IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE. Materi

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN LAKTOFERIN (LTF EcoRI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI DAN BET CIPELANG

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR

PENDAHULUAN. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

BAB 4. METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR (FSHR Alu-1) PADA SAPI LOKAL INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

II. BAHAN DAN METODE

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

BIO306. Prinsip Bioteknologi

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN β-laktoglobulin PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI KPSBU LEMBANG SKRIPSI RATNA YUNITA HANDAYANI

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

III. Bahan dan Metode

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

Transkripsi:

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG SKRIPSI DINY WIDYANINGRUM DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN DINY WIDYANINGRUM. D14070111. 2011. Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (GH MspI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D. Upaya dalam meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi pada level DNA. Teknik PCR-RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan dan produksi. Gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan penyandi hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh somatotropes dalam kelenjar hipofisa bagian depan dan berperan dalam pertumbuhan jaringan, reproduksi, laktasi, serta metabolisme. Adanya keragaman gen hormon pertumbuhan diharapkan dapat menjadi informasi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen GH MspI pada sapi Friesian Holstein (FH) dan sapi pedaging sebagai pembanding. Sampel darah yang digunakan berasal dari 89 ekor sapi FH dari BIB Lembang (17 ekor), BBIB Singosari (32 ekor), dan BET Cipelang (40 ekor); serta 37 ekor sapi pedaging (Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang. Amplifikasi gen GH dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk menentukan genotipe dilakukan dengan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi MspI yang mengenali situs potong C CGG. Analisis data yang digunakan adalah frekuensi genotipe, frekuensi alel, keseimbangan Hardy-Weinberg, dan heterozigositas. Amplifikasi gen GH menghasilkan fragmen dengan panjang 327 pb, yang terletak pada intron 3 dan ekson 4. Ada tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu GH MspI (+/+), (+/-), dan (-/-); dengan dua tipe alel, yaitu GH MspI (+) dan (-). Bangsa sapi FH di tiga lokasi memiliki frekuensi genotipe GH MspI (+/+) lebih tinggi (0,697) dibandingkan dengan frekuensi genotipe GH MspI (+/-) (0,258) dan GH MspI (-/-) (0,045). Frekuensi genotipe GH MspI (+/+) pada sapi Simental dan Angus sangat tinggi (1,000), sedangkan pada sapi Limousin dan Brahman sangat rendah (0,144 dan 0,000). Gen GH MspI pada sapi FH di tiga lokasi bersifat polimorfik dengan alel GH MspI (+) tertinggi (0,826). Pada sapi Limousin dan Brahman di BET Cipelang bersifat polimorfik dengan alel GH MspI (-) tertinggi (0,643 dan 0,600), sebaliknya pada sapi Simental dan Angus bersifat monomorfik yang seluruhnya memiliki alel GH MspI (+) (1,000). Seluruh bangsa sapi FH berada dalam keseimbangan Hardy- Weinberg (χ 2 < χ 2 (0,05)), namun sebaliknya pada seluruh sapi pedaging di BET Cipelang (χ 2 > χ 2 (0,05)). Analisis heterozigositas menunjukkan tingkat keragaman gen GH MspI pada seluruh sapi FH adalah rendah, demikian pula pada sapi pedaging, kecuali pada sapi Brahman. Adanya keragaman gen GH MspI dapat dijadikan pertimbangan sebagai informasi dasar seleksi ternak unggul terhadap sifat pertumbuhan pada sapi FH dan sapi pedaging. Kata-kata kunci : sapi FH, gen GH MspI, keragaman genetik, sapi pedaging, PCR-RFLP

ABSTRACT Identification of The Growth Hormone (GH MspI) Gene Polymorphism in Holstein Friesian Cattle in BIB Lembang, BBIB Singosari, and BET Cipelang Widyaningrum, D., C. Sumantri, and A. Anggraeni Growth hormone (GH) is an anabolic hormone synthesized and secreted by somatotroph cells from the anterior lobe of the pituitary. The GH plays an important role in postnatal growth and development, tissue growth, lactation, reproduction, and metabolism. This study was aimed to identify polymorphism of the growth hormone gene (GH) in dairy cattle and beef cattle as a comparison. Holstein Friesian (HF) cattle for a total number of 89 heads from BIB Lembang (17), BBIB Singosari (32) and BET Cipelang (40); and four breeds of beef cattle for a total number of 37 heads from BET Cipelang were genotyped at intron 3 of the GH gene using PCR-RFLP method by MspI restriction enzyme. Genotyping the GH gene resulted in three genotypes, namely GH MspI (+/+), (+/-), and (-/-), with two alleles, namely GH MspI (+) and (-). Genetic polymorphism was detected in HF cattle and beef cattle, the exception was for Simental and Angus. The frequency of the GH MspI (+) allele contrast to the GH MspI (-) allele for HF cattle were 0.826 vs 0.174. GH MspI (+/+) genotype had the highest frequency for HF (0,826), Simental, and Angus (1,000); but very limited for Limousin and Brahman (0,144 and 0,000). Chi-Square analysis showed that HF from the three locations were in Hardy-Weinberg equilibrium (χ 2 < χ 2 (0,05)), but contrast on beef cattle (χ 2 > χ 2 (0,05)). The value of heterozigosity expectation (He) for HF and beef cattles were estimated between 0.000-0.800. The genetic variation of the GH MspI gene was low in most of these cattles, the exception was for Brahman. Keywords : Holstein Friesian, GH MspI gene, Genetic Polymorphism, Beef Cattle, PCR-RFLP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG DINY WIDYANINGRUM D14070111 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Nama NIM : Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (GH MspI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang : Diny Widyaningrum : D14070111 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc.) (Ir. Anneke Anggraeni, M.Si., Ph.D.) NIP. 19591212 198603 1 004 NIP. 19630924 199803 2 001 Mengetahui : Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian : 11 April 2011 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Mei 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Eman Sulaeman, S.Pd, M.M. dan Ibu Nia Kania MS., SE, M.MPd. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD Negeri Pengadilan 3, Bogor. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 2, Bogor, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 6, Bogor, Jawa Barat. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER), Fakultas Peternakan IPB periode 2008-2009 sebagai staf club Ruminansia dan periode 2009-2010 sebagai Badan Pengawas Himpro; serta menjadi anggota Animal Breeding and Genetic Student Community (ABGSCi) periode 2010-2011. Penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa BBM tahun 2009 dan PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2010 dan 2011. Selain itu, penulis juga berperan aktif dalam kepanitiaan di Institut Pertanian Bogor.

KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan (GH MspI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak sapi perah merupakan salah satu komoditas yang memiliki berbagai manfaat. Namun, perkembangan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia dalam pemenuhan konsumsi masyarakat belum optimal. Upaya dalam meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi pada level DNA. Salah satunya yaitu dengan teknik PCR-RFLP yang digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan dan produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen hormon pertumbuhan dengan PCR-RFLP pada sapi FH serta sapi pedaging sebagai pembanding agar dapat diketahui informasi dasar genetik untuk seleksi ternak-ternak unggul. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak sapi di Indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan terhadap kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin. Bogor, 11 April 2011 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Sapi... 3 Sapi Perah... 3 Sapi Pedaging... 4 Hormon Pertumbuhan... 5 Gen Hormon Pertumbuhan... 5 Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)... 7 Keragaman Genetik... 8 Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan... 8 MATERI DAN METODE... 10 Lokasi dan Waktu... 10 Materi... 10 Prosedur... 12 Pengambilan Sampel... 12 Ekstraksi DNA... 12 Amplifikasi Gen GH MspI... 12 Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan Penentuan Alel... 13 Analisis Data... 13 Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel... 13 Keseimbangan Hardy-Weinberg... 14 Heterozigositas... 14 i ii iii iv v vi vii ix x

HASIL DAN PEMBAHASAN... 16 Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH)... 16 Keragaman Gen GH MspI... 17 Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel... 19 Keseimbangan Hardy-Weinberg... 23 Heterozigositas... 24 KESIMPULAN DAN SARAN... 26 Kesimpulan... 26 Saran... 26 UCAPAN TERIMA KASIH... 27 DAFTAR PUSTAKA... 28 LAMPIRAN... 33 viii

Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan... 10 2. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen GH MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging... 20 3. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Berdasarkan Uji χ 2... 23 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas Harapan (He) Gen GH MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging... 24

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Rekonstruksi Struktur Gen GH... 6 2. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen GH... 16 3. Posisi Penempelan Primer, Perbedaan Fragmen Gen GH dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi MspI Berdasarkan Sekuen Gen GH Sapi pada GenBank (Kode Akses : M57764)... 17 4. Visualisasi PCR-RFLP Fragmen Gen GH MspI... 18 5. Keragaman Gen GH MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging... 19

PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu sumber plasma nutfah yang berperan dalam memenuhi ketersediaan pangan. Perkembangan populasi sapi perah di Indonesia hingga saat ini belum mencapai angka optimal dalam pemenuhan pangan masyarakat. Berdasarkan data statistik peternakan, populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 407,8 ribu ekor dan pada tahun 2009 hanya meningkat hingga mencapai 423,8 ribu ekor, dengan tingkat konsumsi susu sebesar 9,53 kg per kapita per tahun. Rataan produksi sapi perah di Indonesia masih di bawah angka 10 liter per ekor per hari. Terbatasnya populasi dan produktivitas sapi perah mengakibatkan produksi susu dari dalam negeri hanya mampu mensuplai sekitar 23 persen dari kebutuhan susu nasional, sedangkan kekurangannya masih harus impor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Hingga saat ini, usaha pengembangan populasi dan produktivitas ternak telah dilakukan oleh berbagai institusi unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal Peternakan, seperti BBIB, BIB, dan BET. Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang dan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari merupakan unit pelaksana teknis yang melaksanakan replacement pejantan dan produksi bibit unggul secara berkesinambungan melalui penyediaan semen beku. Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang merupakan unit pelaksana teknis yang melakukan produksi, penyimpanan, dan pendistribusian embrio ternak serta aplikasi transfer embrio ternak. Berbagai unit tersebut memiliki peran dan fungsi penting untuk meningkatkan kualitas bibit unggul. Upaya dalam meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, pakan, dan perbaikan genetik. Perbaikan genetik dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Seleksi ternak dapat dilakukan pada level DNA dengan menilai keragaman gen tertentu. Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang genetika molekuler, keragaman DNA pada lokus gen dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Salah satu teknik genetika molekuler yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman suatu fragmen gen adalah teknik PCR-RFLP (Polimerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) dengan enzim restriksi MspI. Analisis PCR-RFLP sering digunakan

untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan atau mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan dan produksi. Sifat pertumbuhan ternak dikendalikan oleh gen-gen pengontrol pertumbuhan. Salah satu gen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah gen hormon pertumbuhan (Growth Hormone Gene). Gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan penyandi hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh somatotropes, dalam kelenjar hipofisa bagian depan dan memiliki beberapa aktivitas fisiologi. Gen GH berperan penting dalam mengatur sifat-sifat pertumbuhan, reproduksi, metabolisme, laktasi, dan perkembangan kelenjar susu. Gen tersebut dapat dijadikan sebagai kandidat gen dalam program Marker Asissted Selection (MAS). Penerapan MAS memerlukan marker molekuler yang dapat diperoleh melalui teknik PCR- RFLP, PCR-SSCP, DGGE, maupun analisis sekuen (sequencing). Oleh karena itu, adanya keragaman gen hormon pertumbuhan diharapkan dapat menjadi informasi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA untuk meningkatkan sifat pertumbuhan, produksi, serta kualitas susu sapi perah di Indonesia. Selain itu, pada sapi pedaging juga dapat menjadi informasi dasar seleksi dengan melihat tingkat keragaman gen GH yang memiliki peran berbeda, yaitu untuk pertumbuhan dan produksi karkas. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen hormon pertumbuhan menggunakan enzim restriksi MspI (GH MspI) dengan metode PCR- RFLP pada sapi Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang serta digunakan sapi pedaging dari BET Cipelang sebagai pembanding untuk mengetahui informasi keragaman gen hormon pertumbuhannya. 2

