HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

ANALISIS FENOMENA HUJAN ES (HAIL) DUSUN PAUH AGUNG, LUBUK MENGKUANG, KAB. BUNGO, PROVINSI JAMBI TANGGAL 2 FEBRUARI 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

I. INFORMASI METEOROLOGI

SMP kelas 9 - GEOGRAFI BAB 1. Lokasi Strategis Indonesia Berkait Dengan Kegiatan PendudukLATIHAN SOAL

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

Musim Hujan. Musim Kemarau

I. INFORMASI METEOROLOGI

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

Transkripsi:

7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera dan membujur dari pantai timur sampai barat. Luas wilayah Provinsi Jambi tercatat 53435.72 km 2 yang terbagi atas luas daratan 51000 km 2 dan luas lautan 2435.72 km 2 yang terbagi dalam 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjab Barat, Tanjab Timur, Bungo, Tebo, Kota Jambi, dan Kota Sungai Penuh (BKPM 2012). Kabupaten yang termasuk dalam path/row 126/61 adalah seluruh Kabupaten Tebo dan Bungo, sebagian besar Kabupaten Merangin dan Kerinci, serta sebagian kecil Kabupaten Tanjab Barat, Batang Hari, dan Sarolangun. Luas Provinsi Jambi pada path/row 126/61 adalah 40.46% dari seluruh Provinsi Jambi dan dari 40.46% tersebut 87.09% merupakan tutupan lahan vegetasi (Tabel 3). Tabel 3 Persentase tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 tanggal 18 Juni 2013 Tutupan Lahan Luas (km2) % Lahan % Jambi badan air 77.32 0.38 0.15 vegetasi 17826.48 87.09 35.24 lahan terbangun 2564.94 12.53 5.07 Total 40.46 Titik panas (hotspot) pada path/row 126/61 tahun 2013 dikelompokkan menjadi 24 kelompok (Lampiran 2). Jumlah hotspot terbanyak terdapat pada kelompok 16 yang berada di wilayah utara dari Kabupaten Tebo. Area kelompok 16 merupakan area yang didominasi oleh tutupan lahan terbangun atau terbuka. Σhotspot 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 bulan Gambar 3 Sebaran bulanan jumlah hotspot pada path/row 126/61 tahun 2013.

8 8 Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuatorial yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan (Azteria 2013). Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari, curah hujan wilayah Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam pola ini (Tukidi 2010). Musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan November sampai Maret dan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Jumlah hotspot pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, karena pada Gambar 4 jumlah hotspot terbanyak ada pada bulan Juni dan September. Kedua bulan tersebut termasuk dalam bulan-bulan musim kemarau di wilayah Provinsi Jambi. Gambar 4 Peta sebaran hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. Pengelompokkan hotspot menghasilkan 24 kelompok yang membantu dalam penghitungan parameter-parameter yang digunakan. Hubungan luas kelompok wilayah dengan jumlah titik panas menghasilkan garis tren linier yang mengarah ke kanan atas, yang artinya hubungan keduanya berbanding lurus dengan R 2 92.62% (Gambar 5).

9 Gambar 5 Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk. Hasil Suhu Permukaan Suhu permukaan bisa dikatakan sebagai suhu terluar yang dimiliki oleh sebuah objek. Suhu permukaan merupakan parameter yang sensitif terhadap keberadaan dan jenis vegetasi yang menutupi wilayah kajian dan juga kelembaban udara maupun kelengasan permukaan (Lillesand&Kiefer 1997 dalam Novianto 2007). Suhu permukaan ang dihasilkan memiliki rentang antara 5.05 hingga 5. C. Rentang terendah 5.1-14.5 C yang ditunjukkan oleh warna hijau (Gambar 6) berada di daerah yang memiliki tutupan awan yang paling banyak (gambar 4). Rentang tengah (warna kuning pada Gambar 6) 14.-1. C berada di daerah yang vegetasi dan lebih sedikit lahan terbangun dibanding rentang tinggi (warna jingga pada Gambar 6) -5. C. Gambar 6 Peta sebaran hotspot terhadap suhu permukaan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

