BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PERHITUNGAN FAKTOR KOREKSI VCORR DAN TCORR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PERHITUNGAN RD, RS, PERSEN PWH, JARAK SARAD RATA RATA DI PETA BERDASARKAN METODE SACHS (1968)

BAB III METODE PENELITIAN

KUALITAS PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN PADA PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI

PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PERSEN PWH : JONIGIUS DONUATA NIM : : KETEKNIKAN KEHUTANAN PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan tepat. Sumber daya hutan dapat menghasilkan hasil hutan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

BAB I PENDAHULUAN. potensi kayu dan prasarana pemanenan kayu dari hutan tergolong memadai

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pasal 23 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, tujuan pemanfaatan

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

B. BIDANG PEMANFAATAN

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

BAB III METODE PENELITIAN

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang dikaruniakan oleh

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

di KH. Suban leriji. Peserta magang ditempatkan sebagai Kasie. Pembangunan lalan dan lembatan.

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

Pengertian, Konsep & Tahapan

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

KISI KISI SOAL UKG 2015 PAKET KEAHLIAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu,

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mempersiapkan dan memudahkan

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

Pengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014

FORMAT PENYUSUNAN USULAN RENCANA KERJA TAHUNAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKTUPHHK-HTI)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

PENDAHULUAN. Salah satu kegiatan yang termasuk dalam kegiatan pemanenan hasil hutan

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

FORMAT PENYUSUNAN USULAN BAGAN KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (BKUPHHK-HTI)

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

KETERBUKAAN AREAL HUTAN AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI PULAU SIBERUT KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT ADYTIA MACHDAM PAMUNGKAS

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

TEKNIK PENGANGKUTAN KAYU DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014

PAPER BIOMETRIKA HUTAN PENDUGAAN POTENSI EKONOMI TEGAKAN TINGGAL PADA SUATU PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) Oleh : Kelompok 4

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PERANCANGAN PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN (PWH) DENGAN UTILITY ANALYSIS

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM

RANCANG BANGUN JALAN USAHATANI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN LATAR BELAKANG. Defisit kemampuan

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

BAB I PENDAHULUAN. pulau-pulau : Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Gambut adalah tanah lunak,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

3 2.1 PWH BAB II TINJAUAN PUSTAKA PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi antar pusat kegiatan. PWH diwujudkan oleh penyediaan jaringan angkutan, barak kerja, dan penimbunan kayu. Jalan hutan adalah jalan angkutan yang diperlukan untuk mengangkut kayu/ hasil hutan ke tempat pengumpulan hasil hutan (TPn/ TPK) atau ke tempat pengolahan hasil hutan. Jalan induk adalah jalan hutan yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pengusahaan hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan (Dephut 1993). PWH adalah kegiatan kehutanan yang menyediakan prasarana/ infrastruktur (jaringan jalan, log pond, base camp induk dan base camp cabang, base camp pembinaan hutan, tempat penimbunan kayu/ TPK, tempat pengumpulan kayu/ TPn, jembatan dan gorong-gorong, dan menara pengawas) dalam melancarkan kegiatan pengelolaan hutan. Pada Pengelolaan hutan lestari, prasarana PWH yang dibangun harus bersifat permanen karena peranan PWH dalam pengelolaan hutan lestari adalah harus dapat melayani kebutuhan pengelolaan hutan masa kini dan masa yang akan datang. Ciri-ciri PWH yang merupakan persyaratan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dapat dilihat dari desainnya yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Keselamatan kerja karyawan dan umum. 2. Sesuai dengan bentang alam. 3. Mengakomodasi 50-100 tahun banjir. 4. Menghindari kerusakan kawasan lindung dan gangguan terhadap flora dan fauna langka atau yang dilindungi. 5. Bahaya erosi. 6. Pengembangan akses masyarakat setempat. Hutan alam maupun hutan tanaman tidak akan dapat dikelola secara lestari bila persyaratan PWH yang memadai belum dipenuhi. Hal ini mengingat PWH merupakan persyaratan utama bagi kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam pengelolaaan hutan (Elias 2008). Menurut Elias (2000),

