HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien Pakan Hasil pengamatan konsumsi pakan dan nutrien dalam bahan kering disajikan pada Tabel 7.

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Energi Bruto

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara peningkatan pemberian kualitas pakan ternak. Kebutuhan pokok bertujuan

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu jenis sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan peternak (Anggraeni, 2012). Produksi susu sapi perah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

I. PENDAHULUAN. dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

KATA PENGANTAR. dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan. Pakan dengan kualitas yang baik, memberikan efek terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

Daftar Pustaka. Leng, R.A Drought Feeding Strategies : Theory and Pactice. The University of New England Printery, Armidale - New South Wales.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara dengan tujuan menghasilkan susu. Ciri-ciri sapi FH yang baik antara

PENGANTAR. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong manusia untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Jerami Padi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi terhadap kondisi alam setempat (Sumardianto et al., 2013). Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

Nutrisi dan Pakan Kambing dalam Sistem Integrasi dengan Tanaman

PENGANTAR. sangat digemari oleh masyarakat. Sate daging domba walaupun banyak. dipopulerkan dengan nama sate kambing merupakan makanan favorit di

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

I. PENDAHULUAN. limbah-limbah pasar dan agroindustri. Salah satu cara untuk mengatasi

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Pakan Hasil pengamatan konsumsi pakan dan nutrien dalam bahan kering disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Konsumsi Nutrien Pakan oleh Ternak pada Masing-Masing Perlakuan CLS-0 CLS-1 CLS-2 Nutrien (Silase 0%) (Silase 10%) (Silase 20%) Bahan Kering (g) 1.301,91±247,00 1.266,19±312,12 1.213,95±320,41 Protein (g) 235,42±38,34 249,63±15,19 251,04±30,87 Lemak (g) 68,48±12,99 b 63,65±15,69 b 58,16±15,36 a Serat Kasar (g) 387,10±63,4 a 449,68±91,62 ab 488,05±106,33 b Abu (g) 165,80±31,46 b 154,15±38,00 b 140,79±11,71 a Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011) Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) pada konsumsi bahan kering. Hasil ini penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Preston dan Bunyeth (2006), pemberian suplementasi silase daun singkong dengan penambahan 5% sirup gula aren secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi bahan kering pada kambing yang digembalakan di padang rumput dibandingkan kambing yang disuplementasi rumput alami yang tumbuh di sekitar tempat penelitian. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa adanya 20% silase (CLS-2) dalam ransum ternak secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi serat kasar, sedangkan untuk konsumsi lemak dan abu, CLS-2 secara nyata (P<0,05) paling rendah jika dibandingkan dengan CLS-0 dan CLS-1, hal ini disebabkan oleh kandungan silase daun singkong yang digunakan sebagai bahan subtitusi kosentrat memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi (54,82%) dan kadar lemak (6%) serta abu (8,25%) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang disubstitusi (6%). Pada penelitian ini, digunakan konsentrat dengan kadar serat kasar sebesar 16,49% dan lemak sebesar 7,33%, dan abu 13,86% sehingga ketika diformulasikan akan didapatkan komposisi pakan seperti yang tertera pada Tabel 5.

Komposisi pakan tersebut akan mempengaruhi secara langsung jumlah nutrien yang dikonsumsi pada tiap-tiap perlakuan. Daun singkong yang digunakan sebagai silase ini termasuk ke dalam pakan hijauan yang mengandung serat kasar >18%. Sehingga penambahan silase daun singkong meningkatkan kandungan serat kasar pakan sebesar 16,02% pada CLS-1 dan 26,10% pada CLS-2. Pada ternak perah, konsumsi hijauan atau serat sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas susu khususnya lemak susu. Serat akan dicerna untuk menghasilkan asam lemak, seperti asam asetat, yang bermanfaat untuk pembentukan komponen lemak susu (Aluwong et al., 2010). Selama penelitian berlangsung, pakan yang habis dikonsumsi setiap harinya adalah silase daun singkong dan konsentrat. Rataan konsumsi tiap bahan makanan pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Konsumsi Tiap Bahan Makanan pada Tiap Perlakuan Perlakuan Pemberian Pakan (Bahan Kering g/ekor/hari) Konsumsi Pakan (Bahan Kering g/ekor/hari) Rumput Konsentrat Silase Rumput Konsentrat Silase CLS-0 781 792 0 564,49±130,18 792 0 CLS-1 781 633,60 158,40 530,93±186,66 633,60 158,40 CLS-2 781 475,20 316,80 472.73±180,75 475,20 316,80 Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011) Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsentrat dan silase yang diberikan memiliki palatabilitas yang cukup baik sehingga habis dikonsumsi oleh ternak. Hal ini disebabkan oleh kualitas sensori dari silase daun singkong yang ditambahkan molases tergolong baik karena memiliki bau asam silase (Amaliah, 2010). Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa palatabilitas pakan adalah sifat performansi bahan pakan yang dicerminkan oleh kenampakan, bau, rasa dan tekstur dapat menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya. Faverdine et al. (1995) juga menjelaskan bahwa regulasi dari konsumi dan pemilihan makanan oleh ternak dipengaruhi oleh kontrol jangka pendek dari perilaku makan ternak yang berkaitan erat dengan regulasi homeostasis atau keadaan ternak untuk mempertahankan kondisi normal tubuhnya, dan kontrol jangka panjang yang 29

bergantung pada kebutuhan zat makanan oleh ternak. Faktor kondisi makanan termasuk kontrol jangka pendek. Tabel 9. Kecernaan Nutrien Pakan Hasil pengamatan kecernaan zat nutrien dari tiap perlakuan disajikan pada Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Dari Tiap Perlakuan Kecernaan Nutrien CLS-0 CLS-1 CLS-2 (Silase 0%) (Silase 10%) (Silase 20%) Bahan Kering (%) 56,54±3,14 a 59,07±2,18 a 62,24±2,81 b Protein (%) 69,83±9,08 a 68,20±6,00 a 76,18±7,14 b Lemak (%) 81,35±5,86 81,92±4,27 81,63±5,81 Serat Kasar (%) 39,92±4,21 a 54,34±7,01 b 66,99±8,62 c Abu (%) 44,29±9,40 a 46,17±9,08 a 53,76±15,07 b Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011) Bahan Kering Berdasarkan hasil uji yang disajikan pada Tabel 8, kecernaan bahan kering (KCBK) secara nyata paling tinggi ada pada perlakuan CLS-2 (P<0,05), kemudian diikuti dengan perlakuan CLS-0 dan CLS-1. Dibandingkan dengan perlakuan kontrol (CLS-0), perlakuan CLS-2 lebih besar nilai kecernaan bahan keringnya sebesar 10,08%. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan pada ternak adalah komposisi pakan, ketersediaan energi, dan waktu retensi makanan pada saluran pencernaan. Pada penelitian ini, tingginya kecernaan bahan kering tersebut disebabkan oleh, adanya bakteri asam laktat yang ada pada silase. Keberadaan bakteri asam laktat tersebut membantu meningkatkan kecernaan bahan kering pada ternak. (Bolsen et al., 1996). Protein Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa penambahan silase daun singkong pada pakan sebanyak 20% (CLS-2) secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan protein pada ternak. Peningkatan kecernaan protein pada perlakuan CLS-2 30

dibandingkan perlakuan CLS-0 (kontrol) adalah sebesar 9,09%. Peningkatan kecernaan protein yang terjadi pada perlakuan CLS-2 berbanding lurus dengan peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ondiek et al. (1999) pada kambing perah yang diberi suplemen protein dari Gliricidia sepium pada rumput gajah, mengalami peningkatan kecernaan bahan kering dari 50% menjadi 58%. Peningakatan level subtitusi konsentrat oleh daun singkong menyebabkan peningkatan kecernaan protein dan serat. Hal ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara ketersediaan N dalam bentuk ammonia dari degradasi protein dan energi dalam bentuk VFA dari degradasi bahan serat di dalam rumen. Keseimbangan kedua unsur ini sangat penting terutama bagi pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi pakan yang dikonsumsi ternak. Berdasarkan hasil tersebut dapat terlihat bahwa penambahan silase daun singkong pada pakan kambing perah sampai taraf 20 % tidak berdampak negatif pada ekosistem rumen, khususnya aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan. Kecernaan protein pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan protein pakan (Ondiek et al, 1999) ukuran partikel (Novita et al., 2006) serta ketersediaan RUP (rumen undegradable protein) dan RDP (rumen degradable protein) yang ada pada pakan. Protein jenis RUP merupakan jenis protein yang tidak bisa didegradasi oleh mikroba rumen atau dikenal juga dengan istilah by-pass protein. Umumnya jenis protein ini tidak terdegradasi karena bahan pakan sumber protein tersebut memiliki zat antinutrisi yang mengikat protein, sehingga dapat diserap oleh dinding usus halus dengan baik dan meningkatkan kecernaan. Daun singkong yang digunakan sebagai silase pada penelitian ini diketahui memiliki zat antinutrisi berupa tanin yang dapat berikatan dengan protein, sehingga pasokan RUP yang diserap oleh usus halus dapat terpenuhi. Berbeda dengan RUP, RDP justru merupakan jenis protein yang mudah diserap oleh mikroba rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber nutrien. Hal tersebut juga menguntungkan bagi ternak ruminansia, karena ruminansia mampu memanfaatkan protein mikroba sebagai sumber protein, sehingga dalam komposisi pakan perlu adanya keseimbangan antara RUP dan RDP (Sampelayo et al., 1999) 31

Lemak Kecernaan lemak yang diperoleh pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata secara statistik. Peningkatan kecernaan lemak dapat terjadi dengan suplementasi pakan sumber lemak. Silase daun singkong merupakan bahan pakan yang dikategorikan sebagai sumber protein dan memiliki kandungan lemak sebesar 6%, sehingga tidak secara nyata mempengaruhi besarnya kecernaan lemak antar perlakuan. Pada ternak perah, kadar lemak yang umumnya ada pada pakan disarankan tidak melebihi 7%, lebih dari pada level tersebut akan menurunkan kerja mikroba rumen ternak (Doreau dan Chiliard, 1997). Pada hewan ruminansia, pencernaan lemak terjadi di dalam rumen secara hidrolisis dan biohidrogenisasi. Proses tersebut menyebabkan perbedaan jenis lemak pada pakan dengan produk hasil proses pencernaan. Proses hidrolisis lemak pakan terjadi secara ekstraseluler oleh bakteri rumen seperti Anaerovibro lipolytica dan Butyrivibrio fibrisolvens (Harfoot dan Hazlewood, 1997). Proses biohidrogenasi merupakan proses perubahan lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap menjadi lemak jenuh dengan ikatan tunggal. Proses biohidrogenasi memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan proses hidrolisis pada rumen. Setelah meninggalkan rumen, lemak pakan yang telah diubah menjadi asam lemak bebas oleh proses yang terjadi di rumen serta fosfolipid dari mikroba akan dibentuk menjadi misel dengan bantuan empedu dan kelenjar pankreas. Kemudian misel akan diserap oleh sel epitel pada usus halus terutama daerah jejunum dan mengalami esterifikasi kembali menjadi trigliserida dan diubah menjadi chylomicron (Demeyer dan Doreau, 1999). Serat Kasar Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukan bahwa penggantian silase terhadap konsentrat sebesar 10% (CLS-1) dan 20% (CLS-2) secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan serat kasar pada ternak. Kecernaan serat kasar tertinggi secara nyata (P<0,05) ditunjukan oleh perlakuan CLS-2. Peningkatan serat kasar ini disebabkan oleh terjadinya perenggangan dinding sel dari daun singkong yang dibuat silase, sehingga dapat menyebabkan bahan tersebut lebih mudah dicerna. Peregangan tersebut terjadi karena adanya hidrolisis asam terhadap komponen hemiselulosa pada hijauan yang disilase. Dinding sel merupakan struktur karbohidrat 32

yang komplek dan terdiri atas berbagai molekul dan biosintesisnya diatur oleh enzim yang dikode dan diregulasi oleh gen (Iiyama et al., 1993). Kecernaan serat kasar dalam penelitiaan ini, erat kaitannya dengan adanya bakteri asam laktat dan asam laktat yang dihasilkan oleh silase. Asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri tersebut, diindikasikan akan menurunkan ph rumen sehingga bakteri selulolitik (pencerna serat) akan bekerja lebih baik. Penurunan ph rumen terjadi secara tidak nyata berdasarkan statistik, sehingga tidak menyebabkan asidosis pada ternak (Krause dan Combs, 2003). Kondisi ini akan menguntungkan bagi proses pecernaan serat yang terjadi di dalam rumen. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan kecernaan serat secara langsung akan menyumbangkan peningkatan kecernaan bahan kering pada ternak. Hal ini sejalan dengan pendapat McDonald (1995) yang menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan, dan fraksi pakan berserat berpengaruh besar pada kecernaan ternak. Abu Pada penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan CLS-2 secara nyata (P<0,05) memiliki kadar abu paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan CLS-1 dan CLS-0. Peningkatan kadar abu yang terjadi pada perlakuan CLS-2 dibandingkan dengan perlakuan kontrol CLS-0 adalah sebesar 21,52%. Abu merupakan keseluruhan komponen mineral yang terkandung dalam jaringan hewan dan tumbuhan (Suttle, 2010). Pada hewan ternak, mineral berfungsi sebagai struktur pembentuk sel, menjaga proses fisiologis tubuh, katalisator dan atau aktivator kinerja enzim dan hormon, serta regulator perbanyakan dan diferensiasi sel pada tubuh. Tidak seperti komponen nutrien lainnya yang mengalami proses pencernaan dan pemecahan molekul, metabolisme mineral di dalam tubuh ternak umumnya terjadi di mukosa usus kemudian ditransport ke hati dalam bentuk mineral bebas atau terikat dengan protein, dan didistribusi ke berbagai organ dan jaringan yang kadarnya disesuaikan oleh mekanisme kebutuhan mineral pada masing-masing unit sel. Kecernaan mineral suatu bahan pakan umumnya dipengaruhi oleh regulasi hormon seperti mineral Ca, sifat antagonisme antar mineral yang ada pada bahan pakan, dan terikatnya mineral oleh zat antinutrisi seperti P yang terikat oleh fitat akan menurun tingkat kecernaannya terutama pada hewan monogastrik (Suttle, 2010). 33

Produksi Susu Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan penggantian silase daun singkong terhadap konsentrat tidak mempengaruhi rataan volume produksi susu dan volume produksi susu terkoreksi lemak 4%, seperti yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Produksi Susu dan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% Pengamatan Produksi Susu (ml) Minggu Perlakuan Ke- Rataan (ml) 1 2 3 4 CLS-0 395 433 460 455 435,83±29,58 CLS-1 430 430 640 500 500±98,99 CLS-2 345 468 640 400 463,13±468,12 Perlakuan Pengamatan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% (ml) Minggu Ke- 1 2 3 4 Rataan (ml) CLS-0 385,52 407,12 422,96 420,08 409,04±17,04 CLS-1 446,67 446,67 664,96 519,50 519,50±89,08 CLS-2 392,09 531,31 727,36 454,60 526,34±145,61 Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011) Pada hewan ternak penghasil susu seperti kambing, produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu 1) manajemen produksi, 2) bangsa dan genetik, 3) kesehatan, serta 4) manajemen pakan yang tepat (Goetsch et al., 2011). Sebagai salah satu faktor ekonomi pemeliharaan, produksi susu menjadi salah satu parameter yang paling diperhitungkan dalam manajemen pakan. Pada kambing, produksi susu diketahui bergantung pada keseimbangan energi dan nitrogen pada pakan yang dikonsumsi (Sampelayo et al., 1999). Produksi susu dapat pula digunakan sebagai parameter efisiensi pakan. Efisiensi pakan merupakan kemampuan untuk mengubah pakan menjadi produk ternak untuk dikonsumsi manusia. Parameter efisiensi pakan tersebut dinyatakan dengan produksi susu terkoreksi lemak 4% (FCM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CLS-2, CLS-1 dan kontrol (CLS-0) tidak menunjukkan perbedaan 34

nyata secara statistik dalam efisiensi pakan untuk menghasilkan susu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. 11. Kualitas Susu Hasil uji kualitas susu kambing setelah diberi perlakuan disajikan pada Tabel Tabel 11. Kualitas Susu Kambing Setelah Diberi Pakan Perlakuan Parameter Kualitas Susu CLS-0 (Silase 0%) CLS-1 (Silase10%) CLS-2 (Silase 20%) Bahan Kering (%) 12,20±1,03 12,46±1,22 13,87±1,59 Lemak 4,2±0,63 4,345±0,98 5,15±1,203 Protein (%) 3,21±0,38 4,05±2,62 3,55±0,49 Solid nonfat (%) 8,36±0,53 8,21±0,20 8,96±0,7 Berat Jenis (Kg/l) 1,0294±0,002 1,030±0,003 1,030±0,001 Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Departemen IPTP IPB (2011) Bahan Kering Kadar bahan kering susu merupakan gambaran dari kandungan komponen padat pada susu. Berdasarkan hasil perlakuan, CLS-2 menunjukkan kadar bahan kering tertinggi, namun tidak nyata secara statistik. Kadar bahan kering susu kambing menurut Jennes (1980) berkisar antara 11,5%-21,6%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zeng et al. (1997), kisaran bahan kering pada kambing yang dipelihara secara intensif dengan persentase protein pakan 15,2% adalah 7,92%- 20,76%. Perubahan komponen susu termasuk bahan kering bergantung pada periode laktasi ternak tersebut, komposisi bahan kering, lemak, protein, dan bahan kering tanpa lemak paling tinggi, yaitu dalam jangka waktu satu bulan setelah melahirkan dan perlahan berkurang pada bulan-bulan setelahnya (Zeng et al., 1997). Lemak Susu Pada penelitian ini, kadar lemak susu berkisar antara 3,42-6,8%. Menurut Jannes (1980), kadar lemak susu kambing bervariasi dari 3,40-7,76%, sehingga hasil dari penelitian ini masih termasuk kisaran normal. Pada hasil penelitian 35

memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan secara statistik, meskipun secara data deskriptif menunjukan peningkatan lemak susu seiring dengan bertambahnya komposisi silase pada pakan perlakuan. Lemak susu merupakan komponen susu yang paling sensitif terhadap perubahan komposisi nutrien pada pakan ternak. Kadar lemak susu pada hewan ruminansia termasuk kambing, bergantung pada faktor intrinsik (spesies hewan, bangsa, gen, usia kehamilan dan periode laktasi) dan faktor ekstrinsik (lingkungan) (Chilliard dan Ferlay, 2007). Lemak susu pada hewan ruminansia termasuk kambing dibentuk dari asam lemak, baik yang diambil dari darah (sebanyak 60%) atau dari sintesis de novo pada kelenjar susu (sebanyak 40%). Proses pembentukan asam lemak dari jalur sintesis de novo berasal dari asam asetat dan 3-hidroksi butirat (Barber et al., 1997) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Asam asetat yang digunakan untuk sintesis lemak susu, diperoleh dari proses fermentasi hijauan oleh mikroba rumen. Bersamaan dengan asetat, diproduksi pula asam butirat, propionat, valerat, heksanoat, heptanoat, dan lainnya. Kelompok asam ini dikenal dengan volatile fatty acid (VFA) atau short chain fatty acid (SCFA) yang merupakan salah satu sumber zat makanan utama bagi hewan ruminansia (Bergman, 1990). Protein Susu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan yang signifikan dari protein susu ketika diberi pakan CLS-2. Hal ini terjadi karena protein susu kambing memiliki respon perubahan yang rendah terhadap pemberian suplemen protein kasar pada pakannya (Chowdhury et al., 2002). Rendahnya respon protein susu tersebut berhubungan dengan kadar protein metabolis yang seringkali tidak dipertimbangkan ketika memberikan pakan. Hanya sekitar 25%-30% Nitrogen pada pakan yang akan menjadi protein susu (Bequette et al., 1998). Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) susu segar harus memiliki setidaknya 2,7% kadar protein susu. Pada penelitian ini dihasilkan protein susu yang rata-rata berkisar 3,21%-4,05%, sehingga Berdasarkan standar yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional tersebut, susu segar yang dihasilkan pada penelitian ini dapat diterima oleh masyarakat dan industri susu yang mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia). 36

Bahan Kering Tanpa Lemak (Solid Non-Fat) Bahan kering tanpa lemak pada susu merupakan parameter yang dipakai untuk menentukan pengaruh lemak terhadap komposisi bahan kering susu. Penggantian konsentrat dengan silase daun singkong pada penelitian ini tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata secara statistik. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998) produk susu segar harus memiliki kadar solid nonfat minimal sebesar 8%. Penelitian ini menghasilkan kadar solid nonfat yang berkisar 8,21%-8,96%, sehingga produk susu segar yang dihasilkan dari penggantian konsentrat oleh silase daun singkong ini bisa diterima oleh industri pengolahan susu dan konsumen, karena telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Berat Jenis Susu Berat jenis susu merupakan hubungan antara massa padatan dengan volume susu yang dihasilkan oleh ternak (Gabas et al., 2012). Parameter berat jenis susu dapat pula digunakan untuk mengetahui pemalsuan susu yang ditambahkan oleh susu skim, santan, dan bahan-bahan lain yang tidak seharusnya ada pada susu murni. Hasil penelitian ini menunjukkan berat jenis susu antar perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik, namun menunjukkan kecenderungan peningkatan. Berdasarkan hasil pengujian, berat jenis susu yang dihasilkan berkisar antara 1,0294-1,030. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998), berat jenis susu minimal yang harus dipenuhi adala 1,0280, sehingga berat jenis susu hasil penelitian dapat diterima oleh konsumen maupun industri susu nasional. Tinggi rendahnya nilai berat jenis susu antara lain dipengaruhi oleh pola dan kualitas pakan yang diberikan peternak. Hal ini disebabkan karena untuk mendeposisikan nutrien ke dalam bentuk padatan (massa) diperlukan bahan baku yang berasal dari pakan. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo dan Miranti (2010) pada sapi perah yang diberi perbaikan mutu pakan menunjukkan adanya peningkatan nilai berat jenis susu pada ternak tersebut. 37