Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari. Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja pegawai dan perusahaan. (http://ppmmanajemen.ac.id) Setiap instansi atau organisasi perusahaan, pasti terdapat beberapa pegawai yang mengalami stres kerja. Akibat stres, sering kali apa yang dikerjakan hasilnya menjadi tidak maksimal, bahkan dapat berantakan (http://health.kompas.com). Stres kerja menurut Mangkunegara (2008) merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Menurut Luthans (dalam Afrilia, 2009) stres kerja merupakan suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Stres kerja didapat dari banyak faktor diantaranya tugas yang berlebihan, jam kerja yang sangat padat, lingkungan kerja yang tidak kondusif dan banyak faktor lainnya. Stres kerja yang dialami oleh pegawai tentunya memberikan efek yang negatif untuk organisasi karena kinerja pegawai akan turun dan tidak maksimal dalam melakukan tugas pekerjaan. Stres kerja pegawai seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan yang berlangsung di organisasi tersebut. Shculer (1999) mengatakan supervisor atau pemimpin merupakan salah satu penyebab stres paling nyata yang dialami oleh pegawai. Menurut Robbins (dalam Vitasari, 2010) kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam 1
perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Sejalan dengan pandangan tokoh diatas, peneliti menemukan adanya stres kerja yang dialami oleh pegawai di Sub Bagian Kepegawaian Dinas Perhubungan DKI Jakarta disebabkan oleh pemimpin. Pada periode magang yang peneliti lakukan di Sub Bagian Kepegawaian tanggal 08 Juli 06 September 2013, peneliti mengamati adanya gejala stres kerja yang dialami oleh pegawai diantaranya sulit berkonsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, dan penurunan produktivitas. Berdasarkan pengamatan tersebut peneliti melakukan perbincangan santai kepada para pegawai dan didapatkan hasil bahwa para pegawai mengaku merasakan adanya indikasi stres pada diri mereka dan stres tersebut disebabkan oleh ketidaknyamanan mereka atas sikap ataupun gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin mereka. Sub Bagian Kepegawaian merupakan salah satu bagian di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta merupakan Organisasi Perangkat Daerah yang berhadapan langsung dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Khususnya bagian Sekretariat dimana terdapat 4 Sub Bagian yaitu Sub Bagian Kepegawaian, Sub Bagian Program dan Anggaran, Sub Bagian Keuangan, dan Sub Bagian Umum. Ke-empat sub bagian ini memiliki tugas untuk mengatur dan memberikan pelayanan terhadap seluruh pegawai di Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.. Dengan pelayanan terbaik yang diterima oleh pegawai dari organisasi yang menaunginya, maka diyakini pegawai yang kemudian bertugas untuk memberikan pelayanan langsung pada masyarakat luas juga akan memberikan pelayanan yang baik. Untuk itu, stres kerja harus di minimalisir karena jika kinerja pegawai menurun dan tidak dapat memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat maka citra birokrasi pemerintahan akan buruk di masyarakat Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju kearah profesionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik, perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipergunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas baik manajerial maupun operasional diseluruh bidang tugas 2
dan unit organisasi instansi pemerintah secara terpadu. Untuk dapat melakukan hal tersebut sangat diperlukan adanya sosok pemimpin yang efektif dalam membina dan mengarahkan pegawai demi tercapainya tujuan organisasi. Pemimpin adalah agen perubahan (agent of change) dimana perilaku dan perintahnya akan memengaruhi anggotanya. Menurut Kartono (2006), pemimpin merupakan inisiator, motivator, stimulator, dinamisator, dan inovator dalam organisasi. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu menjadi pendorong bagi bawahannya dengan menciptakan suasana dan budaya kerja yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan kinerja karyawannya. Seorang pemimpin yang efektif harus tanggap terhadap perubahan, tidak hanya perubahan dari luar tetapi juga perubahan dalam iklim organisasi. Selain itu pemimpin harus mampu menganalisis kekuatan dan kelemahan sumber daya manusianya sehingga mampu memaksimalkan kinerja organisasi dan memecahkan masalah dengan tepat (Yukl, 1994). Seorang pemimpin memiliki ciri khas tertentu yang cenderung akan selalu digunakannya selama mengatur dan mencapai tujuan organisasi, ciri khas tersebut merupakan gaya kepemimpinan. Kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh banyak hal, salah satunya adalah pola atau gaya kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi tersebut. Gaya kepemimpinan yang sedang ramai diperbincangkan adalah gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Bass (1990) menyatakan bahwa model kepemimpinan transaksional-transformasional adalah paradigma baru, tidak menggantikan dan dijelaskan oleh model hubungan orientasi tugas dan orientasi kepemimpinan. Menurut Burn dan Bass (dalam Agustina, 2009) Kepemimpinan transaksional merupakan proses pertukaran antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin memberikan imbalan kepada pengikut sebagai timbal balik dari upaya yang dilakukan oleh pengikut untuk mencapai tingkat kinerja yang diharapkan atau disepakati dengan pengikutnya. Begitu pula sebaliknya, pengikut akan berupaya sebatas imbalan yang diterimanya dari pemimpin. Sementara kepemimpinan transformasional merupakan proses meningkatkan kebutuhan-kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi dan mendorong mereka untuk melebihi minatnya sendiri bagi kepentingan organisasi. Kepemimpinan transaksional dan transformasional tidak dapat dilihat sebagai pendekatan yang berlawanan untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Kepemimpinan 3
transformasional itu dibangun diatas kepemimpinan transaksional (Pranaya, 2008). Bass (1985) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional dapat ada pada diri satu orang pemimpin karena dalam melaksanakan tindakan kepemimpinan ia dapat menampilkan variasi dari gaya kepemimpinan transformasional maupun transaksional. Selain gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional merupakan teori yang sedang ramai diperbincangkan dan diteliti, ada pertimbangan lain yang digunakan oleh peneliti untuk mengambil topik ini, diantaranya: 1. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu paradigma baru yang tidak dapat digantikan maupun dijelaskan dengan teori lainnya, karena modelmodel kepemimpinan lain biasanya hanya menekankan pada satu aspek saja, misalnya trait, kekuasaan, atau situasional saja, sedangkan kepemimpinan transformasional menggabungkan tiga unsur sekaligus yaitu trait, gaya, dan contingency, sehingga dianggap teori ini akan dapat lebih menjelaskan bagaimana menjadi pemimpin yang baik dalam suatu organisasi. (Den Hartog, dalam Mulyono, 2003) 2. Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, kepemimpinan transaksional maupun kepemimpinan transformasional dapat berada dan digunakan oleh pemimpin yang sama dalam situasi dan waktu yang berbeda. 3. Para pemimpin transformasional dapat ditemukan dalam organisasi mana saja dan tingkatan apa saja (Burns, dalam Yukl, 1998) Namun meskipun gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional tidak dapat dipandang sebagai suatu gaya yang berlawanan, menurut Avolio & Bass (1987) gaya kepemimpinan transaksional berbeda dengan gaya kepemimpinan transformasional dalam dua hal yaitu (1) meskipun pemimpin transformasional uamh efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpinan transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. (2) pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. 4
Penelitian mengenai kepemimpinan transaksional dan transformasional serta kaitannya dengan stes kerja sebelumnya pernah dilakukan oleh Achmad Fahri pada tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul Hubungan antara Stres Kerja dan Gaya Kepemimpinan Transaksional dengan Kinerja Karyawan PT XL Axiata Tbk Divisi Information Technology. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kuantitatif dengan sampel sebanyak 50 orang yang diambil dari teknik random sampling. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek stress kerja dan gaya kepemimpinan transaksional memberikan sumbangan perubahan sebesar 23.1% terhadap kinerja karyawan, dan aspek imbalan kontingen dari gaya kepemimpinan transaksional memberikan sumbangan 4.89%. Selain penelitian yang dilakukan oleh Achmad Fahri, penelitian serupa pernah dilakukan oleh Erna Susiwati pada tahun 2005 dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Kepemimpinan Transaksional dengan Stres Kerja pada Karyawan Bagian Produksi PT. Indomarine LTD. Penelitian tersebut menggunakan sampel sebanyak 60 orang dengan hasil gaya kepemimpinan transaksional menyumbangkan 33,6% terhadap stres kerja pada karyawan atau dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kepemimpinan transaksional dengan stress kerja memiliki korelasi yang positif sangat signifikan. Pada penelitian pertama, penelitian yang dilakukan lebih mengkaitkan antara variabel gaya kepemimpinan dengan variabel kinerja sehingga tidak didapat hasil antara gaya kepemimpinan dengan stres kerja. Penelitian tersebut pun hanya melihat dari satu gaya saja yaitu gaya kepemimpinan transaksional. Sementara pada penelitian kedua, penelitian terbatas pada gaya kepemimpinan transaksional dan stres kerja saja. Penelitian kedua sama seperti penelitian pertama, tidak meneliti gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja melainkan hanya melihat gaya kepemimpinan transaksional. Dan terakhir, kedua penelitian diatas melihat hubungan antara gaya kepemimpinan transaksional dengan variabel lainnnya. Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk menyempurnakan dua penelitian terdahulu. Peneliti ingin melihat tidak hanya hanya satu gaya kepemimpinan yang digunakan, melainkan kedua gaya yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional. Karena seperti yang diungkapkan oleh Yukl (1998) bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan campuran antara perilaku 5
transformasional dan transaksional. Selain itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kedua gaya tersebut terhadap stres kerja, karena Menurut Robbins (dalam Vitasari, 2010) kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Selain itu peneliti ingin mengembangkan hasil wawancara terhadap pegawai Sub Bagian Kepegawaian mengenai stres kerja yang mereka rasakan karena ketidaknyamanan mereka dengan gaya kepemimpinan dengan memberikan kuesioner penelitian ini sekaligus ingin melihat apakah stres yang mereka rasakan disebabkan oleh gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Penelitian ini juga diperluas tidak hanya pada Sub Bagian Kepegawaian tetapi untuk Sub Bagian lain yang berada di lingkup Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti akan meneliti Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional dan Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Stres Kerja pada Pegawai Bagian Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 1.2 Rumusan Penelitian Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja pada pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja pada pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan transaksional atau kepemimpinan transformasional yang lebih sering digunakan oleh pemimpin dalam bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 6
2. Untuk mengetahui apakah gaya kepemimpinan transaksional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja yang dialami pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 3. Untuk mengetahui apakah gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja yang dialami pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 4. Untuk mengetahui tingkat stres kerja yang dialami oleh pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dan dapat dibuat intervensi terkait stres tersebut. 7