BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB 2 Tinjauan Pustaka

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran individu lain tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Dunia ini tidak pernah lepas dari kehidupan. Ketika lahir, sudah disambut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

Psikologi Kepribadian I. Psikologi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhannya. Salah satu tugas perkembangan seorang individu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti adalah deskriptif dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya menjadi suatu ciri bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Oleh karena itu manusia diciptakan berbeda-beda agar dapat menolong dan melengkapi manusia lainnya. Dengan adanya interaksi terus menerus maka memungkinkan adanya perasaan khusus yang berkembang terhadap orang lain mulai dari persahabatan sehingga lama-kelamaaan menjadi hubungan romantis atau yang disebut dengan berpacaran. Menurut Erikson (1968), individu mempunyai tugas perkembangan yang berbeda pada tiap tahapannya termasuk saat berada di tahap dewasa. Tugas perkembangan individu dewasa adalah membentuk hubungan interpersonal yang intim dengan orang lain. Jika individu dapat membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan interpersonal yang intim dengan orang lain maka individu akan mencapai keintiman. Sebaliknya bila individu tidak mampu membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan interpersonal yang intim maka individu akan merasa terisolasi. Hubungan romantis atau berpacaran merupakan suatu tahapan penting karena hal itu berhubungan dengan proses pemilihan pasangan hidup. Ketika individu sudah menemukan seseorang yang dirasa tepat maka ada kemungkinan untuk mempertahankan hubungan romantisnya dalam berpacaran ke tingkat pertunangan hingga pada jenjang yang lebih serius 1

2 lagi yaitu pernikahan. Pernikahan dilakukan oleh individu yang sudah memiliki komitmen untuk membentuk keluarga dengan orang yang dicintainya (Bird & Melville, 1994). Wanita yang sudah memiliki komitmen untuk membentuk keluarga dengan perwira disebut dengan istri perwira. Kehidupan para istri ini tentu agak berbeda dengan istri dari masyarakat non-militer. Sebelum menikah calon istri perwira TNI-AD harus melewati beberapa tes mulai dari tes kesehatan, psikologis, sampai pengetahuan bela negara. Setelah menikah istri perwira TNI-AD wajib tergabung dalam Persatuan Istri Tentara Kartika Chandra Kirana (PERSIT) yang setiap bulannya harus menghadiri pertemuan PERSIT di kantor suaminya. Keluarga militer juga dihadapkan dengan masalah-masalah umum yang sama seperti keluarga non-militer misalnya masalah keuangan, perawatan anak dan orangtua, spiritualitas dan agama, serta hubungan dengan keluarga besar. Namun keluarga militer khususnya istri perwira memiliki keunikan karena harus menghadapi tantangan untuk beradaptasi terhadap penugasan pasangan dan perpisahan keluarga. Selain mengurus rumah tangga ataupun bekerja, istri perwira harus berhadapan dengan konsekuensi berpindah-pindah tempat mengikuti penugasan suami dan juga perpisahan dengan suami saat suami dinas ke luar kota atau luar negeri. Pindah rumah karena harus mengikuti penugasan suami ke daerah lain membutuhkan keputusan-keputusan yang dibuat oleh instansi, perwira, dan istri. Keputusan untuk memindahkan perwira TNI-AD ditentukan oleh lembaga TNI-AD yang harus segera dilaksanakan oleh perwira tersebut setelah menerima surat perintah pelaksanaan kepindahan. Pindah dapat membuat stres karena menuntut penyesuaian dari keluarga terhadap beberapa perubahan sekaligus. Perubahan tersebut bisa merupakan perubahan yang jelas seperti lokasi geografis atau kurang jelas misalnya dukungan sosial, yang biasanya didapat dari keluarga,

