1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus monodon Fabricius,1798) merupakan komoditas primadona dan termasuk jenis udang lokal yang berasal dari perairan Indonesia. Kegiatan selective breeding diupayakan untuk menghasilkan induk dan benih dengan kualitas yang unggul, antara lain ditunjukkan dengan daya tetas telur yang tinggi, survival rate larva yang tinggi, persentase jumlah benur yang hidup saat dipanen (sintasan) yang tinggi, bebas penyakit baik viral maupun non viral, serta variasi genetik yang tinggi (Anonim, 2006a; Anonim, 2006b). Perkawinan secara internal dalam satu populasi (inbreeding) antar individu dalam generasi pertama (G1) akan menghasilkan generasi kedua (G2) diharapkan mampu menghasilkan bibit-bibit yang lebih unggul dengan mempertahankan gen-gen unggul. Inbreeding merupakan program pemuliaan yang dapat digunakan untuk memproduksi induk dengan sifat yang unggul, dan dapat juga digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan secara genetik (Tave, 1999). Data mengenai hasil domestikasi Balai Besar Perikanan dan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hingga generasi ke-enam menunjukkan bahwa induk hasil domestikasi memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari generasi sebelumnya (Anonim, 2014). Umur kedewasaan generasi ke-dua adalah 18 bulan hingga generasi ke-enam menjadi 12 bulan. Hal ini sangat menguntungkan usaha produksi udang windu dengan siklus 1
2 yang lebih singkat. Sifat unggul tersebut perlu dipertahankan dalam pembentukan generasi selanjutnya. Inbreeding dalam jangka panjang ini akan berdampak pada menurunnya variasi genetik pada populasi generasi berikutnya. Peranan faktor genetik dalam breeding sangat tinggi untuk mendapatkan stok induk dan benih yang unggul. Hasil kajian mengenai variasi genetik pada udang menunjukkan adanya penurunan variasi genetik pada induk udang windu dan vaname, yang dihasilkan dari pembenihan (Prastowo et al., 2009). Analisis variasi genetik induk udang windu hasil domestikasi Balai Besar Perikanan dan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara berdasarkan penanda molekular mikrosatelit menggunakan tiga lokus menunjukkan nilai rata rata Polymorphisme Information Content (PIC) pada generasi pertama atau G1 adalah sebesar 0,770, mengalami penurunan pada generasi ke-tiga atau G3 menjadi sebesar 0,735 (Anonim, 2014). Ramandey (2013) mengkaji variasi genetik udang windu di Balai Besar Pengembangan dan Budidaya air Payau (BBPBAP) Jepara, menggunakan penanda molekular ISSR. Hasil analisis menunjukkan persentase polimorfik generasi ke-enam (G6) lebih rendah (50%) daripada populasi alami dari Aceh (76,47%) yang merupakan populasi asal nenek moyangnya. Penurunan variasi genetik ini disebabkan oleh hilangnya alel akibat proses inbreeding. Arnold et al. (2013) mengevaluasi performa reproduksi udang windu generasi ke-delapan yang dihasilkan oleh pembenihan Gold Coast Marine Aquaculture, Australia dengan induk alam pantai Innisfail, Quensland, Australia.
