ANALISIS DAYA SERAP BERBAGAI UKURAN CANGKANG Telescopium telescopium L. TERHADAP PARAMETER KUALITAS AIR PADA WADAH TERKONTROL prb-14 Andi Sahrijanna* dan Arifuddin Tompo Balai Riset Pengembangan Budidaya Air Payau *Email : asarijanna@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya serap berbagai ukuran cangkang Telescopiun telescopium L terhadap kandungan beberapa parameter kualitas air budidaya udang intensif pada wadah terkontrol. Penelitian ini dilakukan di tempat penggelondongan Kabupaten Maros dengan menggunakan media limbah budidaya udang intensif. Penelitian menggunakan 4 (empat) perlakuan dan 3 ulangan. Wadah yang digunakan adalah baskom hitam dengan volume 10 liter dengan kepadatan hewan uji 20 ekor/wadah ukuran PL 42, masing-masing perlakuan adalah A : Kontrol tanpa telescopium, B: ukuran cangkang telescopium 4-6 cm; C : ukuran cangkang telescopium 7-9 cm; D: ukurang cangkang telescopium 10-12 cm. Peubah yang diamati diantaranya : BOT, TSS, amonia, nitrit dan nitrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan cangkang T. telescopim L. mampu menyerap kandungan TSS terkontrol selama 180 menit. Pengamatan dari kandungan awalnya 1.854, menurun hingga 484 mg/l dan yang tertinggi pada ukuran panjang cangkang yang terdapat pada perlakuan D (10-12 cm) yaitu 722 mg/l atau sekitar 38 % selama 180 menit pemeliharaan, sedangkan kandungan BOT pada berbagai ukuran cangkang T. telescopium L. mampu menurunkan kandungan BOT dari 39,65 mg/l menjadi 5,10 mg/l selama 180 menit pada perlakuan D dengan ukuran cangkang 10-12 cm selama pemeliharaan atau turun sebesar 12,86 %. Kandungan amonia dari 1,0935 mg/l menjadi 0,0943 mg/l, (91,4 %) pada perlakuan B. Kata kunci: air limbah tambak, parameter kualitas air, Telescopium telescopium L. Pengantar Usaha budidaya tambak dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi adalah peningkatan produksi tanpa dibarengi dengan penambahan luas lahan sedangkan ekstensifikasi adalah peningkatan produksi dengan penambahan luas lahan. Sistem eksensifikasi tambak sering dijumpai masalah yaitu sulitnya melakukan penggantian air pada lokasi yang jauh dari lokasi sumber air, sehingga tidak jarang dijumpai air yang masuk ke dalam tambak adalah air yang kurang berkualitas yang berasal dari saluran pembuangan yang belum sempat terdorong ke laut. Berdasarkan hal ini maka perlu dicari alternatif pemecahannya melalui pengelolaan kualitas air. Pengelolaan limbah budidaya telah banyak dilakukan di Thailand melalui sistem pengendapan air dengan menggunakan tandon, namun sistem ini masih memiliki kekurangan karena memerlukan lahan yang luas, sekitar 30 % dari total area untuk digunakan sebagai petak tandon (Chandratokoul, 1993). Cara lain yang telah dilakukan di Thailand dan di Indonesia untuk mengatasi limbah budidaya udang intensif adalah menggunakan biofilter, organisme yang sering digunakan sebagai biofilter antara lain nila, bandeng (chanos-chanos), rumput laut dan kekerangan. Penggunaan bandeng dan kekerangan sebagai biofilter selain untuk perbaikan mutu air dan bakteri yang menguntungkan juga dapat menghemat area yang akan digunakan serta dapat memberikan hasil sampingan (Tompo, 1985 dan Ima Madeali, 1996). Disamping itu kelompok kekerangan merupakan kelompok hewan yang relatif hidup di dasar perairan dan kerap digunakan sebagai petunjuk biologis indikator dalam kualitas perairan. Untuk penggunaan bioindikator menjadi sangat penting dalam hubungan antara lingkungan biotik dengan non biotik. Indikator atau bioindikator ekologis merupakan kelompok organisme yang sensitif sehingga dapat dijadikan petunjuk bahwa organisme tersebut dipengaruhi oleh tekanan lingkungan akibat dari kegiatan manusia dan destruksi sistem biotik (McGeoch, 1998 dalam Alis dan Fajar, 2007). Selain dari organisme bivalvia, gastropoda seperti T. Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (prb-14) - 537
