BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB IV GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO DAN GOENAWAN MOHAMAD

BAB VI PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

RUBRIK RESENSI KEBEBASAN ATAU KEBABLASAN PERS KITA

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2. Oleh Dadang Juliantara

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

ANGGARAN RUMAH TANGGA ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Majalah Tempo terbit pertama kali pada tanggal 6 Maret Majalah

BAB I PENDAHULUAN. elemen yang saling membutuhkan. Dalam menjalankan kewajibannya sebagai

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan bisnis yang makin ketat seperti dewasa ini, sumber daya

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

ANGGARAN DASAR-ANGGARAN RUMAH TANGGA

POLITICS AND GOVERNANCE IN INDONESIA:

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

Etika Jurnalistik dan UU Pers

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan

KODE ETIK ANGGOTA KOMISI PARIPURNA DAN ANGGOTA BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) HUKUM DAN KODE ETIK JURNALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. warung kopi modern sekelas Starbucks. Kebiasaan minum kopi dan. pertandingan sepak bola dunia, ruang pertemuan, live music dan lain

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

RELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI ANWAR ILMAR

PENGANTAR MANAJEMEN Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Viraguna Bagoes Oka, M Finc Dharma Iswara Bagoes Oka, M Finc

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL DI KABUPATEN MADIUN

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kalimantan Tengah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal dan

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

KABUPATEN WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. lembaga pendidikan. Pendidikan bermutu di era global dituntut akrab dengan

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATAKERJA SEKRETARIAT DEWAN PENGURUS KORPRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL TELEVISI KABUPATEN SINJAI

Secara umum, perencanaan sosial dimaksudkan untuk:

BAB I PENDAHULUAN. bagi pemerintah daerah untuk menata dan memberikan warna tersendiri dalam perjalanan

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBATALAN SURAT IZIN USAHA PENERBITAN PERS MAJALAH MINGGUAN TEMPO, EDITOR DAN SURAT KABAR TABLOIT DETIK SERTA PERMASALAHAN HUKUMNYA

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

BAB IV P E N U T U P. pelaksanaan Penggantian Antar Waktu Wakil Bupati Kabupaten Parigi

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang. 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit harus jeli

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan salah satu kebutuhan hidup yang terpenting, karena untuk hidup

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PANCASILA. Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas MKCU

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan baik di pusat maupun di daerah dengan berbasis kinerja. Tentunya dengan

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa,

BAB IV PENUTUP. tersebut, peneliti berhasil menemukan frame Jurnal Nasional terkait dengan sosok

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

ANGGARAN DASAR KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2015 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Severin & Takard (2001:295) menyatakan bahwa media massa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 17 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 17 TAHUN 2013

3. KENDALA BAGI HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN PERS

Negara Jangan Cuci Tangan

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN

FOTO NARASUMBER. Yusuf Anggara. Kepala Subbagian Humas Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya mencakup struktur, pesan yang disampaikan, sudut pandang, dan nilai.

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau

11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

BAB V PENUTUP. Simpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah: perhatian pada pengikut (House, 1996). Visi, hope/faith, dan altruistic love

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP

PERATURAN BUPATI BOYOLALI NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN Sampai pada saat penelitian lapangan untuk tesis ini dilaksanakan, Goenawan Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah Tempo dalam waktu yang relatif lama, masih menganggap independensi sebagai nilai yang paling penting dan paling menonjol dari majalah tersebut, dan bahkan Tempo Inti Media (TIM) pada umumnya. Dalam hal ini Tempo dapat dikatakan sebagai anak dari suatu zaman, yaitu awal Orde Baru, di mana independensi tidak hanya media massa, melainkan juga bidang-bidang kebudayaan lainnya menjadi sebuah cita-cita bersama. Khususnya di dalam bidang jurnalistik pada waktu itu ada obsesi yang sangat kuat untuk mewujudkan independensi sebagai akibat dari tekanan yang besar dari rezim otoriter Demokrasi Terpimpin yang berlaku sebelumnya. Pada era kekuasaan rezim tersebut tidak hanya negara yang memaksa media massa untuk mengikuti satu haluan yang sama, yaitu Nasakom, melainkan juga PKI sebagai partai politik yang dominan. Memang, di lingkungan internal anggota-anggota dari organisasi perusahaan media tersebut terdapat artikulasi yang bermacam-macam mengenai nilai majalah itu, misalnya keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula berbagai acuan normatif yang formal dan tertulis, yaitu kode etik jurnalisme Tempo 210

