BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF TEORI MODEL PENGASUHAN UNTUK PEMBANGUNAN KARAKTER TERHADAP MODEL- MODEL PENGASUHAN OLEH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. beberapa saran berdasarkan hasil penelitian lapangan dan analisanya.

BAB III MODEL-MODEL PENGASUHAN YANG MEMBANGUN KARAKTER ANAK DALAM KELUARGA KRISTENDI JEMAAT SONTETUS BONE

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD

BAB V PENUTUP. beberepa saran berdasarkan hasil analisa dalam bab sebelumnya.

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Piring Nazar sebagai sebuah kenyataan sosio-religius dapat dijadikan sebagai

32. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SMP

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PIRING NAZAR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. Masalah, b) Rumusan Masalah, c) Tujuan Penelitian, d) Manfaat Penelitian, e)

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kebutuhannya. Sekolah merupakan salah satu lembaga yang

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Istilah pendidikan sudah tidak asing lagi bagi manusia, Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. membawa bangsa menuju bangsa yang maju. Masa kanak-kanak adalah masa

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI SENTRA MAIN PERAN DI TAMAN KANAK-KANAK PADANG ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang dia lihat. Istilah yang sering didengar yaitu chidren see children

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

Bekerja Dengan Para Pemimpin

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TULISAN NARASI Inayah Hanum Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki pasangan akan selalu saling melengkapi satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB V PENUTUP. Setelah penulis mengkaji nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

Gereja Menyediakan Persekutuan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

XII. Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng

Level 2 Pelajaran 10

Bab I PENDAHULUAN. dilansir oleh berbagai media di tanah air. Isi berita tersebut mengenai perilaku seks bebas,

MENGUKIR KARAKTER DALAM DIRI ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS. ditempuh oleh sekolah dalam meningkatkan kinerja guru, diantaranya adalah

BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI

Bab 5. Ringkasan. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PERUBAHAN MINAT MELAYANI DARI PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL

OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK USIA DINI MELALUI SENTRA BERMAIN PERAN DI TAMAN KANAK-KANAK ESTER MANEMBO KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang. Keluarga adalah kelompok terkecil dari masyarakat. Setiap anggota dalam

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab 5 PENUTUP. 1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kebencian Hd. a. Ayah Hd melakukan poligami. contoh yang baik bagi anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

USIA MENJELANG REMAJA MERUPAKAN MASA TRANSISI YANG KRUSIAL

BAB I PENDAHULUAN. semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa,

PERAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTERA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas suami istri dan anakanaknya,

PANDUAN PRAKTIS MEMPERSIAPKAN KHOTBAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013

BAB V PENUTUP. diberikan saran penulis berupa usulan dan saran bagi GMIT serta pendeta weekend.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap

PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA GORONTALO

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam. Dalam (Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003) Selain faktor yang berada dalam diri peserta didik, untuk dapat

BAB V PENUTUP. terhadap permasalahan kekerasan pasangan suami isteri, yakni: 1. Peran Pendeta sebagai Motivator terhadap Permasalahan Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

UKDW. BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

TOPIK 2 = PEMBINAAN REMAJA & PEMUDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

MTPJ Juli 2014 ALASAN PEMILIHAN TEMA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

C. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI SMPLB TUNANETRA

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

C. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDIPEKERTI SDLB TUNANETRA

BAB V PENUTUP. diperoleh mengenai pola asuh orangtua dengan sikap birrul walidain remaja di

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara

BAB I PENDAHULUAN. 2000, p.11

PERAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN SIKAP SOSIAL DAN KEMANDIRIAN ANAK. Dwi Retno Setiati Program Pascasarjana PIPS Universitas PGRI Yogyakarta

Transkripsi:

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF TEORI MODEL PENGASUHAN UNTUK PEMBANGUNAN KARAKTER TERHADAP MODEL- MODEL PENGASUHAN OLEH KELUARGA-KELUARGA KRISTEN DI JEMAAT GMIT SONTETUS BONE Dalam bab ini penulis akan melakukan tinjauan kritis terhadap model pembangunan karakter anak melalui pengasuhan orangtua yang berlangsung dalam keluarga Kristen di jemaat Sontetus Bone berdasarkan perspektif teori model-model pengasuhan untuk pembangunan karakter sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bagian sebelumnya dari tulisan ini. Berdasarkan uraian dalam Bab III tentang model-model pengasuhan untuk membangun karakter anak dalam keluarga Kristen di Bone yakni model pengasuhan yang di landasi nilainilai moral dalam budaya, model pengasuhan yang di landasi nilai-nilai ajaran agama, model pengasuhan pembiaran, model pengasuhan gabungan otoritatif-demokratis dan model pengasuhan gabungan otoritarian-disiplin maka penulis dapat menganalisis beberapa hal berikut: 1. Muatan (isi pengajaran). Dari total 57 (lima puluh tujuh ) informan yang di wawancarai, 19 informan di memberi penekanan pada sopan santun, bertegur sapa, hidup jujur dan saling menghormati.nilai-nilai tersebut di pengaruhi olehnilai-nilai moral dalam budaya yang di miliki keluarga. Sementara itu13 (tiga belas) informanmemberi penekanan pada nilai-nilai moral kejujuran, saling mengasihi, kerendahan hati, berdoa, 89 dan bersyukur.nilai-nilai moral