3 tetangga, atau teman. Pengalaman pindah dapat berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga militer, walaupun efeknya mungkin pendek atau panjang. Perpisahan saat suami dinas ke luar kota atau luar negeri adalah bagian dari kehidupan militer dan juga dialami oleh kebanyakan personel militer dan keluarganya. Waktu dinas suami bisa beberapa hari, minggu, bulan atau bisa juga lebih dari satu tahun. Ketika menghadapi situasi perpisahan, istri juga akan mengalami stres dari berbagai hal. Saat berpisah dengan suami, istri akan kehilangan pasangan untuk membantu masalah-masalah rumah tangga yang biasanya dihadapi berdua dan istri juga akan kehilangan hubungan romantis dan keintiman seksual dengan pasangan. Hal tersebut mungkin memengaruhi kualitas ikatan istri perwira dengan pasangannya. Setiap individu memiliki ikatan namun kualitas ikatannya berbeda-beda. Ada individu yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang lain, namun ada juga individu yang cepat akrab dan mampu membina hubungan yang harmonis dengan orang lain. Istri perwira yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang lain akan memiliki kemungkinan mengalami kesulitan membina hubungan dengan suaminya. Istri malu atau tidak berani mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya pada suami. Ketika ditinggal suami dinas, istri mengalami kesulitan yang lebih besar untuk berkomunikasi. Istri perwira yang mampu membina hubungan akrab dengan orang lain memiliki kemungkinan untuk memiliki hubungan yang harmonis dengan pasangannya. Ketika ditinggal suami dinas, istri mampu melakukan komunikasi seperti biasa saat suami ada di dekatnya namun perbedaannya komunikasi dilakukan lewat telepon atau email. Dengan menjaga komunikasi seperti biasa dengan suami, hubungan yang harmonis akan tetap terjaga dengan suami yang membentuk ikatan yang kuat dengan suami.

4 Ikatan emosional yang kuat dengan orang lain disebut dengan istilah attachment. Istilah attachment pertama kali dikemukakan oleh John Bowlby. Bowlby (1969/1982) mengemukakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dialami oleh anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu, dimana anak menginginkan kedekatan dengan figur tersebut dalam situasi-situasi tertentu seperti ketika ketakutan dan kelelahan (Mikulincer & Shaver, 2007). Bowlby dan Ainsworth (1969/1982) percaya bahwa figur inilah yang akan membentuk kepribadian dan karakter anak. Figur utama biasanya adalah ibu dan ikatan kuat antara ibu dan anak terbentuk beberapa menit setelah ibu melahirkan. Menurut Hazan dan Shaver (1987) adult attachment merupakan pencerminan dari attachment pada masa kanak-kanaknya. Hazan dan Shaver (1988) membagi pola attachment pada individu menjadi dua yaitu secure dan insecure. Pola insecure sebenarnya dibagi menjadi tipe avoidant dan anxious namun karena secara umum menunjukkan reaksi yang sama saat mengaktivasikan sistem attachment maka dijadikan satu pola. Individu yang secure mudah untuk dekat dengan pasangan dan nyaman untuk bergantung pada pasangan. Individu yang insecure merasa tidak nyaman dekat dengan pasangan, mengalami kesulitan untuk memercayai pasangan, sulit untuk bergantung pada pasangan, serta khawatir bila pasangannya tidak mencintai atau tidak mau bersama dirinya. Ketika menikah dengan perwira, istri perwira dihadapkan dengan situasi dimana sering ditinggal dinas ke luar kota atau luar negeri oleh suami. Situasi ini dapat menyebabkan relasi antara istri dengan pasangannya menjadi renggang, istri harus mengurus rumah tangga sendirian, istri takut apabila pasangannya celaka saat dinas ke luar kota atau pasangan berada pada situasi yang mengancam jiwanya, dan istri juga takut bila pasangan tidak setia. Bila dilihat dari contoh tersebut kondisi pernikahan istri perwira bukan merupakan kondisi pernikahan yang ideal, oleh karena itu dibutuhkan pola adult attachment secure.