telescopium L diduga mampu memperbaiki mutu air karena sifat daripada gastropoda ini sebagai pemakan bangkai dan partikel-partikel yang mengendap di dasar perairan (Ariadi, 1996). Umumnya setiap organisme mempunyai kemampuan yang berbeda dalam proses perbaikan mutu air T. teleskopium L di alam terdiri dari berbagai macam ukuran yang diduga mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memperbaiki mutu air. Berdasarkan hal diatas maka ukuran panjang cangkang T. teleskopium L yang berbeda dapat memperbaiki hasil yang berbeda pula terhadap perbaikan mutu air limbah budidaya udang intensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ukuran cangkang T. teleskopium L dalam perbaikan mutu air limbah budidaya udang intensif dan sebagai dasar informasi dalam perbaikan mutu air tambak. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan selama dua bulan di unit penggelondongan Manrimisi Dusun Marana Kabupaten Maros. Organisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah. T. telescopium L dengan ukuran panjang cangkang 4-6 cm, 7-9 cm dan 10-12 cm yang diperoleh dari Desa Garongkong Kabupaten Barru dengan kepadatan 20 individu. Wadah yang digunakan adalah baskom plastik hitam sebanyak 12 buah yang diisi dengan air limbah udang intensif sebanyak 10 liter tiap wadah. Setiap wadah diisi dengan hewan uji sesuai dengan perlakuan. Pengamatan peubah dilakukan pada saat 60 menit, 120 menit, dan 180 menit. Parameter kualitas air yang diamati berupa BOT, TSS, amonia, nitrit dan nitrat. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan serta satu kontrol, sebagai perlakuan adalah sebagai berikut : A. Perlakuan A1, A2, A3 tanpa telescopium telescopium L B. Perlakuan B1, B2, B3 telescopium telescopium L (ukuran panjang cangkang 4-6 cm). C. Perlakuan C1, C2, C3 telescopium telescopium L (ukuran panjang cangkang 7-9 cm) D. Perlakuan D1, D2, D3 telescopium telescopium L (ukuran panjang cangkang 10-12 cm) Untuk mengetahui pengaruh dari setiap perlakuan, digunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata terkecil (BNT) (Suharjono,1978). Hasil dan Pembahasan BOT (Bahan Organik Total) Berdasarkan hasil penelitian bahwa kandungan BOT cenderung menurun berdasarkan waktu aplikasi pada semua perlakuan. Dalam waktu 60 menit pertama, kandungan BOT menurun dari 39,65 mg/l menjadi 19,89 mg/l atau menurun hingga 49,8 % pada perlakuan B, 10,16 mg/l turun sekitar 74,4 %, perlakuan C, dan 20,75 mg/l pada perlakuan D. Pengamatan selama 180 menit pada 60 menit ketiga kandungan BOT masih menurun sekitar 42,7 % dari aplikasi 60 menit kedua. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol) kandungan BOT tidak mengalami penurunan. Pada Gambar 1. Penurunan kandungan BOT secara tajam pada ketiga perlakuan terjadi pada 60 menit pertama hal ini disebabkan karena pada awal pengamatan terjadi penyerapan BOT secara optimal oleh hewan uji dan mulai menurun berdasarkan lamanya aplikasi, dari setiap 60 menit selama penelitian T. telescopium L pada berbagai ukuran panjang cangkang mampu memperbaiki kualitas BOT air limbah budidaya udang intensif. 538 - Semnaskan_UGM / Andi Sahrijanna dan Arifuddin Tompo
Gambar 1. Persentase rata-rata penurunan BOT selama penelitian. Kandungan BOT sekitar 5,10-20,75 mg/l masih dapat ditolerir baik oleh hewan akuatik. Batas yang optimum untuk BOT dalam perairan sekitar 25 mg/l (Anonim,1998). Hal ini menunjukkan bahwa T. telescopium L dengan berbagai ukuran panjang cangkang dalam perbaikan mutu kualitas air tambak udang intensif sangat efektif karena mampu menurunkan kandungan BOT dari 39,65 mg/l menjadi 5,10-8,76 mg/l setelah 180 menit aplikasi. Berdasarkan ketiga hasil uji sidik ragam diperoleh bahwa, pada perlakuan relatif sama untuk perbaikan kandungan BOT pada media uji yaitu perlakuan B,C dan D berdeda nyata pada setiap perlakuan terhadap kandungan bahan organik total (BOT). Gambar 2. Persentase rata-rata penurunan kandungan TSS (Total Susoensi Solid) penelitian. TSS (Total Suspensi Solid) Pengamatan TSS (Total Suspensi Solid) pada setiap perlakuan yang terilihat pada Gambar 2. menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap peubah yang diamati. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa A (kontrol) berbeda sangat nyata dengan perlakuan B dan C begitu pula antara perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B dan D. Berdasarkan pengamatan nampak bahwa kandungan TSS cenderung menurun pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol. Penurunan sangat tajam terjadi pada 60 menit pertama setelah aplikasi hewan uji yaitu dari 1854 mg/l menjadi 754 mg/l atau turun sekitar 59,3 % untuk perlakuan B, 746 mg/l atau turun sekitar 59,8 % pada perlakuan C dan menjadi 722 mg/l atau turun sekitar 61,1 % pada menit ke 180 perlakuan D. Sementara pada perlakuan kontrol tidak mengalami Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (prb-14) - 539
