TINJAUAN PUSTAKA Fosfin Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan dalam konsentrasi yang sesuai akan dapat membunuh hama dan organisme tertentu, khususnya sering digunakan untuk mengendalikan serangga dan hamahama lain dari golongan vertebrata (Anonimous 2007). Fosfin dengan nama kimia Hidrogen fosfida (PH 3 ) telah dikenal sebagai salah satu fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga pada biji-bijian, tepung, hasil tanaman, dan makanan olahan (Monro 1969). Fosfin merupakan gas yang sangat beracun, baik terhadap serangga, hewan mamalia maupun manusia. Walaupun secara kimia memiliki sifat berbahaya yaitu mudah terbakar, metode aplikasi yang aman dan tepat telah dikembangkan. Metode aplikasi tersebut yaitu dengan menggunakan bentuk pelet, sachet kecil atau tablet yang mengandung aluminium fosfida yang dapat memperlambat reaksi keluarnya gas fosfin dari fosfida (Monro 1969). Formulasi pellet, sachet atau tablet juga mengandung ammonium karbamat yang melepaskan karbondioksida dan ammonium pada saat bersamaan, membantu menipiskan/mencairkan fosfin dan mengurangi bahaya kebakaran ketika fosfin terdifusi dari tablet. Gas fosfin dari reaksi antara aluminium fosfida atau magnesium fosfida dengan uap air di udara menurut reaksi dibawah ini (Monro 1969). AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3 Mg 3 P 2 + 6 H 2 O 2 PH 3 + 3 Mg(OH) 2
4 Aluminium fosfida bila bereaksi dengan uap air di udara akan melepaskan gas fosfin, sedangkan amonium karbamat akan mengurai menjadi amoniak dan karbondioksida. Fosfin hanya diserap sedikit oleh komoditi pangan pada umumnya dan mudah dihilangkan pada proses aerasi yang dilakukan setelah fumigasi. Karakteristik Fosfin Fosfin hanya sedikit lebih berat daripada udara dan lebih cepat menyebar dari pada fumigan lainnya, sehingga lebih mudah menembus komoditas tempat infestasi hama (Anonimous 2007). Tabel 1. Deskripsi fumigan fosfin No Deskripsi Fosfin 1 Rumus kimia PH 3 2 Bau Karbit/bawang putih 3 Titik didih - 87,4 o C 4 Titik lebur - 133,5 o C 5 Berat molekul 34,04 6 Graviti khusus a. Gas (udara = 1) o 1,214 b. Liquid (air 4 o C = 1) 0,746-90 7 Panas penguapan 102,6 cal/g 8 Titik ledakan 1,79 % diudara 9 Kelarutan dalam air Sangat larut 10 Rekomendasi WHO/FAO a. Biji-bijian yang belum diolah b. Biji-bijian yang telah diolah 0,1 ppm 0,01 ppm 11 Efek pada serangga a. Telur b. Larva c. Pupa d. Dewasa Syaraf dan pernafasan Lambat Cepat Lambat Cepat 12 Efek pada lingkungan Tidak ada 13 Waktu pemaparan (Exposure time) Minimal 5 x 24 jam atau sesuai spesifikasi produk 14 Alat bantu aplikasi Relatif tidak perlu 15 Faktor konversi (g/m 3 ke ppm) 730 Sumber : Monro 1969 dan Anonimous 2007
5 Toksisitas Fosfin Fosfin diketahui sangat beracun terhadap mamalia yang pengaruhnya dapat secara kumulatif. Konsentrasi 2,8 mg/l (2000 ppm di udara) dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Monro 1969). Pengaruh paparan (exposure) gas tergantung pada konsentrasi gas, jangka waktu dan intensitas terkena paparan. Pengaruh yang buruk dapat terjadi tidak hanya oleh paparan pada konsentrasi yang tinggi, tetapi juga oleh paparan yang terus menerus atau berulang-ulang walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Gejala umum keracunan yang dapat dirasakan seperti mual, muntah, diare, pusing, dan sakit pada bagian dada yang dapat menyebabkan kematian karena Pulmonary Oedema (Anonimous 2006). Belum dilaporkan adanya pengaruh fosfin pada manusia yang dapat mengakibatkan mutasi gen (mutagenik), embryotoksisitas (keracunan pada organ reproduksi), dan karsinogenik Fosfin juga sangat beracun terhadap serangga (Lindgren dan Vincent 1966). Hal ini telah diamati pada satu jenis yaitu kumbang granarius (Sitophilus granarius (L.) (Coleoptera: Curculionidae) yang dapat mematikan dalam waktu singkat yaitu sebanyak 80 % tetapi 20 % sisanya dibuktikan sukar dibunuh dengan paparan diatas 48 jam (Qureshi et al. 1965). Reynolds et al. (1967) melaporkan kerentanan pada semua fase serangga tersebut pada konsentrasi rendah dengan lama pemaparan diatas 14 hari. Hasil ini memberi kesan bahwa pada fase pradewasa dan beberapa serangga yang resisten terhadap fumigan kemungkinan menjadi rentan terhadap fumigasi selama 10 hari, sehingga lama pemaparan menjadi faktor penting terhadap mortalitas (Monro 1969). Pengaruh Fosfin terhadap Komoditas Fosfin hanya diserap sedikit oleh bahan makanan sehingga pengaruh buruk akibat residu yang ditinggalkan pada komoditas yang difumigasi relatif rendah (tidak berbahaya). Pada umumnya sisa gas fosfin dalam komoditas akan mudah dibuang pada saat dilakukan aerasi setelah fumigasi (Monro 1969). Dalam melaksanakan fumigasi dengan menggunakan fosfin yang perlu diperhatikan adalah kadar air komoditas yang akan difumigasi, karena sifat fosfin sangat reaktif terhadap air. Kadar air yang direkomendasikan agar dapat
6 difumigasi dengan fosfin kurang dari 22 % atau umumnya sama dengan kadar air untuk komoditas yang akan disimpan (Anonimous 2006). Rekomendasi kadar air maksimum pada beberapa komoditas yang direkomendasikan seperti pada buncis 15 %, biji coklat 7 %, kopra 7 %, jagung 13,5 %, gabah 15 %, beras 13,5 %, dan sorghum/gandum 13,5 % ( ACIAR 1999). Fosfin dapat bereaksi dengan beberapa logam khususnya tembaga atau bahan yang mengandung tembaga yang dapat menyebabkan korosif, diwujudkan dengan perubahan warna dan formasi asam. Reaksi ini disebabkan karena terdapatnya ammonia yang terjadi selama dekomposisi bahan fumigan (Anonimous 2007). Pengaruh terhadap daya kecambah dari beberapa uji menunjukkan bukti yang kuat bahwa fosfin tidak mempengaruhi daya kecambah pada kondisi normal (Monro 1969). Beberapa tahun ini fosfin telah banyak digunakan secara luas di beberapa negara untuk pengendalian serangga pada hasil tanaman. Selama ini akibat penggunaan fosfin sebagai perlakuan yang direkomendasikan belum terdapat laporan yang merugikan (Monro 1969). Mayer dan Hild (1966 dalam Monro 1969) menyatakan bahwa fumigasi normal dengan fosfin tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin A dan B 2 (riboflavin) pada biji-bijian. Fumigasi pada gandum dengan fosfin dibawah kondisi normal tidak terdapat pengaruh yang merugikan pada kualitas tepung gandum (Monro 1969). Residu Fosfin Ketika aluminium fosfida dalam bentuk tablet atau pellet diaplikasikan pada bahan pangan akan meninggalkan sedikit bahan sisa setelah perlakuan (Monro 1969). Pada perlakuan bahan yang lain seperti terhadap pangan olahan, disarankan untuk memberi wadah pada tablet atau pellet yang digunakan, sehingga tidak terkena langsung dengan komoditi yang akan difumigasi (Monro 1969). Menurut Atmawijaya (2000) bahwa residu fosfin dalam beras yang difumigasi pada hari keempat setelah fumigasi 0,038 ppm dan menurun sampai 0,0056 ppm pada hari kelima belas, dan pada hari kesembilan belas tak terdeteksi.
7 Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) Ordo : Coleoptera Famili : Tenebrionidae Genus : Tribolium Species : Tribolium castaneum Morfologi Ukuran tubuh 2,3 4,4 mm, bentuk tubuh membujur datar, berwarna coklat kemerahan, antena dengan 3 ruas membentuk club (capitate), bagian mata dipotong oleh bagian sisi kepala dengan meninggalkan 3 4 mata facet. Serangga ini mampu menginfestasi hampir semua komoditas yang disimpan dalam gudang dengan kondisi optimum temperatur 33 o C dan RH 70% (Kalshoven 1981). Kumbang ini biasa disebut flour beetle, karena serangga ini lebih utama menyerang bahan simpan olahan seperti tepung dan kacang-kacangan. Imago dan larva memakan sisa bahan simpan padi, pecahan biji-bijian, tetapi tidak merusak atau menghancurkan seluruh biji. Kumbang T. castaneum merupakan hama perusak berbagai komoditas hasil pertanian. Perbedaan morfologi jantan dan betina dapat terlihat pada lubang subbasal setiferous pada anterior femurnya. Pada anterior femur serangga jantan terdapat lubang sub-basal setiferous sedangkan pada serangga betina tidak terdapat (Hope 1953 dalam Halstead 1962). Telur berwarna putih dan berukuran kecil, diletakkan di antara partikel makanan. Ketika diletakkan, telur-telur tersebut ditutupi oleh cairan perekat yang dapat menyebabkan partikel makanan menempel padanya sehingga telur sulit dilihat (Harahap 1993). Larva berbentuk memanjang (tipe campodeiform), berwarna putih kekuningan. Pada ujung abdomen terdapat tonjolan berbentuk garpu (urogomphi), berukuran kecil dan berwarna gelap (Harahap 1993). Panjang larva instar terakhir dapat mencapai 8-11 mm (Imdad dan Nawangsih 1995).
8 Imago T. castaneum yang dikenal sebagai kumbang tepung merah (red flour beetle) berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya antara 2,3 4,4 mm, dengan bentuk agak pipih. Imago mempunyai antena berbentuk clavate (Imdad dan Nawangsih 1995). Biologi Pada kondisi lingkungan yang mendukung imago betina mampu meletakan telur rata-rata 27,7 butir / dua hari (Abdelsamad et al. 1987). Masa inkubasi telur berkisar antara tiga sampai enam hari, selama hidupnya imago meletakkan telurnya 500 butir atau lebih (Shazali & Smith 1985). Jumlah instar larva diketahui sangat bervariasi. Good (1936) dalam Abdelsamad et al. (1987) mencatat bahwa terdapat lima sampai sebelas instar larva. Pada penelitian Abdelsamad et al. (1987) larva T. castaneum melalui 6-8 instar sebelum menjadi pupa, tergantung pada keadaan suhu dengan instar pertama biasanya yang terpendek dan instar terakhir yang terpanjang. Menurut Grist dan Lever (1969) dalam Sidabutar (1994) larva akan menuju ke permukaan beras atau komoditas lainnya menjelang fase pupa. Pupa terbentuk pada beras tanpa adanya kokon (Suyono & Sukarna 1991). Masa pupa berlangsung selama enam hari (Sidabutar 1994). Siklus hidup serangga ini relatif pendek yaitu 25 35 hari, sehingga laju peningkatan populasinya relatif cepat. Masa pertumbuhan serangga dari telur sampai imago berkisar antara 40 sampai lebih dari 100 hari tergantung dari makanan, kelembaban, dan suhu. Lama hidup imago dapat mencapai 2-3 tahun (Harahap 1993). Total perkembangan serangga dari telur sampai menjadi imago yang optimum adalah pada suhu 35 o C yaitu hanya berlangsung 19,1 hari (Abdelsamad et al. 1987). Perkembangan serangga dapat menjadi lebih panjang apabila keadaan pakan dan lingkungan kurang sesuai (Suyono & Sukarna 1991). Kerusakan Akibat Serangan Serangga T. castaneum dan T. confusum merupakan hama penting yang sering dijumpai pada gudang penyimpanan biji-bijian dan bahan pangan. Serangga ini dapat menyerang bahan kering yang berasal dari hewan atau tanaman, tetapi
9 khususnya merupakan hama yang penting pada bahan serealia dan biji-biji olahan dan sebagai hama mayor pada tepung atau beras giling. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan serangga dapat berupa kerusakan fisik dan kimiawi. Kerusakan secara fisik terjadi akibat kontaminasi bahan pakan oleh kotoran, jaringan bagian tubuh dan bau kotoran. Serangga memakan dan merusak struktur fisik bahan pakan, seperti berlubang, hancur dan memicu pertumbuhan mikroorganisme lain. Aktivitas makan yang dilakukan oleh serangga menyebabkan bahan pakan kehilangan berat (Harahap 1993, Yuliarni 1994). Kerusakan secara kimiawi menyebabkan penurunan kualitas bahan. Bahan pakan yang disimpan dapat mengalami beberapa perubahan kimiawi yang dapat merubah rasa dan nilai nutrisi. Serangga hama mampu mempercepat perubahan kimiawi berbahaya. Sekresi enzim lipase oleh serangga mampu meningkatkan proses kerusakan secara kimiawi. T. castaneum mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar air rendah dan terutama menimbulkan kerusakan pada pakan dan serealia yang berkadar air rendah, masih utuh dan beras dari serpihan. Serangga ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006 ). Perilaku Serangga Sejak tahun 1948 penelitian mengenai ekologi serangga telah menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi T. castaneum dipengaruhi oleh banyak faktor seperti antara lain kondisi media dan kanibalisme (Li & Arbogast 1991). Serangga ini memiliki siklus hidup yang relatif pendek sehingga laju peningkatan populasinya relatif cepat. Mekanisme yang membatasi pertumbuhan populasi yang cepat adalah dengan tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh imago dan larva (Cotton & Wilbur 1974 dalam Yuliarni 1994). Sebagian besar kanibalisme terjadi terhadap telur, pupa, dan imago yang masih muda (yang belum mengalami sklerotisasi), namun dalam jumlah kecil
10 larva juga dapat dimakan (Yuliarni 1994). Penelitian pada jagung oleh Li & Arbogast (1991) juga menunjukkan bahwa pada jagung yang tidak rusak, kanibalisme lebih intensif daripada tepung jagung dan jagung yang sudah pecah karena sulit bagi larva untuk memakan biji jagung tersebut, disamping itu telur yang diletakkannya juga lebih mudah ditemukan. T. castaneum yang dapat merusak beras di penyimpanan adalah fase larva dan imago (Abdelsamad et al. 1987, Suyono & Sukarna 1991). Kehadiran serangga lain seperti Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) menurut penelitian Li & Arbogast (1991) diketahui tidak mempengaruhi perkembangan populasi T. castaneum. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan T. castaneum T. castaneum lebih banyak ditemukan dari pada T. confusum di Sudan, kemungkinan hal ini menunjukkan bahwa T. confusum kurang toleran terhadap suhu tinggi (Shazali & Smith 1985). Kondisi optimum untuk perkembangan T. castaneum adalah pada suhu sekitar 35 o C (Shazali & Smith 1985), dan kelembaban udara 70 % (Suyono & Sukarna 1991). Menurut Peng dan Rejesus (1987), populasi T. castaneum meningkat lebih cepat selama bulan-bulan hangat yaitu bulan Agustus dan September. Peletakan telur oleh serangga betina juga dipengaruhi oleh suhu. Menurut penelitian Abdelsamad et al. (1987), suhu optimum untuk peletakan dan penetasan telur adalah pada 35 o C. Kelembaban udara tidak mempengaruhi peletakan dan penetasan telur. Penelitian oleh Shazali & Smith (1985) menunjukkan bahwa pada suhu 30 o C dengan kelembaban 60, 70, dan 80% tidak mempengaruhi peletakan telur serangga tersebut. Kelembaban baru berpengaruh nyata terhadap peletakan telur kalau nilainya lebih rendah dari 40%. Dilaporkan juga bahwa walaupun masa inkubasi telur menurun dengan naiknya suhu tetapi hal tersebut tidak dipengaruhi oleh kelembaban.