5 Pola secure dibutuhkan pada pernikahan karena dengan pola tersebut individu mudah untuk dekat dengan pasangannya dan merasa nyaman untuk bergantung pada pasangannya. Saat berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan individu dapat melakukan penyelesaian masalah, perencanaan, dan penilaian kognitif. Ketika istri perwira harus berpisah dengan suaminya karena suami dinas ke luar kota, istri perwira mampu menjalankan peran ganda baik sebagai ibu maupun bapak dalam keluarga, mampu mengurus rumah tangga, tetap dapat menjalin komunikasi dengan suami, dan percaya dengan suami walaupun suami tidak berada di dekatnya. Attachment sebelum menikah merupakan kapasitas istri perwira untuk membuat ikatan emosional dengan orangtuanya terutama ibu. Attachment setelah menikah merupakan kapasitas istri perwira untuk membuat ikatan emosional dengan pasangannya. Penelitian mengenai stabilitas dan konsistensi pola attachment yang dilakukan oleh Main dan Cassidy (1985), Waters, Crowell, Treboux, Merrick dan Albersheim (1995) menunjukkan bahwa terdapat kontinuitas pola attachment dari masa anak hingga masa dewasa. Menurut Bowlby (1973) dan Ainsworth (1991), faktor kognitif dan interpersonal dapat menyebabkan kontinuitas dan diskontinuitas pola attachment pada seseorang. Pola attachment merupakan fungsi dari pengalaman-pengalaman hidup, khususnya pengalaman aktual seseorang selama masa kecilnya. Pola attachment sudah terbentuk semenjak individu kecil, namun pola tersebut bisa berubah setelah menikah. Apabila pola attachment sebelum menikah tergolong secure, pola tersebut bisa berubah menjadi insecure setelah menikah. Begitu juga sebaliknya apabila pola attachment sebelum menikah tergolong insecure, pola bisa berubah menjadi secure setelah individu menikah. Menurut Mikulincer dan Shaver (2007), individu dengan pola secure dapat berubah menjadi insecure melalui pengalaman penolakan, kritik, ejekan, dan perpisahan atau

6 kehilangan figur signifikan. Perubahan pola secure menjadi insecure dapat terjadi melalui pengalaman penolakan misalnya suami menolak saat istri ingin berdiskusi dengan suami mengenai masalah rumah tangga. Istri merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi dengan suami karena penolakan tersebut. Kritik dan ejekan misalnya suami memberikan kritik negatif pada istri tidak disertai dengan solusi yang membangun sehingga istri tidak nyaman untuk menjalin relasi dengan suami. Perpisahan atau kehilangan figur signifikan misalnya ketika menikah istri perwira harus berpisah dengan ibu sebagai figur signifikannya karena tinggal dengan suami sehingga istri merasa terpukul karena kehilangan tersebut dan juga mungkin memiliki suami sebagai figur signifikan baru yang berbeda dari ibu sehingga pola attachment-nya mengarah ke insecure. Individu dengan pola insecure bisa berubah menjadi secure dengan formasi dari attachment yang secure dan stabil dengan pasangan, interaksi interpersonal yang positif, pernikahan yang baik, menjadi orangtua, dan bertemu dengan pasangan yang sensitif dan suportif. Pola attachment yang sebelumnya insecure bisa menjadi secure melalui formasi dari attachment yang secure dan stabil dengan pasangan misalnya istri bertemu dengan suami yang membuat istri merasa nyaman dengan situasi rumah tangga maka akan mengarahkan pola attachment ke pola secure. Interaksi interpersonal yang positif dengan pasangan misalnya istri mampu membentuk hubungan yang positif, bahagia, dan menyenangkan dengan suami maka akan mengarahkan pola attachment ke pola secure. Pernikahan yang baik sehingga istri perwira merasa puas dengan pernikahannya. Menjadi orangtua misalnya dengan lahirnya anak dan menambah peran sebagai orangtua dalam kehidupannya dapat membuat istri merasa lebih bahagia sehingga nyaman dalam pernikahannya dengan suami. Bertemu dengan pasangan yang sensitif dan suportif dapat membuat istri perwira lebih nyaman dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan pasangannya yang mampu membuat pola attachment-nya menjadi lebih secure.

