PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP DAN BIAYA PERAWATAN ANTARA TERAPI TEKNIK KONVENSIONAL DAN LAPARASKOPI PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J POST APPENDIKTOMY DI BANGSAL MAWAR RSUD Dr SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

BAB 4 HASIL. 23 Universitas Indonesia. Gambar 4.1 Sel-sel radang akut di lapisan mukosa

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

PERBANDINGAN LAMA RAWAT INAP ANTARA PASIEN FRAKTUR TERBUKA GRADE III DALAM FASE GOLDEN PERIOD DENGAN OVER GOLDEN PERIOD SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

PERBEDAAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH PADA PASIEN APENDISITIS AKUT DENGAN APENDISITIS PERFORASI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : NURHIDAYAH J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN DAYA REFLEK SUCKING PADA BAYI BARU LAHIR UMUR 0 HARI DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA KELAS XI SMA 3 SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

PERBEDAAN BAKTERIURIA PADA PASIEN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DENGAN VOLUME PROSTAT TINGGI DAN TIDAK TINGGI SKRIPSI

HUBUNGAN ANEMIA DENGAN HIPOTERMIA PADA NEONATUS DI RSUD DR MOEWARDI. SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN DENGAN KREATININ SERUM PADA PASIEN THALASSEMIA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

SKRIPSI. Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KEJADIAN HERNIA INGUINALIS DI POLI BEDAH RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

ABSTRAK PREVALENSI APENDISITIS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2011

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN KAPASITAS MEMORI KERJA DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI KLECO I SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PRA DAN PASCAOPERASI KATARAK PADA PASIEN GLAUKOMA AKIBAT KATARAK DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

HUBUNGAN DERAJAT KEPARAHAN STROKE DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASEIN POST-STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN IBU HAMIL PEROKOK PASIF DENGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

EVALUASI PERDARAHAN 24 JAM PASCA HEMOROIDEKTOMI

Hubungan antara Anemia dan Kejadian Inersia Uteri di RSUD Dr.Moewardi SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002). Apendisitis

HUBUNGAN SIKAP KERJA DINAMIS DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAWAT BAGIAN BANGSAL KELAS III DI RSUD DR. MOEWARDI

ABSTRAK PREVALENSI APENDISITIS AKUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG, PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI

EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR RISIKO PERDARAHAN DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI

HUBUNGAN PENGGUNAAN OBAT NYAMUK BAKAR KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PERUMAHAN LAWU INDAH NGAWI SKRIPSI

K35-K38 Diseases of Appendix

PERBEDAAN DEPRESI ANTARA GURU SMA BERJENIS KELAMIN PRIA YANG BEKERJA DENGAN TUGAS TAMBAHAN DAN YANG BEKERJA SECARA REGULER DI SMA NEGERI SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI

HUBUNGAN DERAJAT BERAT MEROKOK DENGAN KEJADIAN INFARK MIOKARD. SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN ANKLE BRACHIAL INDEX (ABI) PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 OBESE DAN NORMAL WEIGHT DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

HUBUNGAN DURASI PENYAKIT, UMUR, DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DISTRES PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu masalah sistem pencernaan yang sering dijumpai oleh masyarakat yaitu

PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) ANTARA BURUH ADMINISTRASI DENGAN BURUH PROSES PENCELUPAN INDUSTRI BATIK SKRIPSI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan pendekatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR RISIKO PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

PERBEDAAN STATUS INSOMNIA ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DENGAN YANG TIDAK MELAKUKAN YOGA

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta.

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PERSEPSI MAHASISWA TENTANG ASISTENSI LABORATORIUM ANATOMI TERHADAP PENCAPAIAN TUJUAN PEMBELAJARAN MAHASISWA KEDOKTERAN UNS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. perdarahan, pereklamsi/eklamsi, dan infeksi ( Saifuddin, 2001 ).

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009

PENGARUH ANDROPAUSE TERHADAP KEJADIAN DEPRESI PADA PRIA DI KECAMATAN JEBRES, SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HIPERTENSI SKRIPSI. Persyaratan. Diajukan Oleh J

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran. Rizal Nur Rohman G

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR.

INTERFERON GAMMA PASIEN MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS (MDR-TB) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI DI SURAKARTA SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang banyak dialami oleh manusia. Meskipun bukan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis

HUBUNGAN PAPARAN DEBU DENGAN GANGGUAN FAAL PARU DI INDUSTRI PAKAN TERNAK PT.CHAROEN POKPHAND INDONESIA SEMARANG SKRIPSI

PERBEDAAN NILAI RESPONSI PATOLOGI ANATOMI PADA PRAKTIKUM HISTOLOGI-PATOLOGI ANATOMI GABUNGAN DAN TERPISAH DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS SKRIPSI

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KAPASITAS MEMORI KERJA PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SKRIPSI

PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN URIN PADA PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN BAKTERIURIA RENDAH DAN TINGGI SKRIPSI

STUDI ANALISIS PERBEDAAN HASIL DIAGNOSA DRY EYE SYNDROME ANTARA TES SUBJEKTIF DAN TES OBJEKTIF PADA WANITA MENOPAUSE DI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Insidens

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KUALITAS ASUHAN IBU NIFAS DAN KEPUASAN PASIEN DI RSUD SURAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA LAMA MENGETIK DENGAN KELUHAN CARPAL TUNNEL SYNDROME PADA PEKERJA RENTAL DI BELAKANG KAMPUS UNS

HUBUNGAN ANTARA PEMERIKSAAN KOLONOSKOPI PADA PASIEN KELUHAN BERAK DARAH DENGAN KEJADIAN TUMOR KOLOREKTAL DI RSUP DR.

