PELAKSANAAN KEWAJIBAN DOKTER DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN AHLI DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG ARTIKEL Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Diajukan oleh : SEFTRA BESTIAN NPM : 0610012111063 Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2014 Reg. No. : 53/Pid_02/III-2014 1
2
3 PELAKSANAAN KEWAJIBAN DOKTER DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN AHLI DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG Seftra Bestian 1, Uning Pratimaratri, 1 Syafridatati, 1 1 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta E-mail: Abesajoo@gmail.com ABSTRACT Verification is very vital in the court of law. In giving judgment, it has to be based on, at least, two proofs and the judge's conviction. Doctor have a legal obligation as an expert witness if they are needed in the process. the problems that is investigated in this research are; (1) how is the process of doctors obligation in giving testimony as experts in the court, then (2) how is the validity of the expert s testimony in the court during the verification process to be seen as a valid proof.this research is done through socio-juridical approach. The research data included are primary data and secondary data. The data are collected through interviewing with the judges and forensics, while the secondary data are collected through documentary study. The data are analyzed qualitatively. Based on the research, it can be concluded that doctors are given the obligation in verification in the court of law, as it is written in the Book of Constitution. Doctors will only be giving their testimony if it is needed by the judge, and in the form of oral testimony. This kind of verification will be decided only by the judge according to the judge s evaluation. Keywords : Doctors, Description, Expert, Court. Pendahuluan Hukum acara pidana termasuk ke dalam golongan hukum publik yakni mengatur hubungan antara negara (masyarakat) dengan perseorangan, yang mempertahankan kepentingan umum terhadap pelanggaran tertib umum. Dalam proses acara pidana diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting. Membuktikan mengandung maksud usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat di terima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Tujuan hukum acara adalah dalam rangka mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat cara mempergunakan alat bukti yang disebut dengan sistim pembuktian negatif menurut undang-undang (negatiefwettelijk) yang termuat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
2 sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperolaeh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari pasal di atas mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah, dan menambah keyakinan hakim untuk menghukum seseorang. Oleh karena itu, sistem KUHAP menganut sistem negatiefwetelijk, tidak mengizinkan penjatuhan pidana menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan oleh undang-undang, seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, Alat bukti yang sah tersebut pada Pasal 184 KUHAP yakni: 1. Keterangan saksi. 2. Keterangan ahli. 3. Surat. 4. Petunjuk. 5. Keterangan terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat-alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang harus dijatuhkan kepadanya yang setimpal dengan perbuatannya. Dari tata urutan alat bukti yang sah dalam KUHAP tersebut, salah satunya adalah apa yang dinamakan keterangan ahli. Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP dinyatakan : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli tersebut menurut pendapat beberapa hakim tidak mempunyai kekuatan pembuktian tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan dan sebagai petunjuk bagi hakim, dan hakim tidak terikat pada alat bukti tersebut. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dimungkinkan adanya dua cara orang ahli dalam memberikan kesaksian pada sidang pengadilan yaitu dalam bentuk tertulis dan lisan. Kesaksian ahli dalam bentuk tulisan atau surat ini biasanya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Ketentuan ini telah dinyatakan dalam Pasal 187 huruf c KUHAP yang menyatakan: surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang di minta secara resmi dari padanya. Keterangan ahli dari seorang dokter sangat dibutuhkan, misalnya pada kasus pembunuhan, aborsi dan yang lain sebagainya. Seorang dokter wajib