7 Bowlby (1973) menyatakan bahwa pola attachment individu dewasa dapat tetap stabil selama periode waktu yang cukup lama. Namun Baldwin dan Fehr (1995) menyatakan bahwa kurang lebih 30% dari pengalaman individu dewasa secara statistik mengubah pola attachment secara signifikan. Menurut Davila, Karney, dan Bradbury (1999) yang melakukan studi longitudinal pada pasangan yang baru menikah ditemukan bahwa individu menjadi lebih secure selama masa peralihan ke menikah. Berdasarkan survei awal terhadap sepuluh istri perwira di Dinas X Bandung mengenai refleksi hubungan dengan orangtua saat masih kecil, diperoleh hasil bahwa sebelum pernikahan delapan orang (80 %) istri perwira merasa dekat dengan orangtua. Istri perwira menganggap orangtua selayaknya teman. Istri perwira bercerita mengenai apapun dengan orangtua. Satu orang (10 %) istri perwira merasa ada jarak dengan orangtua dan segan untuk dekat dengan orangtua. Istri perwira merasa takut untuk bercerita pada orangtua. Istri perwira juga merasa malu untuk bercerita pada orangtua mengenai masalah-masalah yang dihadapinya saat masih kecil. Satu orang (10 %) istri perwira merasa kesulitan untuk dekat dengan orangtua karena orangtua sangat disiplin dan juga galak. Dari hasil survei awal di atas ditemukan bahwa sebagian besar istri perwira kemungkinan memiliki pola adult attachment sebelum menikah yang tergolong secure. Berdasarkan survei awal terhadap sepuluh istri perwira, saat pernikahan sembilan orang (90 %) istri perwira merasa dekat dengan suami, dapat bercerita pada suami, menganggap suami seperti teman atau saudara. Istri perwira meminta solusi kepada suami jika ada masalah yang dihadapinya. Satu orang (10 %) istri perwira berusaha dekat dengan suami namun suami terlalu cuek, kurang mampu berkomunikasi secara lisan dan lebih nyaman secara non-lisan dengan menggunakan short text messaging service (SMS).

8 Berdasarkan survei awal terhadap sepuluh istri perwira, dari sembilan orang (90 %) istri perwira yang merasa dekat dengan suaminya diperoleh hasil bahwa delapan orang istri perwira mampu menjalankan peran ayah dan ibu dalam keluarga saat suami dinas. Istri perwira merasa kehilangan ketika ditinggal suami dinas namun dibantu orang lain (keluarga) dalam menjalankan tugasnya misalnya tinggal di rumah orangtua selama suami dinas. Satu orang istri perwira merasa sangat kehilangan ketika ditinggal suami dinas. Istri perwira merasa kesepian dan tidak ada teman untuk bercerita. Istri perwira juga merasa takut untuk mengurus anak sendirian selama suami tidak ada. Satu orang (10 %) istri perwira merasa kesulitan saat tidak ada suami sehingga memutuskan untuk tinggal dengan orangtua agar mendapatkan bantuan saat ada kesulitan. Dari hasil survei awal di atas ditemukan bahwa sebagian besar istri perwira memiliki pola adult attachment setelah menikah yang tergolong secure. Dari penelitian Davila, Karney, dan Bradbury serta Baldwin dan Fehr ditemukan bahwa individu mengalami perubahan pola attachment selama pernikahan namun dari survei awal kepada istri perwira di Dinas X ditemukan bahwa pola adult attachment sebelum menikah dan setelah menikah tidak mengalami perubahan. Berdasarkan kesenjangan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai perbandingan pola adult attachment sebelum dan setelah menikah pada istri perwira di Dinas X Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui perbandingan pola adult attachment sebelum menikah dan setelah menikah pada istri perwira di Dinas X Bandung.

9 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh data dan gambaran mengenai pola adult attachment dan ada atau tidak adanya perubahan pola adult attachment sebelum dan setelah menikah pada istri perwira di Dinas X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh pemahaman yang lebih rinci dan mendalam mengenai perbandingan pola adult attachment, serta faktor-faktor yang memengaruhi pola adult attachment pada istri perwira di Dinas X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis - Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola adult attachment istri perwira sebelum dan setelah menikah ke dalam bidang ilmu psikologi perkembangan. - Sebagai masukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lanjutan mengenai pola adult attachment. 1.4.2. Kegunaan Praktis - Memberikan informasi kepada Dinas X (kepala dinas selaku pembina PERSIT dan ketua PERSIT) mengenai gambaran pola adult attachment yang dimiliki istri perwira secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk pembekalan keluarga anggota

