BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan manusia yang harus terpenuhi. Hampir setiap aktivitas manusia membutuhkan energi. Berbagai bidang pembangunan yang mendukung perkembangan peradaban manusia sebagian besar digerakkan oleh energi. Pembangunan ekonomi juga dapat berkembang dengan baik bila didukung oleh infrastruktur energi yang memadai [1]. Oleh karena itu, kebutuhan akan energi akhir menjadi sangat penting. Salah satu bentuk energi akhir yang banyak digunakan adalah listrik. Listrik merupakan satu bentuk energi akhir yang sangat vital peranannya dalam menopang perekonomian. Sebagian besar negara berkembang menjadikan energi listrik sebagai kebutuhan mendesak yang berperan untuk mengembangkan perekonomian nasional. Di sisi lain, seolah berhubungan timbal balik, kesejahteraan ekonomi akan mengakibatkan permintaan energi listrik meningkat tajam [2]. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan di antara keduanya. Kelistrikan di Indonesia didominasi oleh sistem Jawa-Madura-Bali atau sering dikenal dengan JAMALI. Hampir 50% kebutuhan energi listrik Indonesia berada di JAMALI. Namun, pada pertumbuhan penjualan listrik di JAMALI lebih rendah dari wilayah yang lain [3]. PT PLN mencatat bahwa pertumbuhan penjualan listrik tertinggi rata-rata sebelum tahun 2012 adalah di Sumatera sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhannya hanya berada di bawah wilayah Indonesia Timur [3][4]. Data penjualan listrik di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.1. Penjualan listrik di Sumatera memang cukup tinggi. Namun, menurut data rasio elektrifikasinya, Sistem interkoneksi Sumatera belum mampu menjangkau seluruh masyarakat. Sumatera memiliki tingkat rasio elektrifikasi sebesar 69,4% pada tahun 2011 dan 77,4% pada tahun 2012 [3][4]. Tingkat rasio elektrifikasi di beberapa wilayah di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 1.2. 1
Tabel 1.1 Data penjualan listrik di Indonesia. Wilayah 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* Rata-rata Indonesia 111,48 119,97 127,63 133,11 145,66 156,3 172,2 137,8 Growth (%) 5,08 7,62 6,38 9,42 10,66 7,3 10,2 8,6 7,5 Jawa - Bali 89,04 95,62 100,77 104,11 113,4 120,8 132,1 105,4 Growth (%) 4,28 7,39 5,39 3,31 8,92 6,5 9,3 8,2 6,7 Sumatera 13,61 14,69 16,44 17,62 19,67 21,5 24,2 19,2 Growth (%) 9,33 7,92 11,87 7,22 11,63 9,3 12,6 8,0 10,5 Kalimantan 3,64 3,92 4,24 4,65 5,13 5,7 6,4 7,2 Growth (%) 4,59 7,63 8,15 9,56 10,32 10,1 12,9 7,8 10,2 Sulawesi 3,57 3,93 4,22 4,59 5,08 5,6 6,4 5,4 Growth (%) 7,64 10,21 7,3 8,77 10,68 11,0 13,7 14,4 10,3 Indonesia Timur 1,61 1,81 1,96 2,15 2,38 2,7 3,1 2,6 Growth (%) 10,81 12,27 8,33 9,91 10,7 13,0 16,1 13,9 11,6 *Data realisasi sd Sept 2013 thd Jan-Sept 2012 Tabel 1.2. Rasio elektrifikasi di Indonesia. Wilayah 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Indonesia 59 60,8 62,3 65 67,5 71,2 75,9 Jawa-Bali 63,9 66,3 68 69,8 71,4 72,3 77,9 Sumatra 57,2 56,8 60,2 60,9 67,1 69,4 77,4 Kalimantan 54,7 54,5 53,9 55,1 62,3 64,3 76,7 Sulawesi 53,2 53,6 54,1 54,4 62,7 66,6 67,5 Indonesia Bagian Timur 30,6 30,6 30,6 31,8 35,7 44,2 54,0 Catatan: Termasuk pelanggan non PLN. Tidak termasuk Batam dan Tarakan Selain belum menjangkau seluruh masyarakat, fakta menunjukkan bahwa pemadaman masih sering terjadi di wilayah Pulau Sumatera. Hal itu termuat di dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2011-2020 oleh PT PLN (Persero) bahwa di Sumatera Utara terjadi pemadaman saat beban puncak. Sehubungan dengan kurangnya pasokan listrik di Sumatera Utara sebagai akibat dari tidak seimbangnya penambahan pembangkit dan pertumbuhan beban, maka pada saat beban puncak diberlakukan pemadaman bergilir. Untuk menanggulangi pemadaman yang berkepanjangan. PLN Wilayah Sumatera Utara melakukan demand side management dengan cara mengurangi laju pertumbuhan beban, yaitu membuat kuota (pembatasan) jumlah sambungan baru. Sejalan dengan arahan Presiden Republik Indonesia pada pertemuan dengan PLN yang juga dihadiri oleh anggota Kabinet Indonesia Bersatu di 2