tersebut di pengaruhi oleh nilai-nilai moral dalam agama. Nilai-nilai di maksud adalah kejujuran, saling mengasihi, kerendahan hati, berdoa, dan bersyukur. Berdasarkan nilai-nilai moral yang di ajarkan orangtua kepada anak melalui dua model pengasuhan tersebut di atas, nampaknya nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya dan agama yang di tanamkan orangtua kepada anak-anak, sejalan dengan muatan pengajaran yang di maksud Lickona sebagai kebajikan-kebajikan yang membangun karakter baik. Kebajikan-kebajikan di maksud di antaranya, kasih, kerja keras, ketulusan hati, berterimaksih dan kerendahan hati. Kebajikan-kebajikan tersebut bila di lakukan maka menjadi kebiasaan yang nampak dalam sikap dan perilaku.di katakan demikian oleh karena karakter yang baik mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivation) dan keterampilan (skills) dari individu. Pengajaran tentang kebajikan-kebajikan yang membangun karakter baik yang tergambar dalam nilai-nilai yang di ajarkan orangtua di Bone kepada anak-anak menunjukan proses yang di maksud Lickona dalam membangun karakter baik pada diri seseorang yakni melalui pengetahuannya tentang moral (moral knowing), yang berlanjut pada sikap moral (moral felling) apa yang akan di buat anak dan pada akhirnya akan di tunjukan dalam perilaku moral (moral behavior) anak. Tiga komponen tersebut di atas menjadi daya dorong yang besar bagi seseorang dalam melakukan kebajikan (perbuatan baik).dalam proses pengasuhan yang dilakukan keluarga-keluarga Kristen di Bone, nampaknya terkandung tiga komponen tersebut. Hal ini terlihat dari upaya orangtua dalam memperkenalkan nilai-nilai moral kepada anak, kemudian di ikuti dengan pemberian contohdan penalaran kepada anak sehingga perilaku di maksud 90

pada akhirnya di tiru dan di lakukan oleh anak. Interaksi antara orangtua dan anak dalam keluarga sangat di mungkinkan terjadi pengulangan-pengulangan tiga komponen di maksud sehingga pada akhirnya menjadi kebiasaan yang di lakukan oleh anak. Selanjutnya informan yang memiliki sikap pembiaran terhadap anak sejumlah 10 (sepuluh) informan. Sikap pembiaran tersebut nampak dalam tidak adanya perhatian orangtua dalam upaya menanamkan nilai-nilai moral kepada anak, perasaan sayang yang berlebihan kepada anak dan pengalaman sulit dalam memperoleh keturunan. Sementara itu dalam model pengasuhan pembiaran yang di lakukan orangtua, muatan pengajaran hampir tidak nampak. Dikatakan demikian oleh karena dalam hasil penelitian memperlihatkan bahwa oleh karena rasa sayang yang besar dari orangtua kepada anak sehingga mengikuti berbagai keinginan anak.selain sikap tersebut, temuan lainnya di di lapangan berkaitan dengan model pengasuhan ini bahwa orangtua ini tidak memiliki aturan tertentu dalam keluarga sehingga anak juga tidak memiliki kewajiban untuk menjalani aturan-aturan di maksud. Temuan selanjutnya dalam model pengasuhan ini berkaitan dengan rendahnya dorongan dan dukungan orangtua kepada anak misalnya untuk bersekolah. Kondisi yang tergambar dalam praktik pengasuhan ini seperti yang di maksudkan dalam teori model pengasuhan permisif yang di sampaikan Diana Baumrind. Hal mana tergambar dari perasaan kasih sayang yang berlebihan dari orangtua kepada anak, ketidakmampuan orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak. Akibatnya anak cenderung menjadi pribadi yang egois oleh karena orangtua selalu memenuhi permintaan anak-anak. Tidak hanya itu, menurut Baumrind, dalam model pengasuhan ini, anak kehilangan sikap penghormatan kepada orangtua. Hal ini disebabkan pengawasan orangtua 91