3 memberikan kesaksian sesuai dengan keahliannya apabila diminta oleh pengadilan dalam suatu perkara pidana. Sesuai pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 179 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa : Setiap orang yang dimintakan pendapatnya sebagai seorang ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Bila diperlukan suatu kesaksian seorang dokter, ternyata jaksa atau penuntut umum, polisi atau hakim yang berusaha mendesak, misalnya dengan pertanyaan pada tanggal sekian penderita berobat kepada saudara dengan penyakit apa? Dokter berhak untuk menolak mengadakan kesaksian. Namun pada kenyataannya dapat terjadi kemungkinan bahwa seorang dokter bisa saja menolak atau tidak bersedia memberikan kesaksian dengan beberapa alasan diantaranya yang berkaitan dengan rahasia pekerjan, rahasia jabatan dan rahasia kedokteran. Apabila seorang dokter menolak memberi kesaksian tanpa alasan maka hal ini tidak dapat diterima oleh pihak pengdilan dan dapat dilakukan upaya paksa. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan dan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul : Pelaksanaan Kewajiban Dokter Dalam Memberikan Keterangan Ahli Di Pengadilan Negeri Kelas 1a Padang Perumusan Masalah Guna menghindari permasalahan yang terlalu luas dan menyimpang maka berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan kewajiban dokter dalam memberikan keterangan ahli di pengadilan? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi ahli (dokter) dalam pembuktian perkara pidana di pengadilan? Metodologi Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penulisan ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu metode pendekatan yang selain menggunakan literatur-literatur kepustakaan, juga melakukan penelitian di lapangan. Negeri Padang, Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan untuk memecahkan masalah. Data primer diperoleh dari wawancara dengan Mahyudin (Hakim pengadilan negeri kelas
4 1A Padang) dan Rika Susanti (Dokter ahli forensik RSUP Dr.M. Djamil Padang). Serta data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Pengadilan Kelas 1A Padang berupa statistik kriminal dan putusan pengadilan. Teknik Pengumpulan data dalam pengumpulan data sebanyak yang bermanfaat untuk penulisan ini ditempuh dengan cara : a. Studi dokumentasi atau bahan perpustakaan yaitu alat pengumpul data yang dilakukan melalui data tertulis, data diperoleh lansung dari lapangan berupa data tertulis seperti dokumen-dokumen tentang kewajiban dokter untuk memberikan kesaksian sebagai saksi ahli di Pengadilan. b. Wawancara untuk memperoleh data yang dilakukan dengan wawancara terstruktur dan terarah dengan mengajukan pertanyaan kepada hakim di Pengadilan dan dokter ahli forensik. Dari bahan-bahan dan data yang diperoleh dari primer maupun dari data sekunder kemudian setelah terkumpul data tersebut dianalisa secara kualitatif, sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Secara umum setiap Warga Negara Indonesia yang baik apabila diminta kepada dirinya untuk menjadi saksi maka ia harus bersedia memberikan kesaksian sepanjang yang diketahuinya begitu juga dengan dokter. Apabila hakim, Jaksa penuntut umum dan Penasehat hukum ragu-ragu dan tidak mengerti mengenai isi surat Visum et Repertum maka Hakim, Jaksa penuntut umum maupun Penasehat hukum dapat menghadirkan atau memanggil saksi ahli yang membuat dan mengerti mengenai isi dari surat Visum tersebut di persidangan untuk memberikan keterangan, dimana keterangan tersebut diberikan secara lisan. Inilah yang dinamakan keterangan ahli yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1b KUHAP. Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dibuat dengan mengingat sumpah dimana ia menerima jabatan atau disumpah yang dikehendaki Pasal 120 dan 133 KUHAP, adalah sumpah jabatan sesuai dengan Pasal 187 ayat c. Jika hal itu tidak dilakukan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pemeriksaan keterangan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Seorang saksi ahli yakni dokter ahli Forensik yang diminta keterangannya di pengadilan sebagai saksi ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim sebelum memberikan keterangannya sebagai saksi ahli dalam persidangan.
5 Sumpah atau janji di sini bertujuan untuk lebih mempertegas sanksi hukumnya, agar apa saja keterangan yang diberikan benarbenar sesuai dengan hasil pemeriksaan dari para ahli tersebut. Sehingga memenuhi persyaratan- persyaratan umum dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Dari pemeriksaan secara lengkap dan teliti akan didapat hasil yang diinginkan, untuk meyakinkan dan menguatkan hasil Visum et Repertum yang telah ada tersebut. Dalam hal ini hakim menilai visum sebagai alat bukti surat, jika ada keraguan dan hal yang tidak dimengerti oleh hakim dikarenakan surat visum mempunyai tata bahasa kedokteran yang sulit dan sukar dimengerti, maka dokter ahli tersebut akan menjelaskannya secara lisan kepada hakim di pengadilan sebagai tandingan agar tercapainya kebenaran materil. Dalam hal memanggil dokter ke persidangan dan disumpah menurut Pasal 179 KUHAP, karena pada pasal ini diuraikan siapa saja yang diminta pendapatnya baik Dokter ahli Forensik maupun ahli lainnya, dengan demikian para pihak yang membantu pemecahan permasalahan haruslah benar-benar berdasarkan keahliannya masing-masing, juga harus memberikan keterangan sebaikbaiknya berdasarkan kepada sumpah atau janji yang telah diucapkannya. Namun dengan ketentuan Pasal 179 KUHAP di atas bukan berarti keterangan ahli yang telah diajukan pada penyidik, penuntut umum dan hakim itu bisa langsung diterima, hal ini juga tercantum dalam Pasal 180 KUHAP yang berbunyi : (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. (2) Dalam hal timbul keberatan yang beralsan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal ini dilakukan penelitian ulang. (3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk melakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut dalam ayat (2). (4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. Akan tetapi pemeriksaan ulang terhadap mayat atau korban hidup sangat sulit sekali bahkan biasanya sudah tidak mungkin lagi dilakukan karena pada korban yang hidup hanya akan ada bekasbekasnya saja, sedangkan pada mayat mungkin saja bagian-bagian lunak akan musnah dan yang akan tinggal hanya tulang belulangnya, namun tetap diberikan keterangan ahli oleh dokter pertama.
6 Pasal lain yang mengkhususkan dokter juga ahli lain wajib memberikan keterangan ahli lain untuk membantu penyelesaian perkara pidana demi terwujudnya keadilan adalah Pasal 179 KUHAP, dalam pasal ini disebutkan bahwa ahli kedokteran kehakiman dan ahli lain wajib memberikan keterangan untuk mewujudkan keadilan dan untuk lebih menguatkan kesaksian, mereka itu diwajibkan juga mengucapkan sumpah dan janji untuk memberikan keterangan yang diperlukan sebaik-baiknya sesuai ilmu yang dimiliki, sedangkan saksi yang dikenakan bila dokter tidak memenuhi permintaan untuk membantu proses peradilan dapat dilihat dalam KUHAP Pasal 224 yang berbunyi: Barang siapa yang dipanggil menurut Undang-undang akan menjadi saksi ahli, atau juru bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban sepanjang Undang-undang harus dipenuhi dalam jabatan tersebut harus dihukum: 1. Dalam perkara pidana, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan. 2. Dalam perkara lainnya, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan. Pasal ini mengatakan dengan kesengajaan menolak memenuhi kewajiban tersebut baru bisa dihukum, apabila dengan syarat: 1. Dipanggil menurut Undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata. 2. Dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban Undang-undang, misalnya antara datang ke sidang pengadilan dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan dan lain sebagainya. Ilmu Kedokteran Forensik mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Keberadaan dokter forensik atau dokter yang melakukan pemeriksaan atas diri korban tindak pidana, atau tersangka pelaku tindak pidana, merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak dapat diabaikan karena suatu proses penyidikan haruslah dilakukan dan didukung oleh ilmu pengetahuan (scientific investigation). Agar pelaksanaan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, dokter sebagai ahli dibutuhkan berkaitan dengan fungsi bantuan hukum, dimana segala upaya bermuara pada mencari kebenaran sejauh yang dapat dicapai manusia. Dalam hal ini bantuan yang diberikan dokter dalam bentuk keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 KUHAP butir 1). Keterangan ahli dapat diberikan secara tertulis (Visum et Repertum) maupun secara lisan di depan sidang pengadilan. Seorang praktisi medis dapat disebut sebagai saksi ahli medis untuk
7 memberikan bukti di pengadilan, atau sebagai bagian dari proses penyelesaian sengketa alternatif. Bukti medis dari seorang ahli sering menjadi bagian yang penting dalam administrasi peradilan dalam proses hukum yang melibatkan kesehatan dan hal-hal medis. Bukti yang diberikan oleh dokter sebagai ahli dapat membantu pengadilan atau proses penyelesaian sengketa alternatif dalam membuat keputusan yang adil. Bagi seorang hakim keterangan ahli yang sangat jelas di pengadilan dan di tambah dengan bukti yang tertera pada surat visum, hal ini sangat kuat sekali sifatnya untuk mempengaruhi putusan hakim nantinya di pengadilan, dan keterangan seorang ahli (dokter) pada pengadilan dinilai hakim sudah bersifat sempurna dan cukup untuk meyakinkan hakim, dan hakim menilai dan memandang ini adalah merupakan suatu nilai pembuktian yang kuat. Meskipun dalam hal ini juga harus di dukung dengan alat bukti lain. Sehingga hakim dapat memutuskan dan megadili terdakwa dengan seadil-adilnya. Tetapi menurut hukum positif di Indonesia, kekuatan pembuktian keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi, keterangan ahli juga mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Di dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud. Hakim dalam mepergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral dan terwujudnya kebenaran sejati, keadilan dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli tidak dapat berdiri sendiri harus didukung dengan persesuaian dengan alat bukti yang lain, begitupun jika dikaitkan dengan Pasal 185 ayat 2 KUHAP, seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka demikian halnya dengan keterangan ahli harus disertai dengan alat bukti yang lain. Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terangnya suatu perkara pidana, untuk kepentingan pemeriksaan dan peradilan. Adapun syarat sah keterangan ahli ini adalah sebagai berikut: 1. Keterangan diberikan oleh seorang ahli 2. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu 3. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya 4. Diberikan dibawah sumpah/ janji: a. Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
8 b. Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan. Nilai dari kekuatan pembuktian keterangan ahli juga dapat kita lihat dalam beberapa hal berikut: 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang, untuk membuktikan kesalahan terdakwa). 2. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan. 3. Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim. Dalam menangani suatu perkara pidana, seorang hakim disampin perlu menghadirkan seorang saksi biasa (saksi yang bukan ahli) terkadang juga perlu menghadirkan saksi ahli diantaranya adalah dokter, diamana ia perlu dihadirkan dalam perkara pidana yang biasanya menyangkut adanya tindak kekerasan pada fisik dan tubuh manusia. Dokter sebagai saksi ahli mempunyai peran yang sangat penting dalam pembuktian dipersidangan, ini menyangkut hal-hal yang tidak diketahui oleh hakim tetapi diketahui oleh dokter mengenai suatu pengetahuan yang diketahuinya. Misalnya mengenai suatu penyakit dimana hakim tidak dapat membedakan seorang meninggal karena dianiaya oleh si pelaku atau memang karena penyakit yang dideritanya. Oleh karena itulah hakim perlu menghadirkan seorang ahli yang benar mempunyai keahlian khusus di bidang medik, jika seumpama tidak ada dokter ahli kedokteran forensik, maka hakim masih dapat meminta keterangan dokter lain yang dapat dipakai dan sah menurut hukum. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kewajiban dokter dalam memberikan keterangan ahli di pengadilan pada pokoknya merupakan suatu kewajiban moril yang telah diatur dalam Undang-undang dan peraturan yang berlaku. Keterangan ahli tidak hanya didasarkan pada sumpah atau janji, tetapi juga berpegang kepada moril dan normanorma kebenaran yang berlaku dalam kehidupan manusia dan bertujuan untuk mendapatkan kebenaran yang sejati dan keadilan yang seadil-adilnya di depan hakim pengadilan. Kekuatan pembuktian saksi ahli (dokter) dalam pembuktian perkara pidana di pengadilan sebagai alat bukti yang sah di persidangan keterangan ahli mempunya peran yang sangat penting dalam pembuktian di persidangan dan hakim merasa bahwa ia tidak memiliki keahlian khusus seperti yang dimiliki oleh saksi ahli untuk membuat terang suatu peristiwa
9 pidana. Selain itu keterangan ahli juga berguna untuk menambah keyakinan hakim dalam menyimpulkan seorang terdakwa memang bersalah atau tidak. Daftar Pustaka Andri W, Budi K, Tom S, 2005, Perkembangan Ilmu kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, Jakarta, CV Sagung Seto. Bahar Kiram, dan Nadiar. B, 2010, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang. Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafika Persada. M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2008, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran. R. Soeparmono, 1989 Keterangan ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Jakarta, Satya Wacana.