$. Peneltian oleh Hoque et al. (2012) tentang Cost of Maternal Health-related Complication in Bangladesh. Tiga kelompok berdasar klasifikasi morbiditas maternal yaitu wanita dengan komplikasi obstetric
berat, wanita dengan komplikasi obstetric ringan, dan wanita dengan persalinan normal. Hasil penelitian dianalisis mengenai biaya yang dihabiskan dan sejauh mana menyebabkan dampak finansial yang dialami sebuah keluarga yang mengalaminya. Penelitian dilakukan dengan melihat dampak finansial pada 6 minggu dan 6 bulan pasca persalinan dengan hasil perempuan yang mengalami komplikasi obstetrik yang berat mengalami dampak finansial yang sangat bermakna. Peniltian oleh Firman pada tahun 2011 di RSUD Bima dengan judul Utilization Review case Cesarean Section Post Implementation Indonesian Case Base Groups (INA -CBG s) in RSUD Bima menyatakan rekomendasi untuk reevaluasi INA-CBG s berdasarkan hasil penelitian biaya seksio sesarea belum termasuk obat-obatan mencapai 1.700.000 rupiah sedangkan yang di klaim oleh pemerintah melalui jamkesmas hanya 1.200.000 rupiah.