yang sangat longgar kepada anak. Namun orang tua dalam model pengasuhan ini bersikap hangat kepada anak sehingga disukai oleh anak. Menurut Baumrind, karakter anak yang dibangun dalam model pengasuhan ini adalah anak yang berkarakter tidak mandiri, tidak dapat mengendalikan diri dan mudah putus asa. Temuan selanjutnya dalam lima model pengasuhan yang di praktikan keluarga Kristen di Bone adalah dari total keseluruhan informan yang di wawancarai, jumlah informan yang memiliki kesamaan pendapat tentang nilai-nilai yang di ajarkan kepada melalui sikap orangtua yang bersifat otoritatif dan demokratis kepada anak berjumlah 8 (delapan) informan dari total 57 (lima puluh tujuh) informan. Nilai-nilai di maksud adalah tanggung jawab, ketaatan dan pengendalian diri. Berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sikap orangtua melalui model pengasuhan gabungan otoritatif - demokratis yang tergambar dalam tindakan orangtua yang melibatkan anak-anak untuk membuat kesepakatan-kesepakatan dalam keluarga, nampaknya seperti yang dimaksudkan Diana Baumrind dalam model pengasuhan otoritatif dan Marvin Berkowitz dalam model pengasuhan demokatis. Yang mana di tandai dengan sikap orangtua dalam menanamkan atau pun mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak yang bersifat otoritatif dan demokratis.dalam model pengasuhan yang dipraktikan keluarga Kristen di Bone juga menunjukan sikap orangtua yang kooperatif kepada anak namun tetap memiliki otoritas atas anak. Hal ini nampak dalam sikap orangtua yang tidak selalu memenuhi permintaan anak berkaitan dengan kebutuhan anak namun sikap tersebut di sertai dengan penjelasan kepada anak sehingga anak dapat memahami maksud sikap orangtua. 92

Temuan selanjutnya dalam penelitian memperlihatkan bahwa total informan yang memiliki pendapat tentang sikap orangtua kepada anak dalam pengasuhan yang bersifat otoritarian dan disiplin sejumlah 7 (tujuh) informan dari total seluruh informan. Nilai-nilai yang di ajarkan dalam model pengasuhan ini adalah kerja keras, ketaatan dan menghormati orangtua. Nilai-nilai moral tersebut di tanamkan kepada anak melalui ketaatan anak terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga. Bila di telusuri secara seksama, aturan-aturan yang di maksud orangtua dalam model pengasuhan ini mengacu kepada nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat dan kemudian di genaralisir oleh keluarga menjadi acuan nilai-nilai moral yang di teruskan kepada anak.misalkan penilaian benar-salah oleh masyarakat terhadap perilaku moral seseorang. Berdasarkan seluruh uraian tentang nilai-nilai moral yang terkandung dalam seluruh model pengasuhan yang di praktikan keluarga-keluarga Kristen di Bone memperlihatkan bahwa jumlah informan terbesar yang memiliki pendapat tentang nilai-nilai moral yang di ajarkan kepada anak adalah informan yang melakukan pengasuhan yang di pengaruhi nilainilai moral dalam budaya. Bila di telusuri secara seksama, dari 19 informan tersebut memiliki beberapa alasan mengapa menggunakan nilai-nilai moral dalam budaya untuk di ajarkan kepada anak, di antaranya agar anak menjadi pribadi yang baik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dari sejumlah nilai moral yang di uraikan di atas, nampaknya penekanan orangtua terhadap nilai-nilai moral yang di sampaikan kepada anak sangat beragam dan berbeda-beda Penekanan nilai moral yang berbeda tersebut di pengaruhi oleh konteks setiap keluarga dan 93

karakter setiap orangtua (orangtua) sehingga berdampak pada nilai moral yang di tanamkan pada anak juga berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa harapan setiap orangtua bagi anak untuk memiliki karakter yang baik pada anak di lakukan dengan proses pengasuhan yang memberi penekanan yang berbedabeda namun semuanya bermuara pada karakter baik yang terbangun pada anak. Di samping itu, dari sejumlah nilai yang di tekanankan juga terlihat belum seluruh kebajikan yang terkandung dalam karakter baik di tanamkan orangtua kepada anak, di antaranya nilai kepedulian kepada orang lain dan atau nilai Sementara nila di telurusi lebih jauh, budaya menempati posisi yang penting dalam model pengasuhan orangtua di Bone oleh karena budaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, juga menjadi bagian dari tata kehidupan berkeluarga.selanjutnya di ikuti dengan agama yang ikut memberi pengaruh bagi proses pengasuhan orangtua yang di tandai dengan sejumlah nilai-nilai moral dari agama yang menjadi sumber nilai-nilai moral yang di ajarkan orangtua kepada anak. Pemahaman di atas sejalan dengan pemikiran Groome sebagai proses sosialisasi nilainilai. Bagi Groome, lingkungan sosial berperan besar dalam pembentukan identitas seseorang. Oleh karena untuk mendapatkan sebuah identitas, seseorang melewati proses sosialisasi atas berbagai nilai yang ada di sekitarnya. Proses sosialisasi yang di maksud oleh Groome terdiri dari tiga tahap yakni eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Bagi Groome setiap proses pembentukan yang di alami oleh seseorang membutuhkan proses eksternalisasi. Dalam kaitannya dengan pembangunan karakter yang di alami oleh anak-anak melalui pengasuhan yang dilakukan orangtua, proses eksternalisasi sangat 94

