BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah yang kemudian dikerucutkan menjadi pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian. Selain itu juga akan dijelaskan kontribusi penelitian, motivasi penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi manajemen keuangan dan pelaporan sektor publik melalui penerapan manajemen publik baru (New Public Management) atau NPM menekankan pelaksanaan program dan kegiatan secara akuntabel, transparan, serta efisien dan efektif. Pengukuran kesuksesan maupun kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan dalam pencapaian misi dilakukan oleh instansi pemerintah dengan sistem pengukuran kinerja. Sistem ini penting dilaksanakan karena otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dituntut melakukan tata pemerintahan yang baik (good governmnet governance) atau GGG agar mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat atas kinerja pemerintah yang selama ini dinilai masih buruk. Penerapan sistem pengukuran kinerja di Indonesia diawali dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Pelaksanaan Inpres ini didukung dengan Keputusan Kepala Lembaga Adminisrasi Negara (LAN) No. 589/IX/6/Y/1999 yang diperbaiki dengan Keputusan Kepala LAN 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Pada 1
2 aspek keuangan, diterbitkan paket peraturan yaitu Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Peraturan-peraturan tersebut mendorong peningkatan pertanggungjawaban instansi pemerintah baik dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, penyelenggaraan pemerintahan, maupun kinerja instansi pemerintah. Ketiganya dilaporkan sebagai alat pertanggungjawaban pemerintah pada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder). Laporan-laporan tersebut memperlihatkan kinerja keuangan dan nonkeuangan sebuah instansi pemerintah. Selama ini kinerja keuangan cenderung digunakan sebagai indikator utama dalam mengukur akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi instansi pemerintah. De Lancer Julnes (2006) menyatakan fokus utama akuntansi keuangan dalam menilai kinerja tercermin pada pertanyaan berapa banyak uang negara dikeluarkan dan untuk apa pengeluaran tersebut dilakukan. Ini menyebabkan penekanan pada aspek capaian anggaran yang diraih oleh instansi pemerintah yang dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang menjadi bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Secara tidak langsung, indikator ini mengarah pada hasil opini Badan Pengawas Keuangan (BPK) atas LKPD. Kelemahan penggunaan indikator keuangan adalah keterbatasannya dalam mengukur aspek keuangan saja (Kloot, 1999). Pilcher (2005) juga menyatakan kemungkinan terjadinya penyediaan informasi yang salah apabila hanya mengandalkan informasi keuangan.
3 Pengukuran kinerja yang dilakukan dalam suatu sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas publik membutuhkan pengembangan indikator kinerja nonkeuangan agar mampu menunjukkan kualitas pelayanan dan kinerja yang lebih akurat (Kloot, 1999). Informasi nonkeuangan mencerminkan hasil dan efek dari kebijakan pemerintah. Penyediaan informasi ini sesuai dengan agenda utama reformasi manajemen yaitu meningkatkan akuntabilitas sebagai upaya pencapaian hasil kinerja instansi pemerintah (de Lancer Julnes, 2006). Peraturan Presiden (Perpres) No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang menggantikan Inpres No. 7 Tahun 1999 mewajibkan setiap instansi pemerintah melakukan sistem pengukuran dan pelaporan kinerja dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja. Sistem ini sudah diimplementasikan cukup lama di Indonesia, namun pelaksanaan di lapangan belum berdampak positif dalam meningkatan kinerja instansi pemerintah. Penelitian sebelumnya mengenai pengukuran kinerja pada pemerintah daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Akbar et al. (2015) menunjukkan bahwa pengembangan dan penggunaan indikator kinerja berhubungan secara signifikan dengan keinginan memenuhi persyaratan legislatif dan komitmen manajemen. Sistem pengukuran kinerja membutuhkan pengembangan indikator kinerja yang tepat. Cavalluzzo & Ittner (2004) menyatakan kesulitan dalam memilih dan menginterpretasikan matrik kinerja yang sesuai untuk mengukur aktifitas yang sulit diukur menjadi penghalang utama inovasi sistem pengukuran kinerja. Pendekatan Ongoing Performance Management & Measurement (OPM&M) yang diperkenalkan oleh US General Accounting Office (US GAO) dapat digunakan
