BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Fungsi tanah ulayat kaum sebagai harta pusaka tinggi Tanah ulayat sebagai harta pusaka tinggi mempunyai fungsi sosial untuk kesejahteraan bersama anggota kaum. Setelah dilakukannya perbuatan hukum jual beli (tanah ulayat tersebut telah dijual), maka sifat hak komunal tanah ulayat tersebut menjadi hilang dan beralih fungsi dari fungsinya semula (yaitu untuk kepentingan sosial/kaum), menjadi hak sepenuhnya dari pembeli (sebagai pemegang hak terakhir). Artinya, fungsi awal dari tanah ulayat tersebut menjadi hilang sehingga mengakibatkan pembeli bebas memanfaatkan tanah tersebut tanpa ada campur tangan anggota kaum pemilik tanah ulayat tersebut dan tanah tersebut tidak lagi merupakan tanah ulayat. 2. Kajian yuridis praktek jual beli tanah ulayat kaum yang belum bersertipikat di Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya, dilakukan dengan cara :
a. Untuk tanah ulayat kaum sebagai harta pusaka tinggi dilakukan dengan dua cara, yaitu jual beli sebidang kebun dan Jual beli sebidang kebun diikuti dengan hibah tanah ulayat. 1) Jual beli sebidang kebun, maksudnya adalah jual beli ini hanya meliputi kebun atau pertaniannya saja dan tidak sekaligus dengan tanahnya. Setelah kebun tersebut tidak dapat diambil hasilnya lagi (kebun tersebut telah musnah), maka penguasaan tanah ulayat tersebut kembali kepada pemilik semula, yaitu milik ulayat. Jual beli ini dilakukan secara dibawah tangan dan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik ulayat jika tanah tersebut telah dibagibagikan kepada anggota kaum. 2) Jual beli sebidang kebun diikuti dengan hibah tanah ulayat, yaitu hanya berupa jual beli sebidang kebun, akan tetapi pada akhirnya pembeli memiliki hak penuh terhadap tanah ulayat tersebut karena jual beli sebidang kebun ini diikuti dengan proses hibah tanah ulayat dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Jual beli ini dilakukan secara dibawah tangan dengan prosedur sebagai berikut : a) Musyawarah untuk mufakat b) Membuat surat persetujuan kaum c) Membuat konsep jual beli d) Hibah dari penjual kepada pembeli
b. Untuk tanah ulayat kaum sebagai harta pusaka rendah dilakukan dengan dua cara pula, yaitu jual beli dihadapan PPAT dan Jual beli secara dibawah tangan. 1) Jual beli dihadapan PPAT, yaitu terhadap tanah ulayat yang telah mempunyai sertipikat (tanah ulayat tersebut telah disertipikatkan oleh pemegang haknya), adapun ketentuan dan syarat-syarat jual beli tersebut dipersamakan dengan jual beli tanah menurut UUPA. 2) Jual beli secara dibawah tangan, yaitu terhadap tanah ulayat yang belum mempunyai sertipikat atau bisa juga untuk tanah ulayat yang telah bersertipikat. Jual beli tanah ulayat sebagai harta pusaka rendah ini tidak memerlukan persetujuan kaum (tidak perlu adanya musyawarah kaum), karena tanah tersebut telah diperuntukkan oleh kaum sebagai harta milik pribadi salah seorang anggota kaum. 3. Hak Kaum sebagai Pemilik Harta Pusaka Tinggi untuk Menuntut Kembali Harta Pusaka Tinggi yang Telah Diperjualbelikan Sepanjang harta pusaka tinggi itu hanya ada surat jual belinya saja, anggota kaum dapat menuntut kembali tanah ulayat yang telah diperjualbelikan dengan pihak lain tersebut. Hal tersebut dikarenakan surat jual beli dipandang belum memiliki hak penguasaan penuh, seperti yang biasanya tertulis dalam surat jual beli antara pihak pertama (penjual) dan Pihak kedua (Pembeli) hanya dikatakan menjual sebidang kebun dalam arti tidak beserta tanahnya, kecuali seseorang telah mendapatkan hibah dari pemilik ulayat, maka anggota kaum tidak dapat mengganggu gugat
status kepemilikan tanah yang telah diserahkan kepada seseorang melalui hibah. Artinya, apabila seseorang telah memegang surat hibah tanah maka kaum bersangkutan atau orang lain tidak dapat mengganggu gugat dan mengambil tanah tersebut.
B. Saran 1. Tanah ulayat kaum sebaiknya tidak diperjualbelikan, akan tetapi diatur pengelolaannya dengan baik dan benar, seperti dengan hanya memberikan hak sewa, Hak Guna Usaha dan sebagainya dengan jangka waktu tertentu, sehingga dengan berakhirnya jangka waktu yang telah diperjanjikan tersebut penguasaan tanah ulayat kembali kepada anggota kaum sebagai pemilik yang sebenarnya, dengan demikian keberadaan tanah ulayat tetap terjaga dan tidak musnah atau tidak beralih kepenguasaannya kepada pihak lain yaitu pihak diluar ulayat kaum yang bersangkutan, sehingga fungsi yang sebenarnya dari tanah ulayat kaum tersebut tetap terjaga. 2. Setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah ulayat kaum, baik tanah ulayat yang merupakan harta pusaka tinggi maupun sebagai harta pusaka rendah sebaiknya tetap berdasarkan kepada persetujuan/ kesepakatan kaum, karena pada dasarnya tanah tersebut merupakan tanah milik bersama anggota kaum dan bukan sebagai harta milik pribadi seseorang. Selain itu, sebaiknya sistem administrasi pertanahan di Indonesia dewasa ini yang menganut sistem transasksi tanah melalui PPAT saja, sebaiknya diganti. Kewenangan publik dari pimpinan masyarakat hukum adat harus tetap dihidupkan dan digunakan. Caranya, setiap transasksi terhadap tanah ulayat yang dilaksanakan melalui PPAT harus terlebih dahulu disetujui oleh pimpinan masyarakat hukum adat dan kepala desa, terutama mengenai kepada siapa tanah tertentu akan dialihkan
haknya, sehingga fungsi kontrol terhadap transaksi tanah tetap ada di tangan mereka. 3. Jika pihak pembeli ingin memiliki bukti kepemilikian yang lebih kuat lagi terhadap tanah yang telah dibelinya tersebut, maka sebaiknya pihak pembeli membuat surat persetujuan kaum untuk menjual tanah ulayat tersebut secara otentik atau paling tidak dilegalisasi oleh notaris. Hal ini untuk mendapatkan kepastian hukum dari kesepakatan yang telah dibuat, agar apabila dikemudian hari ada diantara anggota kaum yang telah memberikan persetujuan mengingkarinya, maka surat persetujuan kaum yang telah dibuat sebelumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti tertulis oleh pihak penjual untuk mempertahankan hak miliknya, sehingga dengan adanya perbuatan hukum jual beli terhadap tanah ulayat, mengakibatkan kaum sebagai pemilik awal dari harta pusaka tinggi tidak mempunyai hak untuk menuntut kembali harta pusaka tinggi yang telah diperjualbelikan, karena sudah ada surat persetujuan kaum, surat jual beli dan surat hibah.