BAB I PENDAHULUAN. dan akuntabilitas pada instansi pemerintah semakin meningkat. Selain itu tuntutan yang

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Sejak bergulirnya era reformasi pada tahun 1999, tuntutan masyarakat atas transparansi dan akuntabilitas pada instansi pemerintah semakin meningkat. Selain itu tuntutan yang sama juga datang dari negara-negara donor terkait dengan agenda pemulihan ekonomi Indonesia karena krisis multidimensi yang terjadi. Hal ini menyebabkan pemerintah harus berusaha untuk memperbaiki kinerja mereka. Agar dapat memperbaiki kinerja mereka, maka pemerintah perlu untuk mengimplementasikan sistem pengukuran kinerja (Astuti dan Wibowo, 2011). Implementasi sistem pengukuran kinerja pada pemerintah mulai dilakukan sejak ditandatanganinya Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999 oleh Presiden B. J. Habibie. Pengukuran kinerja adalah proses mengawasi dan melaporkan tingkat pencapaian suatu program dan kegiatan berdasarkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan organisasi secara berkelanjutan (GAO, 2005b dikutip dalam Nurkhamid, 2008). Pengimplementasian sistem pengukuran kinerja diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memperbaiki kinerja mereka untuk mewujudkan tujuan dan sasaran, efisiensi, dan efektifitas layanan publik secara transparan, membantu alokasi sumber daya dan pembuatan keputusan, serta mewujudkan akuntabilitas publik (Mardiasmo,

2 2 2004). Mahmudi (2010) dalam Nurkhamid (2008) menyatakan bahwa pengukuran kinerja memiliki kaitan yang erat dengan akuntabilitas. Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor pendorong terciptanya akuntabilitas di sektor publik. Kloot (2009) menyatakan bahwa gagasan tentang akuntabilitas sektor publik secara luas telah diterapkan dengan sistem akuntabilitas formal yang dikembangkan ke dalam aturan dan peraturan untuk lembaga pemerintah sekitar tahun 1990-an. Akuntabilitas dalam sektor publik didefinisikan oleh Mardiasmo (2009) sebagai kewajiban pemegang amanah (agent) untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principle) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas dalam sektor publik tidak sesederhana seperti dalam sektor swasta. Pollitt (1995), Turner dan Hulme (1997) dalam Mardiasmo (2009) dan Pilcher et al. (2013) mengatakan bahwa akuntabilitas dalam sektor publik tidak hanya sekedar sebuah hubungan antara principle dan agent, namun terdapat hubungan yang lebih luas sehingga lebih sulit untuk diukur dan diwujudkan. Akuntabilitas kinerja menurut Inpres nomor 7 Tahun 1999 merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentingan (stakeholder) ini terangkum dalam sebuah laporan, yaitu Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

3 3 Pemerintah (LAKIP). LAKIP bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mencapai akuntabilitas kinerja (Akbar, dkk. 2015). Melalui LAKIP, kinerja pemerintah akan dinilai secara transparan, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan terwujudnya akuntabilitas kinerja (Nurkhamid, 2008). Aturan tentang LAKIP secara teknis terdapat dalam Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) nomor 589/IX/6/Y/1999 yang kemudian direvisi menjadi Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Walaupun pelaksanaan sistem pengukuran kinerja maupun kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerja telah lama diamanatkan, namun sampai saat ini masih terdapat masalah. Nurkhamid (2008) menyatakan bahwa permasalahan dapat muncul pada tahap pengembangan sistem pengukuran kinerja maupun pada tahap penggunaan hasil dari implementasi sistem pengukuran kinerja. Selain itu dalam pencapaian akuntabilitas kinerja masih terdapat banyak masalah, hal ini disebabkan karena heterogenitas institusi pemerintah dalam hal ukuran, aset, populasi, sumber daya manusia, kemampuan keuangan dan kemampuan manajerial yang menyebabkan perbedaan hasil akuntabilitas (Akbar, dkk., 2012). Primarisanti dan Akbar (2015) juga menyatakan bahwa walaupun penyusunan LAKIP telah dilakukan sejak lama, namun fakta menunjukan bahwa hanya beberapa institusi pemerintah yang mampu atau berhasil untuk menyiapkan laporan akuntabilitas mereka. Selain itu juga diperparah dengan adanya bias yang terjadi dalam pelaporan akuntabilitas (Solikin, 2005).

