IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara dari Asia

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2016 di Desa Margototo Metro Kibang

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan bagi. perekonomian Indonesia, karena menghasilkan devisa negara, menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kakao ( Theobroma cacao L.) adalah salah satu tanaman perkebunan

Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Open Access Journal

BAB I PENDAHULUAN. nutrien untuk menumbuhkan bakteri yang diinginkan. Pembuatan kombucha, teh

STEVIA ISSN No Vol. I No. 01-Januari 2011

BAB I PENDAHULUAN. Biji kakao merupakan bahan baku pembuatan produk cokelat yang bernilai

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kakao (Theobroma cacao. l) merupakan salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dari buah kakao (Theobroma cacao. L) yang tumbuh di berbagai

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. untuk meningkatkan ekspor non migas. Selain itu juga kakao juga digunakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai

KAJIAN PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN PERBANDINGAN VOLUME STARTER DENGAN SUBSTRAT TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU VIRGIN COCONUT OIL (VCO) ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula

4. PEMBAHASAN Kadar Lemak dan Kadar Air

PENINGKATAN KUALITAS BIJI KAKAO MELALUI PROSES FERMENTASI OLEH MIKROBA LOKAL ASAL SULAWESI TENGGARA

Peningkatan Mutu Biji Kakao Dengan Cara Perlakuan Perendaman Kapur Pada Saat Fermentasi

OPTIMASI KONSENTRASI RAGI MIKROBA LOKAL PADA FERMENTASI KAKAO THE OPTIMIZATION OF LOCAL MICROBIAL RAGI CONCENTRATION IN COCOA FERMENTATION

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

BAB I PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah yang digemari, selain rasanya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pengembangannya, terutama untuk meningkatkan ekspor non migas. Selain itu

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam masalah budidaya kopi di berbagai Negara hanya beberapa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

ARTIKEL ILMIAH. Evaluasi Mutu dan Waktu Kadaluarsa Sirup Teh Dari Jumlah Seduh Berbeda RINGKASAN

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung komunikasi penulis,

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil penentuan mutu biji kakao yang diperoleh dengan berdasarkan uji

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

Proses Pembuatan Madu

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

HASIL DAN PEMBAHASAN

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. ekspor dan sumber pendapatan devisa negara. Meskipun demikian, komoditas

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRIMER DAN SEKUNDER BIJI KAKAO

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu berusaha untuk tetap sehat dan panjang umur dalam

V. LANDASAN TEORI ALAT DAN BAHAN. 1 Panci. 2 Singkong. 3 Kompor. 4 Ragi tape. 5 Ayakan Tepung. 6 Daun pisang. 7 Nampan. 8 Kantong plastik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinkubasi dengan pembungkus daun Jati (Tectona grandis L.). Koji lamtoro yang

PENGARUH KONSENTRASI RAGI TERHADAP UJI ORGANOLEPTIK TAPE UBI JALAR

IV. Hasil dan Pembahasan

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB I PENDAHULUAN. Beras adalah salah satu bagian paling penting di dunia untuk konsumsi

KARAKTERISTIK BAKTERI ASAM LAKTAT PENGHASIL SENYAWA ANTIKAPANG PADA FERMENTASI KAKAO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium

Pengawetan bahan pangan

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

Uji Beda Kadar Alkohol Pada Tape Beras, Ketan Hitam Dan Singkong

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN

Karakteristik Biji Kakao Hasil Fermentasi Kapasitas Kecil dengan Jenis Wadah dan Lama Fermentasi yang Berbeda

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

BAB V PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil Penelitian Berdasarkan Parameter

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air, dengan konsumsi per

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto

BAHAN PENYEGAR. Definisi KAKAO COCOA & CHOCOLATE COKLAT 10/27/2011

BAB I PENDAHULUAN. Pantai Gading dan Ghana. Hasil panen dari perkebunan coklat yang ada di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia dan

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

MIKROBIOLOGI INDUSTRI Memanfaatkan mo sbg kompnen untuk industri Produk mo dlm industri: zat kimia, antibiotik, zat tumbuh, enzim, makanan dan minuman

Transkripsi:

23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kadar Air Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air biji kakao serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 3). Tabel 4. Kadar air (%) biji kakao akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 8,67 8,63 8,63 8,64 0,5 gram 8,60 8,57 8,70 8,62 1 gram 8,63 8,47 8,57 8,56 1,5 gram 8,57 8,60 8,70 8,62 8,62 8,57 8,65 Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar air biji kakao relatif sama walaupun perbedaan dosis ragi yang diberikan, demikian juga dengan frekuensi pengadukan saat fermentasi yang berbeda.