dan rumusan nilai-nilai berita, yang tidak secara eksplisit mengacu pada nilai dasar di atas. Meskipun demikian, sebagai sebuah sistem nilai, segala acuan normatif dan artikulasi yang bervariasi tersebut sesungguhnya membentuk sebuah sistem gagasan yang dapat dikembalikan pada nilai dasar itu. Sebagai misal, apa yang dinamakan keadilan dan kejujuran serta demokrasi adalah nilai-nilai turunan yang meniscayakan adanya asumsi mengenai independensi. Keadilan mengandaikan anggapan bahwa posisi manusia, dalam hubungan dengan sesamanya, adalah setara. Kesetaraan hanya akan ada apabila manusia yang satu tidak tergantung pada manusia yang lain, baik sebagai individu, maupun kelompok. Dalam relasi sosial yang timpang, yang di dalamnya terdapat dominasi dari manusia yang satu atas yang lain, tidak akan pernah ada kejujuran. Kejujuran hanya mungkin dalam situasi komunikasi yang bebas dari dominasi. Begitu pula acuan normatif dalam nilai berita, misalnya kebaruan dan keberpihakan pada yang termarginalkan. Larangan wartawan untuk menerima suap sebagaimana yang dinyatakan dalam kode etik jurnalisme Tempo juga dimaksudkan untuk menanamkan dan memelihara nilai independensi itu. Begitu pentingnya sistem nilai independensi itu, di sepanjang sejarahnya, dengan lingkungan sosial yang terus berubah, Tempo bisa dikatakan terus berjuang untuk menanamkan dan mempertahankannya. Di lingkungan internalnya sendiri, sistem nilai itu terus-menerus ditanamkan dan sekaligus mempengaruhi aktivitas produksi berita Tempo sehari-hari. Independensi dengan keseluruhan sistem nilainya 211

menjadi kriteria majalah tersebut tidak hanya dalam menentukan bahan berita, melakukan penyuntingan terhadap usulan berita, melainkan bahkan keseluruhan tata cara rapat produksi berita tersebut, dari cara menentukan pemimpin rapat, pola diskusinya, pengaturan cara duduknya, cara berperilaku di dalamnya, dan bahkan cara penyediaan dan konsumsi hidangannya. Dalam rangka menanamkan sistem nilai independensi itu, mungkin secara tanpa disadari, Tempo mengikat anggota-anggotanya dalam sebuah komunitas yang liminal. Artinya, sebuah komunitas dengan relasi-relasi sosial yang bebas dari ikatanikatan yang fungsional atau struktural. Apabila di dalam ikatan fungsional dan struktural, organisasi sosial menempatkan dirinya dalam perbedaan-perbedaan status sosial yang ketat dan hierarkis, di dalam ikatan komunal organisasi sosial itu menempatkan anggota-anggotanya dalam hubungan personal dan pertemanan yang akrab dan setara. Dengan ikatan komunitas yang liminal itu, Tempo sekaligus menempatkan dirinya dan keseluruhan anggotanya dalam posisi yang bebas dari ikatan struktural pada level organisasi sosial yang lebih luas, yaitu negara dan pasar. Memang, komunitas yang demikian hanya lazim dalam masyarakat tradisional atau kesukuan. Liminalitas diartikan sebagai sebuah situasi-antara yang terjadi ketika anggota-anggota masyarakat suku itu mengalami ritual-ritual inisiasi dan sejenisnya. Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak berarti bahwa komunitas serupa dengan situasi yang juga liminal tidak terdapat dan dapat hidup dalam masyarakat yang sudah modern. Di dalam konteks masyarakat modern para 212