4 penerapan Reduce Impact Logging (RIL) di hutan alam Indonesia, ada 6 titik krusial perbaikan/ penyempurnaan teknik/ teknologi yang perlu mendapat perhatian, yaitu : 1. Perencanaan sebelum pemanenan kayu. 2. PWH (desain, lay out jaringan jalan, base camp, TPK dan TPn, konstruksi dan pemeliharaan sarana dan prasaran PWH). 3. Operasi penebangan. 4. Operasi Penyaradan. 5. Operasi pengangkutan. 6. Rencana pengaturan tegakan tinggal setelah pemanenan kayu. Filosofi PWH adalah menciptakan kondisi yang baik agar prasyaratprasyarat pengelolaan hutan yang lestari dapat terwujud. Konsep PWH yang baik adalah harus memperhatikan perpaduan aspek teknis, ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat setempat dalam pembukaan dasar wilayah hutan, pembukaan tegakan, pemilihan sistem pemanenan kayu, penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan hutan yang dipakai. Aspek teknis meliputi sifat penggunaan sarana PWH yaitu permanen, semi permanen, dan tidak permanen, kapasitas daya dukung jalan, lalu lintas, arah transportasi, jangkauan dan kecepatan transportasi. Aspek ekonomis meliputi besarnya investasi prasarana PWH, biaya untuk pengangkutan barang, hasil hutan, dan pemeliharaan. Aspek ekologis mencakup kerusakan terhadap ekosistem hutan, kerusakan hutan dan tanah, dan bahaya erosi (Elias 2008). PWH dimaksudkan untuk menyediakan prasarana bagi kegiatan pemungutan hasil hutan. Kegiatan PWH meliputi pembangunan base camp, pembuatan jalan dan jembatan. Salah satu kegiatan yang penting dalam kegiatan PWH adalah pembuatan jalan hutan. Jalan hutan berfungsi sebagai sarana pengawasan, pengangkutan bibit, buruh, material dan hasil hutan. Jaringan jalan merupakan basis dalam pemungutan hasil hutan daripada ekonomi pemanenan hasil hutan. Perencanaan jalan yang baik dapat menunjang penghematan ongkos pengangkutan hasil hutan. Perencanaan jalan hutan dikenal istilah kerapatan jalan yang merupakan salah satu faktor ekonomis atau tidaknya panjang jalan rata-rata yang dibuat persatuan luas (m/ha) (Dulsalam 1998).

5 Jaringan jalan hutan dibagi menjadi empat jalan, yaitu jalan induk, jalan cabang, jalan ranting, dan jalan sarad. Jalan induk direncanakan dengan pertimbangan yang luas serta konstruksi yang lebih baik sehingga dapat berfungsi dalam jangka waktu yang lama serta berkapasitas yang tinggi. Jalan cabang merupakan jalan yang lebih rendah persyaratan dan kualitasnya dibandingkan jalan induk. Jalan cabang berfungsi sebagai penghubung antara jalan induk dan jalan ranting. Jalan ranting berfungsi menghubungkan jalan cabang dengan suatu unit tebangan. Jalan ini digunakan selama ada pengangkutan dari unit tebangan yang bersangkutan. Penyaradan kayu dapat berjalan lancar dengan cara membuat jalan sarad yang menghubungkan kedua tempat tersebut (Tinambunan 1975). Elias (2008) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi dan standar teknisnya, jalan hutan dibagi menjadi 5, yaitu : jalan koridor, jalan utama, jalan cabang, jalan ranting, dan jalan sarad. Jalan koridor merupakan jalan hutan yang bersifat permanen dan diperkeras yang menghubungkan areal hutan yang dikelola dengan lalu lintas jalan umum atau sungai. Jalan utama adalah jalan hutan yang menghubungkan bagian wilayah hutan yang dikelola satu sama lainnya, bersifat permanen dan diperkeras. Jalan cabang merupakan jalan hutan yang berfungsi menghubungkan antara petak atau kompartemen, bersifat permanen dan diperkeras. Jalan ranting adalah jalan hutan yang menghubungkan kompartemen untuk memperlancar kegiatan pengelolaan hutan, bersifat semi permanen dan tidak diperkeras. Jalan sarad merupakan jalan hutan yang menghubungkan antara tunggak kayu dengan tepi jalan ranting atau jalan cabang atau TPn, bersifat tidak permanen dan tidak diperkeras. Pembuatan jalan angkut tidak diperkenankan melalui areal hutan lindung atau kawasan konservasi (Taman Nasional atau Suaka Alam). Pada sisi kiri dan kanan jalan angkutan harus dibuat drainase/ saluran pembuangan air. Peta PWH dibuat dengan skala 1:10000 yang menggambarkan : a. Rencana jalan induk, jalan sarad, TPn, dan TPK. b. Jalan induk dan jalan cabang. c. Jalan sarad, TPn, TPK, log yard dan kemah kerja.