I. PENDAHULUAN. Apendiks adalah organ tambahan yang berukuran kecil menyerupai jari, (apendektomi) dan terapi antibiotik (Brunicardi, et al, 2010).

PENGARUH KECUKUPAN MENU MAKAN SIANG TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA DI PT. MUTU GADING TEKSTIL KARANGANYAR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS PASIEN GASTROENTERITIS DEWASA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN PERIODE JUNI DESEMBER 2013 OLEH :

BAB I PENDAHULUAN. abdomen darurat. Pria lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih. berusia 10 sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2000).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. P DENGAN POST OPERASI APPENDIKTOMI DI RUANNG CEMPAKA III RSUDPANDAN ARANG BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI

Transkripsi:

PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP DAN BIAYA PERAWATAN ANTARA TERAPI TEKNIK KONVENSIONAL DAN LAPARASKOPI PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ACHMAD MUSA G 0008189 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011 i

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi Achmad Musa., NIM : G0008189, Tahun : 2011 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Senin, Tanggal 9 Januari 2012 Pembimbing Utama Nama : Agus Raharjo, dr., Sp.B., KBD NIP : 19680927 200604 1 001 (...) Pembimbing Pendamping Nama : Muthmainah, dr., M.Kes NIP : 19660702 199802 2 001 (...) Penguji Utama Nama : H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B., K.Onk NIP : 140050515 (...) Anggota Penguji Nama : H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes NIP : 19560320 198312 1 002 (...) Surakarta,...2011 Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal A.A, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP. 19660702 199802 2 001 NIP. 19510711 198003 1 001 ii

PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, 9 Januari 2012 Achmad Musa NIM. G0008189 iii

ABSTRAK Achmad Musa, G0008189, 2011. Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan Penelitian: Apendiktomi adalah operasi pengangkatan apendik vermivormis yang meradang atau yang sering disebut apendisitis. Terapi apendisitis dilakukan dengan membuang apendiks yang telah mengalami inflamasi. Apendiktomi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik konvensional dan laparaskopi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efisiensi terapi teknik konvensional dan laparaskopi terhadap pasien apendisitis. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan bulan November-Desember 2011 di Bagian Rekam Medik dan Poliklinik RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan sampel dilaksanakan secara incidental sampling. Instrumen penelitian berupa rekam medis dan wawancara kepada pasien apendisitis. Data yang diperoleh berjumlah 87 data dan dianalisis menggunakan (1) Uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov (2) Uji Mann-Whitney melalui program SPSS 17.0 for Windows. Hasil Penelitian: Penelitian menunjukkan (1) rerata rawat inap untuk pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah konvensional adalah 4,4. Sedangkan untuk pasien apendisitis yang terapi bedah laparaskopi adalah 2,45. (2) rerata besar biaya yang dikeluarkan untuk pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah konvensional adalah 2,48 juta rupiah. Sedangkan rerata besar biaya yang dikeluarkan untuk pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah laparaskopi adalah 2,77 juta rupiah. (3) hasil uji Mann-Whitney menunjukkan p = 0,00 untuk rawat inap dan p = 0,00 untuk besar biaya. Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan efisiensi dari terapi teknik konvensional dengan laparaskopi pada pasien apendisitis yang signifikan. Pasien apendisitis yang menggunakan terapi laparaskopi dirawat di rumah sakit lebih sebentar tetapi total biaya perawatan lebih mahal, sedangkan pasien apendisitis yang dirawat dengan terapi konvensional dirawat di rumah sakit lebih lama tetapi total biaya perawatan lebih murah. Kata Kunci: teknik konvensional, teknik laparaskopi, efisiensi iv

ABSTRACT Achmad Musa, G0008189, 2011. The Hospital Stay Length and Medical Cost Difference between Conventional and Laparoscopy Technique in Appendicitis Patients in Moewardi Hospital. Medical Faculty of Sebelas Maret University Surakarta Objective: Appendictomy is a type of removal surgery that removes the inflamed appendix vermivormis or appendicitis. The therapy is done by removing the inflamed appendix. Appendictomy can be done with two techniques, conventional and laparoscopic. The aim of this study is to determine the comparation between conventional and laparoscopic therapy for appendicitis patients. Methods: This study was an analytical observational research using cross sectional approach and had been done on November 2011 in Surgery Disease Center and Medical Records Center of RSUD Dr. Moewardi. This sample was taken by using incidental sampling. The instruments for the research are medical records and interview. Eighty seven samples were obtained and analyzed using data normality test with Kolmogorov-Smirnov and Mann-Whitney test through SPSS 17.00 for Windows. Results: This research shows the average length of hospital stay and all the medical cost. The average lenght of hospital stay for appendicitis patients that used conventional therapy is 4,4. While for patients with laparoscopic therapy is 2,45. The average cost for appendicitis patients treated with conventional therapy is 2,48 million rupiah, and for the laparoscopic therapy is 2,77 million rupiah. The result of Mann- Whitney test shows p = 0,00 for both hospital stay and medical cost. Conclusion: From this study it can be concluded that there is significant difference between conventional therapy and laparoscopic therapy on appendicitis patient. Patients using conventional therapy had longer hospital stay but lower cost. While patients using laparoscopic therapy had shorter hospital stay but higher cost. Key Word: conventional technique, laparoscopic technique, efficiency v