seniman, peziarah, pendeta, kelompok-kelompok keagamaan yang mengisolasi diri biasanya hidup dalam ikatan komunitas dengan situasi liminal yang demikian. Dengan cara yang demikianlah mereka dapat mempertahankan independensi mereka dari ikatan-ikatan fungsional dan struktural dari masyarakat yang lebih luas dan sekaligus dapat bersikap kritis terhadap masyarakat itu. Tapi, data-data penelitian saya juga membuktikan bahwa nilai-nilai komunitas di atas terus-menerus berhadapan dengan struktur sosial yang berkebalikan dengannya. Dalam konteks lingkungan internal Tempo sendiri, nilai-nilai komunitas itu terlibat dalam konflik dan negosiasi yang terus-menerus dengan struktur sosial majalah tersebut. Namun, bersamaan dengan itu, keduanya juga saling mempengaruhi. Ketika nilai komunitas Tempo terlalu kuat dapat terjadi konflik antar anggota yang merasa setara satu sama lain. Pada saat yang demikian, muncul kebutuhan akan struktur dalam bentuk organisasi yang baru. Sebaliknya, ketika struktur terlalu kuat, muncul kebutuhan akan rasa kesetaraan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai komunitas yang liminal. Sebagai jalan keluar, muncul kebutuhan untuk mengubah struktur yang lebih egaliter. Pada awal pendiriannya Tempo memang masih sepenuhnya berada dalam komunitas yang liminal di atas. Akan tetapi, seiring dengan semakin kuatnya tuntutan pasar dan tuntutan pencepatan proses produksi, dalam tahun-tahun pertama Majalah Tempo sudah mengalami konflik kepemimpinan. Sebagai konsekuensi dari ikatan komunitas yang anti-struktur, majalah itu mengalami dualisme kepemimpinan yang 213

menghambat kelancaran proses produksi. Sejak saat itu majalah tersebut dengan segara mengambil keputusan untuk menata kembali dirinya dengan prinsip-prinsip organisasi yang lebih ketat. Sepanjang sejarahnya, hingga saat penelitian ini dilakukan, Tempo mengalami setidaknya dua kali konflik besar dalam hubungan antara tuntutan struktural organisasi dengan ikatan-ikatan komunal di atas. Konflik kepemimpinan yang sudah dikemukakan merupakan konflik besar yang pertama yang membuat salah seorang pendiri majalah itu mengundurkan diri. Konflik yang kedua, sebagai protes atas semakin kuatnya prinsip struktural organisasi, yang dianggap membuat Tempo kehilangan ikatan komunitasnya, meledak dalam bentuk eksodus beberapa wartawan majalah itu. Pada konflik yang kedua ini, mereka yang beramai-ramai keluar dari majalah tersebut memutuskan untuk mendirikan majalah berita mingguan yang lain, yaitu Editor. Untuk mempertahankan independensi, Tempo tidak hanya mengalami konflik internal, melainkan juga konflik eksternal, yaitu dengan kekuatan politik yang ada diluarnya, baik kekuatan negara maupun kelompok masyarakat sipil. Dalam hubungan dengan negara, sebagai akibat dari sikap kritisnya, majalah tersebut mengalami dua kali pembreidelan. Pembreidelan pertama dapat diselesaikan dengan pemintaan maaf majalah itu pada penguasa hingga Tempo dapat dengan segera terbit kembali. Akan tetapi, pembreidelan kedua bersifat permanen dan majalah itu baru dapat terbit kembali setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Pembreidelan yang kedua 214