10 Dinas X berupa pelatihan dan seminar mengenai harmonisasi suami dan istri yang akan mengarah ke pola adult attachment secure. - Memberikan informasi kepada istri perwira mengenai gambaran pola adult attachment yang dimilikinya. Dengan informasi tersebut diharapkan istri perwira dapat memertahankan pola adult attachment secure yang dimilikinya atau mengembangkan pola adult attachment insecure ke arah yang lebih secure. - Sebagai orangtua dan istri, istri perwira diharapkan menciptakan suasana attachment yang secure di rumah. 1.5. Kerangka Pemikiran Istri perwira yang berada dalam masa early adulthood (dewasa awal), berusia akhir belasan atau awal usia 20-an sampai akhir usia 30-an. Menurut Erikson (1968) dalam tahap usia dewasa awal, istri perwira memiliki tugas perkembangan membentuk intimate relationship dengan orang lain. Jika istri perwira mampu membentuk healthy friendship atau intimate relationship dengan orang lain maka istri perwira akan mencapai intimacy, bila tidak istri perwira akan mengalami isolation. Dalam tahap perkembangan ini, tugas istri perwira adalah membentuk ikatan emosional dengan orang lain. Menurut Shaver, Hazan, dan Bradshaw (1988) hubungan romantis dewasa merupakan integrasi dari tiga sistem perilaku yang salah satunya adalah attachment. Attachment pada istri perwira merupakan kecenderungan istri perwira untuk membentuk ikatan emosional yang kuat dengan ibu dan suami. Menurut Bowlby (1973), pola attachment merupakan fungsi dari pengalaman-pengalaman hidup, khususnya pengalaman aktual selama masa anak-anak.

11 Pola attachment cukup stabil dari masa bayi sampai masa anak-anak namun tidak menutup kemungkinan untuk berubah. Menurut Mikulincer dan Shaver (2007), attachment terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi avoidance dan anxiety attachment. Dimensi avoidance attachment merupakan ketidaknyamanan istri perwira dengan kedekatan dan ketergantungan pada orang lain serta kecenderungan istri perwira untuk menjaga jarak emosional dengan orang lain. Dimensi anxiety attachment merupakan keinginan kuat istri perwira akan kedekatan dan proteksi dari orang lain serta khawatir mengenai keberadaan orang lain dan nilai diri bagi orang lain. Adult attachment sebelum menikah merupakan kecenderungan istri perwira untuk membentuk ikatan emosional yang kuat dengan ibu. Hazan dan Shaver (1988) mengelompokkan pola adult attachment menjadi dua yaitu pola secure dan insecure. Pola secure terbentuk jika kedua dimensi avoidance dan anxiety tergolong rendah. Istri perwira dengan secure attachment merasa nyaman saat bersama dengan ibu, tidak sepenuhnya bergantung pada ibu, memandang ibu sebagai figur yang hangat dan penuh kasih sayang, menjalin hubungan yang menyenangkan dengan ibu, menunjukkan perasaan yang sesungguhnya pada ibu, bercerita semua hal pada ibu, berdiskusi mengenai permasalahan dengan ibu, nyaman membagi pemikiran pribadi dan perasaan dengan ibu, ibu merupakan sumber dukungan bagi dirinya, dan memiliki rasa percaya diri. Pola insecure terbentuk jika salah satu dimensi dari dimensi avoidance dan anxiety tergolong tinggi. Istri perwira dengan tipe insecure merasa tidak nyaman saat bersama dengan ibu tapi terkadang tetap berusaha menjalin hubungan dengan ibu, kurang nyaman terbuka dengan ibu, hubungan dengan ibu relatif dingin, khawatir mengenai hubungan dengan ibu, kurang nyaman ketika ibu ingin dekat, memiliki anggapan bahwa ibu tidak memberikan perhatian dan tidak sensitif terhadap dirinya, marah ketika tidak mendapatkan