24 4.1.2 Biji Tidak Terfermentasi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap biji yang tidak terfermentasi, tetapi tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 7). Tabel 5. Biji tidak terfermentasi akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 5,53 5,47 6,20 5,73 B 0,5 gram 5,27 5,40 5,60 5,42 B 1 gram 4,87 4,47 5,13 4,82 A 1,5 gram 5,53 5,13 5,80 5,49 B 5,30 a 5,12 a 5,68 b BNT R= 0,34 BNT P = 0,30 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama (huruf besar arah kolom, huruf kecil arah baris) tidak berbeda nyata pada Uji BNT 5% Hasil uji BNT (Tabel 5) di atas menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan memberikan perbedaan terhadap biji kakao yang tidak terfermentasi. Perlakuan dosis ragi 1 g menghasilkan biji tidak terfermentasi terendah dibandingkan kontrol, dosis ragi 0,5 dan 1,5 g. Sedangkan perlakuan frekuensi pengadukan 1 dan 2 hari sekali menghasilkan biji tidak terfermentasi yang sama baiknya dibandingkan frekuensi pengadukan 3 hari sekali. 4.1.3 Biji Berjamur Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap biji berjamur serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 11).

25 Tabel 6. Biji berjamur akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 7,67 12,3 7,27 9,08 0,5 gram 9,87 10,90 11,53 10,77 1 gram 8,23 7,67 10,23 8,71 1,5 gram 11,40 12,33 11,17 11,63 9,29 10,8 10,05 Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata biji berjamur yang dihasilkan karena perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi. 4.1.4 Berat 100 Butir Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan ber pengaruh tidak nyata terhadap berat 100 butir serta tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (Lampiran 15). Tabel 7. Berat 100 butir akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 96,80 105,07 101,23 101,03 0,5 gram 97,40 99,93 100,80 99,38 1 gram 98,60 103,60 102,30 101,50 1,5 gram 102,27 100,13 95,13 99,18 98,77 102,18 99,87 Hasil uji BNT (Tabel 7) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang dihasilkan berat 100 butir karena perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi.

26 4.1.5 Warna Biji Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna biji, sedangkan dosis ragi dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata (Lampiran 19). Tabel 8. Warna biji akibat perbedaan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi biji kakao 0 gram (kontrol) 2,67 3,00 2,33 2,67 0,5 gram 3,00 2,67 2,33 2,67 1 gram 3,00 3,00 2,00 2,67 1,5 gram 3,00 3,00 2,33 2,78 2,92 b 2,92 b 2,25 a BNT P = 0,32 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 5% Hasil uji BNT (Tabel 8) frekuensi pengadukan 1 hari sekali dan 2 hari sekali menghasilkan warna yang sama tetapi lebih baik dibandingkan dengan pengadukan 3 hari sekali. 4.2 Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ragi berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air, biji berjamur, berat 100 butir, dan warna biji, namun berpengaruh nyata terhadap biji tidak terfermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis ragi hingga 1,5 g menghasilkan kadar air biji kakao relatif sama begitu juga pada perlakuan kontrol, yaitu berkisar antara 8,57-8,65%. Dengan demikian, kadar air biji kakao kering hasil fermentasi sesuai dengan

27 standar mutu biji kakao kategori III. Tingginya kadar air disebabkan oleh kurangnya waktu penjemuran serta intensitas sinar matahari. Jika kadar air lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, tetapi jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh (Winarno, 1997). Proses fermentasi dapat memecah senyawa glukosa lebih sempurna menghasilkan karbondioksida dan air. Fermentasi juga memudahkan pemisahan air yang menguap dari zat lain selama pemanasan (D Souza dan Godbole, 1989). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap biji berjamur. Menurut Susanto (1994), penambahan ragi tape sebanyak 0,05-0,1% pada biji kakao sebelum fermentasi akan mempercepat proses fermentasi. Di samping itu, juga akan memperbaiki mutu biji dan menekan pertumbuhan jamur (kapang) yang mungkin menghasilkan mikotoksin. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan biji berjamur berkisar 9,08-11,63%. Hal ini tidak sesuai dengan SNI yaitu 3-4%. Banyaknya biji berjamur dapat disebabkan oleh tingginya kadar air biji kakao. Kadar air tinggi menyebabkan tumbuhnya jamur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asrul (2009) menemukan bahwa biji kakao yang terkontaminasi oleh jamur yang mengandung aflatoksin yang tinggi yaitu 104,798 ppb, jauh di atas batas maksimum yang ditetapkan oleh FHO atau UNICEF (30 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas biji kakao yang berjamur sangat rendah karena adanya toksin yang berbahaya bagi konsumen kakao. Apabila biji kakao banyak yang berjamur maka mutu biji kakao tidak bagus, sehingga biji kakao yang berjamur sedikit masih sesuai dengan SNI yang telah ditetapkan (Badan Standarisasi Nasional, 2002).

