1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan masyarakat menjadi tugas utama dari pemerintah. Perihal ini tercantum jelas dalam pasal 34 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan negara mempunyai kewajiban dalam mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, pada pasal 28 (h) ayat 3 juga disebutkan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 inilah pemerintah membuat suatu sistem kesehatan nasional yang diharapkan mampu memberikan pemerataan pelayanan kesehatan serta kesejahteraan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.(Presiden Republik Indonesia, 2004; Departemen Kesehatan RI,2009) Sistem jaminan nasional kemudian dituangkan dalam Undang-Undang nomer 40 tahun 2004 yang memberikan payung hukum bagi pemerintah dalam mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN ini dirancang untuk memberikan jaminan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia baik dalam bidang kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Kementerian kesehatan akhirnya mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 316 tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang kemudian di perbaharui dengan Kepmenkes Nomor 686 tahun 2010 yang memuat tentang perubahan sistem pembiayaan pasien Jamkesmas dengan menggunakan INA-DRGs.(Menteri Kesehatan RI, 2009; Menteri Kesehatan RI, 2010) Dalam beberapa dekade terakhir Indonesia sudah menerapkan beberapa jaminan sosial seperti Askes pegawai negeri, Jamsostek, Taspen dan ASABRI. Namun jaminan sosial tersebut hanya mampu mencakup sebagian kecil yaitu kurang dari 20% penduduk Indonesia dengan sistem pembiayaan yang berbeda diantara berbagai jenis jaminan tersebut dan didominasi dengan sistem
2 pembayaran fee for service yang mendorong pemakaian biaya kesehatan secara berlebihan (Mukti & Moertjahjo, 2010). Direktorat Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kementeria n Kesehatan Republik Indonesia dalam buletinnya di bulan Mei 2013 menyatakan bahwa dalam sektor pembiayaan kesehatan di era JKN menganut sistem INA-CBGs yang sistem pembiayaannya berbasiskan pada kelompok diagnosa penyakit dan prosedur tindakan medis. Sistem pembiayaan ini diharapkan mampu menciptakan suatu kendali mutu serta kendali biaya dalam pemberian pelayanan kesehatan. Tarif INA-CBGs ini selalu ditinjau secara berkala oleh tim dari National Casemix Center Kemenkes seperti yang bisa dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel I. Tahapan Implementasi dan Pengembangan INA CBGs Waktu Program 2010 Implementasi INA CBGs menggunakan UNU Grouper 2011 Pemutakhiran Tarif INA CBGs Januari 2013 Pengenalan Tarif INA CBGs 2012 2013 Pemutakhiran Tarif INA CBGs dan Persiapan JKN Januari 2014 Implementasi INA CBGs dalam JKN Sumber: Buletin BUK Kemnekes RI Edisi Mei 2013 Pada sisi yang lain pemerintah daerah Provinsi Bali masih mengembangkan jaminan kesehatan daerah yang disebut dengan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Program ini mulai dikembangkan sejak tahun 2010 dengan dasar hukum yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) Bali no 6 tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Bali Mandara. Besaran tarif pada program JKBM terakhir kali diperbaharui dengan Pergub Bali nomer 20 tahun 2011 tentang besaran biaya pelayanan kesehatan dan formularium obat peserta JKBM di rumah sakit. Perbedaan paling mendasar dengan sistem yang dikembangkan oleh BPJS adalah program JKBM masih menggunakan sistem pembayaran fee for service. RSUD Badung sebagai salah satu rumah sakit daerah di Provinsi Bali melayani pasien-pasien yang sebagian besar menggunakan dua sistem pembiayaan yang bertolak belakang ini. Pada pasien umum, JKBM, Askes
3 (sampai tahun 2013) masih menggunakan sistem berbasiskan fee for service, sedangkan pasien Jamkesmas menggunakan sistem berbasis INA-CBGs. Pada tahun 2014 dan seterusnya, pasien Jamkesmas, Askes, Asabri, Jamsostek yang termasuk dalam program BPJS menggunakan pembiayaan berbasis INA-CBGs sedangkan JKBM masih berbasiskan fee for service. Laporan kinerja Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Badung tahun 2012 dan 2013 memperlihatkan bahwa lebih dari 80% pasien menggunakan jaminan kesehatan. Aktivitas pelayanan di rawat jalan terlihat meningkat cukup tajam terutama di klinik bedah yang menyumbang 13.677 (24,60%) orang pasien. Sedangkan di rawat inap juga terjadi peningkatan jumlah pasien rawat inap sebanyak 2.757 (43,13%) orang. P eningkatan kunjungan ini berakibat pada indikator mutu pelayanan yang kurang ideal yaitu BOR 97,97%, BTO 80,97 kali, TOI 0,09 hari, hanya rata rata LOS sebesar 4,42 hari yang memenuhi syarat indikator mutu sesuai pedoman Standar pelayananan minimum.(husain,f.w et al. 2008; Direktur RSUD Badung, 2012) Laporan kinerja di kamar operasi, memperlihatkan peningkatan jumlah pelayanan operasi yang sudah dikerjakan selama tahun 2012. Jumlah keseluruhan tindakan operasi yang dilakukan selama tahun 2012 sebanyak 2827 kasus dengan penyumbang terbanyak dari bagian bedah yaitu sebanyak 948 kasus, disusul bagian kebidanan sebanyak 931 orang, bagian penyakit THT 523 orang, bagian penyakit Mata 373 orang, bagian penyakit kulit kelamin 12 orang, bagian kesehatan gigi dan mulut 12 orang dan tindakan lain 1 orang. Berdasarkan laporan kinerja tahunan 2012 dikatakan waktu tunggu operasi elektif adalah 2 sampai 3 hari.(direktur RSUD Badung, 2012) Pasien bedah elektif di RSUD Badung sebagian besar menggunakan pembiayaan kesehatan berdasarkan jaminan baik Jamkesmas serta Jampersal yang berbasiskan paket INA-CBGs, maupun JKBM yang menggunakan fee for service dengan mengacu pada tarif Askes dengan kenaikan rata-rata sebesar 10% dari tarif Askes. Perbedaan ini memberikan dilema pada pihak pemangku kepentingan di RSUD Badung karena perbedaan jumlah dana yang bisa dikelola dari dua sistem tersebut. Sebagai contoh untuk pasien appendiktomi tanpa penyulit ditahun 2013
4 dari satu orang pasien JKBM, dana yang bisa dikelola oleh rumah sakit kurang lebih lima juta rupiah (Rp.5.000.000), sedangkan pasien Jamkesmas yang menggunakan INA-CBGs rumah sakit hanya mendapatkan sebesar dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah (Rp. 2.750.000). Perbedaan jumlah dana yang bisa dikelola pada kasus yang sama menyebabkan kalangan staf medis dan paramedis fungsional RSUD Badung dalam wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti lebih menginginkan program JKBM tetap berjalan dengan asumsi bisa mendapatkan jasa medis atau jasa pelayanan yang lebih besar dibandingkan dengan pasien-pasien yang menggunakan sistem pembayaran INA-CBGs. Pihak manajemen RSUD Badung, seperti yang dikatakan Kabid Pelayanan, Kabid Operasional dan Litbang serta Kasie Keuangan mengatakan lebih mengharapkan program JKBM tetap berjalan walaupun sudah ada BPJS karena memberikan peluang dana kelolaan yang lebih besar. Jumlah jasa medis yang berbeda ini dipengaruhi oleh cara pembagian jasa medis. Pada pasien JKBM sistem pembagian jasa medis menggunakan pola tarif yang sudah ada di pedoman tarif JKBM sesuai dengan tindakan yang diberikan. Sedangkan pada pasien dengan Jamkesmas menggunakan pola persentase dari paket yang tersedia dengan terlebih dahulu mengkonversi ke tarif umum. Untuk tahun 2013 dan 2014 pihak staf medis fungsional meminta bagian sebesar 40% dari nilai total paket sehingga kalau dana paket yang bisa diklaim tidak mencukupi, menyebabkan pihak rumah sakit harus menanggung kekurangan biaya. Pada tahun 2014 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam hal tarif di RSUD Badung terkait dengan meningkatnya kelas rumah sakit menjadi rumah sakit type B sehingga untuk setiap tindakan pelayanan terjadi peningkatan tarif pasien Jamkesmas /JKN sesuai dengan Permenkes RI nomer 69 tahun 2013. Permasalahan yang menarik untuk diteliti apakah dokter spesialis serta perawat mendapatkan jasa medis yang lebih sedikit pada pasien Jamkesmas dengan sistem INA-CBGs dibandingkan dengan pasien JKBM yang menggunakan sistem fee for service. Penelitian ini membatasi subyek penelitian pada kasus-kasus bedah elektif untuk meminimalisir variasi proses baik dalam
5 prosedur medis serta penggunaan obat. Penelitian ini juga untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah jasa medis pada dua sistem pembiayaan tersebut, dan apakah ada perbedaan jasa medis pasien Jamkesmas/JKN saat sebelum era JKN (tahun 2013) dibandingkan dengan setelah era JKN (2014) mulai berjalan, serta apakah ada perbedaan mutu pelayanan klinik seperti waktu tunggu, lama masa rawat inap, dan ketepatan jangka waktu pemberian antibiotika profilaksis pada kasus operasi elektif dengan dua sistem pembiayaan kesehatan tersebut. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui perbedaaan kepuasan dokter spesialis dan perawat yang menjadi anggota team operasi menurut kedua sistem pembiayaan kesehatan tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah berjalannya dua sistem pembayaran yaitu sistem INA-CBGs pada pasien Jamkesmas/JKN dan fee for service pada pasien dengan JKBM mengakibatkan dokter spesialis dan perawat kamar operasi mendapatkan jumlah jasa medis yang lebih kecil pada pasien Jamkesmas/JKN dibandingkan dengan pasien JKBM?. 2. Apakah ada perbedaan jumlah jasa medis pasien Jamkesmas/JKN yang diterima dokter spesialis dan team operasi saat sebelum era JKN dengan saat JKN mulai berjalan? 3. Apakah ada perbedaan mutu pelayanan dalam dimensi proses yaitu waktu tunggu, lama rawat inap dan jangka waktu pemberian antibiotika profilaksis pada pasien yang mendapatkan pelayanan operasi elektif pada pasien dengan Jamkesmas/JKN dibandingkan dengan pasien JKBM? 4. Apakah ada perbedaan kepuasan kerja dokter spesialis dan perawat di kamar operasi di RSUD Badung pada pasien dengan sistem pembiayaan Jamkesmas/JKN dibandingkan dengan JKBM?.
6 C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Membandingkan jasa medis yang didapatkan dokter spesialis dan perawat kamar operasi pada pasien dengan sistem pembayaran INA- CBGs pada pasien Jamkesmas/JKN dengan sistem pembayaran fee for service pada pasien JKBM. 2. Membandingkan jasa pelayanan/jasa medis yang didapatkan dokter spesialis dan perawat kamar operasi pada pasien Jamkesmas/JKN pada saat sebelum era JKN dengan sesudah mulainya era JKN. 3. Mendapatkan gambaran mutu pelayanan klinik khususnya pada dimensi proses yaitu lama waktu tunggu, lama rawat inap dan ketepatan waktu pemberian antibiotika profilaksis terhadap pasien dengan Jamkesmas/JKN dibandingkan dengan pasien JKBM. 4. Mendapatkan gambaran perbedaan kepuasan dokter spesialis dan perawat kamar operasi RSUD Badung terkait jasa medis yang diterima dalam memberikan pelayanan kesehatan baik pada pasien Jamkesmas dibandingkan pasien JKBM. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk Manajemen RSUD Badung dapat digunakan sebagai acuan dalam : a. pembagian jasa medis kepada seluruh staf medis dan paramedis b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pemberian pelayanan operasi elektif di RSUD Badung. 2. Untuk peneliti, berguna meningkatkan pemahaman tentang sistem pembiayaan kesehatan utamanya tentang sistem INA-CBGs yang akan menjadi sistem utama pembiayaan kesehatan di rumah sakit pemerintah pada masa mendatang.
7 E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kepuasan tenaga medis sudah banyak dikerjakan, mengingat INA CBGs baru diterapkan di Indonesia, penelitian tentang pembiayaan kesehatan penting untuk dikerjakan. Beberapa penelitian sebelumnya yang bisa ditampilkan sebagai pembanding diantaranya : 1. Effect of Type of Insurance and Income on Waiting Time for Outpatient Care (Roll et al 2011). Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan waktu tunggu pada pemegang dua jenis asuransi yaitu Statutory Health Insurance (SHI) yang pembiayaanya berbasiskan rata-rata pendapatan dengan Private Health Insurance (PHI) yang pembiayaannya berbasiskan pada resiko medis. Penelitian ini bersifat crosssectional yang berlangsung selama tahun 2007 sampai dengan 2009. Dalam penelitian ini didapatkan waktu tunggu untuk pasien SHI lebih lama sebesar 56% untuk membuat perjanjian mendapatkan jadwal konsultasi dengan dokter. Penelitian ini juga menemukan bahwa lama waktu tunggu di ruang praktek dokter untuk pasien SHI adalah lebih lama dibandingkan dengan pasien PHI sebesar 25%. Perbedaannya dengan penelitian saya adalah pada variabel yang diuji, karena pada penelitian yang akan saya kerjakan akan menilai perbedaan jumlah jasa medis, waktu tunggu, lama rawat inap, jangka waktu pemberian antibiotika profilaksis serta kepuasan dari team operasi. 2. A Survey on the Attitudes of Doctors Towards Health Insurance Payment in the Medical Consortium (Shi,G et al. 2011). Pada penelitian ini, Shi dan kawan-kawan membandingkan sikap yang dipilih oleh dokter pada rumah sakit tersier, rumah sakit sekunder dan dokter primer di pusat kesehatan masyarakat terhadap tiga sistem pembayaran yaitu fee for service, kapitasi dan DRGs. Pada masing-masing kelompok dokter dipilih lima puluh (50) orang yang memahami tiga sistem pembayaran tersebut. Hasil penelitian Shi dan kawan-kawan mendapatkan bahwa pada rumah sakit tersier dokter lebih memilih fee for service, di rumah sakit sekunder dokter lebih memilih DRGs dan fee for service sedangkan dokter primer di pusat
8 kesehatan masyarakat lebih memilih sistem kapitasi. Perbedaannya dengan penelitian yang akan saya kerjakan adalah pada penelitian ini akan melihat perbedaan mutu pelayanan dan kepuasan dokter di rumah sakit berdasarkan dua sistem pembayaran, sedangkan pada penelitian Shi dan kawan-kawan mencari perbedaan pilihan sistem pembayaran asuransi oleh para dokter. 3. Tingkat Kepuasan Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Pasien Pada Sistem Pembayaran Kapitasi Dan Fee For Service Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart {Harahap,M.2007). Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kepuasan pemberi pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien antara sistem kapitasi dan sistem fee for service. Merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan secara umum tingkat kepuasan pemberi pelayanan kesehatan dan pasien lebih rendah pada sistem pembayaran fee for service dibandingkan dengan sistem pembayaran kapitasi. Tapi secara statistik perbedaan kepuasan tersebut tidak bermakna. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada pembanding dari sistem pembiayaannya yaitu pada penelitian ini menggunakan sistem INA-CBGs sedangkan pada penelitian Harahap menggunakan sistem kapitasi sebagai pembanding dari sistem fee for service. 4. Persepsi Sistem Insentif Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Dibagian Rawat Inap RS Brawijaya (Hartono,S. 2007). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan sistem insentif terhadap kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RS Brawijaya. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian sistem insentif yang lebih diharapkan adalah sistem insentif individual dibandingkan dengan sistem insentif kelompok. Perrbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan saya kerjakan membandingkan dua sistem pembiayaan yang berbeda sedangkan pada penelitian ini membandingkan sistem pembagian insentif yang diterima perawat.