BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2. Analisa penyisihan pencemar dengan variasi vegetasi pada constructed wetland. 3. Pengaruh variasi waktu detensi (t d ) terhadap efisiensi constructed wetland 4. Pengaruh variasi beban influen pada ABR terhadap constructed wetland. 5. Pengaruh vegetasi pada constructed wetland. 6. Perbandingan hasil penyisihan masing-masing reaktor sehingga dapat diperoleh kondisi optimal reaktor. Pembahasan dimulai dari penyisihan tiap-tiap parameter oleh tanaman Scirpus grossus untuk waktu detensi 5 hari dan 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD. Kemudian dilanjutkan dengan beban ABR 4000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari dan 7 hari. Setelah itu pembahasan dilanjutkan dengan jenis tanaman Sagittaria lancifolia untuk waktu detensi 5 hari dan 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD. Kemudian dilanjutkan dengan beban ABR 4000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari dan 7 hari. Analisa data ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan grafik agar lebih mudah dipahami. 4.2 Baku Mutu Limbah Cair Kualitas efluen ditetapkan berdasarkan klasifikasi mutu air yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.82 tahun Menurut PP No.82 tahun 2001, klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas, yaitu : a. Kelas satu, air yang diperuntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. IV-1

2 b. Kelas dua, air yang peruntukkannnya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan untuk peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. a. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. b. Kelas empat, air yang peruntukannya untuk mengairi pertamanan. Baku mutu yang digunakan dalam menganalisa hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah PP No. 82 tahun 2001, kelas tiga. Hal ini karena diharapkan kualitas efluen dari pengolahan dengan sistem constructed wetland dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4.3 Karakteristik Limbah Limbah yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah Industri Tahu dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang berlokasi di Dago Bengkok, Bandung. Konsentrasi zat yang terkandung dalam limbah tersebut berfluktuasi sesuai dengan jumlah produksi dan jumlah air bersih yang digunakan. Karakteristik limbah Industri Tahu dan RPH yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari Tabel 4.1 dapat dilihat limbah RPH dan limbah tahu memilki kandungan zat organik tinggi, terlihat dari kandungan BOD dan COD yang tinggi. Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat mereduksi kandungan O 2 terlarut dalam air. Bila O 2 terlarut dalam air habis sama sekali karena kadar bahan organik yang tinggi, maka akan timbul bau busuk (karena kondisi air menjadi anaerob) dan warna air menjadi gelap. Berdasarkan nilai baku mutu, COD dan BOD berada di IV-2

3 atas baku mutu yang telah ditetapkan sehingga dibutuhkan pengolahan agar limbah tersebut aman untuk dibuang ke badan air. Tabel 4.1 Karakteristik Limbah Industri Tahu dan RPH yang Digunakan dalam Penelitian Kelas (*) Baku Parameter Limbah Tahu Limbah RPH Satuan Mutu Lemah Sedang Kuat (**) Temperatur ph COD BOD NTK Fosfat TSS 23,5 25 4,63 5, , ,4 202,48 0,15 1, ,7-25,2 6,64 7, , ,8 214,36 0,381 5, Sumber : *) Metcalf & Eddy, 1991 (**) Baku Mutu PP No.82 tahun 2001 golongan III o C - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Tingginya kandungan zat organik pada limbah tahu dapat berasal dari penggunaan bahan baku yaitu kacang kedelai, sedangkan pada limbah RPH berasal dari darah dan kotoran ayam. Konsentrasi BOD dan COD pada limbah tersebut berkisar antara ,6 mg/l dan mg/l, sehingga dapat diklasifikasikan ke dalam kelas limbah kuat. Perbandingan BOD dan COD untuk limbah RPH berkisar 0,24-0,34 sedangkan limbah tahu sebesar 0,4-0,59. Nilai perbandingan BOD : COD ini menunjukkan bahwa kedua jenis limbah bersifat less biodegradable, bahkan lebih cenderung bersifat non biodegradable. Hal ini menjadi hambatan yang cukup berarti bagi proses pengolahan secara biologis, sehingga pada penelitian ini masih perlu dilakukan penambahan glukosa sebagai substrat selain dari kedua jenis limbah asli tersebut. Kandungan nitrogen dalam NTK pada limbah tahu berkisar 50,4 202,48 mg/l dan pada limbah RPH 44,8 214,36 mg/l. Kedua limbah tersebut termasuk ke dalam kelas limbah kuat. Kandungan nitrogen dalam limbah tersebut dapat berasal dari senyawa-senyawa organik. Nitrogen sangat penting bagi pertumbuhan mikroorganisme dan tumbuhan, dikenal sebagai nutrien atau biostimulan. Data tentang nitrogen dibutuhkan untuk mengevaluasi kemampuan pengolahan air IV-3