4 4 Pemerintah lebih cenderung untuk melaporkan program dan/ atau kegiatan yang berhasil dibandingkan yang gagal (Nurkhamid, 2008). Masalah lain yang muncul adalah pelaksanaan akuntabilitas kinerja dalam sebuah institusi dilakukan karena adanya paksaan dari pihak luar atau adanya peraturan pemerintah (Akbar, dkk., 2012). Sihaloho dan Halim (2005) menyatakan bahwa hampir sebagian besar instansi pemerintah secara konsisten mengikuti sistem pengukuran kinerja yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Hal ini akan menimbulkan ketaatan semu yang berkaibat pada pencapaian hasil yang tidak sesuai harapan. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar, dkk. (2012) yang membuktikan bahwa organisasi publik mengadopsi pengukuran kinerja hanya untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh pemerintah (isomorpisme paksaan). Selain adanya tekanan dari pemerintah, peniruan juga dapat terjadi. Hal ini dikarenakan adanya ketidakpastian yang dialami oleh sebuah organisasi atau institusi yang mengakibatkan suatu organisasi atau institusi akan meniru organisasi atau institusi lain yang telah berhasil sebelumnya dalam penerapan baik itu sistem maupun hal-hal yang terkait dengan pelakasanaan akuntabilitas kinerja. Keberadaan Inpres No. 7 Tahun 1999 juga dianggap hanya sebagai suatu upaya untuk meniru apa yang dilakukan oleh negara lain yang telah lebih dahulu berhasil dalam penerapan akuntabilitas kinerja dan sistem pengukuran kinerja (isomorpisme mimetik) (Sofyani dan Akbar, 2013).

5 5 Berikut adalah data evaluasi akuntabilitas kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan- RB) untuk tahun 2015: Tabel 1.1 Nilai evaluasi akuntabilitas kinerja tahun 2015 Skor Provinsi Kabupaten/Kota AA - - A 2 1 BB 7 7 B 8 29 CC C D 1 35 Sumber: Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa akuntabilitas kinerja sebagian besar daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota belum sesuai dengan yang diharapkan. Banyak yang mendapatkan nilai CC, C dan D untuk akuntabilitas kinerja mereka. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menemukan faktorfaktor yang memiliki pengaruh terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas kinerja pada instansi pemerintah pusat maupun daerah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, Cavaluzzo dan Ittner (2004) menguji faktorfaktor yang berpengaruh dalam sistem pengukuran kinerja suatu organisasi, yaitu faktor teknis, meliputi: keterbatasan sistem informasi dan kesulitan menentukan ukuran kinerja dan faktor organisasional yang meliputi: komitmen manajemen, otoritas pengambilan keputusan, pelatihan dan mandat legislatif. Penelitian ini membuktikan bahwa keterbatasan sistem informasi berhubungan negatif dengan akuntabilitas kinerja

6 6 dan otoritas pembuat keputusan dan pelatihan berhubungan positif dengan akuntabilitas kinerja. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Sofyani dan Akbar (2013). Peneliti menguji pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap akuntabilitas kinerja, pengembangan sistem dan penggunaan informasi kinerja. Namun berbeda dengan penelitian Cavaluzzo dan Ittner (2004), peneliti menambahkan variabel respon terhadap perubahan dan insentif ke dalam faktor organisasional karena menurut Julnes dan Holzer (2001), respon terhadap perubahan dan insentif merupakan faktor organisasi yang juga memiliki pengaruh atau hubungan terhadap akuntabilitas kinerja. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pelatihan dan respon terhadap perubahan berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Penelitian ini merupakan pengembangan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Cavaluzzo dan Ittner (2004) dan Sofyani dan Akbar (2013). Alasan penelitian ini dilakukan kembali karena adanya kemungkinan perbedaan hasil dari penelitian sebelumnya ketika dilakukan pada instansi di daerah lain atau yang biasa disebut kesenjangan empiris (empirical gap) riset. Perbedaan ini dapat terjadi karena karakteristik pemerintah dan budaya kerja di tiap daerah berbeda. Pendapat ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (2001) dalam Sofyani dan Akbar (2013), yang mengemukakan bahwa adanya perbedaan budaya seperti power distance yang dimiliki setiap negara akan berdampak pada pola perilaku berbeda dari warga negara tersebut. Namun berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini hanya akan berfokus pada akuntabilitas kinerja. Adanya tuntutan bagi pemerintah