penurunan (1854 mg/l). Setelah aplikasi selama 120 menit (60 menit kedua), kandungan TSS masih mengalami penurunan pada B,C dan D. Sementara pada 180 menit (60 menit ketiga) kandungan TSS dalam media uji cenderung meningkat yaitu naik sekitar 14,6 % dari waktu aplikasi 120 menit pada perlakuan B, sekitar 23,0 % pada perlakuan C dan D sekitar 14,1 % hal ini menunjukkan bahwa T. telescopium L ternyata mampu menyerap TSS secara optimal pada 60 menit pertama dan pada 120 menit kedua. Kemampuan penyerapan TSS pada T. telescopium L mulai pada 60 menit dan 120 menit setelah 180 menit aplikasi ternyata tidak terjadi penurunan. Secara umum kandungan TSS pada media uji yang telah diaplkasikan T. telescopium L untuk semua perlakuan yaitu pada pengamatan 60 menit, 120 menit dan 180 menit, mengalami perbaikan dan cukup layak bagii kehidupan hewan akuatik khususnya udang windu. NH 3 (amonia) Gambar 3. Persentase rata-rata penurunan NH 3 (amonia) selama penelitian. Pada Gambar 3. kandungan amonia yang ada dalam lingkungan perairan tambak merupakan hasil dari proses pemupukan, kotoran udang dan sisa pakan yang mengalami perubahan oleh mikroorganisme melalui proses nitrifikasi dan assimilasi. Peningkatan kandungan amonia yang melebihi batas tolenransi dapat mengakibatkan kematian massal pada udang budidaya. Air limbah budidaya udang intensif yang di masukkan atau yang diaplikasikan pada T. telescopium L dengan berbagai ukuran panjang cangkang mengalami penurunan, kandungan amonia yaitu dari 1,0935 mg/l menjadi 0,0943 mg/l atau sebesar 91,4 % pada perlakuan B, pada perlakuan C 90,3 % dan 89,3 % pada perlakuan D, selama aplikasi 60 menit pertama. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol), kandungan amonia tidak mengalami perubahan 1,0935 mg/l. Setelah 120 menit dan 180 menit aplikasi kandungan amonia pada perlakuan B cenderung stabil yaitu sekitar 0,1229 0,1502 mg/l, perlakuan C sebesar 0,0956 0,1446 mg/l sedangkan pada perlakuan D sekitar 0,0534 0,0746 mg/l. Hasil uji sidik ragam terhadap penurunan kandungan NH 3 untuk semua perlakuan diperoleh tiga perlakuan ukuran panjang cangkang T. telescopium L berpengaruh sangat nyata yaitu pada perlakuan B, C dan D dibanding dengan A (kontrol). Pada gambar 3. terlihat bahwa penggunaan T. telescopium L yang memiliki ukuran panjang cangkang 4-6 cm pada perlakuan B hanya mampu menurunkan kandungan NH 3 sekitar 0,0943-0,1502 mg/l atau penurunan sekitar 86,8-90,3% dan pada perlakuan D menurun hingga 0,0534-0,1173 mg/l atau penurunan sekitar 89,3 95,1 %. Menurut Wickins (1976), kandungan maksimum NH 3 yang aman bagi udang windu adalah 0,1 mg/l. NO 2 (Nitrit) Hasil pengamatan NO 2 (nitrit) terhadap air limbah budidaya udang intensif yang diaplikasikan pada T. telescopium L dengan berbagai ukuran panjang cangkang menunjukkan bahwa kandungan nitrit mengalami penurunan yang relatif sama diantara perlakuan baik pada waktu aplikasi 60 menit, 120 menit maupun 180 menit, kecuali kontrol yang kandungan nitratnya masih tetap yaitu 0,0666 mg/l. Kandungan NO 2 (nitrit) pada ketiga jenis perlakuan tersebut masih cukup aman bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan akuatik khususnya udang windu. Menurut Poernomo (1988), batas tertinggi kandungan NO 2 (nitrit) dalam budidaya udang windu adalah 0,25 mg/l. 540 - Semnaskan_UGM / Andi Sahrijanna dan Arifuddin Tompo
