BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Keberhasilan pembebasan..., Windarto, FISIP UI, 2009

dokumen-dokumen yang mirip
2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

BAB 3 METODE PENELITIAN

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi kebijakan..., Atiek Meikhurniawati, FISIP UI, Universitas Indonesia

Institute for Criminal Justice Reform

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Balai pemasyarakatan (BAPAS) klas II Gorontalo dibentuk sesuai dengan Keputusan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

BAB V PENUTUP. dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mayashafira (2007) melakukan penelitian dengan judul Tentang Perspektif

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

Semoga dokumen ini memberikan manfaat bagi peningkatan kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

BAB I PENDAHULUAN. Anak dalam Islam adalah sebagai makhluk ciptaan Allah swt. yang. berkedudukan mulia dan dalam keluarga dia memiliki kedudukan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN TAHAP ASIMILASI: Solusi Terhadap Masalah-Masalah Pelaksanaan Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka.

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A KEROBOKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PERAN JAKSA DALAM PENGAWASAN NARAPIDANA YANG DIBERIKAN PELEPASAN BERSYARAT DI KOTA SURAKARTA (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Surakarta)

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (RUTAN) PURWODADI GROBOGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

PEDOMAN PELAKSANAAN RENCANA AKSI PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN NARKOBA DI LAPAS/RUTAN DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN

BAB V KESIMPULAN. dua cara kerja. Pertama dari prosedur tahapan kerja yang dilakukan BAPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

1 dari 8 26/09/ :15

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

PELAKSANAAN PEMBERIAN CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KEROBOKAN DENPASAR

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

Oleh : MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB V PENUTUP. bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

PERAN KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM JAWA TENGAH DALAM PEMENUHAN HAM ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)

BAB I PENDAHULUAN. atau ditaati, tetapi melalui proses pemasyarakatan yang wajar dalam suatu

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB V PENUTUP. Dari uraian-uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut : dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan telah cukup baik

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

Kata kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat, Warga Binaan, Resosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN JL. VETERAN NO. 11

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia tahun, korban berusia 6 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 %)

BAB I PENDAHULUAN. yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Problema dan solusi..., Djoni Praptomo, FISIP UI, Universitas Indonesia

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB II IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN

Strategi RUTAN dan LAPAS yang ada di DKI Jakarta saat ini dalam mengatasi over capacity adalah melakukan penambahan gedung hunian dan

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembebasan bersyarat merupakan metode yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Walaupun pada kenyataannya banyak orang berpendapat pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah (executive clemency), bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan (comfort of the criminal). Tetapi pendapat tersebut merupakan hal yang keliru. Tujuan pembebasan bersyarat bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyaman pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf (leniency). Sebaliknya, pembebasan bersyarat direkomendasikan sebagai metode yang berat dan yang paling aman dalam membebaskan narapidana. Apabila narapidana yang tidak mendapatkan pembebasan bersyarat atau bebas murni hingga akhir masa hukumannya, hal ini membuat negara secara tiba-tiba kehilangan fungsi pengawasan terhadap narapidana yang bebas tersebut. Akibatnya masyarakat menjadi tidak aman dalam waktu yang lama. Sebaliknya narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, negara menambah hukuman mereka (1 tahun) yang mana narapidana tersebut harus tinggal, bekerja dan bertingkahlaku dalam masyarakat di bawah pengawasan pihak yang berwenang (Bapas). Kebebasan para narapidana tersebut dikondisikan untuk bertingkah laku baik, menyesuaikan diri dengan masyarakat dengan dibimbing secara hati-hati dan dihadapkan pada ancaman hukuman penjara lagi (Wilcox, 1929). Diberbagai negara, lembaga koreksional cenderung mempunyai masalah dengan pembinaan narapidana. Masalah yang biasanya terjadi pada lembaga koreksional adalah kepadatan atau overcrowding narapidana. Di Indonesia, kepadatan atau overcrowding narapidana dalam Lapas / Rutan juga 1