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi bergumba), dan Bos sondaicus (Blakely dan Bade, 1998). Spesies Bos taurus memiliki keunggulan pada tingkat pertumbuhan dan produksi yang tinggi, sedangkan spesies Bos indicus lebih unggul dalam hal adaptasinya (resisten pada kondisi lingkungan yang kurang baik) (Gorbani et al., 2009), namun Bos indicus memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai dewasa kelamin dengan periode kebuntingan yang lebih panjang (Parakkasi, 1999). Pengelompokan sapi juga dapat didasarkan pada tujuan produksinya, yaitu tipe sapi perah, tipe sapi pedaging, dan tipe campuran. Sapi Perah Bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sapi perah sub-tropis dan kelompok sapi perah tropis. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bangsa-bangsa sapi perah subtropis, yaitu Friesian Holstein, Yersey, Guernsey, Ayrshire, dan Brown Swiss. Bangsa-bangsa sapi perah tropis, yaitu Red Sindi, Sahiwal, dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia, baik negara subtropis maupun tropis. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland, Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri berwarna belang hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang, mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (French, 1996). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah lainnya (Blakely dan Bade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat

mencapai 4500-5500 liter per laktasi. Berat badan sapi FH jantan dapat mencapai 1000 kg dan sapi FH betina 650 kg (Chandra et al., 2009). Peternakan sapi perah dapat dijadikan sumber penghasil susu yang efisien dan secara komersial umum ditemukan di negara-negara seperti Australia, Inggris dan Amerika. Menurut Buckle et al. (2007), seekor sapi perah yang baik akan menghasilkan sekitar 5000 liter susu per tahun (kira-kira sepuluh kali berat badannya sendiri). Di Indonesia, rataan produksi susu sapi perah mencapai 3000 kg/ekor/laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Sifat produksi susu pada sapi perah adalah sifat kuantitatif yang dapat dikendalikan oleh banyak gen dan diwariskan serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Noor, 2000). Pertumbuhan, reproduksi, dan produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Suhu lingkungan yang optimum untuk pemeliharaan sapi perah berkisar antara 5-21 o C, dengan kisaran kelembaban 50-75% (Ensminger dan Tyler, 2006). Pada tingkat pakan tinggi, sapi Holstein dapat mencapai pubertas pada umur 262 hari, sedangkan pada tingkat pakan rendah, pubertas terjadi pada umur 504 hari atau lebih (Tomaszewska et al., 1991). Sifat reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia, seperti pada sapi FH menunjukkan umur pertama beranak adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60 hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan, dan service per conception (S/C) = 2 (Dudi et al., 2006). Sapi Pedaging Sapi pedaging memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi pedaging dari spesies Bos taurus yaitu sapi Limousin dan Simental. Sapi Limousin memiliki perdagingan yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 2001), dengan bobot badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg. Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam spesies Bos indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna putih. Spesies Bos indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001). 4

Pemeliharaan sapi potong untuk mempercepat kenaikan bobot badan dapat dilakukan dengan metode penggemukkan yang terdiri atas sistem penggemukkan ekstensif (pasture fattening) dan sistem penggemukkan intensif (dry lot fattening). Sapi yang digemukkan secara intensif memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sapi dipelihara pada sistem ekstensif, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat. Sistem pemeliharaan yang bervariasi menyebabkan tingginya keragaman pada respon pertumbuhan sapi (Parakkasi, 1999). Hormon Pertumbuhan Menurut Lawrence dan Fowler (2002), pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada tingkat dan titik yang berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan dikarakterisasikan oleh peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Pertumbuhan ternak dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik, ataupun interaksi keduanya. Salah satu faktor genetik yang berperan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (growth hormone) atau lebih dikenal dengan gen hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan hormon peptida yang secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al., 2001). Hormon pertumbuhan adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sel hewan (Pierzchala et al., 2004). Hormon pertumbuhan pada ruminansia diketahui bertanggung jawab untuk galactopoiesis dan persistensi laktasi (Svennersten-Sjaunja dan Olsson, 2005), sehingga sapi perah yang dipilih untuk produksi susu tinggi diharapkan dapat melepaskan sejumlah besar GH endogen dari rata-ratanya. Gen Hormon Pertumbuhan Gen merupakan bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang ditranskripsi ke dalam mrna yang akan ditranslasi menjadi protein (Brown, 1999; Muladno, 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah penyandi atau coding sequence (CDS) dan terdapat pula bagian 5

segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown, 1999). Bovine Growth Hormone (bgh) merupakan sebuah peptida tunggal dengan berat molekul 22 KDa dan disusun oleh 191 asam amino (Wallis, 1973) dengan panjang sekuen nukleotida 2856 pb (Gordon et al., 1983). Gen hormon pertumbuhan sapi Bos taurus (bovine growth hormone gene) terdiri dari lima ekson dan dipisahkan oleh empat intron (Gordon et al., 1983) dan terletak pada kromosom 19 (Hediger et al., 1990). Rekonstruksi struktur gen GH dapat digambarkan berdasarkan sekuens gen GH di GenBank (nomor akses : M57764) (Gambar 1). Kodon awal ATG Coding Sequence (CDS) Kodon akhir TAG 5 3 Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5 Flanking Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Flanking Region 5 Region 3 Keterangan : Lokus = BOVGH Panjang = 2856 pb Gen = 649-723, 971-1131, 1359-1475, 1703-1864, 2138-2439 Sekuen depan = 648 = 648 pb Ekson 1 = 649-723 = 75 pb Intron 1 = 724-970 = 247 pb Ekson 2 = 971-1131 = 161 pb Intron 2 = 1132-1358 = 227 pb Ekson 3 = 1359-1475 = 117 pb Intron 3 = 1476-1702 = 227 pb Ekson 4 = 1703-1864 = 162 pb Intron 4 = 1865-2137 = 273 pb Ekson 5 = 2138-2439 = 302 pb Sekuen ujung = 2440-2856 = 417 pb Gambar 1. Rekonstruksi Struktur Gen GH Sumber : Gordon et al. (1983) Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas, dan respon imun (Ge et al., 2003). Gen GH menjadi hal penting dalam mengatur sifat-sifat pada ternak yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga Beauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa gen GH dapat dijadikan kandidat gen dalam program 6

Marker Asissted Selection pada sapi. Gen GH juga berperan sebagai pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, perkembangan jaringan, otot, tulang, dan jaringan adiposa, pertumbuhan kelenjar mamary, laktasi, reproduksi, serta metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam tubuh (Akers, 2006). Gen GH membutuhkan receptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan. Menurut Zhou dan Jiang (2005), pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi oleh gen GHR. Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan bantuan enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin thermocycler (Muladno, 2002). RFLP adalah profil DNA berupa fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk berbagai individu. Enzim endonuklease atau enzim restruksi (RE) yang mengenali situs pemotongan empat dan enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman genetik menggunakan pendekatan analisis RFLP (Green, 1998). Penciri molekuler DNA restriction fragment length polymorphism (RFLP) memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi dan secara luas telah digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi genetik dan juga untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode sifat-sifat penting (Montaldo & Herrera, 1998). Analisis RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2004) dan kualitas karkas (Beauchemin et al., 2006) Menurut Vasconcellos et al. (2003), teknik PCR-RFLP telah digunakan secara luas untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) maupun pada daerah yang tidak penyandi atau daerah non-coding pada genom. Tingkat polimorfisme dan mutasi yang tinggi di daerah non-coding diduga dapat mempengaruhi ekspresi gen secara tidak langsung (Funk, 2001). 7

Keragaman Genetik Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus, serta menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies (Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (Nei, 1987). Hukum Hardy- Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift; selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi genotipe (Noor, 2008). Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi, yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000). Pendugaan nilai heterosigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya (Marson et al., 2005). Menurut Javanmard et al. (2005), nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan jika nilai Ho lebih rendah dari He maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif (Machado et al., 2003; Tambasco et al., 2003). Avise (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya. Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Variasi DNA pada lokus gen hormon pertumbuhan banyak dipelajari akhirakhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, sehingga variasi gen hormon pertumbuhan dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Polimorfisme gen GH ekson IV dan intron 3 dengan situs restriksi menggunakan enzim AluI dan MspI telah 8

dilaporkan sebelumnya pada sapi Nadji (Rastegari et al., 2010); serta sapi South Anatolian dan East Anatolian Red (Yardibi et al., 2009). Identifikasi mutasi pada hormon pertumbuhan dapat diseleksi pada tingkat DNA (Khatami et al., 2005). Cowan et al. (1989) mendeteksi keragaman lokus gen menggunakan enzim restriksi MspI dan berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui bahwa gen GH memiliki keragaman yang tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T = Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk (tipe) substitusi (transisi atau transversi), delesi, insersi dan inversi (Nei, 1987). Situs pemotongan enzim restriksi MspI berubah akibat adanya mutasi transisi dari basa C menjadi basa T (Yao et al., 1996). Mutasi transisi dapat terjadi akibat adanya substitusi antara basa Adenin dengan Guanin (Purin) atau antara basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella, 1997). Keragaman gen GH MspI terletak pada intron 3 dari gen hormon pertumbuhan pada posisi sekuen 1547 (Zhang et al., 1993) dan panjang fragmen gen GH MspI berdasarkan hasil yang diperoleh Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb. Keragaman gen GH MspI telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Holstein Beijing yang menunjukkan adanya tiga genotipe, yaitu GH MspI (+/+) (224 pb, 105 pb), GH MspI (+/-) (329 pb, 224 pb, 105 pb), dan GH MspI (-/-) (329 pb). Keragaman gen GH pada sifat produksi susu menunjukkan bahwa sapi bergenotipe GH MspI (+/+) memiliki tingkat produksi susu dan protein susu yang lebih tinggi serta persentase lemak lebih sedikit dibandingkan sapi bergenotipe GH MspI (+/-), dengan frekuensi alel rata-rata sebesar 0,875 untuk alel GH MspI (+) (Zhou et al., 2005). Menurut Thomas et al. (2006), fragmen GH MspI pada sapi Brangus bergenotipe GH MspI (+/-) (heterozigot) memiliki pengaruh positif terhadap pertambahan bobot badan harian dan karkas; selain itu, genotip GH MspI (+/+) dan GH MspI (+/-) fragmen GH MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan kualitas daging (Unanian et al., 2000). 9

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010. Materi Sampel Sampel yang digunakan sebanyak 126 ekor sapi meliputi 89 ekor sapi Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta 37 ekor sapi pedaging (Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang sebagai pembanding (Tabel 1). Sampel-sampel tersebut berupa sampel darah yang merupakan koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin Tipe Sapi Lokasi Jumlah (Ekor) 1 FH Sapi Perah BIB Lembang 17 2 FH Sapi Perah BBIB Singosari 32 3 FH Sapi Perah BET Cipelang 40 Subtotal 89 4 Simental Sapi Pedaging BET Cipelang 13 5 Limousin Sapi Pedaging BET Cipelang 14 6 Angus Sapi Pedaging BET Cipelang 5 7 Brahman Sapi Pedaging BET Cipelang 5 Subtotal 37 Total Keseluruhan Sampel 126 Keterangan : = jantan dan = betina Penanganan dan Pengambilan Sampel Bahan-bahan yang digunakan adalah ethanol absolute. Alat-alat yang digunakan, yaitu jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin.

Ekstraksi DNA Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah sampel darah 200µl, EDTA (Ethylinediamine tetraacetic), destilation water, 40 µl SDS 10% (Sodium Dodecyl Sulfat), 10 µl enzim Proteinase K 5 mg/ml, 400 µl phenol, 400 µl CIAA, 800 µl etanol absolute, etanol 70%, 40 µl NaCl 5M, 1 x STE (5 M NaCl. 2 M Tris HCL, 0,2 M EDTA), Elution Buffer, dan 100 µl TE 80% (Tris EDTA). Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip, vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge, rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan freezer. Primer Primer yang digunakan dalam penelitian fragmen gen GH MspI berdasarkan sumber Mitra et al. (1995), adalah forward : 5 CCC ACG GGC AAG AAT GAG GC, dan reverse 5 TGA GGA ACT GCA GGG GCC CA. Amplifikasi Gen GH MspI Bahan yang digunakan dalam analisa PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah sampel DNA, destilated water, 10x buffer PCR, MgCl 2, pasangan primer fragmen gen GH MspI, enzim Taq DNA polymerase, dntp (deoxy Nukleotida Triposfat), dan enzim restriksi MspI serta buffernya. Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro, sentrifuge, mesin thermocycler, rak dan tabung eppendorf, tip pipet, dan vortex. Elektoforesis dan Genotyping (Penentuan Genotipe) Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading dye, marker 100 pb, TBE 1x (1 M Tris; 0,9 M Asam Borat; 0,01 M EDTA ph 8,0), dan ethidium bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia, gelas ukur, stirrer, cetakan, power supply electrophoresis, alat foto UV trans iluminator, dan sarung tangan. 11

Prosedur Pengambilan Sampel Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin. Sampel darah tersebut ditambahkan etanol absolute dengan perbandingan 1 : 2 dan disimpan pada suhu ruang. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode Sambrook et al. (1989), yang meliputi tahapan : Preparasi Sampel. Sampel darah 200 µl dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml, kemudian ditambahkan air destilasi 1000 µl. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang. Degradasi Protein. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1xSTE sebanyak 350 µl, 40 µl SDS 10% dan 10 µl proteinase K 5 mg/ml, kemudian dikocok perlahan dalam inkubasi pada suhu 55 C selama dua jam. Degradasi Bahan Organik. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 400 µl phenol, 400 µl chloroform isoamyl alcohol (24:1) dan 40 µl NaCl, kemudian dikocok perlahan pada suhu ruang selama 1 jam. Presipitasi DNA. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit hingga supernatan yang mengandung DNA terpisah dari larutan fenol. Supernatan sebanyak 400 µl dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 40 µl NaCl 5 M dan 800 µl etanol absolute, dihomogenkan, kemudian larutan di-freezing over night. Tahapan selanjutnya, disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, kemudian bagian supernatan dipisahkan dan ditambahkan 800 µl EtOH 70%, dan tahap ini diulang kembali, kemudian didiamkan dalam keadaan terbuka. Tahap selanjutnya ditambahkan 100 µl TE 80% dan disimpan dalam freezer sampai akan digunakan. Amplifikasi Gen GH MspI Amplifikasi gen GH menggunakan metode PCR. Pereaksi amplifikasi DNA yang digunakan terdiri dari sampel DNA 1µl, destilated water 9,7 µl, primer 0,1 μl, Taq polymerase 0,05 µl dan buffer 1,25 µl, dntp 0,1 µl, dan MgCl 2 0,25 µl. Amplifikasi invitro berlangsung sebanyak 35 siklus menggunakan mesin 12

thermocycler dengan kondisi suhu pradenaturasi 94 C selama 5 menit, denaturasi 94 C selama 45 detik, annealing 62 C selama 45 detik dan extensi 72 C selama 1 menit, dan extensi akhir 72 C selama 5 menit. Produk PCR dielektroforesis menggunakan agarose 1,5% untuk mengetahui panjang amplifikasi gen GH. Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan Penentuan Alel Penentuan genotipe menggunakan pendekatan RFLP dengan menggunakan produk PCR 5 µl yang ditambahkan 1 µl destilation water, buffer 0,7 µl, dan enzim MspI 0,3 µl, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 16 jam. Produk pemotongan DNA tersebut divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0,5 x TBE (Tris Borat EDTA) yang diwarnai dengan ethidium bromide, dan dijalankan menggunakan power supply electrophoresis pada tegangan 100 Volt. Hasil elektroforesis diamati dengan bantuan sinar UV trans iluminator. Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui panjang fragmennya dan jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotipe pita DNA. Penentuan alel GH MspI (+) dan GH MspI (-) ditunjukan dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong berdasarkan sekuen gen GH (Gordon et al., 1983). Alel GH MspI (+) memiliki titik potong MspI (C CGG) dan menunjukan adanya dua fragmen yang masing-masing panjangnya 103 pb dan 223 pb, sedangkan alel GH MspI (-) tidak memiliki titik potong dan hanya menunjukan satu fragmen yang panjangnya 327 pb. Analisis Data Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Keragaman genotipe masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita yang ditemukan. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dapat dihitung dengan rumus Nei dan Kumar (2000). Frekuensi genotipe ) dapat diketahui dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe tertentu pada sampel setiap lokasi pengamatan, dengan rumus sebagai berikut : 13

Frekuensi alel ) merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel pada suatu lokus dalam populasi, dengan rumus sebagai berikut : Keterangan : = frekuensi genotipe ke-ii = frekuensi alel ke-i n ii = jumlah individu bergenotipe ii n ij = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah individu sampel Keseimbangan Hardy-Weinberg Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan Chi- Kuadrat (Hartl dan Clark, 1997) : Keterangan : = uji Chi-kuadrat O = jumlah pengamatan genotipe ke-i E = jumlah harapan genotipe ke-i Heterozigositas Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas pengamatan yang diperoleh dari masing-masing lokasi, dengan menggunakan rumus Weir (1996) sebagai berikut : Keterangan : Ho = heterozigositas pengamatan n ij = jumlah individu heterozigot N = jumlah individu yang diamati Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut : 14

Keterangan : He = nilai heterozigositas harapan = frekuensi alel q = jumlah alel 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai pembanding) dari BET Cipelang, berhasil dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer berdasarkan Mitra et al. (1995). Hasil amplifikasi fragmen gen GH sapi di seluruh lokasi divisualisasikan pada gel agarose 1,5% (Gambar 2). M 1 2 3 4 500 pb 400 pb 300 pb 200 pb 327 pb 100 pb Keterangan : M = Marker; 1-4 = No. Sampel Gambar 2. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen GH Gen GH merupakan peptida tunggal dengan panjang sekuen nukleotida 2856 pb, yang terdiri dari lima ekson dan dipisahkan oleh empat intron (Gordon et al., 1983). Berdasarkan pasangan primer yang digunakan, panjang produk hasil amplifikasi fragmen gen GH adalah 327 pb, yang terletak pada intron 3 dan ekson 4. Panjang fragmen ini mendekati hasil amplifikasi Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb. Persentase keberhasilan amplifikasi gen GH ini sangat baik mencapai 100% (126/126). Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada gen target dan kondisi thermocycler (suhu denaturasi, annealing, dan extensi). Selain itu, juga bergantung pada interaksi komponen pereaksi PCR dalam konsentrasi yang tepat (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini adalah 62 o C selama 45 detik. Berbeda dengan yang disarankan oleh Mitra et al. (1995) bahwa penempelan primer (annealing) terjadi pada suhu 60 o C selama 40 detik. Suhu annealing tersebut tidak dapat digunakan pada penelitian ini.

Jika suhu tersebut digunakan, maka tingkat keberhasilan amplifikasi pada gen hormon pertumbuhan pada sapi ini kurang menunjukkan hasil yang optimum. Keragaman Gen GH MspI Keragaman gen hormon pertumbuhan diketahui dengan menentukan alel dan genotipe pada setiap individu melalui pendekatan PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi MspI. Enzim tersebut hanya mengenali situs pemotongan empat basa, yaitu C CGG. Penentuan alel GH MspI (+) dan GH MspI (-) ditunjukkan dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong. Alel GH MspI (+) memiliki dua fragmen dengan panjang masing-masing 104 pb dan 223 pb, sedangkan alel GH MspI (-) hanya memiliki satu fragmen dengan panjang 327 pb. Perbedaan fragmen antara alel GH MspI (+) dan GH MspI (-) dapat diakibatkan oleh adanya mutasi yang menyebabkan enzim MspI mengenali situs pemotongan basa baru. Perbedaan fragmen gen GH dapat dilihat berdasarkan sekuen gen GH (dalam GenBank, kode akses : M57764) yang terdapat pada Gambar 3 berikut, Forward 1441 cccccacggg caagaatgag gcccagcaga aatcagtgag tggcaacctc ggaccgagga 1501 gcaggggacc tccttcatcc taagtaggct gccccagctc ccgcac cggc ctggggcggc 1561 cttctccccg aggtggcgga ggttgttgga tggcagtgga ggatgatggt gggcggtggt 1621 ggcaggaggt cctcgggcag aggccgacct tgcagggctg ccccagaccc gcggcaccca 1681 ccgaccaccc acctgccagc aggacttgga gctgcttcgc atctcactgc tcctcatcca 1741 gtcgtggctt gggcccctgc agttcctcag cagagtcttc accaacagct tggtgtttgg Reverse Alel GH MspI (+) : Alel GH MspI (-) : 5 ---gccccagctcccgcac cggc---3 5 ---gccccagctcccgcactggc---3 Keterangan : Alel GH MspI (+) Mempunyai Basa C pada Posisi Basa ke-1547 Alel GH MspI (-) Mempunyai Basa T pada Posisi Basa ke-1547 Gambar 3. Posisi Penempelan Primer, Perbedaan Fragmen Gen GH dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi MspI Berdasarkan Sekuen Gen GH Sapi pada GenBank (Kode Akses : M57764) Sumber : Gordon et al. (1983) Hal ini sebanding dengan pendapat Cowan et al. (1989) yang menyatakan bahwa gen GH memiliki keragaman tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat 17

terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T = Timin, G = Guanin, C = Citosin) dalam bentuk substitusi (transisi atau transversi), delesi (hilang), atau insersi dan inversi (Nei, 1987). Dilihat berdasarkan perbedaan situs pemotongan basa pada masing-masing alel (Gambar 3), diduga bahwa terjadi mutasi substitusi transisi. Substitusi transisi antara basa pirimidin, yaitu C (Cytosine) menjadi T (Tymine) merubah situs pemotongan enzim restriksi MspI (Yao et al., 1996). Keragaman gen GH MspI sapi diketahui terletak pada intron 3 pada posisi sekuen 1547 (Zhang et al., 1993). Daerah intron yang merupakan space internal antara pengkode protein pada sekuen gen, akan hilang (splicing) saat proses transkripsi, sehingga diduga pengaruh mutasi yang terjadi pada gen GH MspI, yaitu silent mutation. Silent mutation atau synonimous tidak terjadi pada situs aktif protein dan tidak menyebabkan perubahan asam amino karena beberapa asam amino yang sama dikodekan oleh kodon yang berbeda (Nei, 1987 ; Paolella, 1997). Hasil PCR-RFLP fragmen gen GH MspI pada gel agarose 2% menunjukkan adanya pola pita beragam dengan tiga macam genotipe (Gambar 4), yaitu genotipe GH MspI (+/+) yang terdiri dari dua pita (104 pb, 223 pb), genotipe GH MspI (+/-) yang terdiri dari 3 pita (104 pb, 223 pb, 327 pb), dan genotipe GH MspI (-/-) yang terdiri dari satu pita tidak terpotong (327 pb). Individu bergenotipe GH MspI (+/+) dan GH MspI (-/-) dikenal sebagai individu yang homozigot, sedangkan individu bergenotipe GH MspI (+/-) dikenal sebagai individu yang heterozigot. M +/- +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ +/+ -/- 500 bp 400 bp 300 bp 200 bp 327 bp 223 bp 100 bp 104 bp Keterangan : M = Marker 100 pb ; (+/+, +/-, -/-) = Genotipe Gambar 4. Visualisasi PCR-RFLP Fragmen Gen GH MspI 18

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tiga macam genotipe, yaitu GH MspI (+/+), GH MspI (+/-), dan GH MspI (-/-) pada sapi FH di BBIB Singosari dan BET Cipelang, sedangkan pada sapi FH di BBIB ditemukan dua macam genotipe, yaitu GH MspI (+/+) dan GH MspI (+/-). Hasil ini sebanding dengan penelitian Zhou et al. (2005) yang menunjukkan bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen GH MspI pada sapi Beijing Holstein menghasilkan tiga genotipe. Hasil penelitian untuk gen GH MspI pada sapi pedaging di BET Cipelang, yaitu sapi Limousin juga ditemukan tiga genotipe. Pada sapi Brahman hanya ditemukan dua genotipe, yaitu GH MspI (+/-) dan GH MspI (-/-), sedangkan pada sapi Simental serta sapi Angus hanya ditemukan satu genotipe GH MspI (+/+). Keragaman gen GH MspI dapat terlihat jelas berdasarkan jumlah genotipe sapi yang diamati (Gambar 5). 30 23 28 GH Msp ( / ) GH Msp (+/ ) Jumlah Sapi (ekor) 25 20 15 10 5 0 11 6 7 0 2 2 FH BIB FH BBIB FH BET 10 0 Simental 0 13 6 Limousin 6 GH Msp (+/+) 5 2 4 0 0 0 1 Angus Brahman Bangsa Sapi Keterangan : Sapi FH = BIB Lembang ( ), BBIB Singosari ( ), dan BET Cipelang ( ); Sapi Pedaging BET Cipelang ( ) = Simental, Limousin, Angus, dan Brahman Gambar 5. Keragaman Gen GH MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen GH MspI tertera pada Tabel 2. Persamaan dan perbedaan frekuensi genotipe maupun alel ditemukan antara sapi FH jantan maupun betina; dan sapi pedaging sebagai pembanding. 19

Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen GH MspI pada Sapi FH dan Sapi Pedaging Bangsa (ekor) * Lokasi Frekuensi Genotipe Alel +/+ +/- -/- + - Sapi Perah FH (17) BIB Lembang 0,647 (11) 0,353 (6) 0,000 (0) 0,824 0,176 FH (32) BBIB Singosari 0,718 (23) 0,219 (7) 0,063 (2) 0,828 0,172 FH (40) BET Cipelang 0,700 (28) 0,250 (10) 0,050 (2) 0,825 0,175 Sub Total (89) 0,697 (62) 0,258 (23) 0,045 (4) 0,826 0,174 Sapi Pedaging Simental (13) BET Cipelang 1,000 (13) 0,000 (0) 0,000 (0) 1,000 0,000 Limousin (14) BET Cipelang 0,144 (2) 0,428 (6) 0,428 (6) 0,357 0,643 Angus (5) BET Cipelang 1,000 (5) 0,000 (0) 0,000 (0) 1,000 0,000 Brahman (5) BET Cipelang 0,000 (0) 0,800 (4) 0,200 (1) 0,400 0,600 Sub Total (37) 0,541 (20) 0,270 (10) 0,189 (7) 0,676 0,324 Keterangan : (...)* adalah jumlah sampel sapi Hasil analisis dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa pada sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang memiliki genotipe GH MspI (+/+) paling tinggi dengan frekuensi genotipe masing-masing sebesar 0,647, 0,718 dan 0,700; sedangkan genotipe GH MspI (-/-) ditemukan paling rendah pada seluruh bangsa sapi FH di tiga lokasi dengan nilai frekuensi genotipe masing-masing sebesar 0,000, 0,063 dan 0,050. Secara keseluruhan, bangsa sapi FH di tiga lokasi memiliki frekuensi genotipe GH MspI (+/+) yang jauh lebih tinggi (0,697) dibandingkan dengan frekuensi genotipe GH MspI (+/-) (0,258) dan GH MspI (-/-) (0,045). Sapi FH yang berasal dari BIB Lembang dan BBIB Singosari merupakan sapi pejantan; dan kemungkinan sapi tersebut dijadikan sapi pejantan unggul terseleksi sifat pertumbuhan dan produksi susu tinggi yang aktif digunakan dalam inseminasi buatan (IB). Tinggi atau rendahnya frekuensi genotipe GH MspI yang dimiliki oleh sapi FH 20

yang termasuk tipe perah, dapat dihubungkan dengan sifat kuantitatif seperti banyaknya produksi susu. Perolehan hasil penelitian pada sapi FH ini menunjukkan hasil yang berbeda jika dibandingkan dengan sapi pedaging di BET Cipelang. Sapi Simental dan Angus memiliki genotipe GH MspI (+/+) sangat tinggi dengan frekuensi genotipe sebesar 1,000. Frekuensi genotipe pada sapi Limousin dan Brahman menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan frekuensi sapi FH, Simental, dan Angus. Sapi Limousin dan Brahman memiliki genotipe GH MspI (+/+) sangat rendah dengan frekuensi genotipe masing-masing sebesar 0,144 dan 0,000. Sapi Limousin lebih banyak memiliki genotipe GH MspI (+/-) dan GH MspI (-/-) dengan frekuensi genotipe berimbang sebesar 0,428; sedangkan sapi Brahman memiliki genotipe GH MspI (+/-) paling tinggi dengan frekuensi genotipe sebesar 0,800. Secara keseluruhan, bangsa sapi pedaging di BET memiliki frekuensi genotipe GH MspI (+/+) yang lebih tinggi (0,541) dibandingkan dengan frekuensi genotipe GH MspI (+/-) (0,270) dan GH MspI (-/-) (0,189). Gen GH pada tipe pedaging memiliki peran yang berbeda dengan tipe perah. Tinggi atau rendahnya frekuensi genotipe GH MspI pada tipe pedaging dapat dihubungkan dengan sifat pertumbuhan dan produksi karkas. Genotipe dapat dihubungkan dengan sifat produksi susu maupun karkas. Menurut Zhou et al. (2005), sapi Beijing Holstein bergenotipe GH MspI (+/+) menghasilkan produksi susu dan protein yang tinggi, dengan lemak yang lebih rendah. Hasil penelitian lain yang dilakukan pada sapi perah FH Polandia (Dybus, 2002) menunjukkan bahwa genotipe GH MspI (+/+) memiliki produksi susu dan lemak susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe GH MspI (+/-) dan GH MspI (-/-). Sapi Brangus bergenotipe GH MspI (+/-) berpengaruh positif terhadap PBBH, karkas, dan kualitas daging (Thomas et al., 2006). Pada sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging dari BET Cipelang, ada tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu GH MspI (+/+), GH MspI (+/-) dan GH MspI (-/-), sehingga hanya terdapat dua tipe alel yang ditemukan, yaitu alel GH MspI (+) dan GH MspI (-). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Hasil analisis frekuensi alel menunjukkan nilai yang beragam di antara keseluruhan sapi yang diamati (Tabel 2). 21

Sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang memiliki alel GH MspI (+) lebih tinggi dengan frekuensi alel masing-masing sebesar 0,824, 0,828, dan 0,825. Secara keseluruhan, bangsa sapi FH jantan maupun betina di tiga lokasi memiliki frekuensi alel GH MspI (+) lebih tinggi terhadap alel GH MspI (-) (0,826 vs 0,174). Hasil penelitian ini sebanding dengan pendapat Zhou et al. (2005) dimana frekuensi alel GH MspI (+) pada sapi Beijing Holstein, yaitu 0,875. Dilihat berdasarkan besar frekuensi alelnya yang hampir berimbang di antara lokasi pengamatan, sapi FH dari tiga lokasi tersebut bersifat polimorfik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nei (1987) yang menyatakan bahwa suatu alel dikatakan polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99, namun jika terjadi sebaliknya maka bersifat monomorfik atau seragam. Terdapat perbedaan tipe dan frekuensi alel dari gen GH MspI yang ditemukan antara sapi FH dan sapi pedaging. Sapi Limousin dan Brahman memiliki frekuensi alel GH MspI (-) lebih tinggi terhadap alel GH MspI (+) masing-masing sebesar 0,643 vs 0,357 untuk sapi Limousin; dan sebesar 0,600 vs 0,400 untuk sapi Brahman, sehingga kedua sapi tersebut bersifat polimorfik. Pada sapi Simental dan Angus, hanya satu tipe alel yang ditemukan, yaitu alel GH MspI (+) dengan frekuensi sebesar 1,000, sehingga bersifat monomorfik. Hal ini dapat terjadi oleh adanya manajemen perkawinan yang tidak acak, seleksi terhadap sifat tertentu, dan tingkat silang dalam yang tinggi (Bourdon, 2000). Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama terhadap gen GH MspI, yaitu ditemukannya alel GH MspI (+) yang lebih tinggi dibanding alel GH MspI (-), dengan nilai frekuensi alel yang mendekati hasil penelitian ini. Frekuensi alel GH MspI (+) sapi Holstein di Iran sebesar 0,83 (Zakizadeh et al., 2006), frekuensi alel GH MspI (+) dan alel GH MspI (-) pada Iranian Holstein Bull masing-masing sebesar 0,883 dan 0,117 (Gorbani et al., 2009), dan ditemukan juga frekuensi alel GH MspI (+) sapi Holstein sebesar 1,00 (Lagziel et al., 2000). Nilai frekuensi alel GH MspI (+) yang tinggi ditemukan pada sapi Angus, yaitu sebesar 0,86 (Lagziel et al., 2000) dan pada sapi Simmental sebesar 0,773 (Jakaria et al., 2009). Nilai frekuensi alel GH MspI (-) pada sapi Brahman ditemukan sebesar 0,64 (Beauchemin, 2006), sedangkan beberapa penelitian lain pada Sapi Limousin menunjukkan nilai frekuensi alel GH MspI (-) yang lebih rendah, yaitu sebesar 0,136 22