6 Jalan cabang adalah jalan hutan yang bermuara pada jalan induk yang dipergunakan untuk kegiatan pengusahaan hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan. Jalan sarad adalah jalan hutan yang bermuara pada jalan cabang yang dapat dipergunakan untuk kegiatan penyaradan kayu bulat. Jembatan adalah bangunan penyambung jalan hutan yang terputus oleh sungai, saluran besar, atau jurang. Spesifikasi jalan adalah kondisi jalan hutan dengan unsur-unsur : kekuatan menahan lalu lintas yang berjalan dengan frekuensi tertentu, dan kecepatan lalu lintas baik dalam keadaan isi maupun kosong. Pemeliharaan jalan adalah usaha yang digunakan untuk mempertahankan kondisi jalan pada tingkat spesifikasinya, dan dilakukan sebelum atau selama kegiatan produksi dan pembinaan hutan dilakukan (Dephut 1993). Bangunan jalan hutan dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu badan jalan dan lapisan pengeras. Masing-masing bagian mempunyai persyaratan tertentu agar dapat berfungsi dengan baik dalam segala keadaan cuaca dan lalu lintas di atas jalan tersebut. Badan jalan adalah bagian fundamen suatu bangunan gedung. Jika fundamen ini tidak kuat, gedung itu dapat turun dan retak-retak, bahkan dapat runtuh. Lapisan pengeras jalan yang baik harus memenuhi dua syarat, yaitu : secara keseluruhan pengeras jalan harus cukup kuat untuk memikul beban kendaraan yang melintasinya, dan permukaan jalan harus tahan terhadap gaya gesek roda kendaraan dan pengaruh air (Tinambunan & Suparto 1999). 2.2 PWH Konvensional vs PWH Reduce Impact Logging (RIL) Tujuan PWH yang hanya mengeksploitasi hutan semurah dan secepat mungkin, pada saat ini sudah tidak bisa ditolelir lagi karena sangat merusak lingkungan dan tidak dapat menjamin pengelolaan hutan secara lestari. Ciri-ciri tujuan PWH yang hanya mengeksploitasi hutan adalah sebagai berikut : 1. Tujuan utamanya mengeluarkan kayu dan hasil hutan lainnya dari hutan semurah mungkin. 2. PWH hanya dirancang untuk tindakan jangka pendek, yaitu pada waktu akan diadakan pemanenan kayu dan hasil hutan lainnya, dan prasarana yang dibangun pada umumnya kualitasnya rendah.

7 3. Setelah eksploitasi hutan selesai, prasarana PWH yang sudah dibangun tidak dipelihara. Pada pemanenan kayu dengan cara konvensional aspek perencanaan pemanenan kayu kurang mendapat perhatian sehingga kerapatan jalan saradnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kerapatan jalan pada pemanenan menggunakan sistem RIL (Elias 2008). Menurut Elias (2008), pengelolaan hutan alam tropika di Indonesia, Malaysia, dan Brasilia mempunyai kerapatan jalan sarad pada pemanenan kayu konvensional berkisar antara 125-225 m/ha, dengan luas tanah yang terbuka antara 9-28 %. Kerapatan jalan sarad yang terjadi pada pemanenan kayu dengan teknik RIL hanya berkisar antara 60-125 m/ha, dengan luas keterbukaan tanah berkisar 5-14%. Berdasarkan informasi tersebut disarankan menggunakan teknik RIL dalam pemanenan kayu karena dapat menurunkan keterbukaan tanah akibat penyaradan sampai 50% dari luas keterbukaan tanah yang disebabkan penyaradan dengan cara pemanenan kayu konvensional. Tabel 1 menyajikan data kerapatan jalan sarad akibat pembuatan jalan sarad di hutan Kalimantan dan Malaysia. Tabel 1 Kerapatan jalan sarad dan keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad No Peneliti Tempat penelitian Pemanenan kayu Cara konvensional Cara RIL Kerapatan jalan sarad (m/ha) Keterbukaan tanah (%) Kerapatan jalan sarad (m/ha) Keterbukaan tanah (%) 1 Elias 1998 PT. Sumalindo - 8,73-5,21 Lestari Jaya IV, Kab Bakau, Kalimantan Timur 2 March et al Sabah, Malaysia 199 17,00 67 7,00 1993 3 Bertault and Sist 1995 STREK PROJECT PT. Inhutani II, Kab Berau, Kalimantan Timur 4 Muhdi 2001 PT. Suka Jaya Makmur, kab Ketapang, Kalimantan Barat 5 Project ITTO PD 14/95 Rev.2 (F) Sumber : Elias (2008) - 27,80-13,90 197 18,25 110 8,50 Serawak, Malaysia 212 10,50 92 4,50