Mataram pada tanggal 27 Juli 2010, PLN diminta mempertahankan bebas pemadaman listrik [4]. Oleh karena itu, peningkatan layanan harus dilakukan. Sebagai catatan, beberapa daerah yang merupakan sumber utama energi primer nasional namun telah lama menderita kekurangan pasokan tenaga listrik seperti Sumatera dan Kalimantan, PLN mempunyai kebijakan untuk membolehkan rencana reserve margin yang sangat besar, yaitu hingga 80%. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pelaksanaan proyek-proyek pembangkit di Kalimantan dan Sumatera, terutama proyek IPP seringkali mengalami keterlambatan. Selain itu, penetapan reserve margin yang besar karena mempertimbangkan kondisi pembangkit existing telah mengalami derating yang cukup besar dan adanya keyakinan bahwa tersedianya tenaga listrik yang banyak di Sumatera dan Kalimantan akan memicu tumbuhnya demand listrik yang jauh lebih cepat. PLN meyakini bahwa demand listrik di daerah yang telah lama mengalami pemadaman merupakan demand yang tertekan (suppressed demand) dan tidak dapat diproyeksi hanya dengan metoda regresi berdasar data historis [4]. Untuk menghindari kekurangan listrik, pemerintah telah menyusun sebuah kebijakan yang dituangkan di dalam Peraturan Presiden No 71/2006 dengan pembaharuan Perpres No 59/2009. Kebijakan tersebut dikenal dengan proyek percepatan pembangkit 10.000 MW tahap 1 atau fast track program 1 (FTP1). Menurut laporan PLN pada tahun 2013, pelaksanaan proyek FTP 1 di Sumatera masih mengalami beberapa kendala. Salah satu kendala yang terjadi adalah dibatalkannya pembangunan PLTU di Bengkalis. Selain itu, beberapa pembangunan pembangkit juga mengalami keterlambatan [4]. Pemerintah juga menerbitkan kebijakan proyek percepatan pembangkit 10.000 MW tahap 2 atau fast track program 2 (FTP2) melalui Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 15/2010 jo Peraturan Menteri ESDM No. 01/2012 jo Peraturan Menteri ESDM No. 21/2013 mempunyai kapasitas total 17.918 MW. Dari kapasitas total FTP2, pulau Sumatera ditargetkan akan ditambah pembangkit dengan kapasitas 3.578 MW [4]. 3
Meskipun pemerintah telah menerbitkan peraturan yang berisi kebijakan proyek FTP1 dan FTP2, kekurangan pasokan listrik masih sering terjadi khususnya di Sumatera. Faktanya, pemadaman listrik masih terus terjadi. Pada tahun 2013, warga Kota Jambi mengeluh karena adanya pemadaman listrik yang sering terjadi. Durasi pemadaman bisa lebih dari 6 jam [5]. Warga Kabupaten Kerinci juga mengeluh karena listrik sering padam berkali-kali dengan durasi lebih dari tujuh jam dalam sehari [6]. Pelanggan listrik PLN di Pekanbaru, Riau juga mengalami pemadaman bergilir hampir di seluruh kawasan. Hal ini terjadi pada tahun 2014 [7]. Sebelumnya, tahun 2013 pernah terjadi protes dari warga Kota Pekanbaru kepada penyedia layanan listrik karena pemadaman sering terjadi. Pemadaman bergilir tersebut terus terjadi selama tiga bulan [8]. Durasi pemadamannya bisa mencapai 6 jam dalam sehari. Begitu juga pada tahun 2015, warga Rengat juga mengalami pemadaman listrik hampir setiap hari [9]. Untuk mengatasi kekurangan listrik di Sumatera yang ternyata masih terjadi sampai tahun 2015, Presiden kembali memberikan komitmen bahwa Sumatera akan bebas pemadaman listrik pada tahun 2019/2020 [10]. Komitmen tersebut akan diwujudkan salah satunya yang termasuk di dalam rencana pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas total 35 ribu MW di seluruh wilayah Indonesia [11]. Untuk itu, perencanaan energi listrik perlu dilakukan dengan cermat dan tepat agar dapat diimplementasikan dan benar-benar mampu mengatasi kekurangan listrik. Komitmen pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia juga dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan penerbitan Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Menurut RAN-GRK yang telah disusun oleh pemerintah, Indonesia berupaya menurunkan emisi sebesar 26% sampai dengan 41%. Bidang energi dan transportasi ditargetkan mampu melakukan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 0,038 Giga ton CO 2 e sampai dengan 0,056 Giga ton CO 2 e [12]. 4