dibutuhkan oleh karena di sadari bahwa keluarga bukanlah sebuah unit sosial yang terpisah dengan unit-unit sosial yang lain melainkan keluarga merupakan bagian integral dari sebuah jaringan sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karenanya dalam proses pembangunan karakter anak, orangtua tidak dapat melakukannya berdasarkan nilai-nilai hidup yang dimiliki orangtua semata melainkan orangtua membutuhkan hubungan-hubungan yang lain dengannya untuk melaksanakan proses membangun karakter anak. Pemahaman ini sejalan dengan yang dikatakan Lickona bahwa salah satu kunci keberhasilan bagi pembangunan karakter terletak pada kemitraan yang kuat antara berbagai pihak yang berkaitan dengan lingkungan di mana anak hidup. Tahap selanjutnya yang di alami anak dalam proses sosialisasi nilai-nilai adalah tahap objektifikasi. Dalam kaitannya dengan pengasuhan orangtua yang membangun karakter anak, nilai-nilai moral dalam budaya merupakan batasan-batasan norma untuk siapa pun yang menjadi bagian dalam kehidupan kolektif sebuah masyarakat. Karena itu manakala orangtua menanamkan nilai-nilai moral budaya kepada anak melalui proses pengasuhan, ini merupakan bentuk dari objetifikasi atas nilai-nilai moral yang menjadi pandangan dan nilainilai perilaku moral yang di anut dan menjadi sebuah tatanan moral dalam masyarakat dimana keluarga menjadi bagian di dalamnya. Tahap terakhir yang di alami oleh seseorang dalam sosialisasi nilai-nilai budaya adalah tahap internalisasi. Yang mana setelah individu mengeksternalisasikan diri sendiri ke dalam kebudayaan dan masyarakat maka penguatan serta pembatasan-pembatasan dunia itu sekarang dibawa kepada kesadaran dan menjadi milik seseorang secara pribadi. Jadi proses menjadikan pandangan dunia, sistem nilai dan pola bertindak dari lingkungan sosial budaya 95

menjadi milik sendiri adalah proses internalisasi. Dalam kaitannya dengan pengasuhan keluarga Kristen di Bone, proses internalisasi nilai-nilai moral dalam budaya kepada anak berlangsung serentak dengan pembentukan identitas diri anak, dimana anak menjadi bagian dari kebudayaan dan kehidupan kolektif dimana keluarga berada. Berdasarkan pemahaman di atas, nampaknya dalam pengasuhan yang di lakukan keluarga-keluarga Kristen di Bone, penggunaan nilai-nilai moral dalam budaya yang menjadi tatanan hidup masyarakat oleh orangtua kepada anak melalui pengasuhan merupakan wujud dari proses sosialisasi dalam tiga tahap yakni eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal mana terlihat dari penggunaan sumber-sumber ajaran yang di ajarkan kepada anak Selain budaya yang memberi pengaruh besar sebagai rujukan nilai-nilai yang di gunakan kelaurga-keluarga di Bone untuk di tanamkan kepada anak, pengaruh terbesar kedua adalah dari agama Kristen. Hal ini di tandai dengan sejumlah nilai- moral dalam agama Kristen yang menjadi acuan orangtua dalam mengajari nilai-nilai moral kepada anak. Dari 57 informan yang di wawancarai, jumlah informan yang menggunakan nilai-nilai moral dalam agama untuk di tanamkan kepada anak berjumlah 13 informan. Ini menunjukan ajaran agama Kristen memiliki pengaruh yang cukup besar bagi proses penanaman perilaku moral kepada anak. Pemahaman di atas sejalan dengan yang dikatakan Nuhamara 1 bahwa anak-anak mengalami dua bentuk sosialisasi yang membentuk identitas dirinya, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Disebut sosialisasi primer oleh karena berlangsung pada masa anak- 1 Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 61-62. 96