8 Tabel 2 menyajikan beberapa penelitian tentang keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad pada pemanenan kayu di hutan alam tropika tanah kering Indonesia di berbagai perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. Tabel 2 Persen keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan sarad pada pemanenan kayu di hutan alam tropika tanah kering Indonesia No Peneliti Lokasi Penelitian Keterbukaan tanah (%) 1 Abdulhadi et. al Lempaka, Kalimantan Timur 17,00 1981 2 Butar-Butar 1991 PT. Austral Byna, Kalimantan 20,79 Tengah 3 Yanuar 1992 PT. Kayu Pesaguan, Kalimantan 14,23 Barat 4 Elias et al 1993 PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur 16,42 17,34 Sumber : Elias (2008) Tabel 3 menyajikan luas, volume pemanenan, kerapatan jalan hutan, keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan hutan, tanjakan dan turunan maksimum, dan struktur permukaan jalan induk pada PT. Hatma Sari dan PT. Heecing Timber. Tabel 3 Luas, volume pemanenan, jalan hutan, kerapatan jalan, dan keterbukaan tanah akibat pembuatan jalan No Uraian Perusahaan PT. Hatma Sari PT. Heecing Timber 1 Luas bekas tebangan (ha) 19940 35021 2 Total volume kayu dipanen (m 3 ) 385794 934040 3 Kerapatan jalan utama (m/ha) 3,21 4,65 4 Keterbukaan jalan utama (%) 0,39 0.56 5 Permukaan jalan induk Tidak diperkeras dan dipadatkan 6 Tanjakan maksimum angkutan (%) 15-18 7 Kerapatan jalan cabang (m/ha) 1,92 6,54 8 Keterbukaan jalan cabang (%) 0,17 0,59 9 Tanjakan dan turunan maksimum (%) 20 Sumber : Tinambunan (1991)

