Jakarta, 5 Oktober 2015 Fed Lift-Off Diduga Tertunda Kemungkinan ini mencuat menyusul angka tambahan kesempatan kerja (change in non-farm payroll) selama September 2015 lalu yang hanya mencapai 142 ribu. Angka ini lebih rendah dari 200 ribu yang diduga investor. Deviasi ini terbilang lebar. Cermati update Economic Surprise dibawah ini yang menunjukkan kelompok labor market berada dalam teritori negatif. Tingkat pengangguran memang terjaga rendah pada angka 5,1%. Lihat peraga berikut yang berwarna biru. Namun hal ini disebabkan karena penurunan angka partisipasi angkatan kerja yakni jumlah proporsi dari angkatan kerja yang aktif mencari pekerjaan hingga paras terendah sejak tahun 1977 (series warna merah) Ditambah dengan kehilangan kesempatan kerja di sektor manufaktur, beragam statistik lapangan pekerjaan yang mengecewakan mengindikasikan perekonomian Amerika Serikat tidak sepenuhnya terbebas dari perlambatan ekonomi global. Media Bloomberg mengindikasikan peluang Fed fund rate dinaikkan pada pertemuan Oktober ini hanya 8%. Sementara untuk pertemuan terakhir bulan Desember, probabilitanya mencapai 32%. Peluang Fed lift-off ini membesar tahun depan dengan probabilita 40% (Januari 2016) dan 55% (March 2016). Respon bond investor 1
tercermin pada penurunan yield T-bond hingga dibawah 2% untuk tenor 10 tahun. Sementara equity investor merayakan dengan kenaikan indeks S&P500 sebesar 1,43% akhir pekan lalu. Disamping angka lapangan kerja yang mengecewakan, kami mencermati peluang penundaan kenaikan bunga the Fed juga didukung oleh perlambatan inflasi dan penurunan pertumbuhan uang M1 yang mengindikasikan penurunan daya beli. Lihat Tabel. Keputusan the Fed menaikkan bunga malah berisiko terus memperkuat dollar yang selama ini menekan daya saing ekspor manufaktur selain menurunkan inflasi. Apalagi, seperti terlihat, kawasan Uni Eropa dan Jepang berisiko mengalami deflasi walau telah ditopang dengan aksi quantitative easing yang memacu pertumbuhan M1. Perbaikan Fundamental Domestik Tabel diatas juga menunjukkan negara berkembang seperti Indonesia menunjukkan perbaikan daya beli seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan tahunan M1 bulan Agustus 2014 (14,6%) yang lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya. Hal ini diduga terkait dengan percepatan pengeluaran pemerintah seperti yang diinformasikan oleh Menteri Keuangan beberapa waktu lalu. Pekan lalu, kami juga menggelar Investor Gathering yang menghadirkan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan yang pernah menjabat sebagai direktur utama Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, dan Pak Dono Boestami direktur utama PT. Monorel Jakarta. Menarik untuk diketahui bahwa sebetulnya Departmen Perhubungan telah mengerjakan banyak proyek transportasi yang tersebar luar di kawasan nusantara yang umumnya dibiayai melalui APBN. Proyek itu tidak hanya untuk memperlancar transportasi antar kota dan pulau, tetapi juga untuk menunjang pariwisata. Presentasi Pak Dono Boestami mengungkap perkembangan kemajuan proyek Mass Rapit Transit yang melalui jalan protokol utama di Jakarta yang memasuki tahap pengeboran. Bersama ulasan ini, kami kirimkan presentasi kedua narasumber kami dalam bentuk PDF. Setelah dua paket stimulus yang lebih beroritentasi pada supply-side improvement dan stabilisasi nilai tukar, pemerintah diduga akan kembali meluncur stimulus tahap ketiga yang dampaknya diharapkan meningkatkan daya beli dalam jangka pendek. Pekan lalu juga kami juga berdikusi dengan seorang analis The Insitute of International Finance seputar perekonomian global dan domestik. Walau sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung negatif, namun analis tersebut berpendapat bahwa investor global pada akhirnya akan memilah dan memilih (discriminate) negara berkembang terbaik. Ada dua nama yang muncul yakni India dan Indonesia. Nama China tidak muncul terkait kekuatiran pada sektor manufakturnya yang diduga mengalami kelebihan kapasitas dan terimbas penggunaan utang berlebih (leverage). Saya sepakat dengan pendapat analis tersebut setelah mencermati perkembangan fundamental dan kinerja pasar modal di India dan Indonesia, serta Malaysia sebagai pembanding. Silakan cermati peraga berikut ini. Faktor fundamental didekati dengan pertumbuhan riil M1 secara tahunan. Sementara untuk kinerja pasar modal diukur dengan prosentase perubahan tahunnan masing-masing indeks harga saham gabungan. Untuk ketiga negara terlihat secara umum keduanya berkorelasi positif kendati pada periode tertentu terlihat overshoot. 2
Khusus untuk Indonesia, ada indikasi bahwa dengan penurunan tajam IHSG (JCI) sementara real M1 growth menunjukkan trend positif sejak akhir 2013 mengindikasikan situasi fear. Hal ini bersesuaian dengan argumen yang kerap kami sampaikan dengan menggunakan total return JCI selama tiga dan lima tahun terakhir (TRR3Y dan TRR5Y) yang lebih rendah dari proyeksi bunga kredit seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Kedua pendekatan ini menyarankan kesempatan untuk kembali masuk yang juga dilandasi pertimbangan koreksi sudah terbatas dan pada pola kenaikan indeks saham pada triwulan terakhir setiap tahun. Kita dapat cermati koreksi taham bursa India terkait rally sebelumnya yang nampak lebih cepat dibanding faktor fundamental daya beli. Namun setelah koreksi dan trend daya beli tetap positif, peluang indeks saham India naik tetap terbuka. Hal berbeda bila kita cermati situasi di Malaysia yang ditandai dengan trend penurunan real M1 growth. Malaysia termasuk ekspotir energi dan komoditas perkebunan seperti Indonesia yang terkena dampak kejatuhan harga minyak. Selain faktor ekonomi, sentimen negatif investor asing terhadap Malaysia juga diduga terkait dengan faktor politik. 3
Secara teoretis, peluang penguatan IHSG akan didahului oleh perbaikan di pasar obligasi negara. Apalagi update data statistik terbaru bulan September lalu semakin memperkuat dugaan bahwa yield obligasi negara saat ini sangat memadai untuk melindungi investor terhadap risiko inflasi. Dengan angka inflasi YTD hanya 2,24% model ekonometeri kami memproyeksikan hingga akhir tahun ini inflasi secara umum (overall) hanya berkisar 4,1% sementara core inflation 3,8%. Angka inflasi tahunan akan menurun tajam setelah dampak inflasi kenaikan harga BBM Nov14 hilang. Acuan inflasi berdasarkan historis hingga 10 tahun terakhir juga masih lebih rendah dibanding yield SUN saat ini. 4
Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 5