anak dan sangat kuat pengaruhnya bagi anak. Dengan kata lain, sosialisasi primer sebagai proses pembentukan identitas diri seseorang yang terjadi pada masa kanak-kanak karena interaksinya dengan lingkungan sosial budayanya. Anak-anak dalam keluarga Kristen melalui interaksinya dengan kedua orangtuanya mengalami sosialisasi yang pada giliranya membentuk identitas diri anak menjadi identitas yang Kristen. Lebih lanjut di uraikan oleh Nuhamara, proses sosialisasi terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap tingkah laku model sosial, dalam hal ini orang-orang terdekatnya. Dalam konteks keluarga, orang-orang terdekat dari anak-anak adalah orangtua mereka. Sosialisasi semakin efektif jika antara individu yang di sosialisasikan dan model sosial memiliki hubungan yang erat dan relatif dalam jangka waktu yang panjang. Dikatakan demikian oleh karena dorongan terbesar berlangsungnya imitasi dan internalisasi model sosial apabila individu mempunyai kesempatan untuk mengamati model tersebut dalam berbagai situasi kehidupan, dimana model tersebut menyatakan tingkah laku maupun sistem kepercayaan dan sistem nilai yang melandasi tingkah laku tersebut. Berdasarkan pemahaman di atas, nampaknya sosialisasi hanya dapat terjadi dengan baik dalam konteks keluarga, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat juga terjadi dalam konteksyang lain. Di sini menjadi jelas bahwa agar terjadi sosialisasi yang efektif maka orangtua harus menjadi model iman Kristen yang baik agar menjadi panutan yang efektif bagi internalisasi system kepercayaan, nilai dan pola tingkah laku kristiani.dalam bahasa yang lain, Lickona menyebut apa yang disampaikan Nuhamara di atas sebagai tindakan pemodelan iman yang menekankan sosok orangtua sebagai model rohani bagi anak melalui tutur kata, sikap bahkan perilaku yang di tampilkan orangtua sehari-hari. 97

Dengan demikian dalam kaitannya dengan proses sosialisasi yang di maksud di atas, sosialisasi berlangsung melalui didikan dan ajaran bahkan contoh-contoh nyata tentang nilainilai moral dalam agama. Pada saat itulah anak mengalami proses sosialisasi dengan lingkungan sosial sebagai persekutuan iman. Hal mana juga nampak dalam pengasuhan yang berlangsung dalam keluarga-keluarga Kristen di Bone dengan menggunakan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya dan agama yang di anut oleh keluarga-keluarga di Bone. Dalam pada itu lingkungan persekutuan iman yang ada disekitar kehidupan anak adalah persekutuan gereja. Gereja yang dimaksud disini adalah gereja Sontetus Bone sesuai dengan lokasi penelitian tulisan ini. Berdasarkan penelitian yang di lakukan, sumber nilainilai moral agama yang di gunakan orangtua dalam pengasuhan di peroleh dengan membaca alkitab dan pewartaan gereja yang di sampaikan oleh para pendeta, penatua bahkan diaken yang ada di jemaat Sontetus Bone. Ini berarti, peranan pihak gereja sangat besar dalam kaitannya dengan penyebaran nilai-nilai moral melalui pemberitaan firman Tuhan dalam persekutuan iman di Bone. Hal mana terungkap melalui hasil wawancara yang ditemukan di lapangan tentang sumber nilai-nilai moral yang di ajarkan kepada anak. Gereja Sontetus sebagai persekutuan iman di Bone menjalankan fungsi pewartaannya dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah melalui khotbah, baik dalam kebaktian umum di gedung gereja maupun melalui ibadah-ibadah lainnya seperti ibadah rumah tangga dan ibadah kelompok kategorial (persekutuan perempuan, kaum bapak, pemuda dan pelayanan anak dan remaja) serta kelompok fungsional (paduan suara, vocal grup dan persekutuan doa). Dalam setiap pemberitaan tersebut di atas, nilai-nilai moral yang bersumber dari Alkitab di sampaikan sebagai pedoman bagi jemaat dalam kehidupan sehari-hari termasuk 98

dalam mengasuh anak. Perwartaan dimaksud menjadi nyata manakala para orangtua mengalami langsung bentuk-bentuk pertolongan Tuhan dalam hidup, terkhususnya dalam hidup bersama anak-anak. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi pengalama iman yang di bagikan kepada anak melalui berbagai metode dalam hidup sehari-hari di antaranya melalui pengajaran langsung, pemberian contoh dan metode bercerita. Pemahaman ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Groome sebagai metode berbagi praksis antara orangtua dan anak. 2. Metode pengasuhan. Dalam lima model pengasuhan yang di praktikan keluarga-keluarga Kristen di Bone menunjukan dua metode yang di gunakan para orangtua dalam menyampaikan nilai-nilai moral yakni metode pemberian contoh melalui perilaku dan metode pemberian contoh yang di sertai dengan penalaran. Dari dua metode tersebut di atas, jumlah informan yang menggunakan metode pemberian contoh melalui perilaku orangtua dan metode pemberian contoh yang di sertai penalaran berjumlah 33 informan dari total 57 informan. Metode-metode tersebut nampak dalam dua model pengasuhan pertama yakni model pengasuhan yang di pengaruhi nilai-nilai moral dalam budaya dan agama. Hal mana tergambar dalam sikap orangtua yang menanamkan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya dan agama, di antaranya, sopan santun, saling menghargai, kerja keras ataupun nilai religious seperti berdoa dan kejujuran. Dua metode ini sejalan dengan model pengasuhan modelling oleh Lickona yang terurai dalam pemodelan penalaran moral, pemodelan komitmen dan pemodelan iman yang menekankan peranan orangtua yang mengajarkan berbagai nilai moral kepada anak melalui 99