4 limbah dengan proses biologis. Kurangnya nitrogen pada air limbah mengharuskan penambahan nitrogen agar pengolahan air limbah tersebut dapat berjalan dengan baik. Nilai total fosfat untuk limbah tahu lebih kecil daripada limbah RPH. Nilai total fosfat untuk limbah tahu berkisar antara 0,15 1,72 mg/l, termasuk ke dalam kelas limbah lemah, sedangkan untuk limbah RPH nilai total fosfat termasuk ke dalam kelas limbah sedang, dengan nilai 0,381 5,375 mg/l. Pada limbah RPH yang berkonstribusi besar pada nilai fosfat yaitu darah dan kotoran ayam. Sama halnya dengan nitrogen, fosfat sangat penting bagi pertumbuhan mikroorganisme dan tumbuhan. Kandungan fosfat yang berlebih dapat menyebabkan alga blooming, untuk mengendalikannya dilakukan dengan mengatur pemasukan fosfat ke dalam air limbah. Konsentrasi total solid (TS) berkisar antara mg/l, dapat diklasifikasikan ke dalam kelas limbah kuat. Apabila dibandingkan dengan baku mutu yang berlaku, nilai TS ini jauh melampaui baku mutu yaitu 1400 mg/l. Tingginya kandungan total solid dalam limbah tahu dan RPH dapat mengganggu proses pengolahan pada constructed wetland. Hal ini dapat menyebabkan clogging yang pada akhirnya dapat menurunkan efisiensi pengolahan dan hydraulic conductivity. Oleh sebab itu diperlukan pengolahan pendahuluan sebelum limbah masuk ke dalam sistem constructed wetland, dalam hal ini anaerobic baffled reaktor (ABR) digunakan sebagai pengolahan awal sebelum masuk ke dalam constructed wetland, pengolahan dengan ABR dilakukan oleh peneliti lain. Karakteristik efluen dari ABR dapat dilihat pada Tabel 4.2. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pengolahan dengan ABR mampu menyisihkan total solid sebesar 64-65%. Dengan konsentrasi total solid yang lebih kecil diharapkan masalah clogging pada constructed wetland dapat dihindari. Pada Tabel 4.2 efluen dari ABR, kecuali total solid, belum memenuhi baku mutu PP No.82 tahun 2001 golongan III sehingga diperlukan pengolahan lanjutan yaitu dengan menggunakan constructed wetland. Perbandingan nilai BOD : COD setelah melewati pengolahan di ABR adalah 0,27-0,36. Hal ini IV-4