4 untuk mengatasi permasalahan ini. Pendekatan OPM&M menunjukkan definisi teknik dari masukan (input), aktivitas, keluaran (output), dan hasil (outcome) serta hubungan antara pengukuran kinerja dan evaluasi program. OPM&M menggunakan rerangka cetakbiru kinerja (performance blueprint) yang merupakan pengembangan logic model dan digabungkan dengan pendekatan empat kuadran Mark Friedman untuk pengukuran kinerja. Rerangka ini menempatkan indikator kinerja keluaran instansi pemerintah ke dalam 4 kuadran persilangan antara kuantitas dan kualitas serta upaya (effort) dan hasil (effect). OPM&M dan cetakbiru kinerja terbukti menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan kecakapan individu maupun organisasi dalam hal pengukuran kinerja (Longo, 2002), sekaligus menjadi salah satu upaya mengatasi permasalahan buruknya kinerja instansi pemerintah. Marvin (2012) dengan pendekatan cetakbiru kinerja menunjukkan bahwa pengukuran kinerja di Kabupaten Bantul masih banyak menggunakan indikator pada kuadran dengan level kesesuaian yang rendah terhadap hasil. Salah satunya adalah indikator kinerja keuangan yang berfungsi sebagai masukan primer dari program atau kegiatan dalam laporan kinerja. Pichler (2005) menyatakan tidak semua indikator kinerja dapat menjawab permasalahan akuntabilitas. Sistem pengukuran kinerja yang baik harus mampu mengembangkan dan menentukan indikator kinerja yang paling sesuai untuk menunjukkan akuntabilitas instansi pemerintah. Kloot (1999) melihat adanya upaya peningkatan akuntabilitas keuangan dan anggaran yang dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas hasil melalui penggunaan indikator nonkeuangan.
5 Cavalluzzo dan Ittner (2004) menyatakan indikator kinerja tradisional pada instansi pemerintah yang berorientasi pada masukan antara lain pengeluaran (expenditures) dan level personel (staffing levels). Cavalluzzo dan Ittner (2004) juga menyatakan indikator kinerja keuangan saja belum cukup menunjukkan pencapaian tujuan strategis dan hasil kinerja sebenarnya yang tercermin dalam kuantitas keluaran, kualitas, dan ketepatan waktu (timeliness). Kurangnya penyampaian informasi kinerja yang dibutuhkan sebagai akibat dari ketidaksesuaian pengembangan dan penentuan indikator secara tidak langsung berdampak pada rendahnya kualitas LAKIP yang dihasilkan. Pengembangan indikator kinerja keuangan maupun nonkeuangan merupakan bagian dari sistem pengukuran kinerja yang tercermin dalam LAKIP dan menjadi elemen yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Reformasi menghasilkan perubahan administrasi sektor publik, termasuk sistem desentralisasi yang memungkinkan tercapainya pelayanan publik yang lebih baik karena kewenangan pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya diberikan kepada pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat. Hal ini didukung dengan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja yang berperan dalam peningkatan kontrol atas pengeluaran dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Peraturan pendukung yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Keduanya mewajibkan pemerintah daerah melaporkan laporan keuangan berupa neraca,
6 laporan realisasi anggaran, dan laporan arus kas. Laporan-laporan ini diharapkan dapat mendampingi LAKIP sebagai laporan yang berorintasi pada aspek program. Pada tahun 2014 Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah melakukan evaluasi atas AKIP instansi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Komponen penilaian yang dilakukan meliputi perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan capaian kinerja. Secara ringkas hasil evaluasi tersebut ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 1.1 Hasil Evaluasi AKIP Instansi Pemerintah Tahun 2014 Pem Pem Predikat K/L Prov Kab/Kota AA Memuaskan - - - A Sangat Baik 7 2 - B Baik 43 8 11 CC Cukup Baik/ Memadai 32 19 170 C Agak Kurang 1 4 241 D Kurang - - 38 Jumlah 83 33 462 Sumber: Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (diolah) Dari keseluruhan instansi yang dievaluasi, Pemda DIY termasuk dalam instansi pemerintah daerah setingkat provinsi yang berhasil memperoleh predikat A atau sangat baik. Sampai saat ini baru 2 pemda setingkat provinsi yang berhasil meraih predikat tersebut, yaitu DIY dan Jawa Timur. Inilah yang menjadi alasan utama untuk menguji hubungan antara pengembangan indikator kinerja yang dilaksanakan dengan prestasi yang sudah dicapai oleh Pemda DIY. Prestasi ini juga dibarengi dengan pencapaian dalam aspek keuangan yang sangat baik pula, yaitu opini wajar tanpa pengecualian atas LKPD tahun 2013. Oleh karena itu
