BAB VI KESIMPULAN Sampai pada saat penelitian lapangan untuk tesis ini dilaksanakan, Goenawan Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah Tempo dalam waktu yang relatif lama, masih menganggap independensi sebagai nilai yang paling penting dan paling menonjol dari majalah tersebut, dan bahkan Tempo Inti Media (TIM) pada umumnya. Dalam hal ini Tempo dapat dikatakan sebagai anak dari suatu zaman, yaitu awal Orde Baru, di mana independensi tidak hanya media massa, melainkan juga bidang-bidang kebudayaan lainnya menjadi sebuah cita-cita bersama. Khususnya di dalam bidang jurnalistik pada waktu itu ada obsesi yang sangat kuat untuk mewujudkan independensi sebagai akibat dari tekanan yang besar dari rezim otoriter Demokrasi Terpimpin yang berlaku sebelumnya. Pada era kekuasaan rezim tersebut tidak hanya negara yang memaksa media massa untuk mengikuti satu haluan yang sama, yaitu Nasakom, melainkan juga PKI sebagai partai politik yang dominan. Memang, di lingkungan internal anggota-anggota dari organisasi perusahaan media tersebut terdapat artikulasi yang bermacam-macam mengenai nilai majalah itu, misalnya keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula berbagai acuan normatif yang formal dan tertulis, yaitu kode etik jurnalisme Tempo 210
dan rumusan nilai-nilai berita, yang tidak secara eksplisit mengacu pada nilai dasar di atas. Meskipun demikian, sebagai sebuah sistem nilai, segala acuan normatif dan artikulasi yang bervariasi tersebut sesungguhnya membentuk sebuah sistem gagasan yang dapat dikembalikan pada nilai dasar itu. Sebagai misal, apa yang dinamakan keadilan dan kejujuran serta demokrasi adalah nilai-nilai turunan yang meniscayakan adanya asumsi mengenai independensi. Keadilan mengandaikan anggapan bahwa posisi manusia, dalam hubungan dengan sesamanya, adalah setara. Kesetaraan hanya akan ada apabila manusia yang satu tidak tergantung pada manusia yang lain, baik sebagai individu, maupun kelompok. Dalam relasi sosial yang timpang, yang di dalamnya terdapat dominasi dari manusia yang satu atas yang lain, tidak akan pernah ada kejujuran. Kejujuran hanya mungkin dalam situasi komunikasi yang bebas dari dominasi. Begitu pula acuan normatif dalam nilai berita, misalnya kebaruan dan keberpihakan pada yang termarginalkan. Larangan wartawan untuk menerima suap sebagaimana yang dinyatakan dalam kode etik jurnalisme Tempo juga dimaksudkan untuk menanamkan dan memelihara nilai independensi itu. Begitu pentingnya sistem nilai independensi itu, di sepanjang sejarahnya, dengan lingkungan sosial yang terus berubah, Tempo bisa dikatakan terus berjuang untuk menanamkan dan mempertahankannya. Di lingkungan internalnya sendiri, sistem nilai itu terus-menerus ditanamkan dan sekaligus mempengaruhi aktivitas produksi berita Tempo sehari-hari. Independensi dengan keseluruhan sistem nilainya 211
menjadi kriteria majalah tersebut tidak hanya dalam menentukan bahan berita, melakukan penyuntingan terhadap usulan berita, melainkan bahkan keseluruhan tata cara rapat produksi berita tersebut, dari cara menentukan pemimpin rapat, pola diskusinya, pengaturan cara duduknya, cara berperilaku di dalamnya, dan bahkan cara penyediaan dan konsumsi hidangannya. Dalam rangka menanamkan sistem nilai independensi itu, mungkin secara tanpa disadari, Tempo mengikat anggota-anggotanya dalam sebuah komunitas yang liminal. Artinya, sebuah komunitas dengan relasi-relasi sosial yang bebas dari ikatanikatan yang fungsional atau struktural. Apabila di dalam ikatan fungsional dan struktural, organisasi sosial menempatkan dirinya dalam perbedaan-perbedaan status sosial yang ketat dan hierarkis, di dalam ikatan komunal organisasi sosial itu menempatkan anggota-anggotanya dalam hubungan personal dan pertemanan yang akrab dan setara. Dengan ikatan komunitas yang liminal itu, Tempo sekaligus menempatkan dirinya dan keseluruhan anggotanya dalam posisi yang bebas dari ikatan struktural pada level organisasi sosial yang lebih luas, yaitu negara dan pasar. Memang, komunitas yang demikian hanya lazim dalam masyarakat tradisional atau kesukuan. Liminalitas diartikan sebagai sebuah situasi-antara yang terjadi ketika anggota-anggota masyarakat suku itu mengalami ritual-ritual inisiasi dan sejenisnya. Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak berarti bahwa komunitas serupa dengan situasi yang juga liminal tidak terdapat dan dapat hidup dalam masyarakat yang sudah modern. Di dalam konteks masyarakat modern para 212
seniman, peziarah, pendeta, kelompok-kelompok keagamaan yang mengisolasi diri biasanya hidup dalam ikatan komunitas dengan situasi liminal yang demikian. Dengan cara yang demikianlah mereka dapat mempertahankan independensi mereka dari ikatan-ikatan fungsional dan struktural dari masyarakat yang lebih luas dan sekaligus dapat bersikap kritis terhadap masyarakat itu. Tapi, data-data penelitian saya juga membuktikan bahwa nilai-nilai komunitas di atas terus-menerus berhadapan dengan struktur sosial yang berkebalikan dengannya. Dalam konteks lingkungan internal Tempo sendiri, nilai-nilai komunitas itu terlibat dalam konflik dan negosiasi yang terus-menerus dengan struktur sosial majalah tersebut. Namun, bersamaan dengan itu, keduanya juga saling mempengaruhi. Ketika nilai komunitas Tempo terlalu kuat dapat terjadi konflik antar anggota yang merasa setara satu sama lain. Pada saat yang demikian, muncul kebutuhan akan struktur dalam bentuk organisasi yang baru. Sebaliknya, ketika struktur terlalu kuat, muncul kebutuhan akan rasa kesetaraan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai komunitas yang liminal. Sebagai jalan keluar, muncul kebutuhan untuk mengubah struktur yang lebih egaliter. Pada awal pendiriannya Tempo memang masih sepenuhnya berada dalam komunitas yang liminal di atas. Akan tetapi, seiring dengan semakin kuatnya tuntutan pasar dan tuntutan pencepatan proses produksi, dalam tahun-tahun pertama Majalah Tempo sudah mengalami konflik kepemimpinan. Sebagai konsekuensi dari ikatan komunitas yang anti-struktur, majalah itu mengalami dualisme kepemimpinan yang 213
menghambat kelancaran proses produksi. Sejak saat itu majalah tersebut dengan segara mengambil keputusan untuk menata kembali dirinya dengan prinsip-prinsip organisasi yang lebih ketat. Sepanjang sejarahnya, hingga saat penelitian ini dilakukan, Tempo mengalami setidaknya dua kali konflik besar dalam hubungan antara tuntutan struktural organisasi dengan ikatan-ikatan komunal di atas. Konflik kepemimpinan yang sudah dikemukakan merupakan konflik besar yang pertama yang membuat salah seorang pendiri majalah itu mengundurkan diri. Konflik yang kedua, sebagai protes atas semakin kuatnya prinsip struktural organisasi, yang dianggap membuat Tempo kehilangan ikatan komunitasnya, meledak dalam bentuk eksodus beberapa wartawan majalah itu. Pada konflik yang kedua ini, mereka yang beramai-ramai keluar dari majalah tersebut memutuskan untuk mendirikan majalah berita mingguan yang lain, yaitu Editor. Untuk mempertahankan independensi, Tempo tidak hanya mengalami konflik internal, melainkan juga konflik eksternal, yaitu dengan kekuatan politik yang ada diluarnya, baik kekuatan negara maupun kelompok masyarakat sipil. Dalam hubungan dengan negara, sebagai akibat dari sikap kritisnya, majalah tersebut mengalami dua kali pembreidelan. Pembreidelan pertama dapat diselesaikan dengan pemintaan maaf majalah itu pada penguasa hingga Tempo dapat dengan segera terbit kembali. Akan tetapi, pembreidelan kedua bersifat permanen dan majalah itu baru dapat terbit kembali setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Pembreidelan yang kedua 214