ini membuat semua karyawan majalah tersebut kehilangan pekerjaan. Karena tidak berproduksi, majalah tersebut tidak bisa mempertahankan ikatan para karyawan dan wartawannya. Sebagian besar wartawannya memutuskan untuk berpindah ke media yang lain. Pengalaman yang demikianlah yang kemudian yang kemudian menyadarkan majalah tersebut pada pentingnya dasar ekonomi yang kuat. Atas dasar pertimbangan tersebut, majalah itu kemudian memutuskan pengembangkan dirinya menjadi sebuah perusahaan konglomerat dalam pengertian menjadi sebuah perusahaan dengan produk yang bermacam-macam, baik yang berupa aneka produk media massa, maupun produk pelayanan informasi yang lain. Tempo, dengan demikian, menjadi sebuah perusahaan raksasa dengan jumlah karyawan yang membesar dan dengan tuntutan organisasi yang semakin rumit. Pada akhir masa penelitian ini majalah tersebut bahkan sedang menyelenggarakan sebuah program akselerasi dan penataan budaya perusahaan yang dirumuskan secara struktural dan formal. Dengan kecenderungan di atas, di lingkungan internal majalah tersebut ikatanikatan komunitas mulai tampak terdesak. Meskipun demikian, hal itu tidak dengan sendirinya sistem nilai independen Tempo juga akan terancam. Seperti yang sudah disinggung, perluasan perusahaan majalah Tempo menjadi sebuah perusahaan konglemerat yang dinamakan Tempo Inti Media, dilakukan justru atas dasar kehendak untuk mempertahankan independensi Tempo sendiri. Karena, dari pengalaman akan pembreidelan yang kedua, lemahnya basis ekonomi perusahaan 215

membuat Tempo tidak mampu mempertahankan ikatan para karyawan dan wartawan pada dirinya. Semua itu menunjukkan bahwa proses produksi berita tidak bisa diabaikan dalam kajian-kajian media. Seperti yang dinyatakan oleh teori antropologi media, proses produksi berita pada dasarnya adalah proses pembentukan makna. Proses ini tidak dapat dipahami hanya melalui teks-teks berita yang menjadi hasilnya, juga tidak dapat melalui para pembacanya, melainkan harus melalui pendekatan etnografis (etnografi produksi). Pendekatan etnografis adalah sebuah pendekatan dengan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan pemahaman yang mendalam. Namun, penelitian mengenai proses produksi ini tidak dapat mencerminkan keseluruhan seluk-beluk dan peran media. Artinya, penelitian mengenai teks berita dan penerimaan pembaca Tempo masih terbuka dan perlu untuk dilakukan secara cermat dan mendalam. Penelitian ini juga menemukan adanya unsur komunitas dan liminalitas dalam proses produksi Tempo. Kecenderungan ini mungkin merupakan hal yang spesifik bagi majalah itu sendiri. Meskipun demikian, di hadapan nilai dasar Tempo, yaitu independensi, ikatan-ikatan komunitas dan liminalitas tersebut lebih hanyalah satu cara bagi majalah tersebut untuk menanamkan dan mempertahankan nilai dasarnya tersebut. Dalam perkembangan mutakhirnya, majalah tersebut tampak mulai meninggalkan ikatan komunal itu sebagai konsekuensi yang tidak terelakkan dari 216