7 kemudian dipilih objek penelitian yaitu Pemda DIY sebagai pemda yang termasuk berhasil menerapkan SAKIP. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai acuan pemda lainnya dalam meningkatkan kinerja daerah masing-masing. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan penelitian ini adalah penekanan yang lebih besar terhadap penggunaan indikator kinerja keuangan daripada nonkeuangan dalam pengukuran kinerja instansi pemerintah di Indonesia. Fenomena penekanan pada aspek keuangan daripada hasil, yang terlihat dari ketidaksesuaian indikator kinerja yang digunakan, diprediksi menjadi penyebab rendahnya kinerja pemerintah daerah. Pengembangan indikator kinerja yang tepat, sebagai bagian dari adopsi sistem pengukuran kinerja penting untuk dipahami dengan baik oleh setiap pegawai yang melaksanakan pengukuran kinerja. Baik untuk staf teknis maupun pimpinan yang mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Sehingga topik ini perlu diteliti lebih lanjut dan diharapkan dapat mengisi celah penelitian dalam hal proses pengembangan indikator kinerja keuangan dan nonkeuangan dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja di Pemda DIY. Selain itu, penggunaan metode campuran diharapkan mampu menjembatani celah dan memberikan sudut pandang yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebelumnya, pertanyaan utama penelitian ini adalah: 1) Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan pengembangan indikator kinerja keuangan dan nonkeuangan? 2) Mengapa faktor-
8 faktor tersebut berhubungan dengan pengembangan indikator kinerja keuangan dan nonkeuangan? 3) Bagaimana hubungan antara pengembangan indikator kinerja keuangan dan nonkeuangan dengan peningkatan kinerja sebenarnya yang dicapai? 4) Bagaimana tingkat kesesuian pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan yang sudah dicapai terhadap kinerja sebenarnya berdasarkan persepsi responden? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian yang sudah dibahas sebelumnya baik dari persepsi kelompok staf maupun kelompok struktural, yaitu: 1) Memperoleh bukti empiris mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan indikator kinerja keuangan dan nonkeuangan. 2) Berdasarkan teori kelembagaan, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberadaan tekanan isomorfisma dalam pengembangan indikator kinerja. 3) Memperoleh bukti mengenai hubungan antara pengembangan indikator kinerja dengan peningkatan kinerja Pemda DIY. 4) Mengevaluasi tingkat kesesuaian pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan yang sudah dicapai terhadap kinerja sebenarnya berdasarkan persepsi responden dan menjelaskan alasan dibalik fenomena ini. 1.5 Motivasi Penelitian Motivasi yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengatasi permasalahan buruknya kinerja pemerintah daerah serta memberikan satu alternatif upaya penyelesaian melalui perbaikan pada proses pengembangan indikator kinerja.
9 1.6 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi secara akademik sebagai tambahan literatur dalam hal adopsi pengukuran kinerja sektor publik yang dilakukan di Indonesia, terutama pada level pemerintah provinsi. Secara teori penelitian ini mendukung penggunaan teori kelembagaan, lebih spesifik isomorfisma, dalam pengukuran kinerja instansi pemerintah di Indonesia sekaligus menunjukkan bukti empiris dari keadaan di lapangan mengenai hubungan pengembangan indikator kinerja terhadap peningkatan kinerja di pemerintah daerah. Penelitian ini juga berkontribusi pada penggunaan penelitian metode campuran (mixed method) dalam mengevaluasi fenomena pada sektor publik terutama dalam hal pengukuran kinerja. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada praktek penentuan kebijakan saat ini dan di masa yang akan datang sebagai upaya perbaikan untuk mencapai tujuan peningkatan kinerja di sektor publik baik di Pemda DIY maupun secara umum pada seluruh pemerintah daerah di Indonesia. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi dalam enam bab yang terdiri dari: Bab 1 yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, motivasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 yaitu landasan teori yang berisi rerangka teoretis meliputi teori kelembagaan dan cetakbiru kinerja, model konseptual, model penelitian, dan penelitian sebelumnya yang mendasari pengembangan hipotesis penelitian.
10 Bab 3 yaitu latar belakang kontekstual yang berisi gambaran umum objek penelitian dan kinerja aspek keuangan dan nonkeuangan yang dicapai pada objek penelitian. Bab 4 yaitu metoda penelitian yang berisi desain penelitian, populasi dan sampel, teknis pengumpulan data, metoda penelitian campuran, alat analisis, teknis analisis data kuantitatif, teknik analisis data kualitatif, definisi operasional dan pengukuran variabel, serta uji coba instrumen penelitian. Bab 5 yaitu analisis yang berisi deskripsi data, pengujian akurasi instrumen, pengujian hipotesis, analisis hasil wawancara, pembahasan dan interpretasi hasil. Bab 6 yaitu simpulan dan rekomendasi yang berisi simpulan, keterbatasan penelitian, dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
11