5 menunjukan terjadinya penyisihan parameter organik biodegradable setelah melewati pengolahan ABR sehingga sisa organik pada efluen ABR cenderung bersifat non biodegradable. Pada constructed wetland mekanisme penyisihan tidak hanya melalui proses biologi, tetapi juga dapat melalui penyerapan oleh media dan tanaman, pengendapan, penguapan, dan transformasi secara kimia. Tabel 4.2 Karakteristik Efluen Anaerobic Baffled Reactor ABR 1 ABR 2 Baku mutu Influen Parameter (mg/l) Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (*) (mg/l) (%) (mg/l) (%) COD TS Fosfat NTK BOD Sumber : *) Baku Mutu PP No.82 tahun 2001 golongan III 4.4 Penyisihan Pencemar pada Subsurface Constructed Wetland dengan Menggunakan Tanaman Scirpus grossus Parameter yang dianalisa pada percobaan ini terdiri dari parameter utama air buangan yaitu COD, BOD, NTK, total fosfat dan total solid. Untuk parameter COD dilakukan analisa setiap dua kali sehari yaitu pukul 9 pagi dan pukul 3 sore, pemilihan waktu pengambilan sampel ini dengan pertimbangan kondisi lingkungan yang tidak jauh berbeda. Walaupun pada siang hari memiliki interval waktu yang lebih pendek, namun aktivitas biologi lebih banyak terjadi pada siang hari. Untuk parameter lainnya dilakukan pada saat kondisi tunak. Dilakukan pengukuran influen dan efluen pada reaktor untuk memperoleh efisiensi. Reaktor yang digunakan untuk tanaman ini terdiri dari dua reaktor yaitu reaktor A dengan waktu detensi 5 hari dan reaktor D dengan waktu detensi 7 hari. influen COD yang digunakan pada constructed wetland tergantung dari hasil keluaran ABR dimana pada ABR dilakukan variasi beban pengolahan yaitu 3000 mg/l COD dan 4000 mg/l COD. Efisiensi penyisihan kedua reaktor ini dibandingkan sehingga diperoleh waktu detensi yang paling optimal untuk masing-masing beban pengolahan. IV-5

6 4.4.1 Penyisihan Pencemar dengan Beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan COD COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan salah satu parameter pencemar yang menunjukan kandungan organik yang terdapat pada limbah. Test ini mengukur limbah dalam bentuk kuantitas total oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi bahan organik secara kimia. Pada saat beban pengolahan di ABR 3000 mg/l, konsentrasi COD influen pada reaktor A berkisar 239,8-566 mg/l dengan rata-rata 414,9 mg/l, sedangkan konsentrasi COD efluen 13,3-144 mg/l dengan rata-rata 37,9 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A sekitar 74,3-96,4 % dengan rata-rata 90,6 %. Konsentrasi COD influen pada reaktor D berkisar ,4 mg/l dengan rata-rata 367 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 3,2-52,7 mg/l dengan rata-rata 33,5 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor D sekitar 75-95,3% dengan rata-rata 91 %. Efluen rata-rata pada penyisihan COD dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 50 mg/l. Hasil pengukuran COD influen dan efluen serta efisiensi tingkat penyisihan untuk kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.1. Berdasarkan Gambar 4.1 diketahui bahwa pada waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan COD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 91%. Gambar 4.1 Efisiensi penyisihan COD pada reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 3000 mg/l COD IV-6

7 Peyisihan BOD Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat organis yang tersuspensi dalam air limbah. Dalam hal ini diinterpretasikan bahwa senyawa organik merupakan makanan bagi bakteri dan energi merupakan derivat dari proses penguraian tersebut (Sawyer, 1994). Makin tinggi angka BOD, maka air semakin tercemar. Konsentrasi BOD influen pada reaktor A dan D sebesar 178 mg/l dan 176 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 18,2 mg/l dan 8,76 mg/l. Efluen pada penyisihan BOD dengan beban ABR3000 mg/l COD belum memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 89,8 dan 95 %. Perbandingan tingkat penyisihan BOD pada kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.2. Berdasarkan Gambar 4.2 diketahui bahwa pada waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan BOD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 95 %. IV-7