PRAKATA Alhamdulillaah, puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah memberikan berkat, hidayah,, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul Perbedaan Efisiensi Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi beserta tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Agus Raharjo, dr., Sp.B, KBD, selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat. 4. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat. 5. H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B, K.Onk, selaku Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan dan nasihat. 6. H. Endang Sutisna Sulaiman, dr., M.Kes, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasehat. 7. Seluruh Staff dan Perawat Poliklinik Bedah RSUD Dr. Moewardi yang telah memberi banyak bantuan dalam penelitian ini. 8. Bapak, Ibu, adik-adik serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini. 9. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan. Surakarta, 9 Januari 2012 Achmad Musa vi

DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... ix x BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 2 D. Manfaat Penelitian... 3 BAB II. LANDASAN TEORI... 4 A. Tinjauan Pustaka... 4 1. Apendiks... 4 2. Apendisitis... 6 3. Apendisitis Akut Perforasi... 9 4. Apendisitis Kronis... 9 5. Tata Laksana... 11 B. Kerangka Pemikiran... 14 C. Hipotesis... 15 BAB III. METODE PENELITIAN... 16 A. Jenis Penelitian...... 16 B. Lokasi Penelitian... 16 C. Sampel dan Teknik Sampling commit... to user 16 vii

D. Identifikasi Variabel Penelitian... 19 E. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 19 F. Cara Kerja... 20 G. Teknik Analisis Data... 21 BAB IV. HASIL PENELITIAN... 22 BAB V. PEMBAHASAN... 29 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN... 32 A. Simpulan... 32 B. Saran... 32 DAFTAR PUSTAKA... 33 LAMPIRAN viii

DAFTAR TABEL Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin... 22 Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik Konvensional dan Laparaskopi. 23 Tabel 3. Daftar Biaya Operasi dan Rawat Inap antara Teknik Konvensional dan Laparaskopi...23 Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional...24 Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi...24 Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional...25 Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi...25 Tabel 8. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi Konvensional....25 Tabel 9. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi Laparaskopi.....26 Tabel 10. Uji Normalitas Lama Rawat Inap dan Besar Biaya...27 Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Rawat Inap 27 Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Besar Biaya.. 27 Tabel 13. Uji Mann-Whitney Data Lama Rawat Inap dan Besar Biaya 28 ix

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian Lampiran 2. Perhitungan Statistik Lampiran 3. Surat Izin Penelitian x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apendiks vermiformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti jari yang menempel pada sekum pada kuadran kanan bawah abdomen. Walaupun apendiks vermiformis diketahui tidak mempunyai fungsi apapun, ia dapat meradang dan menimbulkan penyakit, yang disebut apendisitis (Sisk, 2004). Apendisitis jarang terjadi di negara berkembang, karena diet dengan tinggi serat. Survei menunjukkan kira kira 7% dari penduduk AS dan negara- negara barat lainnya mengidap apendisitis dan merupakan sebab terbanyak sakit akut abdomen yang memerlukan tindakan bedah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kebiasaan makan penduduk (Sabiston, 2001). Penyakit ini lebih sering terjadi di negara negara maju dan masyarakat perkotaan dengan pola makan yang tidak memenuhi standar gizi. Di Eropa dan AS, angka insidensi menurun 40% antara tahun 1940-1960 tetapi selanjutnya, tidak ada perubahan (Sabiston, 2001). Apendektomi adalah operasi pengangkatan apendik vermivormis yang meradang (apendisitis). Untuk Dokter Spesialis Bedah Umum, Apendektomi adalah yang paling banyak dilakukan sehari-hari (Marijata, 1998), sehingga apendektomi merupakan operasi yang paling sering dilakukan di rumah sakit di seluruh Indonesia ataupun di luar negeri. 1

2 Sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang teknik operatif, telah di mulai era Minimal Invasive Surgery (MIS) dengan prosedur laparoskopi sebagai salah satu teknik operasi apendektomi di Indonesia dan telah dimulai tahun 1994 di Jawa. Terapi Apendisitis dilakukan dengan cara membuang apendik yang telah mengalami inflamasi (William dan Wilson, 1996). Apendektomi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu, teknik konvensional dan teknik laparoskopi (Martin, 2001). Teknik konvensional adalah prosedur pembedahan dengan melakukan insisi sepanjang 5-7,5 cm pada bagian abdomen sedangkan teknik laparaskopi adalah teknik pembedahan dimana pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil sepanjang 0,5-1,5 cm. B. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan antara teknik konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis di RSUD Dr. Moewardi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan terapi teknik konvensional dan laparaskopi terhadap pasien apendisitis.

3 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis: diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang terapi konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis. 2. Manfaat Aplikatif: diharapkam dapat mengetahui perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan terapi teknik konvensional dengan laparaskopi sehingga dapat mempersingkat lama rawat inap dan menekan biaya yang dikeluarkan oleh pasien.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Apendiks a. Anatomi Apendiks Vermiformis Apendiks vermiformis atau yang sering disebut apendiks saja, pada manusia merupakan struktur tubular yang rudimenter dan tanpa fungsi yang jelas. Apendiks berkembang dari posteromedial dengan panjang bervariasi dengan rata-rata antara 6-10 cm dan diameter antara 0,5-0,8 cm. Posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi, tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum, dan mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks. (Segal dan Petras, 1992) Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari apendiks di mana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesenterik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik superior (simpatis) (Segal dan Petras, 1992). 4

5 Secara umum, permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan permukaan nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang dengan diameter 1-3 cm (Rosai, 1996). b. Perkembangan Embriologi Apendiks Vermiformis Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yng berlebih akan menjadi apendiks, yang berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Sjamsuhidayat, 2004 ). Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya kasus insiden apendisitis pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidayat, 2004 ). c. Fisiologi Apendik Vermiformis Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendik tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Sjamsuhidayat, 2004).