ini membuat semua karyawan majalah tersebut kehilangan pekerjaan. Karena tidak berproduksi, majalah tersebut tidak bisa mempertahankan ikatan para karyawan dan wartawannya. Sebagian besar wartawannya memutuskan untuk berpindah ke media yang lain. Pengalaman yang demikianlah yang kemudian yang kemudian menyadarkan majalah tersebut pada pentingnya dasar ekonomi yang kuat. Atas dasar pertimbangan tersebut, majalah itu kemudian memutuskan pengembangkan dirinya menjadi sebuah perusahaan konglomerat dalam pengertian menjadi sebuah perusahaan dengan produk yang bermacam-macam, baik yang berupa aneka produk media massa, maupun produk pelayanan informasi yang lain. Tempo, dengan demikian, menjadi sebuah perusahaan raksasa dengan jumlah karyawan yang membesar dan dengan tuntutan organisasi yang semakin rumit. Pada akhir masa penelitian ini majalah tersebut bahkan sedang menyelenggarakan sebuah program akselerasi dan penataan budaya perusahaan yang dirumuskan secara struktural dan formal. Dengan kecenderungan di atas, di lingkungan internal majalah tersebut ikatanikatan komunitas mulai tampak terdesak. Meskipun demikian, hal itu tidak dengan sendirinya sistem nilai independen Tempo juga akan terancam. Seperti yang sudah disinggung, perluasan perusahaan majalah Tempo menjadi sebuah perusahaan konglemerat yang dinamakan Tempo Inti Media, dilakukan justru atas dasar kehendak untuk mempertahankan independensi Tempo sendiri. Karena, dari pengalaman akan pembreidelan yang kedua, lemahnya basis ekonomi perusahaan 215
membuat Tempo tidak mampu mempertahankan ikatan para karyawan dan wartawan pada dirinya. Semua itu menunjukkan bahwa proses produksi berita tidak bisa diabaikan dalam kajian-kajian media. Seperti yang dinyatakan oleh teori antropologi media, proses produksi berita pada dasarnya adalah proses pembentukan makna. Proses ini tidak dapat dipahami hanya melalui teks-teks berita yang menjadi hasilnya, juga tidak dapat melalui para pembacanya, melainkan harus melalui pendekatan etnografis (etnografi produksi). Pendekatan etnografis adalah sebuah pendekatan dengan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan pemahaman yang mendalam. Namun, penelitian mengenai proses produksi ini tidak dapat mencerminkan keseluruhan seluk-beluk dan peran media. Artinya, penelitian mengenai teks berita dan penerimaan pembaca Tempo masih terbuka dan perlu untuk dilakukan secara cermat dan mendalam. Penelitian ini juga menemukan adanya unsur komunitas dan liminalitas dalam proses produksi Tempo. Kecenderungan ini mungkin merupakan hal yang spesifik bagi majalah itu sendiri. Meskipun demikian, di hadapan nilai dasar Tempo, yaitu independensi, ikatan-ikatan komunitas dan liminalitas tersebut lebih hanyalah satu cara bagi majalah tersebut untuk menanamkan dan mempertahankan nilai dasarnya tersebut. Dalam perkembangan mutakhirnya, majalah tersebut tampak mulai meninggalkan ikatan komunal itu sebagai konsekuensi yang tidak terelakkan dari 216
perluasan usahanya. Sebagai gantinya, independensi Tempo mulai diarahkan kepada penguatan basis ekonomi. Kenyataan terakhir di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa terbuka kemungkinan adanya cara-cara lain dari media-media yang lain. Mungkin sekali media-media lain mempunyai kekhasannya sendiri dalam proses produksi dan konteks sosial dan nilai-nilainya. Artinya, penelitian mengenai media-media lain dengan pendekatan serupa ini sangat perlu dilakukan agar ditemukan dinamika yang khas dari masing-masing media itu, baik dalam lingkungan internalnya, maupun dalam hubungannya dengan lingkungan di luarnya. Hasil temuan dari media lain akan bisa menambah kajian terhadap media massa, terutama memberikan pemahaman bahwa nilai-nilai yang ada pada suatu media tertentu cenderung akan berpengaruh terhadap produk berita yang dihasilkan. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan tiga teori dasar yang saling terkait satu sama lain. Teori yang pertama adalah teori antropologi media yang menganggap bahwa produksi berita adalah produksi makna sehingga proses produksi berita menjadi proses produksi makna pula. Karena produksi berita dipahami sebagai proses produksi makna, penelitian ini membutuhkan dukungan dari teori antropologi yang lain, yaitu teori mengenai sistem nilai budaya. Dengan teori ini, makna dipahami bukan sekedar sebagai serangkaian konsep atau gagasan yang lepas-lepas, melainkan terkait satu sama lain dan membentuk sebuah sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya itu sendiri dipahami sebagai serangkaian nilai yang diikat oleh satu nilai 217
dasar. Karena merupakan sebuah sistem dan bersifat kolektif, sistem nilai budaya itu sendiri merupakan sebuah sistem nilai yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial tertentu. Hal inilah yang membawa penelitian ini menggunakan teori Turner mengenai sistem sosial yang menurutnya terdiri dari dua macam ikatan sosial, yaitu ikatan sosial yang bersifat fungsional dan struktural dan ikatan sosial yang bersifat personal, intim, dan anti-struktural atau liminal. Ketiga teori tersebut terbukti berlaku dalam kasus komunitas Tempo yang menjadi objek penelitian ini seperti yang sudah dikemukakan. Meskipun demikian, dalam kasus komunitas tersebut terdapat setidaknya dua penyimpangan yang dapat membuka jalan pada kemungkinan teoretik yang lain. Pertama, sistem nilai budaya Tempo ternyata tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang berlaku dalam lingkungan sosial yang lebih besar. Independensi yang menjadi nilai dasarnya ternyata merupakan sebuah nilai yang dianut bersama-sama oleh para jurnalis Indonesia yang hidup dan muncul pada awal pemerintahan Orde Baru. Kesamaan tersebut disebabkan oleh faktor historis yang berupa sistem politik rezim Demokrasi Terpimpin di masa sebelumnya. Dengan kata lain, teori Turner dan teori Koenjaraningrat mengenai komunitas dan sistem nilai budaya harus ditempatkan dalam konteks sosial yang lebih luas, tidak bisa dianggap sebagai sebuah kelompok sosial yang tertutup. Kedua, kasus Tempo juga menunjukkan bahwa ikatan sosial yang liminal atau anti-struktural sudah sangat sulit untuk dipertahankan dalam konteks masyarakat 218
modern yang semakin penuh dengan persaingan ekonomi. Dalam konteks persaingan ini, komunitas penghasil media membutuhkan perluasan usaha yang semakin besar dengan struktur organisasi yang semakin rumit dan impersonal. Dengan demikian, untuk mempertahankan sistem nilai budaya yang berpusat pada nilai independensi dan kesetaraan, strategi yang berupa pemanfaatan ikatan sosial yang liminal atau antistruktural di atas harus diganti dengan strategi yang lebih sesuai dengan konteks masyarakat modern di atas. Dalam kasus Tempo, mulai tampak kecenderungan untuk mempertahankan independensi dengan memperkuat basis ekonomi dari organisasi sosial penghasil media tersebut. Artinya, perluasan usaha yang diikuti oleh semakin kuatnya ikatan fungsional dan struktural dalam sebuah organisasi sosial modern seperti Tempo tidak harus dipahami sebagai ancaman terhadap independensi organisasi tersebut. Ancaman terhadap ikatan sosial yang liminal atau anti-struktural tidak identik dengan ancaman terhadap independensi anggota-anggota dari organisasi sosial yang bersangkutan maupun independensi organisasi sosial itu sendiri di dalam lingkungan sosialnya yang lebih luas. 219