23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kadar Air Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air biji kakao serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 3). Tabel 4. Kadar air (%) biji kakao akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 8,67 8,63 8,63 8,64 0,5 gram 8,60 8,57 8,70 8,62 1 gram 8,63 8,47 8,57 8,56 1,5 gram 8,57 8,60 8,70 8,62 8,62 8,57 8,65 Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar air biji kakao relatif sama walaupun perbedaan dosis ragi yang diberikan, demikian juga dengan frekuensi pengadukan saat fermentasi yang berbeda.
24 4.1.2 Biji Tidak Terfermentasi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap biji yang tidak terfermentasi, tetapi tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 7). Tabel 5. Biji tidak terfermentasi akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 5,53 5,47 6,20 5,73 B 0,5 gram 5,27 5,40 5,60 5,42 B 1 gram 4,87 4,47 5,13 4,82 A 1,5 gram 5,53 5,13 5,80 5,49 B 5,30 a 5,12 a 5,68 b BNT R= 0,34 BNT P = 0,30 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama (huruf besar arah kolom, huruf kecil arah baris) tidak berbeda nyata pada Uji BNT 5% Hasil uji BNT (Tabel 5) di atas menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan memberikan perbedaan terhadap biji kakao yang tidak terfermentasi. Perlakuan dosis ragi 1 g menghasilkan biji tidak terfermentasi terendah dibandingkan kontrol, dosis ragi 0,5 dan 1,5 g. Sedangkan perlakuan frekuensi pengadukan 1 dan 2 hari sekali menghasilkan biji tidak terfermentasi yang sama baiknya dibandingkan frekuensi pengadukan 3 hari sekali. 4.1.3 Biji Berjamur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap biji berjamur serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 11).
25 Tabel 6. Biji berjamur akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 7,67 12,3 7,27 9,08 0,5 gram 9,87 10,90 11,53 10,77 1 gram 8,23 7,67 10,23 8,71 1,5 gram 11,40 12,33 11,17 11,63 9,29 10,8 10,05 Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata biji berjamur yang dihasilkan karena perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi. 4.1.4 Berat 100 Butir Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan ber pengaruh tidak nyata terhadap berat 100 butir serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 15). Tabel 7. Berat 100 butir akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 96,80 105,07 101,23 101,03 0,5 gram 97,40 99,93 100,80 99,38 1 gram 98,60 103,60 102,30 101,50 1,5 gram 102,27 100,13 95,13 99,18 98,77 102,18 99,87 Hasil uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang dihasilkan berat 100 butir karena perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi.
26 4.1.5 Warna Biji Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna biji, sedangkan dosis ragi dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata (Lampiran 19). Tabel 8. Warna biji akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 2,67 3,00 2,33 2,67 0,5 gram 3,00 2,67 2,33 2,67 1 gram 3,00 3,00 2,00 2,67 1,5 gram 3,00 3,00 2,33 2,78 2,92 b 2,92 b 2,25 a BNT P = 0,32 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 5% Hasil uji BNT (Tabel 8) frekuensi pengadukan 1 hari sekali dan 2 hari sekali menghasilkan warna yang sama tetapi lebih baik dibandingkan dengan pengadukan 3 hari sekali. 4.2 Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ragi berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air, biji berjamur, berat 100 butir, dan warna biji, namun berpengaruh nyata terhadap biji tidak terfermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis ragi hingga 1,5 g menghasilkan kadar air biji kakao relatif sama begitu juga pada perlakuan kontrol, yaitu berkisar antara 8,57-8,65%. Dengan demikian, kadar air biji kakao kering hasil fermentasi sesuai dengan
27 standar mutu biji kakao kategori III. Tingginya kadar air disebabkan oleh kurangnya waktu penjemuran serta intensitas sinar matahari. Jika kadar air lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, tetapi jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh (Winarno, 1997). Proses fermentasi dapat memecah senyawa glukosa lebih sempurna menghasilkan karbondioksida dan air. Fermentasi juga memudahkan pemisahan air yang menguap dari zat lain selama pemanasan (D Souza dan Godbole, 1989). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap biji berjamur. Menurut Susanto (1994), penambahan ragi tape sebanyak 0,05-0,1% pada biji kakao sebelum fermentasi akan mempercepat proses fermentasi. Di samping itu, juga akan memperbaiki mutu biji dan menekan pertumbuhan jamur (kapang) yang mungkin menghasilkan mikotoksin. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan biji berjamur berkisar 9,08-11,63%. Hal ini tidak sesuai dengan SNI yaitu 3-4%. Banyaknya biji berjamur dapat disebabkan oleh tingginya kadar air biji kakao. Kadar air tinggi menyebabkan tumbuhnya jamur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asrul (2009) menemukan bahwa biji kakao yang terkontaminasi oleh jamur yang mengandung aflatoksin yang tinggi yaitu 104,798 ppb, jauh di atas batas maksimum yang ditetapkan oleh FHO atau UNICEF (30 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas biji kakao yang berjamur sangat rendah karena adanya toksin yang berbahaya bagi konsumen kakao. Apabila biji kakao banyak yang berjamur maka mutu biji kakao tidak bagus, sehingga biji kakao yang berjamur sedikit masih sesuai dengan SNI yang telah ditetapkan (Badan Standarisasi Nasional, 2002).
28 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ragi berpengaruh nyata terhadap biji tidak terfermentasi. Pada perlakuan 1 gram ragi menghasilkan biji tidak terfermentasi lebih sedikit dibandingkan biji kakao yang difermentasi dengan dosis ragi 0 (kontrol), 0,5 dan 1,5 gram yaitu 4,82% dan telah memenuhi standar mutu biji kakao kategori II setelah difermentasi. Hal ini mengindikasi bahwa biji kakao yang difermentasi oleh ragi ( Saccharomyces cerevisiae) dapat mempercepat proses fermentasi serta mengurangi jumlah biji kakao yang tidak terfermentasi. Biji kakao yang tidak terfermentasi akan menyebabkan timbulnya rasa sepat dan pahit serta aroma yang kurang tajam pada produk olahan kakao (Doume dkk., 2013), sehingga menurunkan kualitas kakao. Biji-biji yang tidak terfermentasi sempurna berwarna ungu sebagian atau berupa biji slaty (Widayat, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pengadukan saat fermentasi berpengaruh nyata terhadap warna biji. Dengan pengadukan 1 hari dan 2 hari sekali memberikan warna biji kakao yang baik sesuai standar mutu biji kakao yaitu 2,92 (cokklat bata) berbeda dengan pengadukan 3 hari sekali yaitu 2,25 (coklat bata). Menurut hasil penelitian Kustyawati, 2008 menunjukkan bahwa fermentasi dengan penambahan inokulum berpengaruh terhadap waktu fermentasi. Semakin meningkatnya aktivitas mikroba maka aerasi akan lebih baik dan suhu maksimum segera dicapai. Pada saat biji sudah mati, warna kotiledon kakao secara bertahap akan berubah dari ungu menjadi coklat. Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan senyawa kimia dalam pulp dan kotiledon. Asam asetat yang terbentuk dari oksidasi alkohol oleh mikroba dan suhu tinggi mengakibatkan kematian embrio biji. Proses ini merupakan persyaratan untuk
29 inisiasi reaksi biokimia dalam biji yang akan membentuk flavor, terutama reaksi yang melibatkan komponen polifenol. Selain itu, antosianin sebagai hasil hidrolisis polifenol dapat mengubah warna biji menjadi ungu, sedangkan jika jika terjadi oksidasi senyawa tanin oleh enzim polifenol oksidase mengakibatkan terbentuknya warna coklat pada biji. Warna merupakan parameter yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Warna biji kakao juga berpengaruh terhadap mutu biji kakao, apabila warna biji kakao semakin gelap/hitam maka mutu biji kakao buruk tetapi bila warna biji kakao coklat muda maka mutu biji kakao sangat baik, sehingga meningkatkan nilai jual (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi tidak berpengaruh terhadap berat 100 butir biji kakao sehingga fermentasi tercapai tanpa penurunan berat yang berarti (signifikan). Berdasarkan syarat mutu penggolongan kelas maka keseluruhan perlakuan dapat digolongkan ke dalam mutu kelas B, yaitu 100-110 biji per 100 g (SNI, 2008). Berat 100 butir biji kakao melebihi 100 g disebabkan tingginya kadar air pada biji kakao. Rata-rata kadar air biji kakao > 8%. Faktor-faktor fermentasi yang mempengaruhi mutu hasil fermentasi biji kakao antara lain jenis wadah fermentasi yang digunakan, varietas dan kondisi awal biji kakao yang difermentasi, tebal tumpukan biji kakao dalam wadah fermentasi, dimensi dan derajat aerasi wadah, cara dan frekuensi pengadukan biji kakao, jenis mikroba yang terlibat, dan lamanya fermentasi (Mulato dkk., 2005; Indarti dkk.,
30 2011). Proses pengadukan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seragam bagi massa biji kakao memperoleh aerasi. Respon biji kakao terhadap perlakuan fermentasi tergantung pada varietas kakao, kondisi dan teknik budidaya, serta kondisi biji kakao sebelum fermentasi.