6 Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Asociated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendik, ialah IgA. Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendik tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 2004). 2. Apendisitis a. Definisi dan Epidemiologi Apendisitis merupakan radang pada apendiks vermiformis yang merupakan proyeksi dari apeks sekum. Apendisitis akut merupakan emergensi bedah abdomen yang sering terjadi. Kelompok usia yang umumnya mengalami apendisitis yaitu pada usia antara 20-30 tahun, namun penyakit ini juga dapat terjadi pada segala usia (Sjamsuhidayat, 2004). Meningkatnya insidensi apendisitis di Negara berkembang beberapa tahun terakhir, dapat terlihat di Negara Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009, apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia. Jumlah pasien apendisitis yang menjalani rawat inap pada tahun 2008 yaitu 591.819 pasien dan pada tahun 2009 mencapai 596.132 pasien. Insidensi tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun (Sisk, 2004).

7 b. Etiologi dan Patogenesis Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi. Menurut Sjamsuhidayat (2004), berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada apendiks antara lain: 1) batu (fecalith), 2) makanan, 3) mukus, 4) apendiks yang terangulasi, 5) parasit, 6) tumor pada apendiks atau sekum, 7) endometriosis, 8) benda asing, 9) hiperplasia limfoid (khususnya terjadi sekunder akibat infeksi virus). Mukus ataupun feses mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup lubang penghubung apendiks dan sekum tersebut. Jaringan limfa pada apendiks dapat membengkak dan menutup apendiks (Lee, 2009). Hiperplasia limfoid primer maupun sekunder karena infeksi saluran pernapasan atas, mononucleosis, gastroenteritis, penyakit Crohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing Oxyuris vermicularis, Schistosoma dan Strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda asing seperti permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium dan metastasis tumor. Dapat juga terjadi karena endometriosis (Fenoglio et al., 2008). Penyebab tersering dari obstruksi adalah fecalith (Rosai, 1996). Obstrusi tersebut kemudian menyebabkan resistensi mukosa apendiks terhadap invasi mikroorganisme. Obstruksi ini diyakini meningkatkan tekanan di dalam lumen (Rosai, 1996). Ketika tekanan mural apendiks meningkat, tekanan luminal mulai meningkatkan tekanan perfusi kapiler. Drainase vena dan limfa terganggu dan terjadi iskemia. Sebagai hasilnya, terjadi pemecahan pertahanan mukosa epitel. Sekarang bakteri luminal dapat menginvasi dinding apendiks menyebabkan inflamasi transmural.

8 Inflamasi ini dapat meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan (Graffeo dan Counselman, 1996). Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi cairan dan mukus dari mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Konsekuensinya, terjadi iskemia dinding apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rekruitmen dari leukosit, pembentukan pus dan tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi ini dapat semakin parah karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks yang menyebabkan perforasi dan gangren apendiks (Rosai, 1996). 3. Apendisitis Akut Perforasi Komplikasi dari apendisitis akut yang paling sering adalah perforasi. Perforasi dari apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses periapendisitis, yaitu terkumpulnya pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis difus (infeksi dari dinding rongga abdomen dan pelvis) (Lee, 2009). Apendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi dengan bakteri dan bisa dipenuhi dengan pus hingga pecah, jika apendiks tidak diangkat tepat waktu. Pada apendisitis perforasi, terjadi diskonuitas pada lapisan muskularis apendiks yang terinflamasi, sehingga pus di dalam apendiks keluar ke rongga perut. Apendiks yang perforasi ini belum tentu akan menyebabkan ruptur apendiks (Santacroce, 2006). Alasan utama dari perforasi apendiks adalah tertundanya diagnosis dan tatalaksana. Pada umumnya, makin lama penundaan dari diagnosis dan tindakan bedah, kemungkinan terjadinya perforasi semakin besar. Untuk itu, jika apendisitis telah didiagnosis, tindakan pembedahan harus dilakukan (Santacroce. 2006).

9 4. Apendisitis Kronis Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronik, sembuh setelah apendiktomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi sebagian oleh barium enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang bersifat krnoik intermitten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Santacroce, 2006). Apendisitis kronis lebih jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit untuk didiagnosis, insidensinya hanya 1% di Amerika Serikat. Untuk mendiagnosis apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendektomi, gejala yang dialami pasien tersebut hilang; (3) secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Santacroce, 2006). Menurut Crabbe et al (1986), studi yang dilakukan pada 205 pasien yang telah menjalani apendektomi, 21 pasien, yaitu (10%) memenuhi kriteria apendisitis rekuren, sementara 3 pasien (1,5%) memenuhi kriteria apendisitis kronis atau rekuren berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan temuan histopatologi dari infiltrasi limfosit dan eosinofil pada dinding apendiks dan terdapat fibrosis. Banyak apendiks yang diperiksa dengan otopsi atau diangkat secara elektif berukuran kecil, tanpa lumen, dan secara histologis, mukosa dan jaringan limfoidnya atrofik dan submukosa sering digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Dan sulit untuk memutuskan apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi fisiologis atau berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang membandingkan apendiks

