BAB II IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN"

Transkripsi

1 BAB II IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN A. Pembebasan bersyarat (Voorwaardelijke in Vrijhedidstelling/VI) 1. Pengertian Pembebasan bersyarat Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan. Setelah bebas dari lapas selain dibebani oleh beberapa syarat, narapidana juga diberikan tambahan masa percobaan selama setahun dan langsung ditambahkan pada sisa pidananya. Ada beberapa pengertian tentang Pembebasan Bersyarat, antara lain: a. Pembebasan Bersyarat menurut Pasal 15 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa, Pembebasan Besyarat secara umum diatur dalam Pasal 15 ayat 1 KUHP menyebut bahwa, orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit Sembilan bulan daripada itu. 52 Pasal 16 ayat 1 KUHP menyebut bahwa, Keputusan pelepasan dengan perjanjian itu diambil oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus rumah penjara di tempat adanya si 52 Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2 terhukum itu dan setelah mendapat kabar dari Jaksa. Keputusan ini tidak akan diambil sebelum Dewan Pusat urusan memperbaiki keadilan orang yang dilepas dari penjara, didengar, yang dipekerjakannya diatur oleh Menteri Kehakiman. 53 b. Pembebasan Bersyarat menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa, Pembebasan Bersyarat adalah Proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. 54 c. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.M.01.PK Tahun 1999 Tentang Pembebasan Bersyarat yang menyatakan bahwa, Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasar Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana serta Pasal 14, Pasal 22 dan Pasal 29 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. d. Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.01.PK Tahun 2007 Tentang syarat dan Tata Cara Pembebasan Bersyarat yang menyatakan bahwa, Pembebasan Bersyarat adalah Proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 53 Pasal 16 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 54 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

3 sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9(sembilan) bulan. 2. Dasar hukum Pembebasan Bersyarat Dasar hukum pemberian Pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan antara lain : 1. Pembebasan Bersyarat secara umum diatur dalam Pasal 15 ayat 1 KUHP menyebut bahwa, orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit Sembilan bulan daripada itu. Dan Pasal 16 ayat 1 KUHP menyebut bahwa, Keputusan pelepasan dengan perjanjian itu diambil oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus rumah penjara di tempat adanya si terhukum itu dan setelah mendapat kabar dari Jaksa. Keputusan ini tidak akan diambil sebelum Dewan Pusat urusan memperbaiki keadilan orang yang dilepas dari penjara, didengar, yang dipekerjakannya diatur oleh Menteri Kehakiman.Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 huruf K Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, Narapidana berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat. 2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1999 jo Pasal 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah menyangkut masalah syarat-syarat administrative dan syarat substantive dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat. 3. Berdasarkan Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

4 Indonesia Nomor: PM.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat. Pada prinsipnya untuk dasar hukum pemberian Pembebasan Bersyarat yang mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PM.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat adalah ditujukan pada Warga Binaan Pemasyarakatan untuk memperoleh hak-haknya dalam mendapatkan Pembebasan Bersyarat dengan ketentuan harus memenuhi syarat-syarat administrative dan syarat-syarat substantive yang telah ditentukan. Pembebasan Bersyarat tersebut tidak akan diberikan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan yang terancam jiwanya, Warga Binaan Pemasyarakatan yang diduga akan melakukan tindak pidana lagi dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjalani pidana penjara seumur hidup, sedangkan wewenang pemberian Pembebasan Bersyarat berada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk untuk hal tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala Lembaga Pemaysarakatan setempat. 2. Syarat Pembebasan Bersyarat penyalahguna Narkotika Setelah seseorang ditetapkan sebagai narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan maka sejak saat itu hak-haknya sebagai narapidana mulai diperhatikan dan dipertimbangkan dengan cara menghitung berapa lama hukuman

5 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dijatuhkan kepadanya dan ditambah dengan berapa lama seseorang tersebut ditahan dalam proses peradilannya. Hal tersebut bertujuan untuk memperhitungkan hak-hak yang didapat oleh narapidana dalam penerimaan Pembebasan Bersyarat. Selain daripada yang telah diutarakan di atas, maka berbicara tentang masalah yang menjadi pertimbangan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan dalam memberikan Pembebasan Bersyarat, menurut Suryanto adalah sama halnya dengan pembebasan bersyarat umum penetapan syarat substantif untuk pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap penyalahguna Narkotika antara lain 55 : a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan penyebab dijatuhi pidana. Hal ini membutuhkan perhatian dari para petugas/ pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan agar lebih aktif memperhatikan setiap narapidana yang bertujuan sebagai indikator terlaksananya hal tersebut. 56 b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral positif. Indikator terlaksananya hal tersebut adalah berawal dari para petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan KLas I Medan yang tetap memperhatikan setiap sikap dan 55 Wawancara dengan Suryanto pada tanggal 27 Maret 2015 di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan 56 Pasal 6 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat.

6 tingkah laku dari narapidana telah mengalami perubahan yang bersifat positif. 57 c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun semangat. Indikator berhasilnya para narapidana dalam mengikuti program kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan tersebut didasari dari sarana dan prasarana harus memadai serta didukung oleh Sumber Daya Manusia yang handal dari para petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan KLas I Medan. 58 d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana dan anak pidana yang bersangkutan. Hal ini dapat terwujud jika program pembinaan dalam reintegrasi sosial dapat berjalan dengan baik dan benar, sehingga masyarakat di sekitar Lembaga Pemasyarakat mendapat manfaat positif dari program-program pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Pasal 6 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 58 Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 59 Pasal 6 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat.

7 e. Berkelakuan baik selama menjalani pidana, pembinaan dan pendidikan serta tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin untuk Pembebasan bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (bulan) bulan terakhir. 60 f. Narapidana yang kemungkinan akan terancam jiwanya. Para petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan harus tanggap akan keberadaan diri pribadi dari setiap Narapidana jika seandainya diberikan Pembebasan Bersyarat tersebut dapat merugikan atau membahayakan jiwa dari narapidana, maka sebaiknya Pembebasan Bersyarat tidak perlu diberikan. 61 g. Warga Negara Asing sebagai narapidana yang dimasukkan dalam daftar pencegahan dan penangkalan (CEKAL) pada Direktorat Jendral Imigrasi. Hal tersebut untuk mencegah dari para narapidana Warga Negara Asing melarikan diri ke Negara asalnya atau ke Negara lain Pasal 6 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 61 Pasal 6 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 62 Pasal 6 ayat (1) huruf g Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat.

8 2. Syarat administratif: a. Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis) 63 b. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik pemasayarakatan yang dibuat oleh Wali permasyarakatan. 64 c. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan. 65 d. Surat register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana dan anak didik permasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan. 66 e. Salinan daftar Perubahan atau Pengurangan masa pidana (grasi Presiden, remisi, dll) dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan Pasal 6 ayat (1) huruf h Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 64 Pasal 7 ayat huruf b Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 65 Pasal 7 huruf c Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 66 Pasal 7 huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 67 Pasal 7 huruf e Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat.

9 f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana dan anak didik pemasyarakatan (pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah, swasta, atau lain-lain). 68 Warga binaan pemasyarakatan telah dinyatakan memenuhi syarat substantif maka warga binaan pemasyarakatan wajib memenuhi syarat administratif yang ada di lembaga pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan yaitu dengan mengisi formulir surat pernyataan dan Surat Jaminan Kesanggupan Keluargayang diberikan oleh pegawai Lapas secara langsung dan diisi langsung oleh warga binaan pemasyarakatan dan keluarga. 69 B. Penyalahguna Narkotika Penyalahgunaan dalam penggunaan narkoba adalah pemakain obat-obatan atau zatzat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup wajar/sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka penggunaan narkoba secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan. Narkotika diperlukan dalam dunia pengobatan dan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menentukan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tidak semua jenis dan golongan narkotika dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan terlebih untuk 68 Pasal 7 huruf f Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01.PK Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Beas dan Cuti Bersyarat. 69 Sumber dari instansi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

10 narkotika golongan I, yang dalam jumlah terbatas pun hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping manfaatnya dalam dunia pengobatan, narkotika apabila disalahgunakan atau salah pemakaiannya dapat menimbulkan akibat yang membahayakan bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan, yang akhirnya dapat menjurus pada tindak pidana. Tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, karena setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika juga telah merambah semua kelompok dan lapisan sosial ekonomi, kaya-miskin, kota-desa, kelompok usia, etnis, agama, serta telah mewabah menjadi penyakit masyarakat yang pandemic, tidak ada satupun negara, bangsa, suku bangsa, masyarakat, kelompok usia, kelompok agama, yang imun terhadap ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (BNN). Tahun ke tahun pertumbuhan narkotika ini semakin hebat, tidak ada satu negarapun yang tidak mampu diterobos oleh barang haram ini. Dewasa ini dikalangan remaja melakukan penggunaan narkotika secara ilegal yang disebut penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja erat hubunganya dengan kenakalan remaja itu sendiri, yang berakibat tidak saja merugikan si pemakai tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. Bahaya penyalahgunaan narkotika ini telah pada tingkatan yang sangat memprihatinkan bila tidak ditanggulangi secara serius, terutama apabila dikaitkan dengan generasi muda (para remaja), dan kenakalan remaja itu sendiri. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang memiliki ciri- ciri khusus antara lain kejahatan

11 terorganisir (organizer crime), kejahatan internasional (international crime), mobilitas tinggi, dukungan dana yang besar, pemanfaatan kemajuan teknologi, tindak pidana atau kejahatan tanpa adanya aduan dari korban pelapor (victim less), jaringan dengan sindikat sel terputus, dengan berbagai macam modus operandi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim, dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran gelap narkotika, namun dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Ketentuan Perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan, dalam beberapa kasus-kasus telah banyak bandar- bandar dan pengedar narkotika tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya. 70 Secara garis besar ketentuan pidana dalam undang undang Nomor 35 Tahun 2009 terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Sebagai Penanam : Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I, golongan II dan golongan III, dikenakan ketentuan pidana: 70 diakses 30 Juni 2015

12 a. Golongan I Ancaman pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah, apabila beratnya melebihi satu kilogram atau melibihi lima batang pohon (untuk tanaman) dan melebihi lima gram (bukan tanaman), maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 114 dan 115). b. Golongan II Ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 119 dan 120). c. Golongan III Ancaman dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama lima belas tahun. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 124 dan 125). 2. Sebagai Produsen Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III, dikenakan dengan pidana :

13 a. Golongan I. Pidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Pidana denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon (dalam bentuk tanaman) dan melebihi lima gram (dalam bentuk bukan tanaman), maka pidana dengan maksimum ditambah sepertiga (Pasal 113). b. Golongan II. Pidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 118). c. Golongan III Pidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun. Pidana denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 123). 3. Sebagai Pengguna Menggunakan narkotika golongan I, golongan II, atau golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, golongan II, atau golongan III untuk digunakan orang lain. Diancam dengan pidana :

14 a. Golongan I Dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit satu miliar rupiah, dan paling banyak sepuluh miliar rupiah. Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 116). b. Golongan II. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 121). c. Golongan III. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun. Dengan paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Apabila mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 126). 4. Prekusor Narkotika Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk

15 pembuatan narkotika. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun. Denda paling banyak lima miliar rupiah (Pasal 129). 71 Seseorang dikatakan penyalahguna narkotika dikatakan di dalam UU No.35 Tahun 2009 bahwa setiap penyalah guna narkotika diatur di dalam: Pasal 127 ayat 1, 2 dan 3: 1. Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Seseorang dikatakan pengedar apabila memenuhi unsur-unsuratau tindakan menyalurkan narkotika, menyerahkan narkotika, penjual narkotika, pembeli narkotika kemudian mengedarkan kembali ke orang lain, membawa narkotika, menyimpan narkotika, menyediakan narkotika, menguasai narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur tentang menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I seperti ganja diatur dalam Pasal a_serta_upaya_pencegahan_dan_penanggulangannya

16 Pasal 111 ayat 1 : 1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah. 2. Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, menyimpan,menguasai,atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon,pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur tentang memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman seperti sabu dan ekstasipasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122. Pasal 112 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah Pasal 117 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah. Pasal 122 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah

17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur tentang menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan diatur dalam Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124. Pasal 114 ayat 1: Pasal 119 ayat2: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan I,pelaku dipidana penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan II,pelaku dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah. Pasal 124 ayat 2 : Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan diatur dalam Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124. Pasal 114 ayat 2: Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon,atau dalam bentuk bukan

18 tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup, paling singkat 6 tahun, paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar ditambah 1/3 Pasal 119 ayat 2: Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3 Pasal 124 ayat 2: Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar ditambah 1/3 Undang-Undang 39 Tahun 2012 mengatur tentang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito diatur dalam Pasal 115, Pasal 120, Pasal 125. Pasal 115 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah. Pasal 120 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun,paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah Pasal 125 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun, paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah.

19 Undang-Undang 39 Tahun 2012 mengatur mengenai membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan dalam bentuk tanaman lebih dari 1 Kg golongan dalam bentuk tanaman lebih dari 1 kg atau 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram diatur dalam Pasal 115 ayat 2, Pasal 120 ayat 2, Pasal 125 ayat 2. Pasal 115 ayat 2: Dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut,atau menransito narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya lebih dari 1 kilogram atau lebih dari 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3 Pasal 120 ayat 2: Dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan II sebagaimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3 Pasal 125 ayat 2: Dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan III sebagimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram, pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun,paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar rupiah ditambah 1/3 Undang-Undang 39 Tahun 2012 mengatur tentang menggunakan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain diatur dalam Pasal 116 ayat 1, Pasal 121 ayat 1. Pasal 116 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak rp (sepuluh miliar rupiah)

20 Pasal 121 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda Paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp (delapan miliar rupiah) Undang-Undang 39 Tahun 2012 mengatur tentang penggunaan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain yang mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen diatur dalam pasal 116 ayat 2. Pasal 116 ayat 2: Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat I mengakibatkan mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen pelaku dipidana mati atau penjara seumur hidup,paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun,denda paling banyak Rp 10 miliar rupiah ditambah 1/3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Bandar Narkotika yaitu memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika diatur dalam pasal 113 ayat 1, 118 ayat 1, Pasal 123 ayat 1 Pasal 113 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah. Pasal 118 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah

21 Pasal 123 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai Pemakai dan Pengedar Narkotika Golongan I: 1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp (sepuluh milyar rupiah) 2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) Pasal 117 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai Bandar Narkotika Golongan II: 1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan II dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp (lima miliar rupiah) 2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

22 Batas tampung narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan sebesar1.024 orang. Tabel I No Tindak Pidana Jumlah 1. Narkotika orang 2. Korupsi 8 orang 3. Teroris 2 orang Sumber dari Bagian Register Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Perbandingan tindak pidana kasus narkotika dibandingkan dengan tindak pidana kasus lainnya sangat jauh jumlahnya. Penyalahgunaan narkotika dewasa ini telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan sehingga menjadi masalah nasional maupun internasional yang mendesak. Melihat dari kasus-kasus yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan dapat dinyatakan Indonesia saat ini bukan hanya merupakan daerah transit tetapi sudah menjadi daerah pemasaran. Hal ini sangat memprihatinkan sekali karena korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat dan mencakup tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat yang mampu tetapi juga telah merambah ke kalangan masyarakat yang kurang mampu baik di kota maupun di pedesaan. Kasus-kasus narkotika saat ini sangat mengejutkan karena korbannya sebagian besar generasi muda yang masih sangat produktif sehingga ancaman rusaknya generasi penerus bangsa ada di depan mata.

23 C. Prosedur Pembebasan Terhadap Narapidana Penyalahguna Narkotika di Lembaga Klas I Medan Pembebasan bersyarat merupakan hak bagi setiap Narapidana hanya saja hak tersebut tidak mutlak harus dipenuhi, mengingat pemberian pembebasan bersyarat haruslah dapat mencerminkan rasa keadilan di masyarakat terutama bagi pihak korban. Seorang Narapidana sebelum diusulkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan substantif maupun persyaratan administratif. Seorang narapidana sebelum diusulkan untuk memperoleh pembebasan bersyarat haruslah memenuhi tahap-tahap pembinaan yang diberikan di Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut : 1. Admisi Orientasi (0-1/3 masa pidana) Pada tahapan ini Narapidana mulai mengenal lingkungan kehidupan di Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dan warga masyarakat di lingkungan tersebut dan wajib melaksanakan program pembinaan seperti olahraga serta pembinaan keagamaan dan pengawasan dilaksanakan secara security maximum. 2. Program Pertama (1/3-1/2 masa pidana) Pada tahap ini Narapidana selain melaksanakan pembinaan keagamaan dan olahraga, narapinana mulai melaksanakan pembinaan yang bersifat produktif

24 seperti melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan suatu karya serta mendapatkan imbalan jasa dan karya tersebut. 3. Program kedua (1/2-2/3 masa pidana) Pada tahapan ini Narapidana sudah dapat melaksanakan asimilasi. Asimilasi adalah upaya pembaruan diri seorang Narapidana dengan pihak luar atau masyarakat. 4. Program ketiga (2/3-selesai masa pidana) Pada tahapan inilah apabila seorang Narapidana telah melaksanakan tahapantahapan dengan baik, maka Narapidana tersebut dapat diusulkan untuk memperoleh Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Adapun prosedur awal dalam mengajukan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas yaitu : 1. Surat dari Kejaksaan 2. Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) 3. Salinan register F 4. Daftar perubahan (daftar yang dicantumkan apabila ada perubahan masa hukuman bagi Narapidana seperti remisi) 5. Surat pernyataan dari keluarga 6. Surat pernyataan dari kelurahan atau pemerintah setempat 7. Hasil sidang Pengadilan 8. Hasil sidang TPP (tim pengamat pemasyarakatan) 9. Risalah singkat pembinaan Narapidana

25 10. Surat keterangan dokter Secara garis besar Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat harus memenuhi syarat-syarat yang mutlak harus dipenuhi, adapun syarat yang dimaksud : 1. Syarat-syarat umum meliputi: a. Narapidana harus berkelakuan baik b. Narapidana tersebut harus sehat jasmani dan rohani yang dikuatkan dengansurat keterangan dokter 2. Syarat-syarat khusus meliputi : Telah menjalani dua per tiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pasal 7 Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang harus dipenuhi oleh Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan adalah: a. kutipan putusan hakim (ekstrak vonis) b. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan c. surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan d. salinan register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa g. bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan:

26 1. surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati Pembebasan Bersyarat. 2. surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan. Pasal 8 Perhitungan menjalani masa pidana dilakukan sebagai berikut: a. sejak ditahan b. apabila masa penahanan terputus, perhitungan penetapan lamanya masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan terakhir c. apabila ada penahanan rumah dan/atau penahanan kota, maka masa penahanan tersebut dihitung sesuai ketentuan yang berlaku d. perhitungan 1/3, 1/2 atau 2/3 masa pidana adalah 1/3, 1/2, atau 2/3 kali (masa pidana dikurangi remisi) dan dihitung sejak ditahan. Pasal 9 1) Pembebasan Bersyarat, tidak diberikan kepada: a. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang kemungkinan akan terancam jiwanya atau b. Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup. 2) Warga negara asing yang diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat nama yang bersangkutan dimasukkan dalam Daftar Pencegahan dan Penangkalan pada Direktorat Jenderal Imigrasi. 3) Narapidana warga negara asing yang akan dimasukkan dalam Daftar Pencegahan dan pencekalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Setelah semua prosedur telah dilalui maka apabila Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui usulan pembebasan bersyarat tersebut, keputusan mengenai pembebasan bersyarat dibuat oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan. Surat keputusan tersebut selanjutnya dikirim kepada Kepala Kejaksaan Negeri tempat Narapidana menjalani pembebasan bersyarat. Tembusan surat keputusan itu selanjutnya dikirimkan kepada : 1. Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak asasi Manusia (Kakanwil)

27 2. Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS) 3. Walikota/Bupati dimana Narapidana menjalani pembebasan bersyarat. Narapidana yang memperoleh izin untuk menjalani pembebasan bersyarat harus menjalani masa percobaan yang ditetapkan baginya dan harus mentaati syaratsyarat yang telah ditentukan. Pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut dapat mengakibatkan dicabutnya izin untuk menjalani pembebasan bersyarat. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan yang ada dalam pasal 15b KUHP bahwa : 1) Jika orang yang diberikan pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal diatas dilakukan, maka mentri kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu. 2) Waktu selama terpidana dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya. 3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang telah ditentukan, maka sambil menunggu keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama 60 (enam puluh) hari. Jika waktu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut maka terpidana harus dikeluarkan dari tahan. Pelaksanakan sistem pemasyarakatan yang dapat menciptakan warga binaan Pemasyarakatan kembali pada fitrahnya sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha

28 Esa, hidup dan berkembang serta berinteraksi secara positif dan wajar di tengahtengah masyarakat berdasarkan UUP yang telah mengatur beberapa hak dari Warga Binaan Pemasyarakatan di Indonesia. Pembebasan bersyarat, tidak semua warga binaan Pemasyarakatan diberikan pembebasan bersyarat (Anak Sipil 72 tidak diberikan Pembebasan Bersyarat), Pembebasan Bersyarat diberikan kepada narapidana 73, anak pidana 74, dan Anak Negara. 75 Kepada Anak Sipil tidak diberikan Pembebasan Bersyarat dikarenakan Anak Sipil tersebut keberadaannya di Lembaga Pemasyarakatan atau Lembaga Pemasyarakatan Anak maupun di Balai Pemasyarakatan bukan untuk menjalani hukuman, melainkan hanya semata-mata menjalani pembinaan anak sebagaimana diatur dalam UUP agar Anak Sipil tersebut dapat melakukan perbuatan yang positif di tengah-tengah masyarakat. a. Ketentuan tentang Pembebasan Bersyarat secara umum diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP, Pembebasan Bersyarat hanya dapat diberikan dengan beberapa syarat, antara lain 76 hanya diberikan kepada mereka yang dihukum penjara dan bukan hukuman kurungan. b. 2/3 (dua per tiga) atau sedikit-dikitnya hukuman telah dijalani selama 9 (sembilan) bulan 72 Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 73 Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 74 Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 75 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 76 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1996), hal.44

29 c. pembebasan dilakukan dengan perjanjian d. bilamana narapidana yang menjaani pembebasan bersyarat melanggar perjanjian yang telah dibuatnya, maka kepadanya ditarik kembali ke dalam penjara untuk menyelesaikan masa hukumannya, dan masa pembebasan bersyarat yang telah dijalani tidak dihitung menjalani hukuman. Pengaturan tentang Pembebasan Bersyarat sebagai hak dari warga binaan pemasyarakatan berdasarkan UUP hanya diatur dalam 1 (satu) Pasal dan ayat saja yaitu Pasal 14 ayat (1) huruf K yang menyatakan bahwa, Narapidana berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat. Pengaturan lebih lanjut, maka pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut PP No.32 Tahun 1999) yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut PP No.28 Tahun 2006) kemudian perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun Pasal 15 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan Pembebasan

30 Bersyarat.Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. 77 Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) penyalahgunaan narkotika sering dipandang masyarakat sebagai suatu hal yang bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memberantas dan memberikan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.hal ini sesuai dengan maraknya peredaran narkoba ditengah masyarakat.penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan narkoba. 78 Syarat-syarat pemberian izin Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana narkotika berbeda dengan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pada umumnya, ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengharuskan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tersebut telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jendral 77 Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 78 Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006)Hal.1.

31 Pemasyarakatan. 79 Pertimbangan yang dimaksud ialah Direktur Jenderal Pemasyarakatan wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. PP No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di antaranya mengatur mengenai pembebasan bersyarat, yaitu: Pasal 43 1) Setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan kecuali anak sipil berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. 2) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diberikan dengan syarat: a. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (Sembilan) bulan. b. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum 2/3 (dua per tiga) masa pidana. c. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana 3) Pembebasan bersyarat bagi anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan paling sedikit 1 (satu) tahun. 4) Pemberian Pembebasan bersyarat ditetapkan dengan Keputusan Menteri 5) Pembebasan bersyarat dicabut jika narapidana atau anak didik pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 79 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006

32 6) Ketentuan mengenai pencabutan Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diatur dalam Peraturan Menteri. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 43A dan pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A 1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 43 ayat 2 juga harus memenuhi persyaratan: a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9(Sembilan) bulan. c. telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani. d. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana atau menyatakan ikrar. 1. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau 2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Asing., yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorime. 2). Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. 3) Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 43 B 1) Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 43A ayat 1 diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. 2) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum dan rasa keadilan masyarakat.

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan. 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggungjawab

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembinaan Narapidana Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai suatu sistem perlakuan bagi narapidana baik di pembinaan. Pembinaan adalah segala

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba No.404, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Narapidana. Pembinaan. Izin Keluar. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO

KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO Oleh : Paryadi Abdul Bari Azed Said Abdullah ABSTRAK Sistem pemasyarakatan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D 101 10 002 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Lampiran 1 KATA PENGANTAR Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Sekarang saya sedang menyusun sebuah Skripsi dengan judul Survei Mengenai Self Efficacy pada Warga Binaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3842) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan Pidana 1. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan BAB II PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pemberian Asimilasi Di Rutan Salatiga Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat hidup dan bergaul dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Bahaya narkotika di Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Sehingga Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan

Lebih terperinci

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M-03.PS.01.04 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN REMISI BAGI NARAPIDANA YANG MENJALANI PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP

Lebih terperinci

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA UU 22/1997, NARKOTIKA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak kejahatan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya Undangundang Nomor 35 Tahun

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan semakin meningkat. Dapat kita amati dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI 1.1. Pengertian Remisi dan Dasar Hukum Remisi Pengertian remisi diartikan sebagai berikut: Remisi menurut kamus hukum adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Rehabilitasi. Penyalahgunaan. Pencandu. Narkotika. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI

Lebih terperinci

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007 BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN No.M.2.Pk.04-10 Th 2007 A. Pembebasan Bersyarat Pembebasan bersyarat menurut PERMEN No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2 adalah proses pembinaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.465, 2014 PERATURAN BERSAMA. Penanganan. Pencandu. Penyalahgunaan. Narkotika. Lembaga Rehabilitasi. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. e. BAPAS dituntut sebagai konselor Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS tersebut dituntut untuk selalu siap dalam menerima segala keluhan yang terjadi pada diri Klien Pemasyarakatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai

I. PENDAHULUAN. perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG 61 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN A. Pengertian

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 MUHAMMAD AFIED HAMBALI Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta PROCEDDING A. Latar Belakang. Penyalahgunaan narkoba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan narkoba memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial ekonomi, politik, sosial,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai pengurangan masa pidana (remisi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/1997, NARKOTIKA *9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta Yth. 1. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2. Kepala Divisi Pemasyarakatan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika sebagai bentuk tindakan yang melanggar hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Ketentuan Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Narkotika Hukuman atau pidana yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP 2.1. Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. Sebelum kita mengetahui landasan hukum tentang remisi terhadap Narapidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN

Lebih terperinci

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, da-n semua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah melalui

Lebih terperinci

[

[ PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN A. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Prosedur Pelaksanaan Cuti Bersyarat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.03 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat. No.333, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M.HH-02.PK.05.06

Lebih terperinci