8 Gambar 4.2 Perbandingan tingkat penyisihan BOD pada reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan NTK Konsentrasi NTK influen pada reaktor A dan D sebesar 40,62 mg/l dan 30,8 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 16,8 mg/l dan 19,6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 58,6 % dan 36,4 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan Gambar 4.3 diketahui bahwa pada waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 3000 mg/l.memiliki efisiensi penyisihan NTK lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 58,6 %. Gambar 4.3 Perbandingan tingkat penyisihan NTK reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan Total Fosfat Konsentrasi total fosfat influen pada reaktor A dan D sebesar 2,65 mg/l dan 2,98 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 0,625 mg/l dan 0,73 mg/l. Efluen pada penyisihan total fosfat dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 76,42 % dan 75,5 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.4. IV-8

9 Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui bahwa pada waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 76,42 %. Gambar 4.4 Perbandingan tingkat penyisihan total fosfat reaktor A dan reaktor D dengan beban 3000 mg/l COD Penyisihan Total Solid Konsentrasi total solid influen pada reaktor A dan D sebesar 1910 mg/l dan 500 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 792 mg/l dan 228 mg/l. Efluen pada penyisihan total solid dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1400 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 58,53 % dan 54,4 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.5. Berdasarkan Gambar 4.5 diketahui bahwa pada waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan total solid lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 58,53 %. IV-9

10 Gambar 4.5 Perbandingan tingkat penyisihan total solid reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan Pencemar dengan Beban ABR 4000 mg/l COD Pada saat beban pengolahan di ABR 4000 mg/l, konsentrasi COD influen pada reaktor A berkisar mg/l dengan rata-rata 615,7 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 7,5-51 mg/l dengan rata-rata 44,7 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A sekitar 66,6-98,1 % dengan rata-rata 92 %. Konsentrasi influen COD pada Reaktor D berkisar mg/l dengan rata-rata 1202 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 8,5-45 mg/l dengan rata-rata 21,2 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor D sekitar 92,7-99,2 % dengan rata-rata 98,29 %. Efluen rata-rata penyisihan COD dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 50 mg/l. Hasil pengukuran COD influen dan efluen serta efisiensi tingkat penyisihan untuk kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.6. Berdasarkan Gambar 4.6 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan COD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari IV-10

11 yaitu dengan nilai efisiensi 98,3 %. Gambar 4.6 Efisiensi penyisihan COD pada reaktor A beban ABR 4000 mg/l COD dan reaktor dengan Peyisihan BOD Konsentrasi BOD influen pada reaktor A dan D sebesar 131 mg/l dan 139,2 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 21,4 mg/l dan 10,2 mg/l. Efluen pada penyisihan BOD dengan beban ABR 4000 mg/l COD belum memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 83,6 % dan 92,7 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.7. Berdasarkan Gambar 4.7 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan BOD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 92,7 % Gambar 4.7 Perbandingan tingkat penyisihan BOD reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan NTK IV-11

12 Konsentrasi NTK influen pada reaktor A dan D sebesar 36,4 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 16,8 mg/l dan 33,6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 53,85 % dan 7,7 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.8. Berdasarkan Gambar 4.8 diketahui bahwa waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan NTK lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 53,85 %. Gambar 4.8 Perbandingan tingkat penyisihan NTK reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan Total Fosfat Konsentrasi total fosfat influen pada reaktor A dan D sebesar 0,83 mg/l dan 1,39 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 0,55 mg/l dan 0,35 mg/l. Efluen pada penyisihan total fosfat dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 33,9 % dan 74,6 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.9. Berdasarkan Gambar 4.9 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan total fosfat lebih baik dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 74,64 %. IV-12

13 Gambar 4.9 Perbandingan tingkat penyisihan total fosfat reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan Total Solid Konsentrasi total solid influen pada reaktor A dan D sebesar 1744 mg/l dan 1700 mg/l, sedangkan efluen reaktor A dan D sebesar 580 mg/l dan 640 mg/l. Efluen pada penyisihan total solid dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1400 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor A dan D sebesar 66,74 % dan 62,35%. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Gambar 4.10 Perbandingan tingkat penyisihan total solid reaktor A dan reaktor D dengan beban ABR 4000 mg/l COD Berdasarkan Gambar 4.10 diketahui bahwa waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 4000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan total solid lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 66,74 %. IV-13

14 ph dan Temperatur Parameter pendukung yang juga dianalisa yaitu ph dan temperatur. ph influen dan efluen pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Scirpus grossus telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 6-9. ph pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Scirpus grossus dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 ph pada Pengolahan dengan Menggunakan Tanaman Scirpus grossus Reaktor A (Scirpus grossus, td 5 hari) D (Scirpus grossus, td 7 hari) Dengan Beban ABR Dengan Beban ABR 3000 mg/l COD 4000 mg/l COD Baku mutu influen efluen influen Efluen 6,8 7,78 8,2 8, ,08 7,21 6,94 8,2 6-9 Ketika mengalami pengolahan melalui constructed wetland terjadi peningkatan ph pada efluen. Hal ini disebabkan tanah lapisan atas dapat berfungsi sebagai buffer guna menstabilkan ph. Apabila ph kurang dari 5 dan lebih besar dari 10, maka proses-proses aerobik biologis dapat menjadi sangat kacau. Karena alasan inilah seringkali perlu untuk mengendalikan ph secara buatan dalam suatu susunan yang cocok untuk organisme-organisme khusus yang terlibat dalam pembenahan air limbah dengan proses biologis. Temperatur rata-rata untuk influen dan efluen adalah 26 0 C. Nilai temperatur ini merupakan temperatur optimum dimana pada temperature o C bakteri berkembang dengan baik. Suhu air berguna dalam memperlihatkan kecenderungan aktifitas-aktifitas kimiawi dan biologis. Pertumbuhan dan kematian jasad-jasad renik diatur sampai suatu tingkat tertentu. 4.5 Penyisihan Pencemar pada Subsurface Constructed Wetland dengan Menggunakan Tanaman Sagittaria lancifolia Reaktor yang digunakan untuk tanaman Sagittaria lancifolia terdiri dari dua reaktor yaitu reaktor B dengan waktu detensi 5 hari dan reaktor C dengan IV-14

15 waktu detensi 7 hari. Variasi beban COD yang digunakan pada ABR adalah 3000 mg/l COD dan 4000 mg/l COD Penyisihan Pencemar dengan Beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan COD Konsentrasi COD pada influen reaktor B berkisar ,7 mg/l dengan rata-rata 371 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 8,3-44 mg/l dengan rata-rata 21 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B sekitar 92,1-96 % dengan rata-rata 94%. Konsentrasi COD pada influen reaktor C berkisar ,4 mg/l dengan rata-rata 407 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 12,3-48,7 mg/l dengan rata-rata 16,1 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor C sekitar 76-97,6 % dengan rata-rata 95,74 %. Efluen rata-rata pada penyisihan COD dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 50 mg/l. Hasil pengukuran COD influen dan efluen serta efisiensi tingkat penyisihan untuk kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.11 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban 3000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan COD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 95,74 %. Gambar 4.11 Efisiensi penyisihan COD reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 3000 mg/l COD IV-15

16 Peyisihan BOD Konsentrasi BOD influen pada reaktor B dan C sebesar 178 mg/l dan 195,4 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 10 mg/l dan 7,37 mg/l. Efluen pada penyisihan BOD dengan beban ABR 3000 mg/l COD belum memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 94,3 dan 96,23 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.12 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan BOD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 96,23 %. Gambar 4.12 Perbandingan tingkat penyisihan BOD reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan NTK IV-16

17 Konsentrasi NTK influen pada reaktor B dan C sebesar 40,62 mg/l dan 30,8 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 12,6 mg/l dan 16,8 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 68,98 dan 45,45 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.13 diketahui bahwa waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 3000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan NTK lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 68,98 %. Gambar 4.13 Perbandingan tingkat penyisihan NTK reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan Total Fosfat Konsentrasi total fosfat influen pada reaktor B dan C sebesar 2,65 mg/l dan 2,98 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 0,358 mg/l dan 0,199 mg/l. Efluen pada penyisihan total fosfat dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 86,5 dan 93,3 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.14 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan total fosfat lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan efisiensi 93,3 %. IV-17