Kebijakan yang akan diterapkan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca adalah sebagai berikut: 1) Peningkatan penghematan energi. 2) Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih. 3) Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan. 4) Pemanfaatan teknologi bersih untuk pembangkit listrik dan sarana transportasi. 5) Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kebijakan di atas banyak berkaitan dengan sektor energi termasuk energi listrik. Penggunaan energi terbarukan dan pemanfaatan teknologi bersih untuk pembangkit listrik telah dilaksanakan salah satunya berdasarkan Permen ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain dengan perubahannya oleh Permen ESDM No. 25 Tahun 2013. Kebijakan ini dikenal juga dengan nama biofuel mandatory. Sektor pembangkit listrik di Indonesia ditargetkan menggunakan biodiesel sebanyak 30% dan minyak nabati murni sebanyak 20% dari total kapasitas kebutuhan pada tahun 2025 [13]. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi kekurangan energi listrik di Pulau Sumatera. Di sisi lain, potensi sumber daya energi di Pulau Sumatera juga melimpah. Dari kedua hal tersebut diharapkan kekurangan energi listrik di Sumatera dapat teratasi. Namun, pada kenyataannya kekurangan listrik masih terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis tentang kemungkinan yang terjadi apabila kebijakan percepatan pembangkit listrik, rencana konservasi energi dan biofuel mandatory diterapkan pada sistem kelistrikan di Pulau Sumatera. Perencanaan energi sering dilakukan dengan menggunakan suatu model tertentu. Model perencanaan energi listrik secara tradisional lebih fokus terhadap sisi penyediaan (supply-side) sedangkan sisi permintaan (demand-side) kurang 5
menjadi perhatian. Oleh karena itu, perlu adanya model perencanaan yang berbeda dengan cara tradisional. Model perencanaan yang terintegrasi dan dikenal dengan Integrated Resources Planning (IRP) dapat diterapkan dengan mengkaji sisi penyediaan dan permintaan energi listrik serta biaya dan dampak lingkungannya [14]. Model IRP dapat disimulasikan menggunakan aplikasi perangkat lunak Long-range energy alternatives planning (LEAP). 1.2 Perumusan Masalah Pemenuhan kebutuhan energi listrik di Sumatera telah menjadi permasalahan sejak lama. Sebelum tahun 2010 pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk menambah kapaitas pembangkit. Namun, pada kenyataannya hingga tahun 2015 kekurangan energi listrik masih saja terjadi. Hal ini menuntut pemerintah mengeluarkan kebijakan lagi untuk mendukung program sebelumnya yang diharapkan mampu mempercepat penyelesaian permasalahan tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan pada bagian 1.1, beberapa masalah yang terjadi adalah sebagai berikut: 1) Permintaan energi listrik di Sistem Kelistrikan Sumatera meningkat setiap tahun dan tidak dapat dipenuhi oleh pembangkit pada sistem yang ada. Untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan tersebut perlu dilakukan proyeksi permintaan energi listrik di masa mendatang sehingga perencanaan penyediaan listrik dapat dilakukan dengan tepat. 2) Kebijakan FTP telah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Sistem Kelistrikan Sumatera, namun hal itu belum dapat mengatasi kekurangan energi listrik sampai dengan tahun 2015. Untuk mengetahui kemampuan Sistem Kelistrikan Sumatera dalam memenuhi permintaan energi listrik perlu dilakukan analisis penyediaan energi terkait proses transformasi, teknologi dan bahan bakar dengan mempertimbangkan dampak lingkungan. 3) Kebijakan biofuel mandatory perlu dianalisis pengaruhnya terhadap sistem kelistrikan Sumatera termasuk dari sisi biaya dan dampak lingkungan. 6
