Boks 2 SURVEI INDIKATOR PERBANKAN RIAU TAHUN 2009 I. Latar Belakang Terjadinya gangguan di sektor riil tentunya akan menimbulkan gangguan bagi stabilitas sistem keuangan daerah. Salah satu sektor keuangan yang terkena imbas krisis secara langsung adalah sektor perbankan. Hal ini tentunya mengakibatkan distorsi pada transmisi kebijakan moneter di daerah. Oleh karena itu, survei terhadap perbankan Pekanbaru dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh krisis keuangan global terhadap indikator kinerja perbankan Riau tahun 2009. II. Target Pertumbuhan Kredit dan NPL Tahun 2009 Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa rata-rata target pertumbuhan kredit perbankan tahun 2009 di Riau adalah sebesar 15,22%. Pada Grafik 1, terlihat bahwa sebagian besar perbankan mematok pertumbuhan kreditnya kurang dari 15% dan hanya sekitar 25% perbankan di Riau yang cukup optimis dalam mencapai pertumbuhan kredit di atas 20%. Secara umum, nilai ini belum dapat dikatakan relatif melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit perbankan (y-o-y) pada tahun 2008 yang tercatat sebesar 28,84%. Hal ini dikarenakan jika dari 25% perbankan yang memiliki target pertumbuhan di atas 20% memiliki pangsa kredit yang besar maka dapat meningkatkan pertumbuhan kredit perbankan Riau tahun 2009. Selain itu, dari hasil survei diketahui bahwa target pertumbuhan kredit bank pemerintah adalah sebesar 20,87% sedangkan bank swasta sebesar 14,23%.
25 55 20 Pertumbuhan Kredit <= 15% Pertumbuhan Kredit >15% - 20% Pertumbuhan Kredit >20% Grafik 1. Target Pertumbuhan Kredit Perbankan Tahun 2009 Sementara itu, gejala perlambatan ekspansi kredit di propinsi Riau juga terlihat pada Grafik 2. Pada Grafik tersebut, terlihat bahwa hubungan antara laju pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan DPK bersifat positif namun memiliki slope yang relatif landai. Artinya, laju pertumbuhan DPK tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan kredit. Kondisi ini memberikan beberapa implikasi penting. Pertama, kondisi ini mengimplikasikan bahwa perbankan di Riau cenderung risk averse dalam menyalurkan kredit baik kepada nasabah baru maupun existing debitur terkait masalah instabilitas makreokonomi regional. Kedua, adanya kekhawatiran bank terhadap penurunan jumlah DPK yang disebabkan banyaknya industri usaha (debitur) yang mengalami slow down (penurunan omzet) sehingga mengurangi aliran dana ke perbankan. Akibatnya bank akan cenderung mematok funding rate yang cukup tinggi sehingga membuat bank tersebut menjadi lebih attractive. Ketiga, ketatnya persaingan antar bank dalam menghimpun dana yang diindikasikan akibat tingginya imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) yang berada di atas BI rate. Tercatat bahwa imbal hasil (yield) SBN berada di atas nilai BI rate dengan kisaran 10%-11%. Namun, perlu disadari bahwa kondisi ini dapat memicu kenaikan suku bunga kredit sehingga memberikan tekanan bagi sektor-sektor usaha yang sedang berkembang dan sangat membutuhkan permodalan. Grafik 2. Hubungan Pertumbuhan Kredit dan Pertumbuhan DPK di Tahun 2009
45 40 Pertumbuhan Kredit (%) 35 30 25 20 15 10 5 0 0 20 40 60 80 100 120 Pertumbuhan DPK (%) Dalam hal kredit bermasalah, perbankan cenderung untuk menargetkan penurunan tingkat kredit bermasalah yang diukur melalui Non Performing Loan (NPL) (Grafik 3). Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa sekitar 75% perbankan menargetkan tingkat NPL nya berada pada kisaran 0% sampai 1%. Kemudian, sekitar 20,8% menargetkan tingkat NPL antara 1,01% sampai dengan 3%. Sisanya menargetkan tingkat NPL antara 3% sampai 5%. Temuan ini mengimplikasikan bahwa fenomena krisis global telah mengakibatkan perbankan bertindak forward looking terhadap kemungkinan memburuknya kualitas kredit. Oleh karena itu, perbankan bersifat antisipatif dan responsif dengan menargetkan pertumbuhan NPL yang rendah. Selain itu, fenomena ini juga mengindikasikan bahwa rendahnya target NPL perbankan tahun 2009 sejalan dengan pembatasan kredit (credit rationing) yang dilakukan perbankan terhadap sektor-sektor tertentu yang dianggap rawan. 80 75 70 60 50 (%) 40 30 20 20.8 10 0 0% - 1% >1% - 3% >3% - 5% 4.2 Grafik 3. Target NPL Perbankan Tahun 2009 II. Target Pertumbuhan Kredit Sektoral Tahun 2009
Seiring dengan melambatnya target pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2009 maka kondisi ini dapat mengakibatkan tersendatnya pemberian kredit kepada sektor ekonomi di propinsi Riau. Hasil survei menunjukkan bahwa selama tahun 2009 perbankan akan relatif membatasi penyaluran kredit (red flagging) kepada sektor-sektor yang rentan terhadap gejolak eksternal khususnya sektor pertanian. Tentunya hal ini akan memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian Riau yang sebagian ekspornya berasal dari ekspor non migas. Meskipun NPL sektor pertanian pada tahun 2008 relatif rendah (± 2%-3%), namun melambatnya pertumbuhan ekspor non migas Riau tahun 2008 memberikan implikasi penting akan adanya peluang peningkatan NPL di sektor pertanian (petani kelapa sawit). Seperti diketahui, penyaluran kredit kepada sektor pertanian memiliki porsi terbesar di Propinsi Riau pada tahun 2008. 1 Grafik 4 menunjukkan target pertumbuhan kredit sektoral perbankan di Riau tahun 2009. Berdasarkan Grafik tersebut, perbankan menganggap bahwa sektor pertambangan merupakan sektor yang paling prospektif pada tahun 2009, dimana rata-rata target pertumbuhan kredit (y-o-y) mencapai sekitar 35,2%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 (34,2%). Selain itu, sektor lain yang dianggap memberikan peluang cukup tinggi dalam kenaikan pertumbuhan kredit adalah sektor industri pengolahan. Target pertumbuhan kredit (y-o-y) untuk sektor industri pengolahan di tahun 2009 yaitu sebesar 9,7%. Perbankan relatif membatasi ekspansi kredit (credit rationing) terhadap sektor pertanian (10,8%), sektor pengangkutan (11,9%) serta sektor lain-lain yang sebagian besar merupakan kredit konsumsi (13,9%). Relatif rendahnya target penyaluran kredit ke sektor pertanian diindikasikan karena melambatnya pertumbuhan ekspor non-migas sehingga mengurangi pendapatan eksportir. Hal ini diperkirakan memberikan imbas terhadap permintaan atas jasa transportasi sehingga perbankan menganggap bahwa sektor ini juga relatif rentan terhadap krisis global. Kemudian, menurunnya daya beli masyarakat secara agregat memberikan alasan utama atas rendahnya pertumbuhan kredit konsumsi pada tahun 2009. 1 LBU Propinsi Riau Tahun 2008
Kredit Lain-lain 13.9 36.0 Kredit Jasa Kredit Pengangkutan 11.9 18.0 33.0 36.3 2009 2008 Kredit Perdagangan 20.6 33.1 Kredit Konstruksi 23.7 35.4 Kredit Listrik 20.5 79.3 Kredit Industri Pengolahan 5.5 9.7 Kredit Pertambangan 35.2 34.2 Kredit Pertanian 10.8 21.1 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 Pertumbuhan (% ) Grafik 4. Pertumbuhan Kredit Sektoral Tahun 2008 & Prospek Tahun 2009 Beberapa faktor penting yang seringkali dikemukakan oleh perbankan sebagai hambatan dalam penyaluran kredit maupun penghimpunan dana pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 1. Secara keseluruhan, terlihat bahwa kondisi makroekonomi yang belum stabil merupakan faktor yang dianggap paling berperan dalam menghambat penghimpunan maupun penyaluran dana. Tabel 1. Hambatan Dalam Penghimpunan dan Penyaluran Dana No. Hambatan (%) Penghimpunan Dana 1. Persaingan antar bank 57 2. Tingkat pendapatan & penurunan daya beli masyarakat 53 3. Nilai yang dijamin hanya Rp. 2 miiar 10 4. Pelaksanaan Pemilu 10 5. Preferensi bank pemerintah 3 6. Pengangguran yang masih tinggi 3 7. Pemahaman masyarakat pedesaan untuk menabung masih kurang 3 Penyaluran Dana 1. Kondisi makroekonomi belum stabil 47 2. Tingginya suku bunga kredit 47 3. Persaingan antar bank 30 4. Pengangguran yang masih tinggi 10 5. BI Rate 3 Dari sisi penghimpunan dana, gejolak yang terjadi pada kondisi makroekonomi telah mengakibatkan tergerusnya daya beli sehingga menurunkan tingkat penghimpunan dana. Sementara dari sisi penyaluran dana, kondisi makroekonomi yang masih belum stabil
disertai tingginya tingkat bunga kredit mengakibatkan pelaku usaha bertindak bertahan dan melihat (wait & see) dalam menginvestasikan dananya ke sektor industri sehingga permintaan kredit pun relatif menurun.