BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu sindroma klinis berupa sekumpulan gejala khas iskemik miokardia yang berhubungan dengan adanya elevasi segmen ST pada elektrokardiogram dan terdeteksinya biomarka dari nekrosis miokardia tersebut dalam sirkulasi darah (O Gara et al., 2013). Prevalensi IMA-EST berkisar antara 25% sampai 45% diantara pasien dengan infark miokard akut. Tatalaksana dengan strategi revaskularisasi, baik dengan fibrinolisis maupun intervensi koroner perkutan (IKP) primer, dan terapi standar sesuai rekomendasi pedoman seperti pemberian antiplatelet ganda, penyekat beta, penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE) atau antagonis reseptor angiotensin (RA) dan statin dosis tinggi, menurunkan angka kejadian kardiovaskular mayor (KKM) selama perawatan fase akut di rumah sakit. Kejadian kardiovaskular mayor (KKM) di rumah sakit dilaporkan menurun hingga 50%. Angka kematian di rumah sakit juga mengalami penurunan dari 12,5% menjadi 7,2% ( Jernberg et al., 2011). Namun, pada pasien dengan risiko tinggi, angka kematian dan KKM masih menetap 12% yang bertahan hingga pengamatan selama 6 bulan pasca infark (Steg et al., 2012). Beberapa prediktor independen terjadinya KKM pada fase akut perawatan IMA-EST yang telah teridentifikasi adalah faktor usia, kelas Killip saat admisi, jeda 1
waktu reperfusi, terjadinya henti jantung, takikardi, hipotensi, lokasi infark di anterior, riwayat infark miokard sebelumnya, diabetes melitus, status merokok, penurunan fungsi ginjal dan kenaikan biomarka nekrosis miokard (O Gara et al., 2013). Skor risiko Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) telah digunakan untuk memprediksi terjadinya kematian dan KKM non fatal selama perawatan di rumah sakit pada IMA-EST yang meliputi faktor usia, diabetes melitus, hipertensi, angina, hipotensi, laju jantung, kelas Killip, berat badan, lokasi infark anterior dan jeda waktu terapi reperfusi (O Gara et al., 2013). Biomarka merupakan produk selular yang dikeluarkan dalam sirkulasi darah selama proses infark miokard terjadi. Sampai saat ini dalam konteks IMA-EST, peran biomarka selama fase akut perawatan di rumah sakit belum disepakati sepenuhnya sebagai prediktor KKM non fatal dan kematian. Biomarka nekrosis miokard yaitu creatine kinase MB (CK-MB) dan troponin telah dimasukkan dalam suatu skor risiko prediksi yaitu skor GRACE yang menilai risiko terjadinya kematian dan KKM non fatal selama perawatan pada infark miokard akut, namun tidak spesifik untuk IMA-EST (Roffi et al., 2016). Biomarka-biomarka baru telah ditemukan dan diteliti perannya pada IMA- EST, salah satunya adalah soluble ST2 (sst2) yang di rilis oleh miokardia yang mengalami regangan atau stress. Seperti halnya N terminal pro brain natriuretic peptide (NT-pro BNP), biomarka regangan miokardia yang terdahulu, sst2 telah diteliti perannya pada beberapa penyakit jantung yang berhubungan dengan regangan miokardia seperti gagal jantung kongestif dan sindroma koroner akut. Pada pasien IMA-EST dimana cedera atau injury transmural miokard terjadi, miokardia ventrikel 2
kiri yang relatif sehat mengalami regangan. Peregangan miokardia ini ditandai dengan keluarnya biomarka seperti NT-pro BNP dan sst2 oleh miokardia. Pada fase awal IMA-EST dimana gejala dan tanda klinis disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung belum muncul, pemeriksaan biomarka sst2 dapat memberikan informasi proses regangan yang sedang berlangsung dan menilai kemungkinan terjadinya KKM pada fase perawatan akut di rumah sakit selanjutnya. Beberapa penelitian besar telah menyimpulkan peranan kadar sst2 yang tinggi pada fase awal infark miokardia terhadap dampak buruk pada pasien IMA-EST, namun belum ada pedoman yang secara sepakat merekomendasikan pemeriksaan sst2 sebagai salah satu bagian yang menentukan tatalaksana IMA-EST. Penelitian-penelitian konfirmasi perlu dilakukan untuk memperkuat bukti-bukti adanya peranan sst2 dalam mempengaruhi perjalanan klinis dan terjadinya KKM pada IMA-EST. B. Perumusan Masalah Standar pedoman penatalaksanaan IMA-EST dengan terapi revaskularisasi baik fibrinolisis maupun IKP primer telah dilakukan secara rutin di rumah sakit dengan fasilitas intervensi koroner. Peranan biomarka pada kasus IMA-EST untuk penegakan diagnosis relatif tidak menjadi prioritas, namun biomarka dapat berfungsi untuk memprediksi KKM dan pemburukan klinis selama perawatan fase akut. Pada fase akut, pasien IMA-EST berpotensi mengalami KKM yang berhubungan dengan disfungi ventrikel kiri, meskipun terapi revaskularisasi telah dilakukan. Pada fase awal, tanda-tanda klinis adanya disfungsi ventrikel kiri seperti gagal jantung akut dan syok kardiogenik sering tidak didapatkan, meskipun proses regangan ventrikel kiri 3