10 dari pasien dengan gejala yang menunjukkan apendisitis dengan apendiks yang diangkat tanpa gejala, telah menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit pada gambara patologi (Morson dan Dawson, 1990). Untuk mendiagnosis apendisitis kronis, harus ada bukti inflamasi kronis yang aktif dengan infiltrasi pada lapisan muskularis dan serosa oleh limfosit dan sel plasma. Telah ada laporan yang mengatakan adanya besi pada apendiks merupakan indikator untuk inflamasi dalam 6 bulan (Morson dan Dawson, 1990). Gejala yang dialami pasien apendisitis kronis tidak jelas, dan progresifnya bersifat lambat. Terkadang, pasien mengeluh nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis, sumbatan hanya bersifat parsial, dengan lebih sedikit invasi bakteri. Sekalipun gejala dan progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah berbahaya jika dibiarkan tanpa ditangani (Birnbaum dan Wilson, 2006). Mekanisme pastinya tidak jelas, walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi. Penyakit seperti colitis ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa, penyakit Crohn, tuberkulosis, dan lain-lain dapat berhubungan dengan apendisitis kronis (Graffeo dan Counselman, 1996). 5. Tata Laksana a. Konvensional Pembedahan teknik konvensional merupakan prosedur pembedahan yang digunakan untuk tindakan apendisitis. Prosedur ini dilakukan dengan membuang apendiks yang terinfeksi dengan satu insisi besar pada abdomen kuadran kanan bawah (Lee, 2009).

11 Insisi sepanjang 5-7,5 cm dibuat pada kulit dan lapisan dinding perut di atas area apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah abdomen. Setelah insisi dibuat ahli bedah akan melihat daerah sekitar apendiks, apakah ada masalah lain selain apendisitis, jika tidak ada, apendiks akan diangkat. Pengangkatan apendiks dilakukan dengan melepaskan apendiks dari perlekatannya dengan mesenterium abdomen dan kolon, menggunting apendiks dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon tempat apendiks sebelumnya. Jika ada abses, pus didrainase. Insisi tersebut lalu dijahit dan ditutup (Lee, 2009). b. Laparoskopi Menurut Sabiston (2001), pembedahan teknik laparoskopi, yang juga disebut Minimal Invasive Surgery (MIS), adalah teknik pembedahan dimana pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil sepanjang 0,5-1,5 cm. Dengan pembedahan ini kita bisa melihat langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis yang lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks dapat langsung diangkat melalui insisi kecil tersebut. Pada diagnosa apendiks yang meragukan, pembuangan apendik disarankan dengan metode laparoskopi. Berikut merupakan gambar dari teknik laparaskopi.

12 Berikut meruapakan tabel perbandingan antara terapi teknik laparaskopi dan konvensional: Tabel 1. Perbandingan Teknik Konvensional dan Laparaskopi. Perbandingan Laparaskopi Konvensional Insisi Nyeri Rawat inap Risiko infeksi 0.5-1.5 cm Lebih sedikit Lebih sebentar Lebih rendah 5-7,5 cm Lebih nyeri Lebih lama Lebih tinggi Sumber: Raveenthiran (2010).

13 6. Cost Effectiveness Analysis (CEA) CEA merupakan suatu metoda yang didesain untuk membandingkan antara outcome kesehatan dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan program tersebut atau intervensi dengan alternatif lain yang menghasilkan outcome yang sama (Vogenberg, 2001). Outcome kesehatan diekspresikan dalam terminologi yang obyektif dan terukur seperti jumlah kasus yang diobati, penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmhg, dan lain-lain dan bukan dalam terminologi moneter (Vogenberg, 2001). Dalam evaluasi ekonomi pengertian efektivitas berbeda dengan penghematan biaya, dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan alternatif program yang memberikan biaya yang lebih murah, sedangkan efektivitas biaya tidak semata-mata mempertimbangkan aspek biaya yang lebih rendah (Grosse, 2000). Dalam mempertimbangkan pilihan suatu produk ataupun jenis pelayanan kesehatan yang akan dipilih tetap harus mempertimbangkan efektivitas biaya. CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu berarti biayanya lebih murah. CEA membantu mengidentifikasi dan mempromosikan terapi pengobatan yang paling efisien (Grosse, 2000). CEA sangat berguna bila membandingkan alternatif program atau alternatif intervensi dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya tetapi juga outcome klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap ukuran2 efisiensi ( cost effectiveness ratio ), alternatif dengan perbedaan biaya, rate efikasi yang berbeda dan rate keamanan maka perbandingan akan dilakukan secara berimbang (Grosse, 2000). Outcome kesehatan yang digunakan sebagai denominator pada cost effectiveness ratio dapat dinyatakan dalam satuan unit seperti jumlah tahun yang berhasil diselamatkan atau indeks dari kegunaan atau kebutuhan seperti quality adjusted life years (QALYs). Banyak orang menggunakan QALYs sebagai denominator outcome CUA, tetapi saat ini

14 banyak ahli telah merekomendasikan pada CEA sedapat mungkin menggunakan QALYs (Nord, 2001). B. Kerangka Pikir Penderita Suspek Apendisitis Eksklusi: 1. Peritonitis 2. DM 3. Perforasi 4. Hipertensi Diagnosis Apendisitis Teknik Konvensional: 1. Insisi 5-7,5 cm 2. Lebih nyeri dibandingkan laparaskopi 3. Rawat inap lebih lama 4. Resiko infeksi lebih tinggi Teknik Laparoskopi: 1. Insisi 0,5-1,5 cm 2. Lebih tidak nyeri dibandingkan dengan konvensional 3. Rawat inap lebih sebentar 4. Resiko infeksi lebih rendah Efisiensi terapi 1. Kelebihan 2. Kekurangan Efisiensi terapi Lama rawat inap dan biaya perawatan

15 C. Hipotesis Terdapat perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan dari terapi teknik konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis.