Dari hasil penelitian ini, nampak bahwa dengan penggunaan T. telescopium L pada berbagai ukuran panjang cangkang untuk memperbaiki mutu air limbah budidaya udang intensif mampu menurunkan kandungan nitrit sebesar 77,0-87,3 % setelah aplikasi 60-180 menit. Penurunan tajam nitrit terjadii pada waktu 60 menit pertama, selama 120-180 menit waktu aplikas. Apabila kandungan nitrit tidak ditemukan dalam suatu media maka proses nitrifikasi cukup sempurna yang diperkaya oleh bahan organik yang mampu menguraikan sisa-sisa pices dan pakan yang tersisa (Connel dan Miller, 1995). Hasil uji sidik ragam terhadap penurunan kandungan nitrit pada ketiga jenis perlakuan pada ukuran panjang cangkang berpengaruh nyata terhadap B, C dan D. Gambar 4. Persentase rata-rata penurunan NO 2 (nitrit) selama penelitian. NO 3 (Nitrat) Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 5. NO 3 (nitrat) dalam media uji selama penelitian menunjukkan bahwa kandungan NO 3 (nitrat) tersebut juga cenderung menurun pada semua perlakuan yaitu dari 0,1773 mg/l menjadi 0,0200-0,0205 mg/l pada perlakuan B, 0,0197-0,0201 mg/l pada perlakuan C dan 0,0108-0,0201 mg/l pada perlakuan D setelah aplikasi T. telescopium L selama 60-180 menit. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol), kandungan NO 3 (nitrat) tetap yaitu 0,1773 mg/l dibandingkan dengan perlakuan B,C dan D. Pada penurunan kandungan NO 3 (nitrat) pada ketiga jenis perlkuan B, C dan D relatif sama, dimana laju penurunan yang terjadi pada 60 menit pertama, dan setelah itu kandungan nitrat dalam media uji cenderung stabil. Hal ini menunjukkan bahwa setelah terjadi penyerapan selama 60 menit, kemungkinan dalam tubuh T. telescopium L telah terjadi kondisi yang jenuh dengan kondisi media uji. Kisaran kandungan nitrat dalam media uji tersebut masih cukup layak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu dan hewan akuatik lainnya. Gambar 5. Persentase rata-rata penurunan NO 3 (nitrat) pada waktu penelitian. Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (prb-14) - 541
Hasil uji sidik ragam diperoleh bahwa penurunan kandungan nitrat untuk semua perlakuan B, C dan D adalah relatif sama yaitu perlakuan B, C dan D tetapi berbeda nyata dengan kotrol A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pengaruh ukurang cangkang dapat disimpulkan bahwa : 1. Penggunaan T. telescopium L dengan berbagai ukuran cangkang dapat memperbaiki mutu kualitas air 2. Penggunaan T. telescopium L dalam memperbaiki mutu kualitas air dengan waktu 60 menit, 120 menit dan 180 dapat menurunkan nilai amonia sebesar 91,4 %. Amonia apabila melebihi batas toleransi dapat mengakibatkan kematian massal pada budidaya udang. 3. Untuk parameter TSS pada akhir penelitian yaitu pada pengamatan 180 menit mengalami peningkatan kecuali parameter NO 2 dan NO 3 cukup stabil. 4. Setiap perlakuan dengan ukuran cangkang yang berbeda mampu menyerap kandungan BOT (bahan organik total), TSS (total suspensi solid), NH 3 (amonia), NO 2 (nitrit) dan NO 3 (nitrat) selama penelitian Daftar Pustaka Anonim, 1984. Pedoman budidaya tambak. Direktorat Jenderal PerikananDepartemen Pertanian Jepara. Ariadi, 1996. Ukuran panjang cangkang. T. telescopium L terhadap perbaikan mutu air limbah budidaya udang intensif. Skripsi Sarjana Jurusan Biologi MIPA Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Alis A.K.J., & B.L. Fajar, 2007. The use of bioindicators to determine the environmental health quality. INEPO Project Competition. Kharisma Bangsa School of Global Education Chandratokoul, P, J. F. Trumbul, & C. Linsuwan, 1993. Health management in shrimp ponds. Aquatik Animal Healt Reseach Institute. Dept, of Fisheries Kasetsart Universitas Caipus Bangkok. Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Alih Bahasa oleh Y.Kastoer. UI Press. Jakarta. Poernomo, A, 1988. Pembuatan tambak udang di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 30 hal. Tompo, A. & I. Madeali, 1996. Pengaruh ukuran tiram (Crassostrea edulis) sebagai pengolah limbah budidaya udang intensif. Laporan Penelitian 1996/1997. Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros. Wickins, W, F.1976. Prawn biology and culture. Oceanography and Marine Biology. Annual Review. P 445-507 542 - Semnaskan_UGM / Andi Sahrijanna dan Arifuddin Tompo