terjadi dibebarapa kota atau daerah. Hal ini merupakan masalah yang besar bagi negara. Besarnya jumlah narapidana dalam suatu negara, mengakibatkan negara tersebut mempunyai beban yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup para narapidananya. Dengan demikian, anggaran negara yang diperuntukkan untuk membiayai para narapidana tersebut juga semakin besar. Gambar 1.1 Populasi Lapas dan Rutan 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 2005 2006 2007 2008 Sumber : Warta Pemasyarakatan Desember 2008 kapasitas isi over Selain itu, kepadatan narapidana di dalam Lapas / Rutan akan membahayakan keamanan masyarakat. Kepadatan di dalam Lapas / Rutan berdampak pada meningkatnya kerusuhan / kekacauan, pelarian dan pelayanan yang buruk terhadap narapidana di dalam Lapas / Rutan. Alternatif pemecahan masalah overcrowding narapidana di dalam Lapas / Rutan tersebut adalah 1) membangun Lapas / Rutan yang baru yang disesuaikan dengan pertumbuhan narapidana yang ada; 2) memberikan disposisi parole (pembebasan bersyarat); 3) melaksanakan pidana kerja sosial seperi yang termuat di dalam konsep rancangan KUHP (Muladi, 1995: 132). 2

Pada saat ini, dari ketiga alternatif pemecahan masalah overcrowding tersebut, yang paling efektif untuk dilaksanakan adalah alternatif yang kedua, yakni memberikan disposisi parole atau pembebasan bersyarat, yang mana pada akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencanangkannya dengan nama percepatan reintegrasi sosial narapidana. Mengingat, dengan membangun Rutan / Lapas baru membutuhkan beaya dan tenaga yang sangat besar. Sedangkan dengan memberlakukan pidana kerja sosial hingga, hingga sekarang konsep rancangan KUHP tersebut tidak kunjung disahkan sehingga alternatif tersebut belum mempunyai kekuatan hukum. Senna dan Siegel menjelaskan: ketika penjara overcrowding, pembebasan bersyarat dipandang sebagai cara yang diinginkan, dimana sebagai alternatif yang evektif untuk mengurangi anggaran. (Senna dan Siegel, 1993: 640). Sejalan dengan pendapat Senna dan Siegel, penghematan anggaran negara melalui pembebasan bersyarat juga telah terjadi di Indonesia. Percepatan reintegrasi sosial yang digulirkan oleh Derektorat Jenderal Pemasyarakatan, berdampak terjadinya penghematan yang sangat signifikan. Sebagai catatan penting, melalui optimalisasi kegiatan PB, CMB dan CB, apabila dikaitkan dengan kebutuhan anggaran terdapat penghematan biaya sebesar Rp.57.516.660.000,00 berupa penghematan biaya bahan makan, perawatan kesehatan, pakaian napi/tahanan dan biaya umum Lapas/Rutan. (Warta Pemasyarakatan Desember 2008). Maksud dari penghematan tersebut adalah apabila 16.728 narapidana yang mendapat PB selama 240 hari, 1.402 narapidana yang mendapat CMB selama 120 hari, dan 11.702 narapidana yang mendapat CB selama 60 hari masih tinggal di dalam Lapas, maka akan memerlukan biaya sebesar Rp.57.516.660.000,00 tetapi karena narapidana tersebut mendapat PB, CMB dan CB maka anggaran tersebut kembali ke kas negara. 3

Tabel 1.1 Penghematan anggaran dalam optimalisasi program pembinaan! Jumlah keseluruhan biaya yang dihemat Rp57.516.660.000,00. Sumber : Warta Pemasyarakatan, Desember 2008 Tujuan utama dari pembebasan bersyarat bukan semata-mata untuk mengurangi overcrowding di dalam Lapas/Rutan, atau menghemat anggaran negara dalam pos pemeliharan narapidana tetapi ada tujuan yang lebih utama. Tujuan utama tersebut, lebih merupakan pembinaan untuk mengembalikan nara agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi. Dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia yang menganut model penghukuman rehabilitatif dan re-integrasi sosial, narapidana yang menjalani hukuman tidak cukup dibuat jera saja, tetapi harus dibina agar menjadi manusia yang baik lagi. Dalam proses pembinaan di Lapas / Rutan, semua 4

narapidana harus menjalani tiga tahapan, yakni tahap maximum security, medium security dan minimum security. Setelah menjalani ketiga tahapan tersebut, narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat atau reintegrasi sosial. Disposisi parole atau re-integrasi sosial bagi narapidana di Indonesia meliputi Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) serta Cuti Bersyarat (CB). Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Nomor: M.01.PK.04-10 tahun 2007 dalam pasal 1 disebutkan :.2. Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. 3. Cuti Menjelang Bebas adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurangkurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik. 4. Cuti Bersyarat adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, sekurang-kurangnya setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana. Narapidana berhak mendapatkan prembebasan bersyarat (PB) setelah menjalani 2/3 masa pidananya. Pembebasan bersyarat merupakan suatu proses re-integrasi sosial narapidana pada masyarakat, dimana narapidana tersebut tinggal. Para narapidana hidup bersama lagi dengan masyarakat. Mereka tidak lagi diawasi oleh petugas Lapas / Rutan tetapi mereka diawasi langsung oleh masyarakat dan secara berkala mereka dibimbing oleh petugas Bapas. 5

Tabel 1.2 Jumlah Narapidana yang Memperoleh Asimilasi (AS), Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) Seluruh Indonesia tahun 2008! "! #$%#! $&$& $%#! #$ '$!$&!! Sumber : Warta Pemasyarakatan Desember 2008 Dalam rangka pembinaan narapidana yang sekaligus merupakan upaya mengurangi overcrowded di Rutan dan Lapas, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melaksanakan percepatan reintegrasi sosial bagi narapidana yang meliputi Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) serta Cuti Bersyarat (CB). Pembebasan Bersyarat dan sejenisnya tersebut merupakan kegiatan pembinaan narapidana di luar Lapas / Rutan. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat, dibebaskan sebelum masa pidananya berakhir tetapi mendapat pembimbingan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan pengawasan dari Kejaksaan. Pembebasan Bersyarat yang diharapkan sebagai pembinaan untuk mengembalikan narapidana hidup dimasyarakat dengan perilaku yang baik, tetapi realitanya hingga saat ini masih ada yang mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud adalah, pada masa para narapidana menjalani pembebasan bersyarat atau re-integrasi sosial, para narapidana melakukan kejahatan atau tindak pidana lagi (re-offence). Data dari Direktorat Jenderal 6

Pemasyarakatan Depertemen Hukum dan HAM RI. tahun 2008 dari 16.728 narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, terjadi kegagalan sebanyak 57 orang atau 0,34%. Dilihat dari persentase kegagalan pembebasanbersyarat di Indonesia sangatlah kecil bila dibandingkan dengan kegagalan pembebasan bersyatat di negara maju seperti Amerika, tetapi kegagalan tersebut tetap saja membahayakan keamanan dan ketenteraman masyarakat. Penelitian James Austin, dari National Council on Crime and Deliquency San Francisco California tentang keberhasilan dan kegagalan Pembebasan besyarat di California tahun 1985, diketahui bahwa : 1) Kegagalan klien pembebasan bersyarat menyelesaikan masa bimbingannya sejak tahun 1975 mengalami peningkatan dari 23 % menjadi 53 %; 2) narapidana yang ditolak atau ditunda usulan pembebasan bersyaratnya lebih besar dari pada jumlah klien yang dicabut atau dikembalikan ke Lapas karena melakukan kejahatan baru (5% ke 35 % sejak tahun 1975); 3)Terjadi peningkatan secara dramatis jumlah narapidana yang ditunda usulan pembebasan bersyaratnya (secara administrasi) karena : a) menurunnya tingkat bantuan keuangan dan sumber perawatan narkotika untuk klien pembebasan bersyarat; b) meningkatnya volume pekerjaan pembimbing klien pembebasan bersyarat; c) perubahan sikap masyarakat dan penegakan hukum terhadap klien pembebasan bersyarat serta pelanggar hukum secara umum; d) kelebihan narapidana / overcrowded di Lapas; e) lebih efisiennya penegakan hukum / sistem pembimbingan pembebasan bersyarat; 4) Meningkatnya jumlah pembebasan bersyarat yang ditunda berdampak pada peningkatan jumlah narapidana (overcrowding) di Lapas; 5) Alasan penolakan pembebasan bersyarat oleh parole board karena calon klien pembebasan bersyarat terlibat dalam kasus pencurian atau perampokan (kejahatan Properti), sedangkat yang relatif rendah jumlah pembebasan bersyaratnya ditolak adalah karena kejahatan kekerasan; 6) Sebagian besar narapidana yang keluar dari penjara yang menjalani pembebasan bersyarat adalah pengangguran dan diklasifikasikan memiliki permasalahan narkotika, secara periodik para 7

narapidana diminta tes urine di Bapas; 7) Sebagian besar klien pembebasan bersyarat diklasifikasikan dalam bimbingan dan pelayanan level/tingkat tinggi, rata-rata jumlah kontak dengan Bapas adalah 2 kali/bulan, sedangkan kotak rutin dilapangan (kunjungan rumah) bukan untuk absen atau kontak telepon tidak terjadi karena Bapas memiliki pekerjaan yang banyak; 8) Ditemukan jumlah klien pembebasan bersyarat yang pindah dari Bapas yang satu ke Bapas lain yang banyak. Kekurangsinambungan ini memungkinkan dapat menyebabkan masalah baru dalam pemberian pelayanan dan bimbingan. Dengan mencermati hasil penelitian Austin (1985), yang mengambil kancah masyarakat Amerika Serikat, maka pada penelitian ini akan diteliti ulang tentang keberhasilan atau kegagalan pembebasan bersyarat dengan setting di Bapas Semarang dari tahun 1998 sampai dengan 2008. Selain itu juga akan dilakukan peramalan seperti yang dilakukan Ernest Burgess pada tahun 1920 di Chicago. Sebagaimana diketahui, Burgess melakukan peramalan terhadap yang didasarkan pada penelitian terhadap 3000 orang narapidana yang mendapat disposisi parole (pembebasan bersyarat). (Mustofa 2007: 1000). 1.2 Permasalahan Dari berbagai penelitian, pembebasan bersyarat merupakan metode yang paling baik dalam membebaskan narapidana, pembebasan bersyarat merupakan pembinaan narapidana yang berbasiskan masyarakat, selain itu pembebasan bersyarat juga merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi kelebihan / kepadatan narapidana (overcrowded) di dalam Lapas. Tetapi tujuan dari utama pembebasan bersyarat adalah merupakan pembinaan narapidana agar bisa kembali hidup dimasyarakat dengan perilaku yang baik. Hal inilah yang menjadi fokus dari penelitian ini. Di beberapa negara, cara tersebut telah lama digunakan, begitu juga di Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. telah menetapkan optimalisasi pembinaan melului percepatan reintegrasi sosial bagi para narapidana yang di dalamnya termasuk pembebasan 8

bersyarat. Pada kenyataannya, pembebasan bersyarat yang diharapkan sebagai langkah pembinaan narapidana di dalam masyarakat, seringkali mengalami kegagalan. Kegagalan dimaksud adalah narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat masuk ke Lapas lagi karena mengulangi atau melakukan kejahatan lagi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., tingkat kegagalan pembebasan bersyarat di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 57 orang narapidana atau 0,34% dari 16.728 narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat. 1.3 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini mengutip pertanyaan penelitian dari James Austin, tentang kegagalan atau keberhasilan pembebasan bersyarat di California tahun 1985, yang mana pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana rata-rata keberhasilan atau kegagalan klien pembebasan bersyarat selama dalam pembimbingan Bapas? 2. Bagaimana level atau tingkatan pembimbingan dan pelayanan yang ditetapkan untuk klien pembebasan bersyarat? 3. Alasan-alasan atau kriteria yang bagaimana yang digunakan untuk penundaan, pembatalan pembebasan bersyarat dan kembali ke Lapas? 4. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan pembebasan bersyarat? 5. Kebijakan dan prosedur baru apa yang dicoba digunakan untuk menyelamatkan masyarakat melaui pengurangan rata-rata kegagalan pembebasan bersyarat? Mengingat perbedaan kondisi institusi pemasyarakatan yang ada di Amerika dengan yang ada di Indonesia, maka dari lima pertanyaan penelitian Austin tersebut akan diambil tiga saja yang juga disesuaikan dengan kondisi yang ada Indonesia. 9

Adapun pertanyaan yang penelitian tersebut adalah : - Bagaimana gambaran keberhasilan klien pembebasan bersyarat selama dalam pembimbingan Bapas Semarang dari tahun 1998 2008? - Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pembebasan bersyarat? - Bagaimana prediksi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan di masa yang akan datang? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasar permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan: - Menjelaskan gambaran tingkat keberhasilan klien pembebasan bersyarat selama dalam pembimbingan Bapas Semarang dari tahun 1998-2008. - Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan pembebasan bersyarat. - Memprediksi faktor-faktor penyebab keberhasilan di masa yang akan datang. 1.5 Signifikansi Penelitian ini Penelitian termasuk penelitian besar dan baru pertama kali di Indonesia, karena meneliti pelaksanaan pembebasan bersyarat dalam kurun waktu 11 tahun (dari tahun 1998 s/d 2008) di Balai Pemasyarakatan Semarang dengan jumlah narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat sebanyak 700 orang lebih. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan program pembebasan bersyarat. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: 1.5.1 Akademis Menambah khazanah penelitian Univesitas Indonesia dalam bidang penologi khususnya dan kajian kriminologi pada umumnya. 10

1.5.2 Praktis - Menjadi rujukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia RI dalam membuat keputusan pembebasan bersyarat para narapidana di Indonesia. - Menjadi dasar dalam pembinaan narapidana yang sekaligus sebagai upaya mengurangi kepadatan (overcrowded) narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), menghemat anggaran Negara untuk pelayanan dan perawatan narapidana serta meningkatkan fungsi Balai Pemasyarakatan (Bapas). - Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan pembimbingan di Bapas Semarang dari tahun 1998 s/d 2008. 1.6 Pembabakan Isi Guna memudahkan memahami hasil penelitian, tesis ini dibagi dalam pembabakan sebagai berikut: BAB 1 Pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan pembabakan. BAB 2 Tinjauan Pustaka, memaparkan konteks penelitian dari hasil studi pustaka, kerangka teori, konsep penghukuman, pembebasan bersyarat, indikator keberhasilan dan kegagalan pembebasan bersyarat. BAB 3 Metode Penelitian, berisi penjelasan metodologi penelitian, pendekatan penelitian, pelaksanaan penelitian, tehnik pengumpulan data, subyek penelitian, analisis penelitian yang dipergunakan, kelemahan dan kendala penelitian. BAB 4 Gambaran Umum berisikan tentang kegiatan pemasyarakatan di lingkup Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah dan khususnya di wilayah kerja Bapas Semarang secara umum. 11

BAB 5 BAB 6 BAB 7 Hasil Penelitian berisikan tentang tingkat keberhasilan dan kegagalan pembebasan bersyarat di Bapas Semarang serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Analisis Hasil Penelitian, berisikan analisis statistik hasil penelitian tentang hubungan antara hasil pembebasan besyarat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dan prediksi keberhasilan serta kegagalan. Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan tesis dan saran sehubungan dengan berbagai temuan yang diperoleh. 12