BAB II BENTUK KUASA YANG TIMBUL DALAM JUAL BELI TANAH. sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 47

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II BENTUK KUASA YANG TIMBUL DALAM JUAL BELI TANAH. sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 47"

Transkripsi

1 BAB II BENTUK KUASA YANG TIMBUL DALAM JUAL BELI TANAH A. Jual Beli Tanah 1. Jual Beli Tanah Menurut KUHPerdata Jual beli menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 47 Dalam jual beli selalu terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan, yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Dari sisi perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual dan penyerahan uang dari pembeli. 48 KUHPerdata melihat jual beli hanya dari sisi perikatannya oleh karena itu jual beli dimasukkan dalam buku ke III KUHPerdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual 47 Richard Eddy, Aspek Legal Properti, Teori, Contoh, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Jual Beli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.7. 25

2 26 beli tersebut dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah kedua belah pihak telah sepakat mengenai barang dan harganya, meskipun barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 49 Dengan terjadinya jual beli itu saja hak milik atas benda yang bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya, walaupun harganya sudah dibayar dan tanahnya sudah diserahkan ke dalam kekuasaan pembeli. Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan apa yang disebut penyerahan yuridis, 50 yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta di muka pejabat yang berwenang dan dilakukan pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (sekarang bernama Kantor Pertanahan). Perbuatan hukum itu sering disebut balik nama. Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu, baik pembeli maupun penjual wajib hadir. Biasanya penjual setelah melakukan perjanjian jual beli memberi kuasa kepada pembeli untuk hadir dan melaksanakan penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika harganya sudah dibayar lunas. Perjanjian jual beli pengaturannya termasuk dalam hukum perjanjian (hukum perikatan), sedangkan penyerahan yuridisnya termasuk hukum benda (hukum tanah 49 Richard Eddy, Op.Cit., hlm Menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata antara lain membukukannya dalam register untuk itu. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maka pemegang hak atas tanah wajib mendaftarkan setiap perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar kepada Kantor Pertanahan setempat..

3 27 atau hukum agraria). 51 Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya kerugian dan bunga jika si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain. Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah, maka pembelian adalah batal. Tetapi apabila yang musnah hanya sebagian saja, maka pembeli dapat memilih antara pembatalan atau pembelian sisa barang. 52 Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUHPerdata, perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi : Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 53 Mengenai jual beli terdapat dua syarat sahnya jual beli tersebut, yaitu : a. Syarat materiil Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tersebut, antara lain : 1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. 51 Maria SW. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm.2.

4 28 Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memiliki hak milik. Jika pembeli hak milik adalah warga negara asing, mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik tersebut adalah batal karena hukum dan tanah jatuh pada Negara, dengan ketentuan seperti diatur dalam Pasal 21 ayat (3) hapus dalam satu tahun jika tidak dipindahkan kepada warga negara Indonesia. Khusus jika tanah itu dibebani dengan suatu hak maka hak tersebut tidak berakhir dengan peristiwa tersebut (Pasal 26 ayat (2) UUPA). 54 2) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Apabila pemilik sebidang tanah 54 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2008), hlm

5 29 hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah tersebut. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama, tidak boleh hanya satu orang saja yang bertindak sebagai penjual. 3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa saja yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menggangap tidak pernah terjadi jual beli. 55 b. Syarat formal Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan membuat akta jual belinya. Menurut ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akta jual beli harus dibuat oleh PPAT. Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya tujuh hari kerja 55 Ibid., hlm.77.

6 30 sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada Kantor Pendaftaran Tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya. Mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam jual beli, bagi penjual ada dua kewajiban utama yaitu : a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan; Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari penjual kepada pembeli. Penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli tidak hanya sekedar kekuasaan atas barang tersebut, akan tetapi adalah penyerahan hak milik atas barangnya, jadi ada penyerahan secara yuridis yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyerahan nyata. Salah satu sifat jual beli adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja yang artinya jual beli belum memindahkan hak milik. Perjanjian baru memberikan hak kepada pembeli untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang. Hak milik atas barang tersebut baru pindah bila dilakukan penyerahan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 612, 613, 616 dan 1459 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal 612 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut: (1) Penyerahan kebendaan bergerak terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata atas kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. (2) Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

7 31 (3) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bahwa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen. Menurut ketentuan Pasal 616 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut: Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan. Beberapa ketentuan Pasal di atas tersebut dikuatkan kembali dalam Pasal 1459 KUHPerdata, yang isinya adalah Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616. Oleh karena KUHPerdata mengenal 3 macam barang, yaitu barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang itu. Dalam Pasal 612 KUHPerdata dinyatakan, penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang menerimanya. Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan balik nama dimuka pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau

8 32 pegawai penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 jo. Pasal 620 KUHPerdata, Pasal-Pasal mana berbunyi sebagai berikut : Pasal 616 KUHPerdata: penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata. Pasal 620 KUHPerdata: dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam 3 Pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada, dan dengan membukukannya dalam register. 56 Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuan mengenai pertanahan yang terdapat dalam buku II KUHPerdata. Penyerahan atas barang tak bertubuh dilakukan dengan cara cessie sebagaimana terdapat dalam Pasal 613 KUHPerdata, penyerahan-penyerahan atas piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak kebendaan itu dilimpahkan pada orang lain. b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacatcacat yang tersembunyi. 56 Ibid., hlm.9.

9 33 Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh sungguh miliknya sendiri dan bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena gugatan pihak ketiga, dengan putusan hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. Sebagaimana halnya penjual, pembeli juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut harus berupa sejumlah uang dan harus ditetapkan oleh kedua belah pihak. Jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan wanprestasi yang memberikan alasan kepada penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian menurut ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. 57 Ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, yang mana pembatalannya harus dimohonkan kepada Hakim. Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak yang haknya tidak dipenuhi dapat menuntut pemenuhan perjanjian atau dapat juga menuntut pembatalan perjanjian. 57 Ibid., hlm.23.

10 34 2. Jual Beli Menurut Hukum Agraria Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat. Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. 58 Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai. Apabila terdapat sisa harga yang belum dibayar, maka dianggap sebagai hutang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar perjanjian hutang-piutang yang dianggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera setelah jual beli tanah tersebut dilakukan. Apabila kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual beli dan dengan demikian diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan. 59 Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja, belumlah terjadi jual beli. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di hadapan kepala desa serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sedangkan sifat terang berarti jual beli tersebut dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat 58 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm Maria SW. Sumardjono, Op.Cit., hlm.138

11 35 aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, maka telah dipenuhi syarat terang. 60 Pengertian jual beli menurut hukum adat Indonesia yaitu sebagai perbuatan pemindahan hak yang bersifat terang, tunai dan nyata. Setelah diberlakukan UUPA yang merupakan unifikasi dari hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat, jual beli merupakan suatu pemindahan hak atas tanah, yaitu untuk mengalihkan suatu hak atas tanah kepada pihak lain. 61 Hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa diatur dalam UUPA Pasal 16 sampai dengan Pasal 49 UUPA. Pasal 16 ayat 1 berbunyi, hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Pasal 20 UUPA menyatakan bahwa : (1) hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. (2) hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dalam Pasal 20 UUPA ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Katakata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk membedakannya dengan lain-lainnya, 60 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, (Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, 1981), hlm.17.

12 36 yang itu untuk menunjukan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan terpenuh. 62 Hak atas tanah mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah peraturan pemerintah tentang pendaftaran tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun Peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang, sedang dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 62 Ibid., hlm.18.

13 37 Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan jenis akta yang dapat dibuat oleh PPAT. 63 Dalam hal pelaksanaan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, khususnya apabila terjadi peralihan hak atas tanah yang telah terdaftar dan hak-hak adat, baik melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, pemindahan hak dalam rangka likuidasi dan pembebanan hak, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT. Hal ini merupakan penegasan tentang kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kemungkinan bagi pengangkatan pejabat pembuat akta tanah sementara. Fungsi PPAT berada dalam rangkaian pelaksanaan pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan sebagai pelaksana pendaftaran tanah dengan menyediakan alat-alat bukti yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tertentu. 64 Oleh karena itu, ketepatan, kepastian dan kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang dibuatnya sangat menentukan bagi proses pendaftaran dan pemberian perlindungan hak atas tanah warga masyarakat. Konsekuensinya PPAT di samping harus bertanggung jawab terhadap kepastian dan kebenaran isi akta, juga 63 Terakhir telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. 64 Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2010), hlm.154.

14 38 wajib menyampaikan akta dan warkah-warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu 7 hari sejak penandatanganan akta. 65 Semua peralihan hak atas tanah dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peralihan-peralihan hak yang harus dilakukan dihadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ialah : a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik; h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. 66 Sebagai ketentuan formalnya, PPAT membuat akta dari perbuatan hukum peralihan hak tersebut dengan bentuk, isi dan cara pembuatannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (terakhir diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan 65 Ibid., hlm Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 96.