1.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai sistem kelistrikan Sumatera pernah dilakukan oleh Liun. Liun menganalisis perkiraan kebutuhan bahan bakar pada sistem kelistrikan Sumatera dari tahun 2006 sampai dengan 2030. Perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan optimisasi adalah Wien Automatic System Planning Versi IV (WASP-IV). Skenario yang dikembangkan didasarkan pada discount rate yang bervariasi yaitu 8%, 10% dan 12%. Selain itu, ditambahkan juga opsi pembangunan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN). Dari penelitian tersebut, diketahui kelistrikan Sumatera akan membutuhkan pasokan bahan bakar dalam jumlah dan jenis yang berbeda tergantung pada discount rate dan pangsa penggunaan PLTN. Selain itu, pangsa PLTN juga mempengaruhi besarnya biaya bahan bakar [15]. Penelitian ini belum melibatkan simulasi yang terkait dengan proyeksi permintaan dan penyediaan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan skenario kebijakan FTP dan biofuel mandatory. Simulasi kebijakan FTP1 dan FTP2 di sistem kelistrikan Sumatera pernah dilakukan oleh Hakam pada tahun 2012 [16]. Di dalam simulasinya, sistem kelistrikan Sumatera dibagi menjadi dua sub-sistem yaitu sub-sistem Sumatera bagian utara dan sub-sistem Sumatera bagian tengah-selatan. Namun, penelitian yang dipublikasikan ini belum menganalisis kebijakan biofuel mandatory dan kondisi terbaru dari penerapan kebijakan FTP1 pada tahun 2013 dan 2014. Selain itu, analisis emisi yang dihasilkan oleh sistem kelistrikan Sumatera juga belum dipaparkan. Penelitian lain tentang sistem kelistrikan Sumatera pernah dilakukan oleh Laksono dan Maherianto. Penelitian mereka terbatas pada aspek tentang stabilitas peralihan multimesin pada sistem tenaga listrik dengan metode Euler. Perangkat lunak yang digunakan adalah MatLab. Hasil simulasi menunjukan bahwa waktu pemutusan kritis untuk sistem tenaga listrik PT.PLN P3B Sumatera mempunyai waktu tercepat untuk subsistem Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) sebesar 240 ms dan subsistem Sumatera Bagian Selatan Tengah (Sumbagselteng) sebesar 170 ms [17]. 7
Pada tahun 2014, Syadli et al. melakukan kajian tentang dampak pemadaman bergilir yang terjadi di sistem kelistrikan Sumatera terhadap aspek ekonomi. Mereka melakukan simulasi dengan mengusulkan strategi demand-side management (DSM). Skenario tersebut merupakan upaya mengurangi penggunaan daya pada saat terjadi beban puncak dan penggunaan teknologi hemat energi pada peralatan listrik. mereka mengasumsikan beberapa penggantian peralatan listrik seperti lampu, kulkas, penanak nasi, pengkondisi udara dan dispenser. Hasilnya, skenario DSM tersebut mampu mengurangi penggunaan energi listrik baik pada saat terjadi beban puncak maupun di luar beban puncak [18]. Kajian mengenai perencanaan energi sudah dilakukan dalam berbagai penelitian. Metode yang digunakan sangat beragam. Selain itu, obyek kajiannya juga spesifik. Di dalam penelitian ini akan digunakan model IRP (Integrated Resource Planning). IRP telah banyak digunakan untuk perencanaan energi termasuk sektor tenaga listrik. Di Chile, Rosenzweig dan Voll menggunakan model IRP untuk analisis rencana privatisasi sektor tenaga listrik [19]. Pemodelan ini menunjukkan bahwa privatisasi dapat menjadi sebuah kebijakan dalam mengurangi subsidi terhadap peralatan sistem. Di Inggris, Bacon menganalisis usulan kepada pemerintah Britania Raya bahwa privatisasi sektor tenaga listrik dapat menghentikan subsidi batubara [20]. EGAT (Electricity Generating Authority of Thailand) menggunakan model IRP untuk menganalisis kebijakan DSM Office of Thailand's national utility [21]. Analisis dalam sektor tenaga listrik juga dilakukan oleh WBSEB (West Bengal State Electricity Board) di West Bengal [22]. Hirst dan Goldman pada tahun 1990 membahas isu pemanfaatan IRP untuk menganalisis sistem kelistrikan [23]. Di Brazil, Geller menggunakannya untuk pengukuran efisiensi seperti kurva konservasi pada penyediaan energi listrik [24]. Dalam melakukan analisis model IRP, penelitian ini mengusulkan penggunaan LEAP sebagai perangkat atau alat analisis. LEAP berfungsi sebagai media pengembangan kerangka analisis. Di dalam presentasinya, Charles Heaps 8