10 10 Hubungan jumlah hotspot dengan suhu permukaan adalah berbanding terbalik dengan R 2 5.42% (Gambar 7) meskipun jumlah hotspot terbanyak yang berada di area berwarna jingga, yaitu area dengan rentang tertinggi dari suhu permukaan (Gambar 6). Rata-rata suhu permukaan yang semakin tinggi tidak dapat menunjukkan area tersebut memiliki jumlah hotspot yang paling banyak, sebab dipengaruhi oleh luasan area kelompok hotspot yang terbentuk. Gambar 7 Hubungan antara suhu permukaan dan jumlah hotspot. Neraca Energi Parameter EF dan β didapat dengan rumus yang menggunakan radiasi netto dan neraca energi sebagai parameter penentunya. Neraca energi yang digunakan adalah fluks bahang tanah (G), fluks bahang terasa (H), dan fluks penguapan (λe). Nilai neraca energi dipengaruhi oleh nilai radiasi netto. Untuk mendapat nilai radiasi netto diperlukan nilai suhu permukaan. Tabel 4 Radiasi(Rs Netto, Rl Out, RN) dan Neraca Energi (G, H, λe). tutupan lahan radiasi neraca energi rsnetto rlout rn g h laten badan air 600.69 3.06 749.40 67.76 316.75 395.34 vegetasi 399.28 3.15 397.50 43.54 291.90 329.02 lahan terbangun 399.07 3.09 570.16 62.45 325.50 372.23 ket. nilai radiasi dan neraca energi di atas merupakan nilai tengah dan memiliki satuan Wm -2. Nilai radiasi netto pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai tengah radiasi netto yang dimiliki badan air lebih besar dibanding dengan tutupan lahan vegetasi dan terbangun. Nilai tengah yang tertinggi bukan hanya nilai maksimum yang dihasilkan dari tiap tutupan lahan, tetapi juga karena rentang nilai yang dihasilkan. Semakin panjang rentang nilai yang dihasilkan, maka semakin kecil nilai tengah yang dihasilkan.

11 Nilai radiasi netto mempengaruhi nilai dari neraca energi yang ditunjukkan oleh hasil neraca energi dimana sebagian besar nilai tertinggi terdapat pada tutupan lahan badan air, kecuali nilai H. Hasil Evaporative Fraction (EF) EF merupakan perbandingan nilai fluks penguapan (λe) dengan jumlah energi tersedia. EF biasa digunakan untuk menunjukkan tingkat kebasahan atau kekeringan dari sebuah wilayah. Jika suatu wilayah memiliki kelengasan tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan suhu permukaan wilayah tersebut relatif rendah. Albedo permukaan yang rendah akan mengakibatkan tingginya radiasi netto karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi rendah. Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang tanah dan terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai evaporative fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Nilai EF berkisar antara 0-1. Jika nilai EF semakin mendekati 1 menunjukkan wilayah tersebut semakin basah (Feliggi 2007). Gambar 8 Peta sebaran titik panas terhadap evaporative fraction Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. EF yang dihasilkan dari citra landsat 8 didominasi warna kuning yang menunjukkan tingkat kebasahan sedang karena sebagian besar tutupan lahan path/row 126/61 adalah vegetasi (Gambar 8). Walau seperti itu hotspot banyak berkumpul di daerah kering yang ditunjukkan dengan warna merah. Hubungan antara EF dengan jumlah hotspot menghasilkan garis tren menurun yang menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang berbanding terbalik dengan R 2 4.94% (Gambar 9) yang berarti dalam rentang nilai EF, yaitu 0-1 kenaikan nilai EF akan menurunkan jumlah hotspot yang ada. Sebab semakin besar EF akan