pemberian contoh dalam perilaku dan di ikuti dengan penalaran terhadap nilai-nilai yang di contohkan dalam perilaku. Peranan orangtua dimaksud memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan moral anak. Dalam upaya memberikan penalaran kepada anak, dalam model pengasuhan yang di pengaruhi nilai-nilai budaya dan agama, terjadi dialog antara orangtua dan anak. Ini berarti peran serta anak dalam dialog merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan penjelasan orangtua atas makna setiap nilai moral. Pemikiran di atas sejalan dengan yang dimaksudkan Hadinoto tentang metode dialog dalam keluarga yakni merupakan salah satu cara yang tepat bagi orangtua untuk memberikan penalaran atas berbagai perilaku moral yang di amati anak dan penjelasan atas setiap ajaran yang disampaikan orangtua. Bila di telusuri lebih jauh, penggunaan metode-metode tersebut di atas di pengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan karakter yang di miliki orangtua. Para informan yang di kutip pendapatnya yang menggunakan metode-metode tersebut memiliki latar belakang pendidikan dengan tingkatan yang bervariasi, di antaranya, informan yang berlatar belakang pendidikan sekolah dasar sejumlah 7 orang, berlatar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama sejumlah 6 orang, latar belakang sekolah lanjutan tingkat atas sejumlah 5 orang dan tamatan perguruan tinggi sejumlah 1 orang. Dari data ini menunjukan bahwa jumlah informan yang melakukan pengasuhan dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar sedikit lebih besar jumlahnya dari pada jumlah informan yang berlatar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama dan perguruan tinggi. Kondisi latar belakang pendidikan tersebut cukup berdampak pada pola 100

pikir keluarga-keluarga yang melakukan pengasuhan masih sangat sederhana dalam upaya menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Kesederhanaan pemahaman nampak dalam metode-metode yang di gunakan bertolak dari pemahaman bahwa tindakan pemberian contoh kepada anak adalah bagian dari tugas sebagai orangtua yang di karuniai anak oleh Tuhan. Pada sisi yang lain, faktor latar belakang pendidikan orangtua yang rendah tidak selamanya memberi dampak buruk kepada anak. Di katakan demikian oleh karena dalam rangka membangun karakter baik pada anak, yang sangat berpengaruh adalah sikap dan perilaku orangtua yang di contohkan kepada anak dan penalaran orangtua terhadap contoh perilaku di maksud. Karena itu latar belakang pendidikan formal orangtua yang cukup merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan proses pembangunan karakter pada anak namun lebih dari pada itu adalah kesediaan orangtua untuk menjadi contoh atau model perilaku yang benar untuk anak. Selanjutnya latar belakang jenis pekerjaan yang di dominasi sebagai petani-peternak, bersifat pewarisan sehingga membuat nilai-nilai moral yang di ajarkan sangat dekat dengan pekerjaan yang di tekuni orangtua dan budaya yang di miliki oleh keluarga. Hal mana nampak dalam metode pemberian contoh yang disertai penalaran terhadap keterampilan dasar sebagai laki-laki timor untuk berkebun dan anak perempuan untuk menenun. Metode selanjutnya yang nampak dalam model-model pengasuhan keluarga-keluarga Kristen di Bone adalah metode bercerita. Dari total informan yang di wawancarai, jumlah informan yang menggunakan metode bercerita sejumlah 8 orang. Fakta ini menunjukan bahwa jumlah informan yang mengggunakan metode ini jauh lebih sedikit dari jumlah 101