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan penelitian yang dilakukan tanpa mengikuti perjalanan penyakit, tetapi dilakukan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu (Budiarto, 2004). B. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Dr. Moewardi. C. Sampel dan Teknik Sampling 1. Teknik Sampling Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan cara incidental sampling, yaitu berasal dari individu-individu yang secara kebetulan dijumpai (Taufiqurrahman, 2008). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien apendisitis yang memenuhi kriteria pembatas (eksklusi). 2. Besar Sampel Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampel minimal untuk data nominal. n = Zα². p. q d² 16

17 n = 1,96 2.0,06.0,94 (0,050) 2 n = 86,67 = 87 Keterangan: n = besarnya sampel yang diperlukan p = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan populasi (6%) q = 1 p Zα = nilai statistik Zα pada kurve normal standar pada tingkat kemaknaan (1,65 untuk 90%, 1,96 untuk 95%, dan 2,58 untuk 99%) d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi (dalam penelitian ini peneliti menggunakan tingkat kepercayaan 0,05) Dengan perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal 87 dengan kriteria restriksi penelitian sebagai berikut: a. Kriteria Inklusi: 1. Semua pasien penderita apendisitis yang di rawat di bangsal kelas I. 2. Pasien apendisitis pada usia 20 39 tahun. 3. Terapi dengan teknik konvensional dan teknik laparaskopi.

18 b. Kriteria Ekslusi: 1. Penderita dengan komplikasi apendisitis, yaitu: a. Peritonitis b. Perforasi 2. Penderita dengan kelainan penyerta, yaitu : a. Diabetes Mellitus. b. Hipertensi D. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dimana variabel bebas dan variabel terikat diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Budiarto, 2004).

19 Teknik apendiktomi konvensional Apendisitis sesuai kriteria inklusi Teknik apendiktomi laparoskopi Lama rawat inap dan besar biaya Lama rawat inap dan besar biaya Analisis cost effectiveness Interpretasi hasil dan kesimpulan E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: Teknik konvensional dan laparaskopi 2. Variabel terikat: Lama rawat inap dan biaya perawatan F. Definisi Operasional Variabel 1. Teknik Konvensional dan Laparaskopi Yang dimaksud dengan teknik konvensional adalah prosedur pembedahan yang dilakukan dengan cara melakukan insisi sepanjang 5-7,5 cm yang dibuat pada kulit daerah abdomen, sedangkan yang dimaksud dengan teknik laparaskopi adalah teknik pembedahan terbaru dimana pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil

20 sepanjang 0,5-1,5 cm yang kemudian pada insisi tersebut untuk dilalui alat untuk prosedur pembedahan. Skala ukuran variabel: nominal 2. Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan Lama rawat inap diukur sejak pasien mendapatkan terapi yang berupa prosedur pembedahan sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas permintaan sendiri. Sedangkan biaya diukur dari besarnya biaya yang dibutuhkan pasien untuk operasi dan kamar inap sejak masuk rumah sakit sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas permintaan sendiri dan dihitung dalam rupiah. Skala ukuran variable: ratio G. Cara Kerja Penderita apendisitis datang ke UGD atau POLI dan diperiksa oleh Dokter ahli. Setelah diagnosis pasti ditegakkan, akan dipilih teknik apendektomi yang akan digunakan dalam operasi. Teknik yang akan menjadi pilihan adalah teknik konvensional dan laparoskopi apendektomi. Data pasien serta teknik apendektomi yang digunakan dalam operasi akan didata pada Rekam Medis. Di data Rekam Medis peneliti mendapatkan data tentang: a. Jenis teknik apendektomi yang digunakan. b. Kelainan penyerta.

21 c. Tanggal masuk pasien di RS, waktu operasi dan tanggal pulang pasien. Kemudian setelah pencatatan dari rekam medis, peneliti akan mencatat lama rawat inap dan besarnya biaya operasi yang dikeluarkan oleh pasien sejak masuk rumah sakit sampai dengan pulang. H. Teknik Analisis Statistik Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan uji T (α = 0,05). Data diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for windows.

