BAB V SIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB I PENDAHULUAN. pengujian komitmen organisasi terhadap variabel lain terkait sikap kerja karyawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Stres pada dasarnya menyerang setiap individual (Noi & Smith, 1994). Noi dan

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB II LANDASAN TEORI. organisasi di antara para ahli dan peneliti (Karim dan Noor, 2006). Sehingga

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Budaya perusahaan adalah aturan main yang ada di dalam perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Komitmen organisasional menjadi hal penting pada sebuah organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB 1 PENDAHULUAN. organisasi (Mowday, 1982, dalam Sopiah, 2008). Dalam hal ini yang

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dasar pembangunan nasional. Dengan kata lain manusia adalah unsur kerja

BAB II LANDASAN TEORI. penting diketahui bahwa pada dasarnya dapat dibedakan pendekatan antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kinerja suatu perusahaan tidak dapat berhasil, dikarenakan setiap karyawan dalam

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

4. HASIL DAN INTERPRETASI HASIL PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. penting yang dibutuhkan dalam menjaga kepercayaan individu dan organisasi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS PENELITIAN. melakukan balas budi terhadap organisasi dengan bersikap dan berprilaku lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja ( job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan era kemajuan khususnya dalam bidang industri, hubungan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Komitmen organisasional menurut Rivai (2006:67) dapat diartikan sebagai identifikasi,

Stres Affects Job Performance Moderated By Affective Organizational Commitment. Novita Maya Sari ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. individu saat ini ketika sedang melakukan peran spesifik (Lambert dan Lambert,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN. niversitas Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA Definisi Keinginan Untuk Keluar (Turnover intention) Sutanto dan Gunawan (2013) mengemukakan bahwa turnover intention

TIPOLOGI DAN ANTESEDEN KOMITMEN ORGANISASI. Veronika Agustini Srimulyani Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mandala Madiun

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini memuat landasan empiris mengenai variabel-variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. satu dengan yang lain dalam menyeimbangkan perekonomian masing-masing.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dalam bidang kedokteran membuat rumah sakit dari pemerintah

Pengaruh Stres, Kepuasan, dan Komitmen Organisasional terhadap Turnover Intention pada Karyawan Telkomsel Distribution Center Kabupaten Jember

BAB I PENDAHULUAN. Sutiadi (2003:6) dalam Ida Ayu dan Suprayetno (2008) mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan keterlibatan (Muchlas, 2008). Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian kalangan organisasi. Perputaran karyawan memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

PENGARUH KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia dipandang sebagai salah satu aset perusahaan yang penting,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

tujuan organisasi sebagai satu kesatuan yang akan dicapainya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II TINJAUAN TEORITIS. 1. Mowday, Porter, & Steers (1982,dalam Luthans,2006) tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi dibentuk sebagai wadah bagi sekumpulan individu untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan yang sudah ada. Disinilah dituntut adanya peranan. stratejik dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP INTENSI KELUAR KARYAWAN PADA PT. PURNA GRAHA ABADI TASIKMALAYA. Oleh: Reza Rizky Aditya

menjelaskan bahwa variasi definisi dan ukuran komitmen organisasi sangat luas. keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Komitmen Karyawan pada Organisasi. keanggotaan dalam organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982).

BAB I PENDAHULUAN. bagi pegawai dimana perusahaan atau organisasi sekarang berusaha

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kondisi perekonomian saat ini menunjukkan bahwa perusahaan

BAB I PENDAHULAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam suatu organisasi merupakan penentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan persaingan yang ketat diantara perusahaan-perusahaan untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaannya, seorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Globalisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi dan. organisasi dihadapkan pada lingkungan yang serba tidak pasti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah motivasi memengaruhi komitmen

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya komitmen yang tinggi tentunya sebuah organisasi atau perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya di dalam negeri namun saat ini sudah merambah ke luar negeri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali dipopulerkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk

BAB I. Perusahaan merupakan suatu organisasi formal yang memiliki tujuan

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting bagi perekonomian dan dianggap sebagai aktivitas dengan

Transkripsi:

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Studi ini merupakan replikasi sebagian dari studi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Nikolaou & Tsaousis, 2002) yang bertujuan untuk menguji pengaruh komitmen organisasional terhadap stres kerja yang dimoderasi oleh kecerdasan emosional pada perawat di rumah sakit X. Berdasarkan analisis regresi moderator hirarkis pada Tabel 4.6, maka disimpulkan bahwa pertanyaan riset didukung. Hal ini dibuktikan dengan signifikannya interaksi antara komitmen organisasional dan kecerdasan emosional (β = -0,580; p < 0,05) namun komitmen organisasional tidak signifikan. Studi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasional (M = 3,48; SD = 0,45), kecerdasan emosional (M = 3,85; SD = 0,44), dan stres kerja (M = 2,91; SD = 0,81). Artinya, komitmen organisasional dan kecerdasan emosional perawat rumah sakit X tinggi, tingkat komitmen organisasional yang dimiliki perawat rumah sakit X juga tinggi, sedangkan stres kerja perawat di rumah sakit X moderat (Tabel 4.4). Studi ini juga menemukan adanya pengaruh secara parsial mengenai pengaruh komitmen organisasional terhadap stres kerja yang dimoderasi oleh kecerdasan emosional. Selain itu, terdapat korelasi positif dan lemah antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasional (r = 0,26; p < 0,01). Artinya, kecerdasan emosional secara positif mendukung meningkat atau menurunnya komitmen organisasional. 1 0 8

Sementara itu, adanya korelasi lemah antara komitmen organisasional dan stres kerja (r = -0,47; p < 0,01). Artinya, meningkatnya komitmen organisasional perawat dapat mengurangi tingkat stres kerja perawat namun hubungannya lemah. Terdapat korelasi negatif dan lemah antara stres dan pendidikan (r = -0,290; p < 0,01). Artinya, semakin tinggi pendidikan perawat maka perawat dapat mengurangi tingkat stres kerja melalui pendidikan yang perawat miliki namun hubungan keduanya lemah. Terdapat korelasi negatif dan lemah antara usia dan stres kerja (r = -0,20; p < 0,05). Artinya, semakin tinggi tingkat usia perawat maka perawat dapat semakin mengurangi stres kerja yang ada sebab semakin dewasa seseorang maka akan semakin bijak dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi khususnya dalam pekerjaannya namun hubungan keduanya lemah. Dalam pengujian suplemental ditemukan bahwa hipotesis pertama didukung, nilai korelasi komitmen organisasional dan stres kerja memiliki korelasi negatif dan kuat (β = -0,860; p = 0,01). Artinya, dengan komitmen tinggi yang dimiliki perawat rumah sakit X, perawat diharapkan dapat mengatasi stres kerja yang terjadi. Pada hipotesis kedua, hipotesis didukung. Nilai korelasi kecerdasan emosional dan stres kerja memiliki korelasi positif dan lemah (β = 0,389; p = 0,05). Artinya, semakin tinggi komitmen organisasional maka akan semakin tinggi stres kerja. Hal ini bertentangan dengan teori sebelumnya (Mayer & Salovey, 1990; Caruso dkk., 2004; Goleman, 2006) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan negatif dengan stres kerja. Hipotesis ketiga bagian a didukung, hipotesis memiliki nilai (β = 0,309; p < 0,05). Artinya, emotional awareness yang tinggi akan meningkatkan stres kerja namun hubungan dan pengaruhnya lemah. Hipotesis ketiga bagian b tidak didukung. Hipotesis ini memiliki nilai (β =0,185) namun tidak 1 0 9

signifikan. Hipotesis ketiga bagian c didukung. External emotional control memiliki hubungan positif yang cukup berarti terhadap stres kerja (β =0,425; p < 0,01). Artinya, semakin tinggi external emotional control maka akan meningkatkan stres kerja namun pengaruhnya tidak begitu besar. 5.2 Keterbatasan Penelitian Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini masih merupakan studi awal yang teorinya belum mapan. Kedua, keterbatasan jumlah responden di dalam penelitian. Ketiga, objek dan subjek penelitian ini hanya perawat yang berada di rumah sakit X, khususnya ruang instalasi satu dan kebanyakan subjek penelitian adalah perempuan. Keempat, pengumpulan data hanya mengandalkan kuesioner yang diisi oleh para responden, tidak terdapat data penunjang lainnya. 5.3 Saran bagi Penelitian Mendatang Untuk penelitian mendatang, beberapa saran perlu dipertimbangkan oleh para peneliti di masa mendatang. Pertama, dalam pengumpulan data dapat pula ditambah dengan wawancara atau observasi langsung kepada subjek penelitian. Kedua, pemilihan subjek penelitian perlu diperhatikan, sebaiknya kuesioner disebarkan kepada subjek laki-laki dan perempuan secara lebih imbang agar dapat membandingkan tingkat stres antara subjek laki-laki dan perempuan. Ketiga, objek dan subjek penelitian dapat dilakukan lebih luas, yaitu antar rumah sakit sehingga hasil studi lebih dapat digeneralisasikan. 1 1 0