7 7 untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pencapaian kinerja mereka menyebabkan terjadinya bias dalam pertanggungjawaban tersebut. Selain itu pertanggungjawaban tersebut memiliki peran yang penting, karena masyarakat dapat menilai kinerja dari pemerintah melalui pertanggungjawaban tersebut, hal ini akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penelitian ini akan dilakukan pada sebelas (11) kabupaten/kota di Provinsi Maluku dengan menggunakan metode penelitian campuran (mixed method). Beberapa alasan yang mendasari penelitian ini dilakukan pada pemerintah kabupaten/kota di Maluku adalah berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja yang dikeluarkan oleh Kemenpan-RB untuk tahun , pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Maluku berada pada nilai CC, C dan D atau dapat dikatakan bahwa akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Maluku belum cukup baik. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mereka, sehingga dengan adanya perbaikan dan peningkatan tersebut akan berpengaruh pada akuntabilitas kinerja mereka. Selain itu penelitian ini juga akan menggali fenomena isomorpisme yang terjadi dalam pelaksanaan sistem pengukuran kinerja maupun dalam akuntabilitas kinerja pemerintah. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan metode campuran (mixed method) dengan strategi eksplanatori sekuensial yang arah penelitiannya lebih condong ke kuantitaif dan akan dilengkapi dengan kualitatif. Penggunaan metode campuran ini adalah untuk mendapatkan hasil dan penjelasan tentang hasil yang lebih jelas dan detail sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah

8 8 kabupaten/kota dalam hal ini SKPD untuk membenahi dan meningkatkan akuntabilitas kinerja mereka Rumusan Masalah Berdasarkan nilai akuntabilitas kinerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) tahun 2015, dapat dilihat bahwa masih banyak Provinsi dan Kabupaten/Kota yang akuntabilitas kinerja belum sesuai harapan, terutama untuk kabupaten/kota pada Provinsi Maluku. Hal ini menunjukan bahwa walaupun peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang penerapan sistem pengukuran kinerja telah lama diterbitkan, namun pada kenyataannya masih terdapat banyak kendala dan masalah yang dihadapi oleh instansi pemerintah dalam pengimplementasian sistem pengukuran kinerja tersebut. Selain itu pelaksanaan akuntabilitas kinerja pada sebuah institusi bisa juga dilakukan karena adanya paksaan dari pihak luar atau adanya peraturan pemerintah. Hal ini dapat berpengaruh pada akuntabilitas kinerja istansi karena dengan adanya tekanan yang berasal dari pemerintah melalui peraturan yang ditetapkan dapat menimbulkan ketaatan semu, dengan kata lain instansi melakukannya hanya karena adanya peraturan yang mewajibkan. Hal ini juga dapat mengakibatkan adanya peniruan yang dilakukan oleh instansi karena adanya ketidakpastian dan kesulitan yang dialami dalam pelaksanaan akuntabilitas kinerja tersebut. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji secara empiris faktor-faktor yang dianggap berpengaruh dalam penerapan sistem pengukuran kinerja terutama

9 9 dalam pencapaian akuntabilitas kinerja, yaitu faktor teknis dan faktor organisasional dan juga menganalisis adanya pola isomorpisme yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan akuntabilitas kinerja. Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang peneliti ajukan adalah: a. Apakah faktor teknis dan faktor organisasional berpengaruh pada akuntabilitas kinerja instansi pemerintah? b. Apakah fenomena isomorpisme institusional terjadi pada implementasi akuntabilitas kinerja di pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Maluku? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menguji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja pada kabupaten/kota di Provinsi Maluku. b. Menganalisis pola isomorpisme (isomorphism) yang terjadi pada akuntabilitas kinerja pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Maluku Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan teori di bidang akuntansi sektor publik terkait dengan akuntabilitas kinerja pada instansi pemerintah. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi jajaran institusi pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota di provinsi

10 10 Maluku sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam memperbaiki atau meningkatkan akuntabilitas kinerja Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan BAB II : LANDASAN TEORI DAN PENGUJIAN HIPOTESIS Bab ini membahas mengenai teori yang melandasi penelitian ini dan menjadi dasar acuan teori yang digunakan dalam analisis penelitian ini yang meliputi landasan teori dan pengembangan hipotesis. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, penjelasan tentang metode penelitian campuran, alat analisis data dan defenisi operasional dan pengukuran variable. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai deskripsi objek penelitian yang terdiri dari gambaran umum responden, hasil analisis data, dan interpretasi terhadap hasil berdasarkan alat dan metode analisis yang digunakan BAB V : PENUTUP Bab ini berisi tentang simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan, keterbatasan serta saran untuk penelitian selanjutnya.