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Data Peneliian Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Bedah dan Bagian Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi terhadap 87 pasien apendisitis mulai bulan Januari sampai dengan bulan November 2011. Rincian dari 87 pasien tersebut adalah didapatkan 65 pasien menggunakan terapi konvensional dan 22 pasien menggunakan terapi laparaskopi. Karakteristik pasien berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin (data terlampir di halaman lampiran). Terapi Umur Jenis kelamin Jumlah 20-24 25-29 30-34 35-39 Pria Wanita Konvensional 23% 22% 28% 28% 29 36 65 Laparaskopi 27% 14% 32% 27% 10 12 22 Pada tabel di atas diketahui bahwa umur yang didapat adalah antara umur 20-39, hal ini sesuai dengan kriteria inklusi yaitu pasien apendisitis yang berada pada umur decade II dan III. Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah pasien dengan rentang umur 30-34 tahun dan 35-39 tahun merupakan pasien apendisitis yang mendapat terapi konvensional terbanyak. Sedangkan pada pasien apendisitis yang mendapat terapi laparaskopi terbanyak adalah pasien dengan rentang umur 30-34 tahun. 22

23 Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik Konvensional dan Laparaskopi (data terlampir di halaman lampiran). Kelompok Jumlah Rerata ± Standar Deviasi Laparaskopi Konvensional 22 65 Total 87 Lama rawat inap (hari) 2,45 ± 0,8 4,4 ± 1,02 Besar biaya (juta rupiah) 2,77 ± 88,05 2,48 ± 112,67 Pada tabel di atas terlihat bahwa pasien yang mendapat terapi laparaskopi mengalami rerata lama rawat inap yang lebih singkat (2,45 hari) daripada pasien yang mendapat terapi konvensional. Sedangkan rerata besar biaya pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi lebih besar (4,4 hari) daripada pasien dengan terapi konvensional. Tabel 3. Daftar Biaya Operasi dan Rawat Inap antara Teknik Konvensional dan Laparaskopi. Teknik Operasi Besar Biaya (Kelas I) Operasi Rawat Inap (per hari ) Konvensional Rp 2.000.000,0- Rp 110.000,0- Laparaskopi Rp 2.500.000,0- Rp 110.000,0- Sumber: Administrasi RSUD Dr. Moewardi (2011) Pada tabel di atas terlihat bahwa harga biaya operasi dari teknik laparaskopi lebih mahal daripada teknik konvensional. B. Analisis Statistika 1. Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap Hasil uji normalitas terhadap data umur dengan lama rawat inap disajikan pada tabel 4 dan 5 berikut.

24 Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. rawatinapkonvensional.272 65.000.876 65.000 umurkonvensional.138 65.003.936 65.002 Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. rawatinaplaparaskopi.387 22.000.681 22.000 umurlaparaskopi.127 22.200 *.940 22.196 Pada kedua tabel di atas didapatkan interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional dan hasil uji Shapiro-Wilik untuk umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi. Dari kedua data di atas di dapatkan nilai p = 0,000 dan p = 0,003 pada uji Kolmogorov-Smirnov yang berarti distribusi data tidak normal kemudian pada hasil uji Shapiro-Wilik didapatkan p = 0,000 dan p = 0,196. Hasil uji Shapiro-wilik ini didapatkan salah satu hasil distribusi data normal, tetapi karena ada distribusi data yang tidak normal maka distribusi data tersebut dianggap tidak normal. Karena distribusi data tidak normal maka dilakukan transformasi data. Hasil transformasi data dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 di bawah ini.

25 Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. rawatinaptrans.237 65.000.888 65.000 umurtrans.148 65.001.929 65.001 Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. umurrawatinaplaparas.394 22.000.686 22.000 umurlaparas.123 22.200 *.933 22.143 Dari hasil uji transformasi di atas didapatkan distribusi data tidak normal oleh karena itu, data diuji dengan uji Spearman. Hasil uji Spearman dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi Konvensional. Correlations umurkonvens rawatinapkonven Spearman's rho umurkonvens Correlation Coefficient 1.000 -.186 Sig. (2-tailed)..137 N 65 65 rawatinapkonven Correlation Coefficient -.186 1.000 Sig. (2-tailed).137. N 65 65 Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p= 0,137 yang dapat diartikan bahwa hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional ini tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika p< 0,05.

26 Tabel 9. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi Laparaskopi. Correlations umurlaparas rawatinaplaparas Spearman's rho umurlaparas Correlation Coefficient 1.000.106 Sig. (2-tailed)..638 N 22 22 rawatinaplaparas Correlation Coefficient.106 1.000 Sig. (2-tailed).638. N 22 22 Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p = 0,638 yang dapat diartikan bahwa hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi ini tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika P < 0,05. 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan antara Terapi Konvensional dan Laparaskopi Data lama rawat inap dan besar biaya yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan uji t independent menggunakan SPSS versi 17.0. Syarat uji T independent yaitu data harus berdistribusi normal, dan varians data bisa sama ataupu berbeda. Jika data berdistribusi tidak normal dilakukan terlebih dahulu trasnformasi data, jika hasil transformasi berdistribusi normal maka dipakai uji t independent. Namun jika hasil trasnformasi tidak berdistribusi normal maka dipilih uji Mann-Whitney. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov.

27 Hasil uji normalitas terhadap data lama rawat inap dan biaya terangkum dalam tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Uji Normalitas Lama Rawat Inap dan Besar Biaya Kelompok Nilai p Lama rawat Besar biaya inap konvensional 0,00 0,00 laparaskopi 0,00 0,00 Interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov adalah jika p > 0.05 berarti distribusi data normal. Tabel di atas menunjukkan bahwa data lama rawat inap dan besar biaya mempunyai nilai p = 0,00 yang menunjukkan distribusi data tersebut tidak normal. Karena pada uji normalitas data tidak berdistribusi normal maka dilakukan transformasi data. Hasil trasnformasi data terangkum dalam tabel 11 dan 12 berikut. Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Rawat Inap Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk TeknikApendiktomi Statistic df Sig. Statistic df Sig. transform Laparoskopi.350 22.000.793 22.000 Konvensional.266 65.000.881 65.000 Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Besar Biaya Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Biaya transform.223 87.000.916 87.000