12 kasih sayang dan dukungan dari ibu, mengalami penolakan dari ibu, khawatir ibu tidak ingin bersama dengan dirinya, khawatir ibu tidak sungguh-sungguh mencintai dirinya, khawatir ibu tidak peduli, khawatir ibu akan meninggalkan dirinya, dan tidak ingin menjalin hubungan dekat dengan ibu. Istri perwira memiliki pandangan ibu kurang responsif akan kebutuhan dirinya, ibu bersikap tidak adil, menjalin hubungan sangat dekat dengan keluarga karena takut dalam mengambil keputusan, dan merasa cemas diabaikan. Implikasi dari adult attachment security pada hubungan dengan pasangan seperti yang diusulkan Bowlby (1979) bahwa adanya hubungan kausal yang kuat antara pengalaman istri perwira dengan orangtuanya merupakan kapasitas untuk membuat ikatan emosional dengan orang lain. Pemikiran Bowlby tersebut dikembangkan oleh Hazan dan Shaver (1987) mengenai hubungan romantis pada istri perwira merupakan manifestasi dari perilaku yang sangat mirip dengan pola attachment. Adult attachment setelah menikah merupakan kecenderungan istri perwira untuk membentuk ikatan emosional yang kuat dengan suami. Hazan dan Shaver (1988) mengelompokkan pola adult attachment menjadi dua tipe yaitu pola secure dan insecure. Pola secure terbentuk jika kedua dimensi avoidance dan anxiety menunjukkan skor yang rendah. Istri perwira dengan pola adult attachment yang secure mudah untuk dekat dengan suami dan nyaman untuk bergantung pada suami. Istri perwira menunjukkan perasaan yang sesungguhnya pada suami, nyaman membagi pemikiran pribadi dan perasaan dengan suami, berdiskusi mengenai permasalahan dengan suami, bercerita semua hal pada suami, merasa disukai oleh suaminya, merasa suami memiliki niat yang baik, dan mencari keseimbangan antara kedekatan dan kemandirian dalam berelasi. Ketika berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan istri perwira dapat melakukan penyelesaian masalah, perencanaan, dan penilaian kognitif.

13 Pola insecure pada istri perwira akan terbentuk jika salah satu dari kedua dimensi avoidance dan anxiety menunjukkan skor yang tinggi. Istri perwira dengan tipe insecure merasa tidak nyaman dekat dengan suami, mengalami kesulitan untuk memercayai suami, dan sulit untuk bergantung pada suami. Istri perwira berusaha untuk memertahankan kepercayaan diri dan menjaga jarak emosional dari suami. Istri perwira juga cemas jika suami tidak ada saat dibutuhkan. Istri perwira khawatir suami tidak ingin bersama dengan dirinya, khawatir suami tidak sungguh-sungguh mencintai dirinya, khawatir suami tidak peduli, kurang nyaman terbuka dengan suami, khawatir mengenai hubungan dengan suami, kurang nyaman ketika suami ingin dekat, khawatir suami akan meninggalkan istri, dan marah ketika tidak mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari suami. Ada kemungkinan pola attachment yang dibentuk istri perwira terhadap ibunya akan berbeda dengan ketika istri perwira menikah dan ada juga kemungkinan pola attachment yang dibentuk istri perwira terhadap ibunya akan sama dengan pola attachment istri perwira setelah menikah. Menurut Bowlby (1973), perkembangan pola attachment pada orang dewasa dibentuk oleh dua kekuatan yaitu homeothetic forces (Waddington, 1957) yang menahan perubahan pada pola attachment dari bayi sampai dewasa, membuat perubahan kurang terlihat dari working models awal. Jika istri perwira membentuk pola attachment secure dengan ibu, maka dia juga akan membentuk pola secure dengan suaminya. Begitu juga sebaliknya, jika istri perwira membentuk pola attachment insecure dengan ibu, maka dia akan membentuk pola insecure dengan suaminya. Kekuatan kedua adalah destabilizing forces yang mendukung perubahan dari working models awal dan memberikan pengalaman yang kuat sehingga membutuhkan revisi dan pembaharuan attachment. Jika istri perwira membentuk pola attachment secure dengan ibu, maka akan ada kemungkinan terbentuknya perubahan pola attachment yang disebabkan oleh