3 Produksi naupli lebih rendah pada induk generasi ke-delapan daripada induk alam. Jumlah telur yang memijah dalam sekali memijah pada induk betina generasi ke delapan lebih sedikit (413.000) daripada induk alam (552.000). Persentase telur yang menetas juga lebih kecil pada induk generasi ke delapan (24%) daripada induk alam (43%). Hasil kajian mengenai rendahnya variasi genetik dan performa reproduksi tersebut dapat menjadi acuan bahwa variasi genetik mempengaruhi kemampuan untuk bertahan hidup dan bereproduksi suatu organisme. Variasi genetik dapat diketahui dari adanya perbedaan urutan nukleotida pada suatu DNA genom. Variasi dari urutan nukleotida DNA menghasilkan asam amino yang membentuk protein yang berbeda. Variasi protein dapat menimbulkan ketidaksamaan fungsi biokimia atau morfologi yang menyebabkan perbedaan pada tingkat reproduksi, kemampuan bertahan hidup, dan tingkah laku suatu organisme (Frankham et al., 2002). Variasi genetik dapat ditingkatkan melalui dua cara yaitu dengan menambah jumlah populasi indukan yang dikawinkan secara selektif dan perkawinan campuran dengan populasi lain (outcrossing). Wang et al. (2002) mengemukakan tentang adanya korelasi positif antara heterozigositas dan ukuran populasi dalam studi populasi ikan salmon. Upaya perbaikan kualitas genetik udang windu di BPPBAP Jepara saat ini dilakukan dengan mengawinkan populasi hasil inbreeding (G7) dengan populasi alam yang berasal dari Aceh dan Jepara.
4 Evaluasi variasi genetik dapat menggunakan berbagai macam metode. Metode molekular dikembangkan untuk memudahkan dalam mempelajari variasi genetik. Salah satu metode evaluasi variasi genetik baik pada hewan maupun tumbuhan secara molekular adalah dengan menggunakan penanda molekular ISSR. Metode penanda molekular ISSR tidak memerlukan informasi mengenai urutan basa DNA pada spesies yang akan diteliti, primer ISSR memiliki reprodusibilitas yang tinggi, dan biaya yang tidak mahal (Maheswaran, 2004). Seleksi calon induk dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang bagus performa morfologis maupun variasi genetiknya secara molekular. Performa morfologi yang bagus berkaitan dengan nilai ekonomi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hadie et al. (2005), perbaikan mutu udang galah melalui seleksi individu yang memiliki rasio panjang karapaks dibanding panjang standar paling besar untuk memperoleh keturunan dengan panjang karapaks terpendek. Variasi molekular yang tinggi diharapkan memiliki daya adaptasi yang baik. Prastowo et al. (2010) menentukan variasi genetik udang windu F1 di BBPBAP Jepara menggunakan penanda molekular mikrosatelit untuk seleksi calon induk. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian mengenai variasi genetik secara morfologis dan molekular udang windu di BBPBAP Jepara hasil silang dalam (inbreeding) dan hasil silang luar (outcrossing) antara G7 dengan induk alam dari Aceh dan Jepara perlu dilakukan. Penelitian mengenai variasi karakter morfologis perlu dilakukan untuk dijadikan dasar pemilihan calon induk yang memiliki morfologis paling baik. Variasi karakter molekular penting dilakukan untuk melihat keanekaragaman genetik hasil persilangan sebagai dasar
5 pemilihan calon induk untuk memproduksi generasi berikutnya. Penentuan variasi genetik secara molekular dapat digunakan penanda molekular ISSR. B. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana variasi karakter morfologis udang windu hasil silang dalam G7, Jepara? 2. Bagaimana variasi karakter molekular udang windu hasil silang dalam G7, Jepara? 3. Bagaimana similaritas udang windu hasil silang dalam G7, hasil persilangan G7 dengan induk asal Aceh, dan G7 dengan induk asal Jepara? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui variasi karakter morfologis udang windu hasil silang dalam G7, Jepara. 2. Menganalisis variasi karakter molekular udang windu hasil silang dalam G7, Jepara. 3. Mengetahui similaritas udang windu hasil silang dalam G7, hasil persilangan G7 dengan induk asal Aceh, dan G7 dengan induk asal Jepara.
6 D. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menyajikan informasi ilmiah mengenai variasi genetik udang windu hasil persilangan generasi ke-tujuh dengan induk dari alam menggunakan penanda molekular ISSR. Informasi mengenai variasi genetik ini dapat digunakan untuk menentukan keragaman genetik yang paling baik sebagai pendukung bagi pengembangan induk dan bibit unggul. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyajikan informasi mengenai similaritas morfologis yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai ekonomis antar udang windu hasil persilangan.