9 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dulsalam (1998) di PT Oceanias Timber Products (A) dan PT Segara Inochem (B) di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pada perusahaan A dengan rata-rata produksi adalah sebesar 3146,64 m 3, dan kerapatan jalan hutan 9 m/ha, menghasilkan rata-rata keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan hutan adalah sebesar 425 m 2 /ha (4%), sedangkan di perusahaan B dengan produksi 3562,86 m 3, dan kerapatan jalannya adalah sebesar 12 m/ha, diperoleh rata-rata keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan hutan adalah sebesar 594 m 2 /ha atau 6%. 2.3 Penilaian PWH Parameter PWH digunakan untuk mengetahui baik tidaknya kualitas jaringan jalan hutan yang sudah dibuat maupun yang akan direncanakan. Parameter PWH terdiri atas kerapatan jalan (WD), spasi jalan (WA), persen PWH (E), jarak sarad rata-rata (RE), faktor koreksi PWH (KG), dan keterbukaan tegakan akibat pembukaan wilayah hutan. Kerapatan jalan merupakan panjang jalan rata-rata dalam satuan meter per hektar (m/ha). Tingkat kerapatan jalan akan menentukan banyaknya hasil hutan yang diangkut melalui jalan tersebut. Pada potensi produksi yang sama, makin besar tingkat kerapatan yang dibuat maka hasil hutan yang diangkut melalui jalan tersebut makin kecil (Dulsalam 1994). Spasi jalan adalah jarak rata-rata antara jalan angkutan kayu yang dinyatakan dalam satuan meter atau hektometer. Jarak sarad rata-rata dibagi menjadi tiga, yaitu jarak sarad rata-rata secara teoritis (REo), jarak sarad rata-rata terpendek sebenarnya (REm), dan jarak sarad rata-rata sebenarnya (REt). REo adalah jarak terpendek rata-rata secara teoritis dari tempat penebangan sampai dengan jalan angkut. REm adalah jarak terpendek rata-rata dari tempat penebangan sampai dengan jalan angkut terdekat di lapangan. REt adalah jarak sarad rata-rata yang sebenarnya ditempuh di lapangan dari tempat penebangan sampai dengan tempat pengumpulan kayu (TPn/ landing) atau jalan angkut. Faktor koreksi PWH dibagi menjadi faktor koreksi jaringan jalan (Vcoor) dan faktor koreksi jarak sarad (Tcoor). Perkalian antara Vcoor dengan Tcoor merupakan faktor koreksi PWH. Vcoor adalah perbandingan antara jarak sarad rata-rata terpendek ke jalan angkut dengan jarak sarad rata-rata secara teoritis dari

10 model ideal PWH. Tcoor adalah perbandingan antara jarak sarad rata-rata sebenarnya di lapangan dengan jarak sarad rata-rata terpendek di lapangan. Persen PWH adalah perbandingan antara luas wilayah yang terbuka (terlayani atau dapat dijangkau dengan mudah dengan adanya PWH) dengan luas total hutan yang dinyatakan dalam persen. Tabel 4 adalah penilaian kualitas PWH jika dilihat dari nilai persen PWH-nya. Tabel 4 Parameter penilai kualitas PWH E(%) Vcoor Penilaian kualitas PWH < 65 > 1,54 Tidak baik 65 70 1,54-1,43 Cukup baik 70 75 1,43 1,33 Baik 75 80 1,33 1,25 Sangat baik > 80 < 1,25 Luar biasa baik Keterangan : E = persen PWH (%) Vcoor = faktor koreksi PWH Sumber : Elias (2008) Kemiringan maksimum memanjang jalan di lapangan tidak boleh melebihi 10% untuk jalan koridor, 15% untuk jalan utama, dan 18% untuk jalan cabang dan jalan ranting. Jari-jari belokan minimum jalan hutan adalah 25 m (Elias 2008). Kerusakan tegakan akibat PWH merupakan perkalian antara panjang jalan dan lebar jalan yang telah dibuka dibagi dengan luas petak tebangan dalam bentuk persen. Kerapatan jalan adalah perbandingan antara panjang jalan (m) dengan luas areal unit kerja produksi (ha) dengan satuan m/ha. Intensitas PWH ditentukan dengan mempertimbangkan potensi tegakan hutan, intensitas kerja, keadaan lapangan, dan kepentingan kondisi lahan hutan (Dephut 1993). Menurut Elias (2008), intensitas PWH pada umumnya dinyatakan dalam kerapatan jalan hutan (m/ha), yang terdiri atas kerapatan jalan utama, jalan cabang, dan jalan ranting. Intensitas PWH digunakan untuk memenuhi tuntutan mewujudkan prasyarat-prasyarat pengelolaan hutan secara lestari yang dapat digolongkan dalam 3 kategori, yaitu : 1. PWH intensitas rendah, kerapatan jalannya < 15 m/ha. 2. PWH intensitas sedang, kerapatan jalannya berkisar antara 16-30 m/ha. 3. PWH intensitas tinggi, kerapatan jalannya > 30 m/ha.