18 Gambar 4.14 Perbandingan tingkat penyisihan total fosfat reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 3000 mg/l COD Penyisihan Total Solid Konsentrasi total solid influen pada reaktor B dan C sebesar 1910 mg/l dan 500 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 1160 mg/l dan 252 mg/l. Efluen pada penyisihan total solid dengan beban ABR 3000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1400 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 39,27 dan 49,6 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Gambar 4.15 Perbandingan tingkat penyisihan total solid reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 3000 mg/l COD IV-18

19 Berdasarkan Gambar 4.15 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 3000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan total solid lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 49,6 % Penyisihan Pencemar dengan Beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan COD Konsentrasi COD pada influen reaktor B berkisar mg/l dengan rata-rata 602,5 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar mg/l dengan rata-rata 19,08 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B sekitar 82-98,54 % dengan rata-rata 96,67%. Konsentrasi COD pada influen reaktor C berkisar mg/l dengan rata-rata 971,4 mg/l, sedangkan konsentrasi efluen berkisar 8,5-51,5 mg/l dengan rata-rata 16,9 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor C sekitar 93,8-98,9 % dengan rata-rata 98,3 %. Efluen rata-rata pada penyisihan COD dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 50 mg/l. Hasil pengukuran COD influen dan efluen serta efisiensi tingkat penyisihan untuk kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Gambar 4.16 Grafik penyisihan COD reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 4000 mg/l COD IV-19

20 Dari Gambar 4.16 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan COD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 98,3 %. Peyisihan BOD Konsentrasi BOD influen pada reaktor B dan C sebesar 131,04 mg/l dan 139,2 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 9,16 mg/l dan 8,1 mg/l. Efluen pada penyisihan BOD dengan beban ABR 4000 mg/l COD belum memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 6 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 93 dan 94,2 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.17 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l memiliki efisiensi penyisihan BOD lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 94,18 %. Gambar 4.17 Perbandingan tingkat penyisihan BOD reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan NTK Konsentrasi NTK influen pada reaktor B dan C sebesar 36,4 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 14 mg/l dan 28 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 61,54 % dan 23,08 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar IV-20

21 Gambar 4.18 Perbandingan tingkat penyisihan NTK reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 4000 mg/l COD Berdasarkan Gambar 4.18 diketahui bahwa waktu detensi 5 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan NTK lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 7 hari yaitu dengan nilai efisiensi 61,54 %. Penyisihan Total Fosfat Konsentrasi total fosfat influen pada reaktor B dan C sebesar 0,83 mg/l dan 1,39 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 0,54 mg/l dan 0,29 mg/l. Efluen pada penyisihan total fosfat dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 35,71 % dan 78,57 %. Perbandingan tingkat penyisihan pada kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan Gambar 4.19 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan total fosfat lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 78,57 %. IV-21

22 Gambar 4.19 Perbandingan tingkat penyisihan total fosfat reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 4000 mg/l COD Penyisihan Total Solid Konsentrasi total solid influen pada reaktor B dan C sebesar 1744 mg/l dan 1700 mg/l, sedangkan efluen reaktor B dan C sebesar 1178 mg/l dan 383 mg/l. Efluen pada penyisihan total solid dengan beban ABR 4000 mg/l COD telah memenuhi baku mutu PP No 82 tahun 2001 golongan III yaitu 1400 mg/l. Efisiensi yang diperoleh pada reaktor B dan C sebesar 32,45 % dan 77,47 %. Perbandingan tingkat penyisihan kedua reaktor dapat dilihat pada Gambar Gambar 4.20 Perbandingan tingkat penyisihan total solid reaktor B dan reaktor C dengan beban ABR 4000 mg/l COD Berdasarkan Gambar 4.20 diketahui bahwa waktu detensi 7 hari dengan beban ABR 4000 mg/l COD memiliki efisiensi penyisihan total solid lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari yaitu dengan nilai efisiensi 77,47 %. IV-22