informan yang menggunakan metode pemberian contoh secara langsung.penggunaan metode ini dasarkan pada kesederhanaan bahasa yang di gunakan dan berlangsung dalam suasana santai. Melaluicerita yang di sampaikan dapat menggugah anak untuk berperilaku menurut contoh perilaku dari tokoh yang ada dalam cerita dimaksud.selain itu, dengan bercerita, pikiran dan perasaan anak di bawa masuk kedalam cerita yang di tuturkan sehingga pesan yang hendak di sampaikan dapat dipahami anak. Metode ini semacam menguatkan akan ajaran-ajaran tentang nilai-nilai agama yang disampaikan kepada anak-anak. Berdasarkan metode ceritera yang disampaikan orangtua kepada anak, nampaknya sejalan dengan apa yang di sebut Groome sebagai metode berbagi praksis atau metode berbagi ceritera. Yang mana dalam metode ini dengan merefleksikan tindakan masa kini, kita dapat menemukan masa lampau dan menimbulkan kesadaran akan masa depan. Berdasarkan seluruh uraian di atas, nampaknya sejalan dengan model pengasuhan modelling yang di maksudkan Lickona yang terurai dalam tiga bentuk pemodelan yakni pemodelan penalaran moral, pemodelan komitmen dan pemodelan iman. Tiga bentuk pemodelan ini di tandai dengan peranan orangtua sebagai contoh atau model sikap dan perilaku bagi anak dan pemberian contoh yang di sertai dengan penalaran orangtua atas nilainilai moral di maksud sehingga sehingga anak dapat memahami sesuai dengan pola pikir anak. Tindakan pemodelan oleh orangtua kepada anak dii lakukan secara sengaja ataupun tidak di sengajakan yang berlangsung secara alamiah. Dalam pengasuhan oleh keluargakeluarga di Bone, metode pemberian contoh melalui perilaku dan pemberian contoh yang di sertai penalaran nampak dalam tindakan orangtua yang mengajari anak cara berdoa atau pun mengajari ketrampilan dasar kepada anak laki-laki dan anak peremuan. Selain itu tindakan 102

pemberian contoh juga tergambar dalam peniruan perilaku yang di lakukan orangtua, di antaranya perilaku jujur, perilaku saling menghormati yang di lakukan oleh orangtua, perilaku memelihara kesetiaan iman dan komitmen sebagai suami isteridan penggunaan bahasa daerah yang di gunakan orangtua dalam mengasuh anak-anak. Dari uraian di atas, nampaknya di sinilah letak kerawanan proses membangun karakter baik pada diri anak. Dikatakan demikian oleh karena tindakan peniruan perilaku secara tidak langsung oleh anak seringkali tidak di sadari oleh orangtua.akibatnya apabila anak mengamati sikap dan perilaku moral orangtua yang buruk sehingga dapat di pastikan anak juga berperilaku seperti demikian. Apabila hal ini tidak di sadari oleh orangtua maka akan menjadi kebiasaan yang di lakukan anak. Hal mana seperti yang dimaksud oleh Lickona bahwa karakter terbangun dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan individu. Metode berikutnya yang nampak dalam praktik pengasuhan dalam keluarga Kristen di Bone adalah metode melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.dari total informan yang di wawancarai, jumlah informan yang menggunakan metode ini sejumlah 8 informan.hal ini tergambar dalam model pengasuhan gabungan otoritatif dan demokratis yakni dalam tindakan orangtua yang melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan atas aturan yang berlaku dalam keluarga. Dalam model pengasuhan ini, latar belakang pendidikan orangtua yang menggunakan metode ini cukup bervariasi, yakni, informan dengan latar belakang pendidikan tamatan perguruan tinggi sejumlah tiga informan dan sekolah lanjutan tingkat pertama sejumlah empat informan.ini menunjukan jumlah informan denggan latar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama lebih banyak di banding jumlah informan yang berlatar pendidikan 103

perguruan tinggi. Kondisi pendidikan tersebut cukup berdampak pada pola pikir yang terbuka dan sikap yang kooperatif kepada anak dalam rangka menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Namun pada sisi lain, bersamaan dengan latar belakang pendidikan orangtua yang tinggi, juga mengandung tuntutan yang tinggi atas perilaku anak sehingga berdampak pada bentuk perilaku yang harus di miliki anak harus sesuai dengan ekspektasi orangtua atas anak. Sikap orangtua seperti di atas sejalan dengan model pengasuhan otoritatif oleh Baumrind dan model pengasuhan demokratis dari Berkowitz. Dua model pengasuhan tersebut di tandai dengan sikap orangtua yang selalu menyadari tanggung jawabnya sebagai pendamping anak dalam pertumbuhan.anak di beri kesempatan untuk memberikan pendapat dan bersama orangtua mengambil keputusan. Hasil penelitian menunjukan bahwa model ini digunakan untuk membuat anak belajar bertanggungjawab pada setiap kesepakatan yang di buat bersama orangtua.hal mana nampak melalui ketaatan anak untuk melaksanakan berbagai aturan ataupun kesepakatan yang di putuskan bersama.dengan cara demikian anak belajar menghargai dirinya dan bertanggung jawab atas kesepakatan yang telah di buat. Hal ini menimbulkan rasa percaya diri pada anak tumbuh sehingga anak lebih menghargai dirinya dan orang lain. Selain dampak di atas, dampak lain dari model pengasuhan ini dalah terciptanya kasih sayang yang erat antara orangtua dan anak. Selain itu dalam model pengasuhan otoritaif - demoratis orangtua bersedia mendengarkan anak tetapi tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada keinginan anak. Hal mana nampak dalam pemenuhan kebutuhan anak, misalnya ketika berbelanja perlengkapan sekolah untuk anak. 104