perluasan usahanya. Sebagai gantinya, independensi Tempo mulai diarahkan kepada penguatan basis ekonomi. Kenyataan terakhir di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa terbuka kemungkinan adanya cara-cara lain dari media-media yang lain. Mungkin sekali media-media lain mempunyai kekhasannya sendiri dalam proses produksi dan konteks sosial dan nilai-nilainya. Artinya, penelitian mengenai media-media lain dengan pendekatan serupa ini sangat perlu dilakukan agar ditemukan dinamika yang khas dari masing-masing media itu, baik dalam lingkungan internalnya, maupun dalam hubungannya dengan lingkungan di luarnya. Hasil temuan dari media lain akan bisa menambah kajian terhadap media massa, terutama memberikan pemahaman bahwa nilai-nilai yang ada pada suatu media tertentu cenderung akan berpengaruh terhadap produk berita yang dihasilkan. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan tiga teori dasar yang saling terkait satu sama lain. Teori yang pertama adalah teori antropologi media yang menganggap bahwa produksi berita adalah produksi makna sehingga proses produksi berita menjadi proses produksi makna pula. Karena produksi berita dipahami sebagai proses produksi makna, penelitian ini membutuhkan dukungan dari teori antropologi yang lain, yaitu teori mengenai sistem nilai budaya. Dengan teori ini, makna dipahami bukan sekedar sebagai serangkaian konsep atau gagasan yang lepas-lepas, melainkan terkait satu sama lain dan membentuk sebuah sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya itu sendiri dipahami sebagai serangkaian nilai yang diikat oleh satu nilai 217

dasar. Karena merupakan sebuah sistem dan bersifat kolektif, sistem nilai budaya itu sendiri merupakan sebuah sistem nilai yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial tertentu. Hal inilah yang membawa penelitian ini menggunakan teori Turner mengenai sistem sosial yang menurutnya terdiri dari dua macam ikatan sosial, yaitu ikatan sosial yang bersifat fungsional dan struktural dan ikatan sosial yang bersifat personal, intim, dan anti-struktural atau liminal. Ketiga teori tersebut terbukti berlaku dalam kasus komunitas Tempo yang menjadi objek penelitian ini seperti yang sudah dikemukakan. Meskipun demikian, dalam kasus komunitas tersebut terdapat setidaknya dua penyimpangan yang dapat membuka jalan pada kemungkinan teoretik yang lain. Pertama, sistem nilai budaya Tempo ternyata tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang berlaku dalam lingkungan sosial yang lebih besar. Independensi yang menjadi nilai dasarnya ternyata merupakan sebuah nilai yang dianut bersama-sama oleh para jurnalis Indonesia yang hidup dan muncul pada awal pemerintahan Orde Baru. Kesamaan tersebut disebabkan oleh faktor historis yang berupa sistem politik rezim Demokrasi Terpimpin di masa sebelumnya. Dengan kata lain, teori Turner dan teori Koenjaraningrat mengenai komunitas dan sistem nilai budaya harus ditempatkan dalam konteks sosial yang lebih luas, tidak bisa dianggap sebagai sebuah kelompok sosial yang tertutup. Kedua, kasus Tempo juga menunjukkan bahwa ikatan sosial yang liminal atau anti-struktural sudah sangat sulit untuk dipertahankan dalam konteks masyarakat 218

modern yang semakin penuh dengan persaingan ekonomi. Dalam konteks persaingan ini, komunitas penghasil media membutuhkan perluasan usaha yang semakin besar dengan struktur organisasi yang semakin rumit dan impersonal. Dengan demikian, untuk mempertahankan sistem nilai budaya yang berpusat pada nilai independensi dan kesetaraan, strategi yang berupa pemanfaatan ikatan sosial yang liminal atau antistruktural di atas harus diganti dengan strategi yang lebih sesuai dengan konteks masyarakat modern di atas. Dalam kasus Tempo, mulai tampak kecenderungan untuk mempertahankan independensi dengan memperkuat basis ekonomi dari organisasi sosial penghasil media tersebut. Artinya, perluasan usaha yang diikuti oleh semakin kuatnya ikatan fungsional dan struktural dalam sebuah organisasi sosial modern seperti Tempo tidak harus dipahami sebagai ancaman terhadap independensi organisasi tersebut. Ancaman terhadap ikatan sosial yang liminal atau anti-struktural tidak identik dengan ancaman terhadap independensi anggota-anggota dari organisasi sosial yang bersangkutan maupun independensi organisasi sosial itu sendiri di dalam lingkungan sosialnya yang lebih luas. 219