Keempat, menambah konstruk-konstruk baru yang berkaitan dan mendukung pengaruh komitmen organisasional, stres kerja, dan kecerdasan emosional. Konstruk yang dapat menjadi anteseden dari komitmen organisasional menurut Steers dalam Chairy (2002) adalah karakteristik personal, karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, pengalaman kerja. Faktor personal dan operasional (Schultz & Ellen dalam Bow, 2009). Faktor-faktor personal, situasional, dan posisi dapat memengaruhi komitmen organisasional pegawai (Graham & Van Dyne dalam Coetzee, 2005). Konsekuensi dari komitmen organisasional adalah karyawan lebih stabil dan lebih produktif, keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi (Baron & Greeenberg dalam Novianty, 2010). Ketidakinginan untuk berbagi dan berkorban bagi kepentingan organisasi (unwillingness to share and make sacrifice) (Decotiis & Summers dalam Srimulyani, 2009), low levels of morale (Decotiis & Summers dalam Srimulyani, 2009) dan menurunnya asas mengutamakan orang lain dan pemenuhan (compliance) (Schappe dalam Srimulyani, 2009) juga termasuk dalam hal yang menjadi anteseden dalam komitmen organisasional. Konsekuensi dari komitmen organisasional juga dapat berakibat pada gejala fisiologis, gejala psikologis, gejala perilaku (Robbins, 2006). Untuk konstruk stres kerja juga terdapat anteseden lainnya berikut akan dijelaskan beberapa anteseden dari stres kerja. Anteseden stres kerja menurut Robbins (2006) adalah organizational stressor, life events, individual stressor. Menurut Handoko dalam Martoyo (2000), yaitu on the job stress dan off the job stress. Menurut Rahim dalam Assegaf (2005), yakni physical environment, role conflict, role ambiguity, role overload, role insufficiency. Menurut Noi dan Smith (1994) terdapat perbedaan dampak pada tingkat rangsangan rendah dan tingkat 1 1 1

rangsangan tinggi. Selanjutnya Cox dalam Gibson dkk. (1996), yakni secara subjektif, perilaku, kognitif, fisiologis, organisasional. Anteseden kecerdasan emosional adalah pengaruh organisasi dan kebudayaan (Robbins, 2006). Goleman dalam Alytpuspitasari (2010) menyatakan bahwa anteseden kecerdasan emosional merupakan faktor yang bersifat bawaan atau genetik (temperamen) dan faktor lingkungan. Konsekuensi dari kecerdasan emosional adalah: individual memiliki kesehatan sosial, fisik, dan gejala psikologis yang baik (Choubey dkk., 2009). Menghasilkan prestasi dan kinerja yang tinggi. Dengan merekrut karyawan yang memiliki kecerdasan emosional yang baik perusahaan dapat menghemat biaya perekrutan dan pelatihan yang tinggi (Robbins, 2006). Membedakan manajer yang sangat sukses dan manajer yang kurang sukses (Goleman dalam Edwardin, 2006). Kecerdasan emosional yang rendah dapat merusak kesehatan perilaku. Individual dengan kecerdasan emosional yang tinggi bereaksi lebih kuat terhadap suasana induksi prosedur (Furnham & Petrides dalam Choubey dkk., 2009). Menurut Winarno (2008) kualitas emosional yang baik akan menjadikan karyawan dapat menata dirinya dan dalam hubungannya dengan orang lain 1 1 2

sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik dan memiliki prestasi yang baik pula. Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik maka karyawan akan memiliki kinerja yang baik serta tingkat stres yang rendah (Hidayati dkk., 2008). Komitmen organisasional tentunya juga memiliki beberapa faktor pembentuk. Anteseden pembentuk komitmen organisasional berdasarkan Steers dalam Chairy (2002) meliputi: 1. Karakteristik personal Karakteristik personal terdiri dari usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkorelasi dengan komitmen organisasional (Mathieu & Zajaca dalam Chairy, 2002; Mowday dkk., dalam Chairy, 2002). Mathieu dan Zajac dalam Chairy (2002) juga menemukan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi negatif kecil dengan komitmen organisasional. Selanjutnya, Mathieu dan Zajac dalam Chairy (2002) menemukan bahwa karyawan pria memiliki komitmen organisasional yang lebih tinggi daripada karyawan wanita. Faktor lama kerja sebagai suatu anteseden pun memiliki pengaruh cukup besar terhadap komitmen organisasional, tetapi terdapat korelasi yang positif rendah antara masa kerja dan komitmen organisasional (Mathieu & Zajac dalam Chairy, 2002). 1 1 3

2. Karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan Karakteristik yang berkaitan dengan jabatan atau peran memiliki sumbangan yang bermakna pada komitmen organisasional (Chairy, 2002). Penelitian Mathieu dan Zajac dalam Chairy (2002) menemukan bahwa tantangan pekerjaan memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasional, sedangkan konflik peran dan ambiguitas peran memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasional. Mathieu dan Zajac dalam Chairy (2002) juga menemukan bahwa tantangan tugas dan variasi keterampilan memiliki korelasi positif sedang dengan komitmen organisasional tetapi otonomi hanya berkorelasi rendah dengan komitmen organisasional. 3. Pengalaman kerja Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap komitmen organisasional (Chairy, 2002). Pengalaman kerja meliputi keterandalan kerja, perasaan dipentingkan, realisasi harapan, sikap rekan kerja yang positif terhadap organisasi, persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras. Hasil penelitian Mathieu dan Zajac dalam Chairy (2002) menemukan korelasi yang cukup besar antara kepemimpinan partisipatori dan komunikasi pimpinan, yang merupakan bentuk pengalaman kerja dengan komitmen organisasional. Van Dyne and Graham dalam Coetzee (2005) memberikan pernyataan bahwa, faktor-faktor: personal, situasional, dan posisi dapat memengaruhi komitmen pegawai pada organisasi. 1 1 4

4. Faktor Personal Banyak kajian yang mencoba melihat apakah tipe tertentu dari karyawan lebih mungkin merasa terikat dengan pemberi kerja (Srimulyani, 2009). Karyawan yang memiliki sifat sangat teliti, ramah (extroverted) dan umumnya memunyai sudut pandang positif pada hidup (optimis) sering cenderung lebih komit (Srimulyani, 2009). Beberapa faktor personal yang dianggap memiliki hubungan dengan komitmen organisasional, yaitu: Usia dan masa kerja Usia dan masa kerja terbukti memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasional (Steers dalam Srimuyani, 2008; Mathieu & Zajac dalam Srimulyani, 2008; Allen & Meyer dalam Srimulyani, 2008). Tingkat pendidikan Berbagai penelitian (Glisson & Durick dalam Srimulyani, 2008; Steers dalam Srimulyani, 2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak pula harapan individual yang tidak dapat diakomodir oleh organisasi sehingga mengakibatkan komitmen organisasional karyawan semakin rendah. Jenis kelamin Menurut Tomhill dkk. dalam Srimulyani (2008), wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya sehingga memiliki komitmen organisasional lebih tinggi dibanding laki-laki. 1 1 5

Status perkawinan Seseorang yang sudah menikah menjadi merasa lebih terikat dengan organisasi tempat ia bekerja dibandingkan seseorang yang belum menikah (Johannes & Taylor dalam Srimulyani, 2008; Tsui dkk. dalam Srimulyani, 2008). Keterlibatan kerja Janis dan Loui dalam Srimulyani (2008) menyatakan bahwa tingkat keterlibatan kerja seseorang berhubungan secara positif dengan komitmen organisasional. 5. Faktor Situasional Faktor situasional meliputi workplace value, organizational justice, job characteristics, dan organizational support. Workplace value Shared values adalah suatu komponen kritis dari hubungan keterikatan (covenantal relationship) (Srimulyani, 2009). Nilai-nilai kerja seperti quality, innovation, cooperation, participation, dan trust akan mempermudah anggota organisasi untuk saling berbagi dan membangun hubungan yang erat yang nantinya akan menimbulkan komitmen organisasional yang tinggi (Srimulyani, 2009). Karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan quality product, karyawan juga akan berkeinginan untuk berperan dalam pencapaian kesuksesan organisasi (Srimulyani, 2009). 1 1 6

Organizational justice Menurut Schmiesing dan Safrit dalam Srimulyani (2008), persepsi positif dari keadilan organisasi akan mengakibatkan perilaku-perilaku positif seperti komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kepercayaan pada organisasi. Komitmen organisasional akan berkembang secara perlahan dari waktu ke waktu sebagai hasil hubungan pegawai dengan pemberi kerja dan sikap ini secara signifikan dipengaruhi oleh persepsi pegawai tentang keadilan di dalam organisasi yang bersangkutan (Cropanzano & Folger dalam Srimulyani, 2008; Tang & Baldwin dalam Srimulyani, 2008). Job characteristics Karakteristik spesifik dari pekerjaan seperti meaningfull work, otonomi, maupun umpan balik akan meningkatkan rasa tanggung jawab pegawai dan memiliki konsekuensi pada komitmen organisasional karyawan (Srimulyani, 2008). Menurut Jernigan, Beggs, dan Kohut dalam Cotzee (2005) kepuasan atas otonomi (perceived independence), status (sense of importance) dan kebijakan (satisfaction with organizational demands) merupakan prediktor penting dari komitmen (Srimulyani, 2009). Organizational support Pack dan Soetjipto dalam Srimulyani (2008) memaparkan bahwa dukungan organisasi memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasional. Jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan karyawan serta menghargai kontribusi karyawan pada organisasi maka karyawan akan mau mengikatkan diri dan menjadi bagian dari organisasi (Srimulyani, 2008). 1 1 7

6. Faktor Posisi Faktor posisi yang dianggap memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasional adalah organizational tenure dan hierarchial job level. Organizational tenure Berbagai penelitian (Angle & Perry dalam Srimulyani, 2008; Allen & Meyer dalam Srimulyani, 2008) menunjukkan bahwa salah satu faktor anteseden dari komitmen organisasional adalah masa kerja (tenure) seseorang pada suatu organisasi. Hierarchial job level Status socioeconomic merupakan prediktor komitmen organisasional yang kuat sebab status yang tinggi cenderung akan meningkatkan baik motivasi maupun kemampuan untuk terlibat aktif dalam organisasi (Coetzee, 2005). Berdasarkan pendapat para ahli (Bow, 2009; Chairy, 2002; Coetzee, 2005; Srimulyani, 2009) dapat disimpulkan bahwa anteseden komitmen organisasional meliputi: Karakteristik personal: usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkorelasi dengan komitmen organisasional; Karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan: karakteristik ini memiliki peran dan sumbangan yang bermakna pada komitmen organisasional; 1 1 8

Pengalaman kerja: seperti keterandalan kerja, perasaan dipentingkan, realisasi harapan, sikap rekan kerja yang positif terhadap organisasi, persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras; Faktor personal: faktor yang memengaruhi komitmen organisasional seperti sikap yang positif terhadap rekan kerja; Faktor operasional: yang dapat memengaruhi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi, dan kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang dimiliki; Penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi; Keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas dengan baik; Memiliki keinginan kuat untuk tetap berada di dalam organisasi. Konsekuensi dari komitmen organisasional adalah: Komitmen organisasional yang kuat akan mendorong individual berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Angel & Perry dalam Sumarno, 2005; Porter dkk. dalam Sumarno, 2005). Karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan organisasi, selain itu juga, komitmen organisasional berkaitan dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi (Baron & Greeenberg dalam Novianty, 2010). 1 1 9

Komitmen organisasional memiliki arah langsung saat berada di bawah tekanan yang dapat menimbulkan stres, karyawan dengan komitmen organisasional tinggi akan secara langsung mengarah pada pekerjaan yang penting dan mengurangi sumber daya untuk aktivitas lain. Sedangkan, karyawan dengan komitmen rendah menanggapi stres dengan mengacuhkan pekerjaan dan tidak berusaha dalam bekerja (Jamal dalam Hunter & Thatcher, 2007). Komitmen organisasional kontinuan dan normatif memiliki hubungan negatif terhadap kinerja karyawan (Panggabean, 2006). Allen & Meyer (1990) mengemukakan bahwa komitmen organisasional yaitu komitmen organisasional afektif khususnya, akan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan dan di sisi lain, komitmen organisasional kontinuan dan normatif memiliki hubungan negatif terhadap kinerja karyawan. Terdapat pengaruh negatif komitmen organisasional terhadap turnover, hal ini menandakan bahwa pada individual yang memiliki loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi (kesetiaan terhadap organisasi) dan kesesuaian antara tujuan individual dengan tujuan organisasi akan menyebabkan individual memiliki keinginan yang rendah untuk meninggalkan organisasi tempat ia bekerja sekarang serta kemungkinan individu akan mencari pekerjaan pada organisasi lain (Andini, 2006). Di dalam penelitian Witasari (2009) ditemukan bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap tingkat turnover, artinya 1 2 0