23 ph dan Temperatur ph influen dan efluen pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 6-9. Temperatur rata-rata pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia adalah 26 0 C. ph pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 ph pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia Reaktor B (Sagittaria lancifolia, td 5 hari) C (Sagittaria lancifolia, td 7 hari) Dengan Beban ABR Dengan Beban ABR 3000 mg/l COD 4000 mg/l COD Baku mutu Influen efluen influen Efluen 6,8 7,11 8,2 8, ,08 7,63 6,94 8,5 6-9 Sama halnya dengan pengolahan menggunakan tanaman Scirpus grossus pada pengolahan dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia terjadi peningkatan ph pada efluen. Temperatur rata-rata untuk influen dan efluen adalah 26 0 C. Nilai temperatur ini termasuk temperatur optimum sehingga bakteri dapat berkembang dengan baik. 4.6 Pola Pertumbuhan Tanaman Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan pertumbuhan tanaman pada reaktor constructed wetland. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan tanaman pada efisiensi pengolahan, Pertumbuhan tanaman yang dapat dilihat adalah tinggi dan jumlah rumpun. Tinggi dan jumlah rumpun dicatat setiap 2 hari sekali pada beban ABR 3000 mg/l COD. Pertumbuhan jumlah rumpun pada tanaman Sagittaria lancifolia maupun Scirpus grossus tidak jauh berbeda, dalam waktu dua minggu jumlah rumpun baru dapat mencapai 5 rumpun. Akan tetapi pertumbuhan jumlah daun pada Sagittaria lancifolia berlangsung lebih cepat. Dalam waktu dua minggu jumlah daun baru IV-23

24 pada Sagittaria lancifolia dapat mencapai 7 daun, sedangkan Scirpus grossus mencapai 4 daun. Pada variasi waktu detensi tidak terlihat perbedaan jumlah rumpun secara signifikan, pada waktu detensi 7 hari kedua jenis tanaman memiliki jumlah rumpun lebih banyak dibandingkan waktu detensi 5 hari dengan selisih 1-3 rumpun. Pertumbuhan tinggi pada tanaman Scirpus grossus dan Sagittaria lancifolia sangat berbeda. Pada tanaman Scirpus grossus tinggi tanaman dapat mencapai 120 cm, sedangkan pada Sagittaria lancifolia tinggi maksimum mencapai 60 cm. pola pertumbuhan tinggi tanaman Scirpus grossus dan Sagittaria lancifolia dengan beban ABR 3000 mg/l COD dapat dilihat pada Gambar Pengamatan tinggi tanaman pada Scirpus grossus dimulai pada tinggi tanaman yang seragam yaitu 15 cm. Penyeragaman dilakukan dengan cara pemotongan tinggi batang sehingga diperoleh tinggi awal yang sama. Pertumbuhan tinggi tanaman lebih cepat pada waktu detensi 7 hari dan pada titik outlet. Terdapat hubungan antara efisiensi pengolahan dengan pertumbuhan tinggi tanaman, dimana pada waktu detensi 7 hari efisiensi penyisihan organik berlangsung lebih cepat. Pada outlet pertumbuhan tinggi tanaman lebih cepat, hal ini dapat terjadi karena pada titik outlet diperkirakan mikroorganisme pada tanah telah mengkonversi pencemar menjadi senyawa sederhana yang dapat diabsorpi oleh tanaman. Gambar 4.21 Pola pertumbuhan tinggi tanaman Scirpus grossus dan Sagittaria lancifolia. IV-24