11 Intensitas PWH dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya termasuk rendah sampai sedang. Contoh PWH hutan jati dan hutan rimba di Jawa termasuk PWH dengan intensitas rendah. PWH hutan alam tropika tanah kering yang diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Kalimantan dan Sumatera pada umumnya termasuk PWH dengan intensitas sedang, dan pada Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bahan baku pulp dan kertas di Sumatera Selatan dan Riau termasuk PWH dengan intensitas tinggi (Elias 2008). Berdasarkan Departemen Kehutanan (Dephut) pada tahun 1993, spesifikasi jalan hutan untuk jalan induk dan jalan cabang adalah sebagai berikut : a. Jalan induk dengan pengerasan mempunyai spesifikasi : 1) Umur permanen 2) Sifat segala cuaca 3) Lebar jalan berikut bahu 12 m 4) Lebar permukaan yang diperkeras 6-8 m 5) Tebal pengerasan 20-50 cm 6) Tanjakan menguntungkan maksimum 10% 7) Tanjakan merugikan maksimum 8% 8) Jari-jari belokan minimum 50-60 m 9) Kapasitas muatan minimum 60 ton b. Jalan induk tanpa pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur 5 tahun 2) Sifat musim kering 3) Lebar jalan berikut bahu 12 m 4) Tanjakan menguntungkan maksimum 10% 5) Tanjakan merugikan maksimum 8% 6) Jari-jari belokan maksimum 50-60 m 7) Kapasitas muatan minimum 60 ton c. Jalan cabang dengan pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur 5 tahun 2) Sifat segala musim 3) Lebar jalan berikut bahu 8 m

12 4) Lebar permukaan yang diperkeras 4 m 5) Tebal pengerasan 10-20 cm 6) Tanjakan menguntungkan maksimum 12% 7) Tanjakan merugikan maksimum 10% 8) Jari-jari belokan minimum 50 m 9) Kapasitas muatan minimum 60 ton d. Jalan cabang tanpa pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur 5 tahun 2) Sifat musim kering 3) Lebar jalan berikut bahu 12 m 4) Tanjakan menguntungkan maksimum 10% 5) Tanjakan merugikan maksimum 8% 6) Jari-jari belokan minimum 50-60 m 7) Kapasitas muatan minimum 60 ton 2.4 Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah salah satu sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam tak seumur di Indonesia. Salah satu subsistem dari sistem pengelolaan hutan, sistem silvikultur merupakan sarana utama untuk mewujudkan hutan dengan stuktur dan komposisi yang dikehendaki. Pelaksanaan suatu sistem silvikultur yang sesuai dengan lingkungan setempat telah menjadi tuntutan demi terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Tujuan TPTI adalah terbentuknya stuktur dan komposisi tegakan hutan alam tak seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya. Usaha untuk mewujudkan tegakan optimal dan lestari tersebut harus dapat dilakukan secara praktis, ekonomis, dan memudahkan pemantauan dan penilaian pelaksanaanya. Sasaran sistem TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan keanekaragaman hayati tinggi. Unit kegiatan elemen TPTI per satuan waktu (tahun) adalah petak kerja (Dephut 1993).

13 Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.208/Kpts-II/2003 pasal 1 yang berisi tentang pengelolaan hutan secara lestari adalah pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi, yang antara lain meliputi : (a) kawasan hutan yang mantap, (b) produksi yang berkelanjutan, (c) manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan, dan (d) lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam yang sebelumnya disebut HPH adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan, penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan berupa kayu. Bagi IUPHHK-HA yang mendapat sertifikat PHAPL Mandatory (dengan peringkat nilai baik), diberi insentif berupa Self Approval Rencana Kerja Tahunan, dengan jatah tebang sesuai kemampuan sebenarnya. IUPHHK yang tidak mendapat sertifikat (nilai buruk dan sangat buruk), dan IUPHHK yang belum dinilai kinerja PHAPL-nya, pemerintah berkewajiban membina, dan mendorong agar IUPHHK-HA yang bersangkutan memperbaiki dan meningkat kinerjanya sehingga memperoleh sertifikat PHAPL baik Mandatory maupun Voluntary. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 4795/Kpts-II/2002, yang dimaksud dengan PHAPL adalah serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial dari hutan alam produksi. Unit PHAPL adalah kesatuan hutan alam produksi terkecil yang ditetapkan batas-batasnya secara jelas dan dikelola untuk mencapai hutan lestari berdasarkan suatu rencana pengelolaan jangka panjang. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) adalah strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi-fungsi produksi atau ekologi atau lingkungan dan sosial (Winarto 2000).

14