1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut mempunyai peran yang sangat penting, baik ditinjau dari segi ekologis maupun ekonomis (Dahuri 2003). Lingkungan laut (pesisir dan estuaria) merupakan suatu ekosistem yang khas karena menjadi tempat akumulasi berbagai kontaminan (alami dan antropogenik). Sumber kontaminan tersebut ialah masukan dari daratan melalui sistem sungai, jatuhan dari atmosfir dan aktivitas di perairan itu sendiri (pelabuhan, wisata dan industri). Di era industrialisasi, kawasan pesisir menjadi prioritas utama untuk mengembangkan berbagai kegiatan industri sehingga wilayah tersebut beresiko tinggi untuk berbagai kasus pencemaran. Beberapa kegiatan industri non-nuklir seperti tambang timah, tambang batuan fosfat, tambang batuan bauksit, minyak dan gas bumi, tambang emas, pabrik pupuk fosfat, pabrik penyekat dinding dari fosfogipsum dan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara serta pemanfaatan hasil limbahnya, tanpa disadari akan menaikkan tingkat radionuklida alam di lingkungan dan pada tahap berikutnya akan menaikkan paparan radiasi alam terhadap kehidupan di lingkungannya. Dua industri dari beberapa industri non-nuklir tersebut menurut laporan UNSCEAR yang mempunyai potensi besar sebagai pencemar radionuklida ke lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Listrik sangat diperlukan untuk berbagai keperluan. Kebutuhan setiap tahunnya terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, usaha peningkatan kesejahteraan manusia dan peningkatan perekonomian. Guna memenuhi kebutuhan listrik di dunia dan di Indonesia khususnya, pemerintah terus berupaya membangun PLTU-batubara dan PLTN. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama yang umum digunakan pada berbagai kegiatan industri, termasuk industri pembangkit listrik, karena dari segi ekonomis batubara jauh lebih murah dibandingkan jenis bahan bakar lainnya. Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia, karena
2 jumlahnya sangat berlimpah mencapai hampir puluhan milyar ton. PLTU menggunakan batubara sebagai bahan bakar yang berasal dari alam dan mengandung material radioaktif (NORM = Naturally Occuring Radioactive Material), sehingga dapat menimbulkan terjadinya pemekatan radionuklida alam yang dinamakan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring Radioactive Material). Masalah perlindungan lingkungan hidup sekarang semakin banyak diperdebatkan dalam kaitannya dengan kesehatan manusia. Hal ini mendorong evolusi signifikan dalam bidang radioproteksi. Setelah sebelumnya penekanan ditempatkan langsung pada kesehatan manusia dan sukses, radioproteksi memperluas ruang lingkup dan perhatian untuk juga mempertimbangkan fauna, flora dan komponen abiotik lingkungan, dimana diketahui bahwa kesehatan manusia memerlukan lingkungan yang sehat pula. Isu lingkungan sangat penting untuk pengembangan PLTU-batubara yang baru. Pelepasan hasil produk pembakaran batubara yang tidak terkontrol dapat meningkatkan konsentrasi logam toksik dan radionuklida alam di lingkungan, oleh karena itu evaluasi terhadap jumlah zat radioaktif dalam batubara sangat penting (Flues et al. 2006). Bahan tambang mengandung sejumlah radionuklida alam karena bahan tersebut berasal dari kerak bumi yang umumnya diperoleh manusia melalui penggalian. Batubara merupakan bahan tambang yang mengandung unsur-unsur radioaktif/radionuklida alami berumur paruh panjang. Batubara mengandung uranium-238 ( 238 U), thorium-232 ( 232 Th), radium-226 ( 226 Ra) dan kalium-40 ( 40 K) yang kadarnya cukup bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Kandungan radionuklida alam di dalam batubara bervariasi bergantung pada jenis dan lokasi penambangan batubara. Konsentrasi radionuklida alam di dalam abunya juga akan bervariasi dan cenderung lebih kaya dibandingkan unsur radionuklida alam yang terkandung di dalam batubara. Laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kira-kira 10% dari volume batubara. Lebih dari 90% abu yang dihasilkan terdiri dari 20% berupa bottom ash dan slag, lainnya 80% berupa fly ash (Sukandarrumidi 2009). Undang-undang RI No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
3 dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Radionuklida alam dapat digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun, hal ini karena sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bapedal 1999). Jika unsur radionuklida alam terlepas ke lingkungan perairan, maka hasil interaksinya dengan komponen biotik perairan tersebut dapat menimbulkan keadaan abnormal dari biota perairan (ikan dan biota lain). Kontak langsung dengan komunitas tanaman juga menyebabkan penurunan produksi biomassa dan hambatan pertumbuhan serta kematian (Connel dan Miller 1995). Radionuklida alam sebagai unsur pencemar yang masuk ke dalam ekosistem akan mengikuti lintas rantai makanan dan dapat berujung pada jaringan tubuh manusia (Thayib 1990). Kasus pencemaran radionuklida alam di negara maju telah diketahui sejak lama, akan tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, kasus ini masih belum banyak diketahui sebagian besar masyarakat. Pulau Panjang, Provinsi Banten dengani luas area 7,26 km 2 memiliki jumlah penduduk sekitar 3000 orang dengan mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah sebagai nelayan. Produk utama dari kegiatan perikanan di Pulau Panjang adalah rumput laut dan ikan teri yang menjadi produk unggulan di provinsi Banten. Banyak juga ditemukan kerang yang hidup di perairan Pulau Panjang dan dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Pulau Panjang berdekatan dengan kawasana industri yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar sehingga dapat mencemari perairan tersebut salah satunya zat radioaktif/radionuklida alam yang dihasilkannya. Industri tersebut diantaranya PLTU-batubara Suralaya, dengan jarak kurang lebih 12 km diduga aktivitas PLTU-batubara tersebut mempengaruhi perairan Pulau Panjang, stockpile batubara dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara menggunakan kapalkapal tongkang yang melewati perairan tersebut. Selain itu, adanya rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Pulau Panjang, Banten juga merupakan isu yang menarik dalam hal pencemaran zat radioaktif di perairan Pulau Panjang, Banten.