12 12 menyebabkan area semakin basah dan tidak memiliki potensi kekeringan yang menjadi indikator hotspot. Gambar 9 Hubungan evaporative fraction dengan jumlah hotspot. Hasil Bowen Ratio (β) Rasio Bowen atau Bowen ratio (β) adalah perbandingan antara nilai fluks bahang terasa dengan energi untuk evapotransporasi (λe) yang biasa digunakan untuk identifikasi potensi kekeringan di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai bowen ratio semakin potensi kekeringan di wilayah tersebut (Khomaruddin et al. 2005). Nilai β berbanding terbalik dengan λe sehingga jika β semakin besar makan λe semakin kecil sehingga sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk memanaskan udara (H) dan tanah (G) akibatnya daerah tersebut semakin kering (Feliggi 2007). Bowen ratio yang dihasilkan dari Landsat 8 didominasi dengan warna hijau yang menunjukkan keadaan di antara kering dan basah. Kumpulan hotspot paling terlihat di barat daya wilayah kajian, di daerah yang berpotensi terjadi kekeringan yang ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 11). Gambar 10 Hubungan β dengan jumlah hotspot. Hubungan antara β dengan jumlah hotspot menghasilkan garis tren menaik yang menunjukkan hubungan berbanding lurus dengan R 2 6.31% (Gambar 10). Persamaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa bila β bernilai 1 maka akan

13 menghasilkan sebanyak kurang lebih 36 hotspot. Hubungan yang berbanding lurus disebabkan semakin besar nilai β maka semakin kering suatu area, dimana tempat yang kering dijadikan indikasi bahwa di area itu terdapat hotspot. Gambar 11 Peta sebaran hotspot terhadap bowen ratio Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. Hubungan TS, EF, β dengan Titik Panas Pengujian pengaruh parameter suhu permukaan, EF, dan β terhadap jumlah hotspot menggunakan derajat kepercayaan 95% (α=0.05). Pengujian menggunakan uji-t dan uji-f yang akan menolak H 0 jika t-hit dan F-hit lebih besar dibandingkan dengan t-tabel dan F-tabel. Untuk α=0.05 didapatkan t-tabel yaitu 1.71 dan F-tabel yaitu 3.13. Tabel 5 Perbandingan hasil uji sumbu y sumbu x hasil uji t hit F hit TS -0.39 Σhotspot β 0.41 0.43 EF 0.33 Keterangan: t-hit merupakan hasil perhitungan untuk uji keragaman, sedangkan p-value merupakan hasil perhitungan untuk uji signifikansi. Hasil uji pada Tabel 5 menunjukkan bahwa baik secara individual maupun bersama, parameter EF, β, dan suhu permukaan tidak memberikan pengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah hotspot. Sebab terdapat faktor di luar faktor iklim yang mempengaruhi terjadinya hotspot di Provinsi Jambi path/row 126/61. Sehingga formulasi yang dihasilkan (Lampiran 6) tidak dapat digunakan untuk mengestimasi perubahan jumlah hotspot di Provinsi Jambi path/row 126/61.

14 14 Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jumlah hotspot yang diindikasi sebagai area kejadian kebakaran lahan dapat dipengaruhi oleh parameter seperti suhu permukaan, evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β). Hasil hubungan suhu permukaan dengan hotspot menghasilkan hubungan berbanding terbalik dengan R 2 5.42%. Hubungan EF dengan jumlah hotspot menunjukkan tren menurun dengan R 2 4.94%, artinya hanya 4.94% pengaruhi kenaikan 1 nilai EF terhadap perubahan jumlah hotspot. Kemudian untuk hubungan β dengan jumlah titik panas menunjukkan tren menaik dengan R 2 6.31%, yang berarti hanya 6.31% pengaruhi kenaikan 1 nilai β terhadap pertambahan jumlah hotspot. Persamaan yang dihasilkan pun tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah titik panas, karena hasil uji-t dan uji-f menunjukkan bahwa ketiga parameter (TS, EF, dan β) tidak berpengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah titik panas. Sehingga formulasi yang dihasilkan tidak dapat mengestimasi jumlah hotspot di wilayah kajian maupun wilayah lainnya. Saran Sebaran hotspot dapat dipengaruhi dari berbagai indikator, termasuk tiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Termasuk faktor aktivitas manusia yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Selain pengamatan dengan faktor iklim lainnya, perlu juga diamati pengaruh aktivitas manusia terhadap timbulnya hotspot. DAFTAR PUSTAKA Anderson, I.P., Imanda, I.D and Muhnandar. 1999 Vegetation Fires in Indonesia: The Interpretation of NOAA Derived Hot-Spot Data. Forest Fire Prevention and Control Project, Palembang. Ministry of Forestry and Estate Crops and European Union. Jakarta. Hal 2.