semakin tinggi komitmen organisasional semakin tinggi pula tingkat turnover sebuah organisasi, tetapi hal ini diperkuat dengan pernyataan penelitian lain sebelumnya (Mathieu & Zaiac dalam Witasari, 2009; Meyer & Tett dalam Witasari, 2009) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional tidak memiliki pengaruh kuat terhadap turnover intentions. Jika dalam suatu organisasi, komitmen dari karyawan cenderung rendah maka akan terjadi kondisi-kondisi yang tidak diharapkan oleh organisasi seperti, ketidakinginan untuk berbagi dan berkorban bagi kepentingan organisasi (unwillingness to share and make sacrifice) (Decotiis & Summers dalam Srimulyani, 2009), low levels of morale (Decotiis & Summers dalam Srimulyani, 2009) dan menurunnya azaz mengutamakan orang lain dan pemenuhan (compliance) (Schappe dalam Srimulyani, 2009). 1 2 1

5.4 Saran bagi Pihak Manajemen Rumah Sakit X Bandung Berdasarkan hasil penelitian ini, maka terdapat beberapa saran yang dapat peneliti berikan kepada pihak rumah sakit X Bandung. Manajemen rumah sakit X Bandung perlu mempertahankan dan mengelola kecerdasan emosional yang dimiliki oleh para perawat mengingat tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki perawat termasuk tinggi tetapi para perawat memiliki tingkat stres yang moderat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berhubungan positif dengan stres kerja (r = 0,21; p < 0,05). Pihak rumah sakit X perlu menyikapi tingkat stres kerja perawat dengan baik, sehingga tingkat stres dapat bertahan pada tingkat moderat, dan pihak rumah sakit X perlu mempertahankan serta meningkatkan kecerdasan emosional perawat untuk mendukung komitmen organisasional, hal ini juga dilakukan untuk mencegah meningkatnya tingkat stres. Seperti yang telah dijelaskan hal ini terjadi karena individual tidak memanfaatkan kecerdasan emosional serta potensi yang dimiliki secara penuh (Stoltz, 2000). Stoltz (2000) menambahkan di dalamnya kecerdasan emosional tidak memiliki tolak ukur yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka memahami kecerdasan emosional adalah hal yang sulit. Para pemimpin perlu menyeimbangkan kekuatan kecerdasan emosional mereka untuk menjaga hal ini tidak terjadi. Sisi lain dari kecerdasan emosional adalah sebagian orang mengabaikan bahwa kecerdasan emosional bukan sebagai sekadar konsep manajemen tetapi sebuah konsep yang tidak dapat dipelajari dalam waktu singkat, melainkan membutuhkan pengembangan selama periode waktu (Sarna, 2011). Untuk mengelola stres kerja serta mengembangkan kecerdasan emosional rumah sakit X Bandung dapat melakukan asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau 1 2 2

kegiatan praktik keperawatan yang diberikan oleh perawat pada pasien diberbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan (Indriyani, 2009). Pihak rumah sakit X juga dapat mengadakan peninjauan kembali pada job description perawat serta mendata ulang jumlah tim perawat dalam setiap ruangan instalasi agar jumlah dan tugas yang harus dijalankan tidak berat sebelah serta untuk mengetahui apakah tugas yang diberikan telah dijalankan dengan baik atau sebaliknya, sehingga dapat mencari solusi bersama. Pihak rumah sakit X dapat mengadakan rekreasi karyawan bersama keluarganya, event ini merupakan sarana bagi rumah sakit X untuk mengenal keluarga dari para karyawan khususnya para perawat, selain itu pihak rumah sakit X juga dapat membantu menangani masalah konflik peran ganda yang dialami perawat yang mayoritas adalah perempuan dan sudah menikah, jika pihak rumah sakit X tidak serius menangani hal ini akan berdampak pada kinerja rumah sakit X dan akan berujung pada kerugian yang ditanggung pihak rumah sakit X baik materi maupun immateri, pihak rumah sakit X juga dapat memberikan fasilitas berupa pemutar musik dan pemberian ruangan rileks khusus perawat (Indriyani, 2009). Pihak rumah sakit X hendaknya menyertakan perawat dalam proses pelaksanaan kiat seperti waktu yang lebih fleksibel, jadwal kerja alternatif atau jadwal lembur agar tidak dobel atau berturut-turut, kebijakan izin keluarga, dan job sharing (Indriyani, 2009). 1 2 3