4 Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu dilakukan kajian dampak lepasan radionuklida alam 238 U dan 232 Th dari PLTU-batubara ke lingkungan. Penelitian ini dimaksudkan menentukan status dan sebaran radionuklida alam 238 U dan 232 Th di kawasan pesisir sekitar industri non-nuklir. 1.2 Perumusan Masalah Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238 U dan 232 Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ash, selain itu aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang juga memberikan kontribusi terhadap pelepasan radionuklida alam ke perairan. Adanya rencana pemerintah membangun PLTU-batubara guna memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dalam mendorong pembangunan nasional, secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya emisi radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya. Beberapa PLTUbatubara yang direncanakan kebanyakan berlokasi di pesisir. Radionuklida alam tersebut dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen sehingga dapat mempengaruhi kehidupan komponen biotik di perairan pesisir tersebut. Radionuklida alam tersebut akan terakumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan sehingga melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia. Asupan terhadap biota dan tumbuhan yang mengandung 238 U dan 232 Th oleh manusia dapat menimbulkan paparan radiasi interna dalam tubuh manusia. Kerusakan biologis yang timbul akibat terpapar radiasi ini misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker. Kasus pencemaran radionuklida alam primordial 238 U dan 232 Th oleh industri non-nuklir khususnya PLTU-batubara masih belum banyak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kasus tersebut dapat dianggap penting karena dampak yang diakibatkannya serius.
5 1.3 Kerangka Pemikiran Pembangunan pembangkit listrik (PLTU-batubara) dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional guna mendorong peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan pelepasan sejumlah radionuklida alami 238 U dan 232 Th ke lingkungan perairan di sekitarnya. Pelepasan sejumlah radionuklida alam ke lingkungan dapat meningkatkan paparan radiasi yang membahayakan komponen di lingkungan. Sebagai komponen abiotik perairan, air, padatan tersuspensi dan sedimen adalah media perantara berpindahnya radionuklida alam ke tanaman dan biota perairan, melalui mekanisme akumulasi. Dampak radiologi akibat kegiatan PLTU-batubara terhadap manusia yaitu meningkatnya paparan radiasi interna melalui konsumsi hasil laut (ikan, kerang dan rumput laut) yang terkontaminasi radionuklida alam. Skema alur kerangka pemikiran ditunjukkan pada Gambar 1. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238 U dan 232 Th di lingkungan abiotik (air, padatan tersuspensi dan sedimen) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTUbatubara. 2. Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238 U dan 232 Th di lingkungan biotik yaitu rumput laut, ikan teri (Stolephorus sp.) dan kerang (Codakia) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara. 3. Menghitung faktor konsentrasi 238 U dan 232 Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara. 4. Memperkirakan dosis interna yang berpotensi diterima penduduk melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten. Manfaat penelitian ini adalah sebagai data dasar yang memberikan informasi tentang seberapa jauh kontribusi PLTU-batubara terhadap bahan pencemar
6 radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir. Informasi ini dapat digunakan sebagai pengetahuan bagi para pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan dengan mempertimbangkan masalah lingkungan (kemampuan lingkungan dalam menerima kontaminan radionuklida) dalam regulasi tentang zonasi atau rencana tata ruang kawasan, sehingga kegiatan-kegiatan yang tak terelakkan keberadaannya dalam pembangunan tersebut dapat ditata lebih baik dan tidak saling mempengaruhi untuk mengurangi dampak dan melestarikan lingkungan perairan. Pengoperasian PLTU-Batubara Pelepasan Radionuklida Alam 238 U dan 232 Th Peningkatan Paparan Radiasi Komponen Perairan Pesisir Tersebar Terdeposisi Air Padatan tersuspensi Akumulasi Sedimen Hewan dan Tumbuhan Laju pemanfaatan (konsumsi) Manusia (Efek Kesehatan) Keterangan: = langsung = tidak langsung = ruang lingkup penelitian Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran