4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dekke Naniura Pada masyarakat Batak terdapat beberapa makanan tradisional yang menggunakan ikan mas sebagai bahan dasarnya seperti dekke naniarsik dan dekke naniura. Dekke naniura adalah masakan khas Batak Toba yang mempunyai ciri khas ikan mas yang dihidangkan tanpa ada proses memasak di api, tetapi hanya dengan menambahkan asam jungga yang berguna untuk membuat daging ikan menjadi lunak dan dapat dinikmati. Hampir setiap daerah mempunyai resep naniura sendiri, sehingga cukup sulit mencari standar baku naniura (Karo-karo, 2011). Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan dekke naniura adalah asam jungga (Citrus jambhiri), jahe (Zingiber officinale), bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), kemiri (Aleurites moluccana), andaliman (Zanthoxylum acanthopodium), kencur (Kaempferia galanga), cabai merah (Capsicum annum), kecombrang (Nicolaia speciosa), kunyit (Curcuma domestica) dan garam. Penggunaan bumbu-bumbu masakan ini dapat bersifat antibakteri pada bakteri patogen yang ditemukan pada makanan. Pembuatan dekke naniura dimulai dengan membersihkan ikan terlebih dahulu dengan membuang seluruh bagian dalam dan sisik ikan, kemudian ikan dibelah dari kepala hingga ekor lalu duri ikan dibuang. Ikan direndam dengan air panas lalu dikering anginkan selama 15 menit. Ikan kemudian diasami dengan asam jungga dan dibiarkan diasami selama 3 jam. Kemiri digongseng, kemudian cabai, jahe, bawang putih, bawang merah, kunyit, kencur, andaliman dan kemiri yang digongseng seluruhnya bumbu tersebut kemudian ditumbuk dan disatukan dalam satu wadah. Semua bumbu dioleskan ke permukaan ikan dan dibiarkan selama 1 jam hingga ikan benar-benar matang dan bumbu meresap merata, lalu siap untuk dikonsumsi (Marwanti, 1997).
5 2.2 Keberadaan Mikroorganisme Pada Makanan Bahan pangan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu, pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian, 2002). Pencemaran mikroba pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar mikroba, seperti tanah, udara, air, debu, saluran pencernaan, dan pernapasan manusia atau hewan. Populasi mikroba pada berbagai jenis pangan umumnya sangat spefisik, tergantung dari jenis bahan pangannya, kondisi lingkungan dan cara penyimpanannya (Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Pertumbuhan bakteri di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan. Beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang aktif yang dapat menghidrolisa pati, menghidrolisa selulosa atau memfermentasi gula, sedangkan mikroba lainnya menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisa lemak yang mengakibatkan terjadinya ketengikan atau merusak protein yang menghasilkan bau busuk. Beberapa mikroba tersebut dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang, asam, dan racun. Dalam menjaga agar bahan pangan terhindar dari zat-zat yang diinginkan perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan, yaitu sanitasi dan hygiene. Sanitasi pangan erat kaitanya dengan kebersihan dan tahap produksi, persiapan, penyimpanan serta penyajiannya (Winarno, 1980). Pencemaran mikroba pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar mikroba seperti tanah, udara, air, debu, saluran pencernaan dan pernafasan manusia dan hewan. Dalam batas-batas tertentu kandungan mikroba pada bahan pangan tidak banyak berpengaruh terhadap ketahanan bahan pangan tersebut. Akan tetapi, apabila kondisi lingkungan memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang dengan cepat maka bahan pangan akan rusak (Nurwantoro dan Djarijah, 1997).
6 2.3 Escherichia coli dan Salmonella pada Makanan Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang tidak berkapsul. Bakteri ini umumnya terdapat dalam alat pencernaan manusia dan hewan. Sel E. coli mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1 1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan dan berflagel. E. coli ini umumnya tumbuh pada suhu antara 10-45 C dengan suhu optimum 37 C, ph optimum untuk pertumbuhannya adalah pada 7-7,5, ph minimum 4 dan ph maksimum 9. Nilai A w (kadar air) minimum untuk pertumbuhan E. coli adalah 0,96. Bakteri ini memproduksi lebih banyak asam di dalam media glukosa, yang dapat dilihat dari indikator merah metal, memproduksi indol, tetapi tidak memproduksi asetoin dan tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. E. coli ini dapat menyebabkan diare pada manusia disebut Entropatogenik E. coli (EEG). Infeksi dari EEG dapat menyebabkan penyakit seperti kolera dan disentri pada anak-anak dan orang dewasa. Masa inkubasinya umumnya selama 24-48 jam (Imam dan Sukamto, 1999). Umumnya makanan-makanan yang menjadi sumber infeksi dan keracunan oleh bakteri adalah makanan seperti daging, telur, ikan dan produk olahannya. Bakteri yang menjadi penyebab infeksi salah satunya adalah E. coli. Bakteri ini mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkotaminasi bahan-bahan yang bersetuhan dengannya. Dalam suatu proses pengolahan makanan, biasanya E. coli ini mengkontaminasi alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan. Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam industri kurang baik (Imam dan Sukamto, 1999). E.coli dan coliform yang termasuk golongan Enterobacteriaceae adalah Salmonella, Shigella dan Enterobacter sakazaki. Golongan ini tidak banyak digunakan sebagai indikator kontaminasi fekal tetapi lebih dikaitkan dengan sanitasi produksi yang buruk oleh karena daya tahan yang tinggi dari mikroba terhadap kekeringan, suhu tinggi dan pendinginan serta pengaruh detergen atau disinfektan. Dengan sifat yang tahan terhadap pendinginan maka bakteri ini dapat digunakan sebagai indikator untuk makanan beku dan makanan yang sudah dipanaskan (BPOM, 2008).
7 Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk batang Gram negatif, fakultatif anaerobik dan aerogenik. Biasanya bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum yang selalu bersifat non-motil. Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat mengguanakan sitrat sebagai sumber karbon, tidak membentuk H 2 S. Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan Salmonella adalah 37 C, tetapi secara umum bakteri ini tumbuh pada suhu antara 4-45 C dan pada ph antara 4-9 dengan ph optimum7 (Gast, 1991). Bakteri ini dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum terdapat di dalam makanan, misalnya bakteri-bakteri pembusuk. Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi, jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonella yang mencemari makanan dapat berkembang biak secara cepat karena keadaan lingkungan yang panas dan lembab menstimulus pertumbuhannya. Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam suatu makanan, maka semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999). 2.4 Angka Lempeng Total Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan Angka Lempeng Total (ALT). Uji Angka Lempeng Total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob mesofil menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati secara visual berupa angka dalam koloni(cfu) per ml/gram atau koloni/100ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang, cara tetes, dan cara sebar (BPOM, 2008). Prinsip pengujian Angka Lempeng Total menurut Metode Analisis Mikrobiologi (MAPPOM61/MIK/06) yaitu pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan
8 diinkubasi pada suhu yang sesuai. Pada pengujan Angka Lempeng Total digunakan PDF (Pepton Dilution Fluid) sebagai pengencer sampel dan menggunakan PCA (Plate Count Agar) sebagai media padatnya. Digunakan juga pereaksi khusus Tri Phenyl Tetrazolium Chlotide 0,5 % (TTC). Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah organisme dalam sampel percobaan adalah metode cawan hitung. Prinsip dari metode ini adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Dalam metode hitungan cawan, bahan pangan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300 sel jasad renik per ml atau per gram atau per cm (jika pengambilan contohnya dilakukan pada permukaan) memerlukan perlakuan pengenceran sebelum ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri. Setelah inkubasi akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, dimana jumlah yang terbaik adalah antara 30-300 koloni. Pegenceran biasanya dilakukan secara decimal yaitu 1:10, 1:00, 1:1000 dan seterusnya (Thayib dan Amar, 2000). Perhitungan dengan cara ini diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu: a. Jumlah bakteri tiap petridish antara 30-300 koloni, jika memang tidak ada yang memenuhi syarat dipilih yang jumlahnya mendekati 300. b. Tidak ada koloni yang menutup lebih besar dari setengah luas petridish, koloni tersebut dikenal sebagai spreader. c. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama didepan koma dan angka kedua dibelakang koma. d. Jika semua pengenceran yang dibuat menghasilkan angka kurang 30 koloni pada cawan petri, hanya jumlah koloni pada pengenceran terendah yang dihitung. Hasil dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung. e. Jika semua pengenceran yang dibuat menghasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya
9 dilaporkan sebagai lebih besar dari 300 dikalikan dengan besarnya pengenceran, jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan dalam tanda kurung. f. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30 dan 300, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan 2 maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. 2.5 Keuntungan dan Kelemahan Metode Uji Angka Lempeng Total Keuntungan dari metode pertumbuhan agar atau metode uji Angka Lempeng Total adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang dominan. Keuntungan lainnya dapat diketahui adanya mikroba jenis lain yang terdapat alam contoh. Adapun kelemahan dari metode ini menurut Buckle et al (1987), adalah: a. Kemungkinan terjadinya koloni yang berasal lebih dari satu sel mikroba,seperti pada mikroba yang berpasangan, rantai atau kelompok sel. Kemungkinan ini akan memperkecil jumlah sel mikroba yang sebenarnya. b. Kemungkinan adanya jenis mikroba yang tidak dapat tumbuh karena penggunaan jenis media agar, suhu, ph, atau kandungan oksigen selama masa inkubasi. c. Koloni dari beberapa mikroorganisme terutama dari contoh bahan pangan, kadang-kadang menyebar di permukaan media agar, sehingga menutupi pertumbuhan dan perhitungan jenis mikroba lainnya. d. Penghitungan dilakukan pada media agar yang jumlah populasi mikrobanya antara 30 300 koloni. Bila jumlah populasi kurang dari 30 koloni akan menghasilkan penghitungan yang kurang teliti secara statistik, namun bila lebih dari 300 koloni akan menghasilkan hal yang sama karena terjadi persaingan diantara koloni. e. Penghitungan populasi mikroba dapat dilakukan setelah masa inkubasi yang umumnya membutuhkan waktu 24 jam atau lebih.