Terjadinya penggabungan atau kombinasi model-model pengasuhan yang di gunakan orangtua bergantung pada pertimbangan kondisi anak dan keberadaan setiap keluarga. Bila kondisi yang berlangsung demikian maka dapat dipastikan proses pembangunan karakter yang berlangsung melalui penggabungan atau kombinasi model-model pengasuhan menjadi lebih lengkap. Karakter anak yang terbangun menjadi lebih utuh yakni anak yang berkarakter bertanggung jawab, mandiri, disiplin, bersikap terbuka dan dapat mengendalikan diri. Metode terakhir yang nampak dalam model-model pengasuhan keluarga-keluarga Kristen di Bone adalah metode pembiasaan melalui disiplin. Dari total informan yang di wawancarai, jumlah informan yang menggunakan metode ini sejumlah tujuh informan. Hal mana tergambar dalam tindakan orangtua yang menginginkan anak berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam keluarganamun nilai-nilai tersebut di ajarkan kepada anak dengan menggunakan cara yang tidak mendukung untuk membangun karakter baik pada anak oleh karena di lakukan dengan cara kekerasan yakni ancaman dan pukulan. Dari fakta tersebut di atas, nampaknya sikap dan perilaku orangtua seperti di maksud di atas di latarbelakangi oleh faktor pendidikan dan karakter orangtua. Dari tujuh informan yang di wawancarai, empat (empat) di antaranya berlatar belakang pendidikan sekolah dasar dan tiga (tiga) di antaranya berlatar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama.hal ini berdampak pada pola pikir dan sikap orangtua yang sangat terbatas dalam upaya menerapkan nilai-nilai moral kepada anak sehingga orangtua menggunakan kewenangannya atas anak untuk mencapai tujuan perilaku yang harus di lakukan oleh anak, yang mana nampak dalam tindakan kekerasan kepada anak. Sikap pembiasaan yang di lakukan dengan kekerasan di latar belakangi pemahaman orangtua terhadap berbagai nilai 105

yang berlaku dalam masyarakat sehingga terdapat semacam tuntutan kepada anak untuk ikut berperilaku sebagaimana nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Bila anak tidak dapat melaksanakan maka di pandang sebagai sebuah ketidakwajaran. Oleh karena itu orangtua berupaya keras melalui berbagai cara termasuk tindakan kekerasan kepada anak. Pada sisi yang lain, latar belakang karakter orangtua juga berpengaruh dalam pengasuhan yang di lakukan. Hal mana nampak dari sikap dan prinsip-prinsip hidup yang di miliki orangtua dalam hal bentuk karakter yang harus di miliki anak. Di katakan demikian oleh karena bila orangtua berlatar belakang karakter tegas dan penuh disiplin maka berpengaruh pada sikap dan perilaku orangtua dalam menanamkan dan mengajarkan nilainilai moral kepada anak namun bila orangtua berlatar belakang karakter lembut dan penyayang maka sikap dan perilaku orangtua dalam menanamkan nilai-nilai moral juga ikut berpengaruh kepada anak. Oleh karena itu, karakter orangtua sangat berdampak pada proses pengasuhan yang di lakukan orangtua kepada anak, termasuk yang tergambar dalam praktik pengasuhan yang di lakukan keluarga-keluarga Kristen di jemaat Sontetus Bone. Melihat fakta yang terurai di atas, nampaknya sejalan dengan uraian model pengasuhan otoritarian dari Baumrind, model pengasuhan disiplin dari Watson dan model pengasuhan yang di dasarkan pada benar salah dalam konteks sosial oleh Larry Nucci. Dikatakan demikian oleh karena sikap orangtua yang khas dalam dua model pengasuhan tersebut dalam mengajarkan nilai-nilai kepada anak di lakukan dengan pemberlakuan aturan yang kaku kepada anak sehingga tidak terbuka ruang bagi anak dalam memberikan pendapat. Akibatnya menciptakan relasi yang tidak harmonis antara anak dan orangtua. Menurut Baumrind, karakter anak yang di bangun dalam metode ini adalah karakter anak yang 106

memiliki kemampuan komunikasi yang buruk, tidak dapat berkompetisi dalam konteks sosial dan cenderung memberontak kepada orangtua. 107