14 pengalaman-pengalaman yang dilalui selama masa hidupnya sehingga dia membentuk pola insecure dengan suaminya. Begitu juga sebaliknya, jika istri perwira membentuk pola attachment insecure dengan ibu, ada kemungkinan pola adult attachment terhadap suami berubah menjadi secure. Penelitian mengenai stabilitas dan konsistensi pola attachment yang dilakukan oleh Main dan Cassidy (1985), Waters, Crowell, Treboux, Merrick dan Albersheim (1995) menunjukkan bahwa terdapat kontinuitas pola attachment dari masa anak hingga masa dewasa. Menurut Hazan dan Shaver (1987) adult attachment merupakan pencerminan dari attachment pada masa kanak-kanaknya. Bowlby (1973) menyatakan bahwa pola attachment dapat tetap stabil selama periode waktu yang cukup lama. Pola attachment seseorang relatif menetap, tidak berubah hingga dewasa, namun menurut Davila, Karney, dan Bradbury (1999) yang melakukan studi longitudinal pada pasangan yang baru menikah ditemukan bahwa individu menjadi lebih secure selama masa peralihan ke menikah. Davilla (1999) juga menemukan bahwa peralihan ke menikah mengubah sebagian besar attachment pasangan suami istri yang baru menikah jika mereka menilai relasi marital mereka secara positif misalnya mereka memiliki kepuasan marital tinggi. Kejadian negatif dapat mengurangi rasa aman pada pasangan menikah jika istri perwira memandang kejadian tersebut sebagai kehilangan interpersonal. Proses pernikahan membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua tahun untuk berkembang secara penuh. Dalam penelitian ini diharapkan istri perwira sudah mampu beradaptasi dalam pernikahan setelah 2 tahun menikah. Davila (1999) menemukan bahwa wanita dewasa yang mengalami perubahan pola attachment dari secure ke insecure atau sebaliknya selama 6 sampai 24 bulan pertama pernikahannya memiliki lebih banyak pengalaman psikologis seperti perceraian orangtua,

15 sejarah psikopatologi, dan gangguan kepribadian daripada individu yang tetap secure selama periode studi dua tahun pernikahan. Ini menunjukkan bahwa fluktuasi pola attachment individu dewasa dari secure ke insecure atau sebaliknya merupakan refleksi dari rasa insecurity. Menurut Davila, Karney, dan Bradbury (1999) ada empat faktor yang dapat mengubah pola attachment istri perwira setelah menikah yaitu situasi dan perubahan, perubahan dalam skema relasional, kepribadian, dan kombinasi kepribadian dengan situasi. Faktor situasi dan perubahan dapat mengubah pola attachment istri perwira jika istri perwira mengalami situasi yang kurang menyenangkan atau mengalami perubahan dari situasi yang nyaman menjadi tidak nyaman secara terus-menerus seperti ditinggal suami dinas dalam jangka waktu tertentu. Situasi seperti itu dapat mengubah pola attachment yang telah tertanam di diri istri perwira sebelumnya. Misalnya sebelum menikah istri perwira memiliki pola adult attachment secure terhadap ibunya kemudian pola itu mungkin dapat berubah. Ketika ditinggal suami dinas, kuantitas pertemuan menjadi berkurang yang bisa menyebabkan ada jarak emosional dengan suami. Hal ini bisa menyebabkan pola adult attachment istri perwira mengarah ke insecure. Perubahan seperti ikut suami pindah tugas ke kota atau negara lain juga dapat mengubah pola adult attachment yang dimiliki istri perwira. Istri perwira harus menghadapi situasi baru seperti rumah baru, tetangga baru, dan budaya baru yang mengharuskan istri perwira untuk menyesuaikan diri kembali. Istri perwira yang merasa kewalahan dan tidak mampu beradaptasi dengan baik kemungkinan pola adult attachment-nya akan mengarah ke insecure. Apabila istri perwira mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi situasi tersebut maka kemungkinan pola adult attachment-nya akan tetap secure. Faktor perubahan dalam skema relasional misalnya seperti kehilangan figur signifikan seperti orangtua atau pengasuh dapat membuat pola attachment yang telah ada sebelumnya