28 Dari dua hasil uji statistik di atas didapatkan hasil trasnformasi data tidak normal sehingga syarat uji parametrik tidak terpenuhi. Oleh karena itu, data diuji dengan uji statistik nonparametrik (Uji Mann-Whitney). Hasil uji Mann-Whitney terhdap lama rawat inap dan besarnya biaya terangkum dalam tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Uji Mann-Whitney Data Lama Rawat Inap dan Besar Biaya Lama Rawat Inap Besar Biaya Teknik Konvensional Mann-Whitney p Mann-Whitney p 109,5 0,00 36,0 0,00 dan Laparaskopi Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari hasil uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p = 0,00 (p < 0,05) berarti terdapat perbedaan lama rawat inap dan besarnya biaya yang bermakna antara kelompok pasien yang dioperasi dengan teknik konvensional dan laparaskopi.

BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poliklinik Bedah RSUD Dr. Moewardi, didapatkan data-data seperti yang telah disajikan dalam tabel-tabel pada Bab IV. Pada tabel 1 dan 2 diketahui pasien yang mendapat terapi laparaskopi sebanyak 22 pasien dengan rata-rata lama rawat inap dari pasien yang mendapat terapi laparaskopi adalah 2,45 hari, sedangkan rata-rata besar biaya yang dikeluarkan adalah 2,77 juta rupiah. Kemudian pada pasien yang mendapat terapi konvensional didapat 65 pasien dengan ratarata lama rawat inap 4,4 hari, sedangkan rata-rata besar biaya yang dikeluarkan adalah 2,48 juta rupiah. Pada tabel 3 menunjukkan perbedaan biaya operasi dan rawat inap kelas I di RSUD Dr. Moewardi, dimana biaya operasi teknik konvensional lebih murah daripada biaya operasi teknik laparaskopi. Hal ini dapat disebabkan karena dalam pengoperasiannya hanya dilakukan insisi sebesar 0,5-1,5 cm (Sabiston, 2001). Pada tabel 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 menunjukkan hasil uji Spearman, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan lamanya rawat inap pada pasien. Hal ini mungkin dikarenakan pasien yang didapat adalah pasien dengan rentang umur antara 20-39 tahun, dimana pasien dengan umur tersebut memiliki tingkat penyembuhan yang hampir sama. Hasil uji Mann-Whitney pada data lama rawat inap dan besar biaya perawatan menunjukkan perbandingan yang signifikan antara pasien yang dirawat dengan teknik bedah konvensional dan pasien bedah yang dirawat dengan teknik bedah laparaskopi, 29

30 dimana pasien yang mendapat terapi bedah konvensional harus lebih lama berada di rumah sakit tetapi diharuskan membayar biaya terapi dan rawat inap yang lebih kecil, sedangkan pada pasien yang mendapat terapi bedah laparaskopi lebih sebentar berada di rumah sakit tetapi biaya terapi bedah dan rawat inap yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena pada pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah konvensional mendapat luka operasi yang lebih besar sehingga penyembuhan pada pasien ini lebih lama dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih lama, sedangkan pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah laparaskopi mendapat luka operasi yang lebih kecil sehingga penyembuhannya pun lebih cepat dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih singkat juga. Menurut studi di Amerika yang dilakukan oleh Robert (1995), bahwa prosedur operasi bedah laparaskopi lebih banyak keuntunganya daripada prosedur operasi bedah konvensional yaitu morbiditas lebih rendah, perawatan di rumah sakit lebih cepat, dan proses penyembuhan lebih cepat. Meskipun demikian data yang diperoleh oleh peneliti di RSUD Dr. Moewardi menunjukkan bahwa lebih banyak pasien yang memilih untuk dioperasi melakukan prosedur bedah konvensional dikarenakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan prosedur bedah laparaskopi. Penelitian yang dilakukan oleh Robert di Amerika sesusai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr. Moewardi, dimana hasil yang didapat adalah perawatan di rumah sakit yang lebih cepat dikarenakan tingkat penyembuhan yang lebih cepat, dan besar biaya yang didapat lebih mahal untuk dilakukan prosedur operasi bedah laparaskopi.\ Menurut studi di Inggris yang dilakukan oleh Andre Chow dan Omar Omer Aziz (2010), teknik operasi laparaskopi sudah menjadi gold standard pada pasien apendisitis

31 akut. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dimana pasien dapat memilih teknik apendiktomi. Mungkin hal ini dikarenakan status ekonomi yang berbeda antara Inggris dengan Indonesia. Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahankelemahan tersebut antara lain kesulitan dalam mencari sampel pasien yang mendapat terapi bedah laparaskopi yang sesuai kriteria inklusi dikarenakan lebih banyak pasien yang memilih dilakukan prosedur bedah konvensional.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan lama rawat inap dan besar biaya perawatan dari terapi teknik konvensional dengan laparaskopi pada pasien apendisitis yang signifikan. Pasien apendisitis yang menggunakan terapi laparaskopi dirawat di rumah sakit lebih sebentar tetapi total biaya perawatan lebih mahal, sedangkan pasien apendisitis yang dirawat dengan terapi konvensional dirawat di rumah sakit lebih lama tetapi total biaya perawatan lebih murah. B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran penulis adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dalam hal risiko infeksi dan efek psikologis pasien setelah dilakukan operasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur parameter lain sehingga dapat memberi gambaran sebenarnya terhadap teknik apendiktomi. 32