15 39 Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 67 Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Pelaksanaan landreform diatur oleh Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagaimana dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 telah disahkan menjadi Undang-Undang. Landreform dalam arti sempit adalah upaya penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep agrarian reform (pembaruan agraria). Landreform di Indonesia berinduk kepada UUPA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UUPA sebagai berikut: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dalam konsep hukum agraria nasional, bahwa landreform merupakan bagian dari struktur pembaruan agraria (agrarian reform). Maka dapat dikatakan landreform adalah agrarian reform dalam arti sempit yaitu hanya mencakup tanah, sedangkan agrarian reform dalam arti luas mencakup bumi, air dan ruang angkasa. Menurut Boedi Harsono, program landreform di Indonesia meliputi : 67 Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Op.Cit., hlm.278.

16 40 a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah. b. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee atau guntai. c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah negara. d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. 68 Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut : Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut : Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut. 68 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. ke-8, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm.353.

17 41 Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan : Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal. Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain : a. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif. b. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya. c. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut. d. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya. e. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian. f. Pengecualian terhadap ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah secara absentee, bahwa Pemilik tanah yang bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak tanahnya, asalkan masih

18 42 memungkinkan tanah pertanian itu dikerjakan secara efisien (vide Pasal 3 ayat (2) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964). 69 Adanya pelarangan penguasaan tanah guntai atau absentee tersebut, dalam prakteknya menimbulkan kesulitan terutama bagi para pengusaha yang ingin memiliki tanah pertanian di luar wilayah tempat tinggalnya, dengan demikian muncul praktek pemberian kuasa mutlak, dimana pengusaha/investor bertindak seolah-olah sebagai penerima kuasa mutlak dari pemilik tanah, namun sebenarnya pengusaha/investor itulah pemilik tanah sesungguhnya. B. Pemberian Kuasa 1. Pengertian Pemberian Kuasa Dalam perkembangan kehidupan yang sudah sangat maju sekarang ini, terkadang seseorang sudah sedemikian sibuknya dengan berbagai kepentingan sehingga seringkali untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan tersebut, ia tidak dapat hadir sendiri secara fisik. Oleh karena itu ia memerlukan jasa orang lain dalam menyelesaikan kepentingannya. Agar orang yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kepentingannya tersebut dapat bertindak atas namanya, maka dengan suatu perjanjian, ia menyerahkan kekuasaan atau wewenangnya. Kuasa adalah daya, kekuatan atau wenang. Dalam KUHPerdata tidak ada satu Pasal pun yang secara jelas menyebutkan definisi dari kuasa, yang ada hanyalah 69 Ibid., hlm.354.

19 43 pengertian dari pemberian kuasa. 70 Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Oleh karena pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian, maka pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat membuat surat kuasa yang sesuai dengan kesepakatan selain yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa, guna melakukan suatu perbuatan/tindakan untuk dapat atas nama si pemberi kuasa. 71 Dalam kesepakatan pemberian kuasa terdapat beberapa sifat pokok yaitu penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, pemberian kuasa bersifat konsensual yaitu dibuat berdasarkan kesepakatan dan kekuatan mengikat tindakan kuasa hanya terbatas pada kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa, begitu juga dalam hal tanggung jawab para pihak dalam pemberian kuasa. Dari pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut maka dapat diambil kesimpulan yaitu : a. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian. b. Untuk melakukan suatu perbuatan hukum. c. Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. 70 Frans Satriyo Wicaksono dan Agung Sugiarto, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, (Jakarta: Visimedia, 2009), hlm Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.306.

20 44 Dengan kata lain, suatu perjanjian pemberian kuasa haruslah memenuhi ketiga unsur pokok tersebut. Jika salah satu saja dari ketiga unsur pokok tersebut tidak ada, maka perjanjian yang diadakan, bukanlah perjanjian pemberian kuasa sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1792 KUHPerdata. 2. Pemberian Kuasa Merupakan Suatu Perjanjian Buku ke III KUHPerdata tentang perikatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bab 1 hingga bab 4 merupakan bagian umum dan bab 5 hingga bab 18 merupakan bagian khusus. Antara bagian umum dan bagian khusus ini terdapat hubungan yang erat, yaitu asas-asas yang terdapat pada bagian umum, berlaku dan harus diberlakukan pada bagian khusus. Perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata terdapat dalam bab 16 buku ke III, sehingga merupakan bagian khusus. Hal ini berarti bahwa semua asas hukum perjanjian dari bagian umum yang terdapat dalam bab 1 sampai dengan bab 4 buku ke III KUHPerdata berlaku dan harus diberlakukan pada perjanjian pemberian kuasa. 72 Dengan demikian, maka asas kebebasan berkontrak juga berlaku di dalam perjanjian pemberian kuasa, walaupun berlakunya disertai pembatasan, yaitu dengan mengindahkan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1337 KUHPerdata 72 Frans Satriyo Wicaksono dan Agung Sugiarto, Op.Cit., hlm.2.

21 45 mengenai sebab terlarang dan Pasal 1330 KUHPerdata mengenai orang-orang yang tidak cakap dalam membuat persetujuan. 73 Menurut ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata telah disebutkan bahwa pemberian kuasa adalah merupakan suatu persetujuan atau perjanjian. R. Sardjono menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana dua orang atau lebih, setuju atau seia sekata melakukan sesuatu hal, dan peristiwa itu menimbulkan hubungan hukum dimana salah satu pihak harus memenuhi kewajibannya, maka pihak lain berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban itu. Sehubungan dengan perumusan tersebut, maka dalam perjanjian pemberian kuasa, pihak pemberi kuasa wajib memberikan wewenang dan kekuasaannya kepada pihak penerima kuasa agar untuk dan atas namanya, si penerima kuasa bertindak menyelenggarakan suatu urusan. Sedangkan penerima kuasa wajib melaksanakan urusan tersebut demi kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu dalam perjanjian pemberian kuasa ini telah menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi pemberi kuasa maupun penerima kuasa sebagai berikut : (1) Kewajiban bagi penerima kuasa dinyatakan dalam Pasal 1800 KUHPerdata: si kuasa diwajibkan, selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat menimbulkan suatu kerugian. 73 Ibid.

22 46 (2) Sedangkan kewajiban bagi pemberi kuasa dinyatakan dalam Pasal 1807 KUHPerdata, si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang diperbuat selebihnya daripada itu, selainnya sekedar ia telah menyetujuinya secara tegas atau diam-diam. Dan selanjutnya dalam Pasal 1808 KUHPerdata: si pemberi kuasa diwajibkan mengembalikan kepada si kuasa persekotpersekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh orang ini untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula untuk membayar upahnya jika ini telah diperjanjikan. Jika si kuasa tidak melakukan sesuatu kelalaian, maka si pemberi kuasa tidak dapat meluputkan diri dari kewajiban mengembalikan persekotpersekot dan biaya-biaya serta membayar upah tersebut diatas, sekalipun urusannya tidak berhasil. 3. Pemberian Kuasa Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Hukum Menyelenggarakan suatu urusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum adapun perbuatan hukum yang dimaksudkan dalam Pasal ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa, yaitu menyelenggarakan suatu urusan, yang diharapkan akan menghasilkan suatu akibat hukum demi kepentingan pemberi kuasa. 74 Agar penerima kuasa dapat melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, maka ia diberi kekuasaan atau wewenang oleh pemberi kuasa. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada penerima kuasa inilah, yang membuat ia berwenang 74 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hlm.158.

23 47 melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. 75 Sehingga apa yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa tersebut sesuai dengan kuasa yang diberikan. Oleh karena itu, segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa, akan menjadi hak dan kewajiban dari si pemberi kuasa. Jika penerima kuasa lalai melaksanakan kewajibannya maka Pasal 1801 KUHPerdata menyatakan, si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Namun itu tanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian bagi seseorang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa adalah tidak sebegitu berat seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah. Dengan demikian penerima kuasa dapat bebas menjalankan peranannya dalam batas-batas wewenang dan kekuasaannya, sebagaimana yang telah digariskan oleh pemberi kuasa dan sudah tentu penerima kuasa tidak boleh lupa bahwa ia bertindak atas nama dan mewakili pemberi kuasa. Perbuatan hukum ini akan terus berlangsung selama pemberi kuasa belum mencabut kuasanya atau sampai saat selesainya perbuatan hukum yang dimaksud atau dapat juga dengan meninggalnya salah satu pihak. Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Pada bagian akhir dari Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk atas hlm M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1982),

24 48 namanya menyelenggarakan suatu urusan. Maksud dari kata-kata atas nama pada Pasal ini adalah mewakili yang berarti bahwa pemberi kuasa mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan pemberi kuasa dan selanjutnya penerima kuasa bertindak/berbuat sebagai wakil atau mewakili pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa. 76 Karena itulah pengertian pemberian kuasa pada pasal ini adalah penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa, yaitu penerima kuasa langsung bertindak untuk melakukan perbuatan hukum mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Orang yang diberi kuasa dalam melakukan perbuatan hukum itu adalah atas nama orang yang memberi kuasa, maka dikatakan ia mewakili pemberi kuasa. Dengan demikian apa yang dilakukan penerima kuasa adalah atas tanggungan pemberi kuasa. Segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Sehingga, jika perbuatan yang dilakukan penerima kuasa itu adalah membuat perjanjian, maka pemberi kuasa lah yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. 4. Jenis Pemberian Surat Kuasa Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu kuasa di bawah tangan dan kuasa notariil. Ciri yang membedakan surat kuasa di bawah tangan dengan akta kuasa yang dibuat oleh Notaris dapat dilihat dari susunan dan redaksi surat kuasa tersebut. a. Kuasa di bawah tangan 76 Ibid., hlm.306.

25 49 Pemberian kuasa di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang suratnya dibuat sendiri oleh para pihak atau dengan kata lain tidak dibuat dihadapan pejabat Notaris. 77 Pembuatan surat kuasa secara bawah tangan memiliki beberapa kelebihan, seperti lebih cepat dalam pembuatannya, lebih praktis bahasanya, serta rendah biaya karena hanya cukup menyediakan kertas, alat tulis, dan meterai tempel atau kertas segel sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai. Masyarakat terbiasa membuat surat kuasa di bawah tangan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Misalnya, surat kuasa untuk kepentingan pengurusan proses balik nama sertipikat jual beli rumah dan tanah, pembuatan surat kuasa untuk mengambil uang di bank, atau pembuatan surat kuasa untuk mengambil paket. b. Kuasa Notariil (Akta Kuasa) Pemberian kuasa notariil merupakan pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh pejabat Notaris. Kuasa notariil atau yang lazim disebut dengan akta kuasa adalah draft kuasa yang dibuat oleh dan atas buah pikiran dari pejabat Notaris itu sendiri atau dapat juga draft tersebut merupakan draft standar yang telah ada dan lazim digunakan oleh pejabat Notaris. Sebelum membuat akta 77 Frans Satriyo Wicaksono dan Agung Sugiarto, Op.Cit., hlm.19.

26 50 kuasa, Notaris menanyakan untuk kepentingan apa akta kuasa tersebut dibuat dan meminta data identitas masing-masing pihak, yaitu kartu tanda penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa, kartu tanda penduduk (KTP) suami atau isteri pemberi kuasa, kartu susunan keluarga (KSK) pemberi kuasa, atau surat nikah. 78 Permintaan dokumen-dokumen tersebut terkait dengan kepentingan legalitas dan persyaratan yang dituntut oleh ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) yang mengatur bahwa Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian, untuk melepaskan suatu hak kebendaan apabila hak kebendaan tersebut merupakan bagian dari harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Selain itu, Notaris akan menanyakan syarat-syarat khusus apa yang dibuat oleh para pihak, agar dapat dicantumkan di dalam akta. 79 Pemberian kuasa apabila dilihat dari sifat perjanjiannya dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : a. Pemberian kuasa umum, adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam katakata umum dan meliputi semua kepentingan pemberi kuasa. 78 Ibid., hlm Ibid., hlm.19.

27 51 b. Pemberian kuasa khusus, adalah pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini pemberi kuasa menyebutkan apa yang harus dilakukan. c. Kuasa istimewa Diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata, yaitu kuasa untuk memindahtangankan benda, membebankan hak tanggungan, membuat perdamaian, atau perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. d. Kuasa Perantara Di dalam dunia perdagangan sering disebut dengan makelar dimana pemberi kuasa memberi perintah kepada agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga yang pada pokoknya langsung mengikat pihak ketiga sepanjang tidak bertentangan dengan batas kewenangan yang diberikan. 80 Kuasa pada dasarnya merupakan pengalihan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pengalihan wewenang tersebut dapat terjadi dikarenakan : a. Karena tidak cakap hukum; Pada dasarnya setiap orang cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum, kecuali bagi mereka yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan orang lain. Contohnya : Orang yang belum dewasa dapat dibantu oleh orang tua atau wali dan mereka yang berada di bawah pengampuan dapat dibantu oleh pengampu 80 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm

28 52 (kurator). Batasan usia dewasa yang digunakan oleh para Notaris dalam membuat suatu akta otentik adalah usia 21 (dua puluh satu) tahun. 81 b. Bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa; Dalam beberapa hal sering dijumpai seseorang yang bertindak bukan untuk diri sendiri ataupun bertindak untuk orang lain secara perorangan melainkan bertindak untuk badan hukum karena kapasitas dan kedudukannya dalam badan hukum tersebut. Orang-orang yang dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai wakil atau kuasa badan hukum yang bersangkutan tidak memerlukan surat kuasa dari manapun karena sudah dicantumkan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut maupun dalam undang-undang mengenai perwakilannya. c. Tidak memiliki kewenangan bertindak. Kewenangan bertindak seseorang dapat dilihat dari kecakapan hukumnya. Namun tidak selalu orang yang cakap hukum mempunyai kewenangan bertindak. Orang dewasa yang menurut undang-undang mempunyai kecakapan hukum belum tentu memiliki wewenang untuk bertindak mengenai suatu hal, karena kewenangan bertindak dapat berarti hak yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Dalam hal lain dapat diartikan juga sebagai kekuasaan untuk bertindak. 81 Batasan usia dewasa 18 tahun bagi penghadap berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN hanya diterapkan dan dipakai apabila membuat akta-akta Notaris saja, yang bersifat umum misalnya akta Pendirian CV, Akta Pendirian PT, Akta Perjanjian Kerjasama dan akta-akta umum lainnya. Sedangkan terhadap akta-akta yang berkaitan dengan tanah, ketentuan batasan usia dewasa adalah harus sudah mencapai usia 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi telah menikah terlebih dahulu. Sehingga setiap perbuatan hukum yang pada akhirnya bermuara pada masalah pertanahan, maka ketentuan dewasa yang harus dipakai dalam pembuatan akta tersebut, harus sudah berumur 21 tahun sebagaimana yang disyaratkan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata.

29 53 Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata mengatur mengenai cara pemberian kuasa, yaitu dengan : a. Akta otentik. pemberian kuasa diberikan dalam bentuk akta. Untuk tindakan hukum tertentu seperti hibah dan pemberian hipotik harus dilakukan dengan akta otentik. 82 Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuat. Yang dimaksud dengan pegawai umum diatas adalah pejabat umum, yaitu selain Notaris, adalah juga juru sita pegawai catatan sipil, panitera Pengadilan negeri. dibuat oleh berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat umum itu sendiri, yang mengetahui sendiri adanya suatu peristiwa, sehingga kebenaran formil dan materiil dari akta itu selalu ada. b. Surat dibawah tangan. caranya dengan membuat persetujuan dalam suatu kertas meterai atau menggunakan meterai tempel yang ditandatangani para pihak. Jadi surat kuasa yang dibuat dibawah tangan ini adalah suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan, pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun tulisan dibawah tangan. Tulisan dibawah tangan ini dibuat dengan tujuan untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa. Dalam 82 R. Subekti, Op.Cit., Pasal 1171

30 54 Pasal 1874 KUHPerdata diberikan pengertian tentang surat dibawah tangan yaitu surat-surat atau tulisan-tulisan yang ditandatangani dan dibuat dengan sengaja untuk menjadi bukti dari suatu peristiwa tanpa melalui seorang pejabat umum. 83 Karena surat dibawah tangan ini dibuat tanpa melalui seorang pejabat umum, maka ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1875 KUHPerdata berlaku, yaitu, suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu. Kekuatan surat dibawah tangan terletak pada pengakuan pihak yang membuatnya. Surat dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tanda tangan dibawah surat itu diakui/tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada surat dibawah tangan tersebut, maka kekuatan pembuktian formal dari surat di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik. c. Surat biasa. berbeda dengan surat dibawah tangan, pemberian kuasa dengan surat biasa, surat tersebut tidak dibuat diatas kertas meterai atau menggunakan meterai tempel. Di hlm Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972),

31 55 dalam surat tersebut dimuat persetujuan yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum mengenai kuasa yang harus dilakukan. Walaupun demikian, pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka Pengadilan. Sehingga apabila akan digunakan sebagai alat bukti maka dokumen tersebut harus melunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian. 84 d. Secara lisan Pemberian kuasa dengan lisan ini dilakukan tanpa bukti apapun. Namun dalam hal ini biasanya dilakukan antara orang yang saling mengenal dan percaya. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya kata sepakat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 1793 ayat (1) tersebut diatas, maka pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa dan selanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa. Pemberian kuasa lisan ini tidak dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan hukum untuk mengalihkan hak, namun dapat dilakukan misalnya untuk membeli kendaraan 84 Badan Kebijakan Fiskal, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Objek Bea Meterai, Ketentuan Khusus, terakhir diakses 20 Februari 2015.

32 56 bermotor, membeli rumah, dan kuasa lisan yang dilakukan dalam perkara perdata di Pengadilan. Kuasa lisan dalam beracara di Pengadilan ini terjadi karena atau diangkat oleh salah satu pihak yang berperkara di Pengadilan. Berarti pemberian kuasa lisan terlaksana di depan hakim. Jika penggugat tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak dapat membuat surat gugat, maka ketika penggugat memohon gugatan lisan kepada Ketua Pengadilan, maka seraya itu dia menunjuk kuasanya. Dapat pula kuasa tersebut disampaikan secara lisan di depan persidangan. e. Secara diam-diam. Artinya apabila seseorang melakukan suatu tindakan atas nama orang lain dan yang bersangkutan menerimanya walaupun tidak disampaikan secara formal. 5. Sifat Pemberian Kuasa Berdasarkan KUHPerdata di dalam Bab XVI tentang pemberian kuasa (Pasal Pasal 1819 KUHPerdata) ada dua jenis sifat dari pemberian kuasa, yaitu : a. Kuasa Umum Kuasa umum adalah kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa yang dirumuskan secara umum dan hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Dari segi hukum, kuasa umum tidak dapat digunakan di depan Pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR/Pasal 147 ayat (1) RBg, untuk dapat tampil di depan Pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat kuasa khusus.

33 57 b. Kuasa Khusus Kuasa khusus merupakan suatu pemberian kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disebutkan secara tegas, seperti untuk memindahtangankan/ mengalihkan barang, meletakkan hak tanggungan atas barang, untuk membuat suatu perdamaian, atau melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. Pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam Pasal 1975 KUHPerdata, yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar kuasa tersebut sah sebagai kuasa khusus di depan Pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 123 HIR/Pasal 147 ayat (1) RBg, yaitu penunjukan secara lisan tersebut dilakukan dengan kata-kata tegas, majelis hakim memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang, kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan. 85 Dalam praktek pemberian kuasa, dikenal adanya kuasa yang terbatas dan kuasa mutlak. Kuasa terbatas ini biasa disebut dengan nama kuasa khusus, yaitu kuasa yang diberikan hanya untuk kepentingan tindakan tertentu. Dalam kuasa khusus ini harus dengan jelas dan tegas disebutkan tindakan tertentu yang dikuasakan tersebut. 86 Contohnya kuasa untuk mengalihkan suatu barang bergerak dan kuasa 85 Ibid., hlm Supomo, Op.Cit., hlm.89.

34 58 untuk membebankan Hak Tanggungan, kuasa untuk mewakili klien berpekara di Pengadilan bagi seorang Pengacara. Sedangkan kuasa mutlak, merupakan kuasa surat kuasa yang antara lain isinya mengatur mengenai kuasa yang diberikan tidak akan berakhir dengan meninggalnya pemberi kuasa, kuasa yang diberikan mengenyampingkan Pasal 1813 KUHPerdata, kuasa dimana isinya adalah pengalihan seluruh hak pemberi kuasa kepada penerima kuasa sehingga pemberi kuasa sudah tidak memiliki hak apapun terhadap objek yang dikuasakan. 6. Kewajiban Pemberi Kuasa Pemberi kuasa wajib memenuhi setiap perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa, sesuai dengan hal-hal yang dikuasakan, tetapi pemberi kuasa tidak terikat atas apa yang dilakukan penerima kuasa di luar hal-hal yang dikuasakan kepadanya, kecuali jika pemberi kuasa telah menyetujui hal tersebut secara tegas atau secara diam-diam menyetujui adanya perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa. 87 Pemberi kuasa juga wajib mengembalikan uang muka (persekot) dan biayabiaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan hal-hal yang dikuasakan kepadanya, serta wajib untuk membayar upah bagi penerima kuasa jika hal tersebut telah dibicarakan sebelumnya. Kewajiban untuk mengembalikan persekot, biaya dan pembayaran upah sebagaimana tersebut harus tetap dilaksanakan walaupun penerima kuasa tidak berhasil melaksanakan hal-hal yang dikuasakan 87 Richard Eddy, Op.Cit., hlm.35.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Usaha Pemerintah di dalam mengatur tanah-tanah di Indonesia baik bagi perorangan maupun bagi badan hukum perdata adalah dengan melakukan Pendaftaran Tanah

Lebih terperinci

BAB II KEKUATAN MENGIKAT SURAT KUASA DALAM JUAL BELI DI BIDANG PERTANAHAN

BAB II KEKUATAN MENGIKAT SURAT KUASA DALAM JUAL BELI DI BIDANG PERTANAHAN 1 BAB II KEKUATAN MENGIKAT SURAT KUASA DALAM JUAL BELI DI BIDANG PERTANAHAN 2.1. TINJAUAN UMUM SURAT KUASA 2.1.1. Pengertian Perjanjian Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro SH menyatakan bahwa perjanjian adalah

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 ASPEK YURIDIS PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI TUKAR-MENUKAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 1 Oleh: Natalia Maria Liju

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH 1. Jual Beli Hak Atas Tanah Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017 EKSISTENSI SURAT KUASA TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS TANAH DITINJAU DARI KUHPERDATA 1 Oleh : Steviyanti Veronica Mongdong 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. PERJANJIAN JUAL BELI Selamat malam Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. 1. PENGERTIAN PERJANJIAN JUAL BELI Dalam suatu masyarakat, dimana