28 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis ragi berpengaruh nyata terhadap biji tidak terfermentasi. Pada perlakuan 1 gram ragi menghasilkan biji tidak terfermentasi lebih sedikit dibandingkan biji kakao yang difermentasi dengan dosis ragi 0 (kontrol), 0,5 dan 1,5 gram yaitu 4,82% dan telah memenuhi standar mutu biji kakao kategori II setelah difermentasi. Hal ini mengindikasi bahwa biji kakao yang difermentasi oleh ragi ( Saccharomyces cerevisiae) dapat mempercepat proses fermentasi serta mengurangi jumlah biji kakao yang tidak terfermentasi. Biji kakao yang tidak terfermentasi akan menyebabkan timbulnya rasa sepat dan pahit serta aroma yang kurang tajam pada produk olahan kakao (Doume dkk., 2013), sehingga menurunkan kualitas kakao. Biji-biji yang tidak terfermentasi sempurna berwarna ungu sebagian atau berupa biji slaty (Widayat, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi pengadukan saat fermentasi berpengaruh nyata terhadap warna biji. Dengan pengadukan 1 hari dan 2 hari sekali memberikan warna biji kakao yang baik sesuai standar mutu biji kakao yaitu 2,92 (cokklat bata) berbeda dengan pengadukan 3 hari sekali yaitu 2,25 (coklat bata). Menurut hasil penelitian Kustyawati, 2008 menunjukkan bahwa fermentasi dengan penambahan inokulum berpengaruh terhadap waktu fermentasi. Semakin meningkatnya aktivitas mikroba maka aerasi akan lebih baik dan suhu maksimum segera dicapai. Pada saat biji sudah mati, warna kotiledon kakao secara bertahap akan berubah dari ungu menjadi coklat. Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan senyawa kimia dalam pulp dan kotiledon. Asam asetat yang terbentuk dari oksidasi alkohol oleh mikroba dan suhu tinggi mengakibatkan kematian embrio biji. Proses ini merupakan persyaratan untuk

29 inisiasi reaksi biokimia dalam biji yang akan membentuk flavor, terutama reaksi yang melibatkan komponen polifenol. Selain itu, antosianin sebagai hasil hidrolisis polifenol dapat mengubah warna biji menjadi ungu, sedangkan jika jika terjadi oksidasi senyawa tanin oleh enzim polifenol oksidase mengakibatkan terbentuknya warna coklat pada biji. Warna merupakan parameter yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Warna biji kakao juga berpengaruh terhadap mutu biji kakao, apabila warna biji kakao semakin gelap/hitam maka mutu biji kakao buruk tetapi bila warna biji kakao coklat muda maka mutu biji kakao sangat baik, sehingga meningkatkan nilai jual (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis ragi dan frekuensi pengadukan saat fermentasi tidak berpengaruh terhadap berat 100 butir biji kakao sehingga fermentasi tercapai tanpa penurunan berat yang berarti (signifikan). Berdasarkan syarat mutu penggolongan kelas maka keseluruhan perlakuan dapat digolongkan ke dalam mutu kelas B, yaitu 100-110 biji per 100 g (SNI, 2008). Berat 100 butir biji kakao melebihi 100 g disebabkan tingginya kadar air pada biji kakao. Rata-rata kadar air biji kakao > 8%. Faktor-faktor fermentasi yang mempengaruhi mutu hasil fermentasi biji kakao antara lain jenis wadah fermentasi yang digunakan, varietas dan kondisi awal biji kakao yang difermentasi, tebal tumpukan biji kakao dalam wadah fermentasi, dimensi dan derajat aerasi wadah, cara dan frekuensi pengadukan biji kakao, jenis mikroba yang terlibat, dan lamanya fermentasi (Mulato dkk., 2005; Indarti dkk.,

30 2011). Proses pengadukan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seragam bagi massa biji kakao memperoleh aerasi. Respon biji kakao terhadap perlakuan fermentasi tergantung pada varietas kakao, kondisi dan teknik budidaya, serta kondisi biji kakao sebelum fermentasi.