telah terjadi, sehingga pemeriksaan biomarka regangan ventrikel kiri menjadi diperlukan untuk mendeteksi potensi timbulnya disfungsi ventrikel kiri selama perawatan. Biomarka regangan miokard ventrikel kiri yang telah diterima sebagai prediktor KKM adalah NT pro BNP. Namun demikian, NT pro BNP belum dimasukkan dalam stratifikasi risiko pada pasien dengan IMA-EST. Adanya biomarka baru yaitu sst2 yang dirilis dalam sirkulasi pada regangan miokardia telah terbukti berhubungan dengan tingginya NT pro BNP dan rendahnya ejeksi fraksi ventrikel kiri pada fase akut IMA-EST. Demikian juga, sst2 terbukti sebagai prediktor independen prognosis pasca infark miokard akut baik saat perawatan, jangka pendek maupun jangka panjang. Namun demikian, pengaruh sst2 pada KKM selama perawatan fase akut pada pasien IMA-EST belum sepenuhnya disepakati dan pemeriksaan sst2 belum direkomendasikan sebagai biomarka standar, sehingga masih diperlukan penelitian yang mendukung hasil penelitian tersebut terutama dari kelompok populasi yang berbeda. C. Pertanyaan Penelitian Apakah tingginya kadar sst2 dalam sirkulasi darah meningkatkan risiko terjadinya KKM selama perawatan intensif pada pasien dengan IMA-EST? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peranan tingginya kadar sst2 yang diukur pada saat admisi terhadap insidensi munculnya KKM, yaitu kematian, 4
gagal jantung akut, syok kardiogenik dan aritmia ventrikel yang memerlukan resusitasi, pada pasien yang dirawat secara intensif dengan IMA-EST. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut (1) memberikan tambahan bukti ilmiah peranan kadar sst2 terhadap munculnya KKM selama perawatan pada pasien IMA-EST, (2) membantu mengidentifikasi dan menambahkan variabel biomarka yang bernilai untuk stratifikasi risiko pasien dengan IMA-EST dan (3) menambah wawasan pengetahuan mengenai patofisiologi infark miokard akut dan potensi pengaruhnya terhadap kinerja miokardia pada kondisi infark miokard akut. F. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang dipublikasikan telah membuktikan bahwa kadar sst2 yang tinggi meningkatkan angka kematian dan KKM non fatal selama perawatan rumah sakit, pengamatan jangka pendek dan panjang pada pasien dengan IMA-EST. Beberapa penelitian tersebut merupakan penelitian besar dengan menggunakan data register clinical trial. 5
Tabel 1. Penelitian terdahulu yang menghubungkan kadar sst2 dengan luaran klinis buruk pada pasien IMA-EST Nama Peneliti Subjek, Pengamatan dan Luaran Hasil Penelitian Shimpo et al., 2004 Sabatine et al., 2008 Weir et al., 2010 Dhillon et al., 2013 Demyanets et al., 2014 n = 810, pasien IMA EST < 12 jam dari subjek penelitan TIMI 14 dan ENTIRE-TIMI 23. Pengamatan : 30 hari Luaran : kematian, KKM n = 1239,pasien IMA-EST dari subjek CLARITY- TIMI 28. Pengamatan : 30 hari Luaran: gagal jantung, kematian n = 100, subjek infark miokard akut Pengamatan : 24 minggu Luaran : perbaikan fungsi ventrikel kiri n = 667, subjek IMA-EST Pengamatan: 1 tahun Luaran : kematian dan KKM n = 373 pasien IMA-EST, IMAnonEST, dan angina stabil Pengamatan : rerata 3,5 tahun Luaran : kematian dan KKM Keterangan: HR = hazard ratio, OR = odds ratio Angka kejadian KKM: 3 % HR 1.8 (1.0-3.1) (nilai cut-off dengan median) Angka kejadian KKM : 7 % OR 1.9 (1.3-3.0) (nilai cut-off dengan median) sst2 berhubungan dengan ejeksi fraksi ventrikel kiri dan dan index volume infark saat baseline dan 24 minggu pasca infark Angka kejadian KKM: 9 % HR 2.6 (1.2-5.4) (nilai cut-off ditentukan sendiri) Angka kejadian KKM : 10 % HR 2.2 (1.1-4.4) (nilai cut-off quintil tertinggi) Peneliti di Indonesia juga telah melakukan penelitian dengan subjek IMA- EST dan memeriksa kadar sst2. Terdapat dua penelitian yang dapat ditelusuri, namun tidak satupun yang menghubungkannya dengan kematian dan KKM non fatal selama perawatan pada IMA-EST. Disamping itu, jumlah sampel penelitian tersebut masih sedikit. 6
Tabel 2. Penelitian sebelumnya di Indonesia dengan pemeriksaan kadar sst2 pada pasien IMA-EST Nama Peneliti Subjek, Pengamatan dan Luaran Hasil Penelitian Ardhana et al., 2013 Nugroho et al., 2014 n = 34, pasien IMA-EST (17) dan SKA-nonEST (17) Pengamatan : potong lintang di rumah sakit Luaran : korelasi dengan NT-pro BNP n = 34, pasien IMA EST (17) dan SKA-nonEST (17) Pengamatan : potong lintang di rumah sakit Luaran : korelasi dengan hfabp dan kelas Killip admisi sst2 berkorelasi kuat dan signifikan dengan NT-pro BNP (r=0,593). sst2 berkorelasi kuat dan signifikan dengan hfabp (r=0,648). sst2 semakin tinggi pada kelas Killip III dan IV. 7