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 23 BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pengertian kuasa secara umum terdapat pada pasal 1792 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG

RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG RESUME PROSEDUR PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DAN CARA-CARA KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN JOMBANG Disusun Oleh : BANUN PRABAWANTI NIM: 12213069 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017 TUGAS DAN KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA 1 Oleh : Suci Ananda Badu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 1. Pengertian Hak Atas Tanah Tanah diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah 34 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang Pendaftaran Tanah yang terdapat di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS 1. Syarat Sahnya Jual-Beli Tanah Hak Milik Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Argaria, LNRI Tahun 1960

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017 PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh : Fredrik Mayore Saranaung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NO. 14 TAHUN 1982 TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN SURAT

Lebih terperinci

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN 23 BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN A. Bentuk dan Isi Pemberian Kuasa Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam yaitu: 28

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS 8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS A. Pendahuluan Berdasarkan ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis termasuk dalam lingkup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang penting, sebab sebagian besar dari kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah berfungsi sebagai tempat

Lebih terperinci

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia 10 BAB 2 SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 00609/JEMBATAN BESI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG KUAT ( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 40 K/PDT/2009 ) 2. Landasan Teori Umum 2.1. Pendaftaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu perbuatan hukum yang hampir setiap hari dilakukan oleh manusia adalah jual beli. Jual beli merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH AKIBAT HIBAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA 1 Oleh : Cry Tendean 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

JUAL-BELI TANAH HAK MILIK YANG BERTANDA BUKTI PETUK PAJAK BUMI (KUTIPAN LETTER C)

JUAL-BELI TANAH HAK MILIK YANG BERTANDA BUKTI PETUK PAJAK BUMI (KUTIPAN LETTER C) PERSPEKTIF Volume XVII No. 2 Tahun 2012 Edisi Mei JUAL-BELI TANAH HAK MILIK YANG BERTANDA BUKTI PETUK PAJAK BUMI (KUTIPAN LETTER C) Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Secara umum, kuasa diatur dalam bab ke-16, Buku III Kitab Undang-

BAB II TINJAUAN UMUM. Secara umum, kuasa diatur dalam bab ke-16, Buku III Kitab Undang- BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pemberian Kuasa Secara umum, kuasa diatur dalam bab ke-16, Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan secara khusus diatur dalam hukum acara perdata. Pasal 1792 KUHPerdata

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Tanah mempunyai peranan yang penting karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan.

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL Urip Santoso (Dosen Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jln. Darmawangsa Dalam selatan Surabaya) Abstract: Government is a side or party

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. rakyat bukan dalam pengertian di jalankan oleh rakyat. 1

BAB II TINJAUAN UMUM. rakyat bukan dalam pengertian di jalankan oleh rakyat. 1 BAB II TINJAUAN UMUM A. Pengertian Pengalihan Hak Dalam ketentuan pasal 19 UUPA itu jelas bahwa tujuan pendaftaran tanah di indonesia adalah untuk kepentingan pemerintah dalam rangka memberikan jaminan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 24/1997, PENDAFTARAN TANAH *35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu kehidupan masyarakat Indonesia yang tata kehidupannya masih bercorak agraris dan sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB II KUASA DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH

BAB II KUASA DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH 11 BAB II KUASA DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia 16 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Pengertian dan Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah 2.1.1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani proses kehidupan senantiasa berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam berusaha dan bekerja tersebut saseorang pasti mendapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kedua orang tuanya. Setiap anak tidak hanya tumbuh dan berkembang dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia BAB III PENUTUP Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dan juga saran sebagai alternatif pemecahan terhadap permasalahan kasus yang lainnya yang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 PEMINDAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI LELANG MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh : Farrell Gian Kumampung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017 KEPASTIAN HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI BERDASARKAN PP NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh : Giovanni Rondonuwu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta perkawinan. Tindakan hukum yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN 1 KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN BANGUNAN YANG DIMILIKI OLEH PIHAK LAIN Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting

Lebih terperinci

TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN

TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN Yoga Dwi Santosa Sarjana Hukum Program Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABTRAKSI Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah diperlukan manusia sebagai ruang gerak dan sumber kehidupan. Sebagai ruang gerak, tanah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal didirikannya Republik Indonesia, yang menjadi tujuan utama pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang ber-kelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH Disusun oleh : Premanti NPM : 11102114 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah Mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka,

BAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka, 1 BAB III KERANGKA TEORI A. Perjanjian Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka, maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap orang sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, apalagi kepastian yang berkaitan dengan hak atas sesuatu benda miliknya yang sangat berharga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan suatu hal yang erat hubungannya dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, karena manusia bertempat tinggal, berkembang biak, serta melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci