BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran umbi yang sangat potensial sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai arti penting dalam perekonomian di Indonesia. Pengembangan agribisnis kentang mempunyai prospek yang baik, karena dapat menunjang program penganekaragaman (diversifikasi) pangan, peningkatan pendapatan petani, perbaikan gizi masyarakat, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri pangan. Prioritas pengembangan kentang karena merupakan sumber karbohidrat yang dapat mensubstistusi bahan pangan lain seperti beras, jagung dan gandum. (BPS, 2009). Produksi kentang di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan permintaannya. Permintaan kentang konsumsi dan industri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai impor kentang Indonesia pada tahun 2007 mencapai 39.857.173 US$ dengan volume 43.477,08 ton. Awal tahun 2008 sampai dengan bulan september 2008, impor kentang mencapai 29.187 ton senilai 27.858.985 US$, pada tahun 2009 Indonesia masih mengimpor kentang 48.000 ton senilai 33 juta US$ (Bahar, 2009). Melihat tingginya permintaan dalam negeri dan untuk menunjang perkembangan agroindustri serta menghemat devisa negara, maka produksi kentang untuk industri pengolahan makanan perlu ditingkatkan (Anonymous, 2002). 1
Salah satu faktor yang menghambat peningkatan produksi kentang sejak di lapangan sampai di penyimpanan adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Salah satu OPT penting yang dapat menurunkan produksi kentang adalah Nematoda Sista Kuning (NSK), karena tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan nematoda sista kuning dapat mencapai 50-75%. Sista NSK dapat bertahan di dalam tanah selama 10 tahun, apabila sista telah menetas dan nematoda masuk ke dalam sel akar tanaman kentang, dapat menghambat penyerapan unsur hara dan air sehingga pertanaman kentang tidak mampu berproduksi secara optimal. Data Deptan tahun 2005 menunjukan bahwa potensi produksi pada lahan seluas 1,5 ha yang biasanya mencapai 24 ton menjadi 12 ton bahkan tinggal 8 ton (Deptan, 2005). NSK pertama kali ditemukan di Indonesia di Dusun Sumber Brantas Desa Tulung Rejo Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Malang, Jawa Timur (Mulyadi dkk, 2003). Petani kentang umumnya mengendalikan NSK dengan menggunakan nematisida kimia. Penggunaan bahan kimia sangat berbahaya karena dapat menimbulkan efek negatif pada tanah dan tanaman kentang itu sendiri. Oleh karena itu perlu diupayakan alternatif pengendalian NSK yang lebih ramah lingkungan, upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan menggali potensi senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan (alelokimia) yang dapat dimanfaatkan sebagai nematisida (Syawal, 2011). 2
Senyawa alelokimia merupakan senyawa yang bersifat toksik yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan. Senyawa alelokimia yang pertama ditemukan merupakan larutan hasil leaching serasah kering Black Walnut (Kenari hitam) yang mampu menekan perkecambahan dan pertumbuhan benih tanaman yang tumbuh dibawah pohon kenari hitam tersebut. Sebelumnya Condolle pada tahun 1832 menyatakan bahwa eksudat tanaman bisa menyebabkan terjadinya degradasi tanah akibat ekskresi atau eksudasi akar tanaman sebelumnya (Willis,2007). Gulma Alang-alang (Imperata cylindrical L.) diduga memiliki kemampuan menekan pertumbuhan NSK karena alang-alang mampu menghasilkan alelopati. Menurut Sastroutomo (1990), alang-alang yang masih hidup mampu mengeluarkan senyawa alelopati melalui akar, jika sudah mati baik organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah sama-sama dapat melepaskan senyawa alelopati. Bandotan juga diketahui menghasilkan senyawa alelopati yang bisa menghambat pertumbuhan tanaman lain. Namun Bandotan juga dapat meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tanaman sehingga bisa dijadikan pupuk alami (Aini, 2008). Efektivitas alelopati dari alang-alang dan bandotan terhadap pengendalian NSK belum diketahui secara pasti, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian ekstrak alang-alang dan bandotan terhadap pengendalian hama NSK pada tanaman kentang yang terinfeksi. 3
1.2 Perumusan Masalah 1. Ekstrak jenis gulma manakah yang paling efektif menekan pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik. 2. Berapakah frekuensi aplikasi ekstrak jenis gulma yang paling efektif menekan pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik. 3. Adakah interaksi antara ekstrak jenis gulma dan frekuensi aplikasi terhadap pertumbuhan dan hasil kentang di daerah endemik NSK. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ekstrak jenis gulma yang paling efektif menekan pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik di daerah endemik NSK. 2. Untuk mengetahui frekuensi aplikasi ekstrak jenis gulma yang paling efektif menekan pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik di daerah endemik NSK. 3. Untuk mengetahui adanya interaksi antara ekstrak jenis gulma dan frekuensi aplikasi terhadap pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik di daerah endemik NSK. 4
1.4 Hipotesa 1. Diduga ada pengaruh ekstrak jenis gulma terhadap pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik. 2. Diduga ada pengaruh frekuensi aplikasi ekstrak jenis gulma terhadap pertumbuhan NSK sehingga pertumbuhan dan hasil kentang paling baik. 3. Diduga ada interaksi antara ekstrak jenis gulma dan frekuensi aplikasi terhadap pertumbuhan dan hasil kentang di daerah endemik NSK. 5