menyampaikan bahwa salah satu analisis yang dapat dilakukan di dalam LEAP adalah integrated resource planning (IRP) [25]. Heaps adalah pembuat dan pengembang program LEAP. Wijaya melakukan penelitian terkait upaya peningkatan keamanan energi dan mitigasi CO 2 pada rencana ekspansi di sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI). Fokus utama penelitian adalah tentang keamanan pasokan energi (energy security), penggunaan energi geothermal dalam pembangkit listrik, dampak pengurangan rugi-rugi pada sistem, demand side management pada sektor rumah tangga dan penggunaan LEAP untuk analisis mitigasi CO 2 [26]. Tanoto menganalisis tentang penggunaan batubara kualitas rendah di dalam sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (JAMALI). Hasilnya dibandingkan dengan penggunaan energi panas bumi. Perbandingan dilakukan terkait potensi ekonomi dan beban lingkungan yang ditimbulkan masing-masing jenis energi. Di dalam melakukan penelitian, Tanoto menggunakan metode yang diawali dengan proyeksi permintaan energi. Kemudian dilanjutkan dengan membangun skenario penggunaan batubara dan panas bumi. Pada akhirnya, Tanoto menganalisis beban biaya dan beban lingkungan yang ditimbulkan [27]. Penelitian menggunakan LEAP model juga pernah dilakukan oleh Al Hasibi [28]. Obyek kajiannya adalah sistem interkoneksi JAMALI. Penelitian tersebut dikembangkan menggunakan skenario dasar dan konservasi energi di sisi permintaan. Di sisi penyediaan, selain skenario dasar, juga dikembangkan skenario optimisasi pembangkit dan penurunan emisi CO 2. LEAP merupakan perangkat lunak pemodelan energi yang dapat mengakomodasi konsep IRP. Konsep yang ada pada model IRP dapat digunakan dan diaplikasikan di dalam LEAP. LEAP dapat digunakan untuk melakukan simulasi permintaan energi, investigasi demand side management dan supply side management. Selain itu, analisis biaya dan mitigasi lingkungan juga dapat dilakukan. Pada perkembangannya, LEAP dilengkapi dengan fasilitas optimisasi. Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya 9
penelitian yang menggunakan model IRP dan analisis kerangkanya dibangun menggunakan model perangkat lunak LEAP untuk menganalisis sistem kelistrikan Sumatera. Hal ini diperkuat dengan jurnal yang ditulis oleh Antonette D Sa yang telah menyampaikan berbagai penelitian di sektor tenaga listrik menggunakan model IRP [29]. Oleh karena itu, dalam usulan penelitian ini, peneliti mengusulkan untuk mengaplikasikan model IRP untuk wilayah kajian Pulau Sumatera di bidang energi listrik. Perangkat lunak yang digunakan untuk menghitung dan memodelkan adalah LEAP. Kekhasan lain dalam penelitian ini adalah pengembangan metode proyeksi permintaan energi listrik yang mengkombinasikan antara faktor pertumbuhan penduduk, jumlah rumah tangga, rasio elektrifikasi dan intensitas energi berdasarkan data pelanggan dan penjualan energi listrik oleh PT PLN. Selain itu, dari kajian pustaka, tidak ditemukan skenario yang dikembangkan untuk menganalisis kebijakan biofuel mandatory pada sistem kelistrikan Sumatera. Oleh karena itu, kedua hal tersebut akan mendukung dan menguatkan keaslian penelitian ini. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis dampak penerapan kebijakan pemerintah melalui program FTP1, FTP2 dan biofuel mandatory terhadap pemenuhan permintaan energi listrik pada sistem kelistrikan Sumatera, kemudian menganalisis opsi yang terbaik dari integrasi kebijakan pada sisi permintaan dan sisi penyediaan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1) proyeksi untuk mengetahui permintaan energi listrik pada sistem kelistrikan Sumatera di masa mendatang berdasarkan pertumbuhan penduduk, target rasio elektrifikasi dan intensitas tiap sektor pelanggan, 2) analisis penyediaan energi listrik berdasarkan skenario kebijakan pemerintah yang paling optimal untuk menjamin terpenuhinya permintaan listrik di masa depan, termasuk skenario FTP, biofuel mandatory dan 10
skenario lainnya, serta 3) analisis biaya dan dampak lingkungan berdasarkan skenario yang dikembangkan. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan perspektif yang berbeda terkait dengan model perencanaan energi yang menggabungkan model IRP dan LEAP. Skenario yang dikembangkan berdasarkan kebijakan pemerintah dapat digunakan untuk menganalisis apakah kebijakan tersebut akan mampu menyelesaikan masalah yang terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, pengembangan metode proyeksi permintaan energi listrik pada penelitian ini dapat menambah khasanah karena mempertimbangkan aspek pertumbuhan penduduk berdasarkan proyeksi oleh pemerintah, intensitas energi listrik, rasio elektrifikasi dan pertumbuhan jumlah pelanggan. 11