16 berubah, sebab istri perwira belum tentu mendapatkan figur signifikan yang sama seperti figur yang hilang. Pada umumnya, setelah menikah istri perwira akan tinggal berpisah dengan orangtuanya yang mengakibatkan figur signifikan ibu yang biasanya selalu ada setiap saat akan berkurang atau hilang dan suami sebagai figur signifikan yang baru belum tentu sama seperti ibu. Hal ini dapat membuat pola attachment istri perwira berubah bisa ke arah secure atau sebaliknya ke arah insecure. Walaupun ibu dan suami merupakan individu yang berbeda namun dengan kualitas kasih sayang yang sama yang diberikan oleh kedua figur signifikan tersebut kepada istri perwira dapat membuat pola adult attachment istri perwira tetap secure. Faktor kepribadian dapat memengaruhi pola attachment istri perwira. Faktor kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada diri figur signifikan sehingga akan berpengaruh pada bagaimana figur signifikan bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda sehingga pola attachment dari satu figur signifikan dengan figur signifikan yang lain bisa mengubah pola attachment yang tertanam dalam diri istri perwira. Ibu sebagai figur signifikan memiliki kepribadian yang berbeda dengan suami sebagai figur signifikan yang baru sehingga bisa memengaruhi bagaimana perilaku istri perwira saat berhadapan dengan trait kepribadian suami yang dominan. Perilaku istri yang berbeda saat berhadapan dengan kepribadian ibu dan suami dapat membentuk pola attachment ke arah yang secure atau sebaliknya ke arah insecure. Faktor kepribadian ini akan dibahas menggunakan teori Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience). Misalnya sebelum menikah istri perwira memiliki pola adult attachment secure terhadap ibunya, kemudian ketika menikah dengan suami yang memiliki trait kepribadian agreeableness tinggi yang pada umumnya lembut, dapat dipercaya, suka menolong, pemaaf, dan penurut akan mengarahkan pola adult attachment istri perwira ke arah secure yang berarti pola adult attachment istri perwira stabil. Namun ketika istri perwira menikah dengan

17 suami yang memiliki trait kepribadian agreeableness rendah yang biasanya sinis, kasar, tidak kooperatif, pendendam, dan manipulatif, mungkin akan mengarahkan pola adult attachment istri perwira ke arah insecure. Faktor kombinasi kepribadian dengan situasi berarti kepribadian unik yang dimiliki setiap istri perwira menjadikan mereka memiliki cara beradaptasi yang berbeda dalam setiap situasi. Noftle dan Shaver (2005) menemukan bahwa trait dari Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience) memiliki keterkaitan dengan dimensi adult attachment. Conscientiousness berkorelasi positif dengan skor dimensi avoidance dan anxiety yang rendah. Istri perwira dengan trait Conscientiousness biasanya akan kompeten dan memiliki disiplin diri. Istri perwira dengan kontrol diri yang baik akan lebih puas dalam menjalin relasi dengan pasangan dan memiliki pola attachment yang lebih secure. Neuroticism berkorelasi positif dengan dimensi avoidance dan anxiety, khususnya anxiety. Avoidance dan anxiety adalah bentuk dari ketidaknyamanan dan begitu juga neuroticism yang merupakan bentuk dari ketidaknyamanan. Pola insecure tipe anxious akan terbentuk jika seseorang merasa tidak dicintai. Untuk memperjelas uraian di atas, maka dibuat skema sebagai berikut:

18 Faktor yang memengaruhi : Situasi dan perubahan Perubahan dalam skema relasional Kepribadian Kombinasi kepribadian dengan situasi Istri perwira Pola attachment sebelum menikah Menikah Pola attachment setelah menikah Dimensi attachment : Dimensi attachment : Avoidance Avoidance Anxiety Anxiety Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pikir 1.6. Asumsi - Pola adult attachment istri perwira setelah menikah berkaitan dengan suami yang dipengaruhi oleh faktor situasi dan perubahan, perubahan dalam skema relasional, kepribadian, serta kombinasi kepribadian dengan situasi. - Attachment berawal dari ikatan emosional dengan ibu sebagai figur signifikan. - Pola adult attachment merupakan pencerminan dari attachment terhadap ibu. - Pola adult attachment istri perwira sebelum menikah kemungkinan akan tercermin pada pola adult attachment istri perwira setelah menikah, namun ada juga kemungkinan pola adult attachment sebelum menikah tidak tercermin pada pola adult attachment setelah menikah.

19 1.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan antara pola adult attachment sebelum dan setelah menikah pada istri perwira di Dinas X Bandung.