25 Pada tanaman Sagittaria lancifolia tinggi tanaman mulai dihitung pada tinggi yang berbeda-beda karena bentuk morfologi daunnya tidak memungkinkan dilakukan pemotongan untuk menyamakan tinggi awal tanaman. Bila dilakukan pemotongan maka daun tanaman akan terpotong dan dalam waktu 3-4 hari tanaman akan mati. Dari Gambar 4.21 dapat dilihat pertumbuhan tinggi tanaman relatif sama untuk waktu detensi dan titik pengambilan sampel yang berbeda sehingga tidak dapat diambil suatu hubungan antara tinggi tanaman dengan efisiensi pengolahan. Hubungan antara pertumbuhan tanaman dengan efisiensi pengolahan pada Sagittaria lancifolia lebih representatif bila ditunjukkan oleh jumlah rumpun. Dari pengamatan jumlah rumpun diketahui bahwa pada waktu detensi 7 hari Sagittaria lancifolia memiliki jumlah rumpun lebih banyak walaupun tidak secara signifikan. Pada waktu detensi 7 hari Sagittaria lancifolia memiliki efisiensi pengolahan organik dan fosfat lebih tinggi. Secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa terdapat suatu hubungan yang linier antara pertumbuhan tanaman dengan efisiensi pengolahan zat pencemar pada limbah. Untuk mengetahui hubungan pertumbuhan tanaman dengan efisiensi pengolahan yang lebih representatif dapat dilakukan perhitungan pembentukan biomassa pada tanaman. Selisih biomassa akhir dengan biomassa awal merepresentasikan jumlah pencemar yang diserap oleh tanaman. 4.7 Pengaruh Variasi Waktu Detensi Variasi waktu detensi pada Sagittaria lancifolia Pada reaktor dengan tanaman Sagittaria lancifolia penyisihan tertinggi untuk setiap parameter kecuali NTK terjadi pada waktu detensi yang lebih lama (7 hari) baik pada beban ABR 3000 mg/l COD maupun beban ABR 4000 mg/l COD. Perbandingan efisiensi dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan untuk tanaman Sagittaria lancifolia dapat dilihat pada Gambar IV-25

26 Gambar 4.22 Perbandingan efisiensi dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan untuk Sagittaria lancifolia Pada penyisihan COD dan BOD dengan menggunakan tanaman Sagittaria lancifolia efisiensi tertinggi terjadi pada waktu detensi 7 hari sebesar 95,7 % dan 96,2% (Beban ABR 3000 mg/l COD); 98,3% dan 94,2 % (Beban ABR 4000 mg/l COD). Hasil dari percobaan Sonie (2007) dengan menggunakan constructed wetland horizontal subsurface flow bersekat pada waktu detensi 3 hari dan 5 hari dengan beban ABR 600 mg/l COD memiliki efisiensi tertinggi pada waktu detensi 5 hari yaitu sebesar 81,82-84,38%, dan efisiensi penyisihan BOD sebesar 85,14%. Menurut meutia (2002), kemampuan constrcted wetland menyisihkan COD sebesar % dan BOD sebesar 80-95%. Dengan demikian hasil yang diperoleh penulis sesuai dengan literatur, pada waktu detensi yang lebih lama (7 hari) memberikan nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan waktu detensi 5 hari. Hal ini dapat terjadi karena pada waktu detensi yang lebih lama kontak antara pencemar dengan bakteri maupun akar tanaman semakin lama sehingga terjadi penguraian zat organik yang lebih banyak. Penyisihan NTK tertinggi terjadi pada waktu detensi 5 hari sebesar 69 % (Beban ABR 3000 mg/l COD) dan 61,5 % (Beban ABR 4000 mg/lo COD). Hasil percobaan Sonie (2007) untuk penyisihan NTK tertinggi terjadi pada waktu detensi 5 hari dengan efisiensi sebesar 95,31%. Dengan demikian penyisihan NTK paling tinggi terjadi pada waktu detensi yang lebih cepat (5 hari). IV-26

27 Peran tanaman pada constructed wetland secara langsung dalam penghilangan senyawa nitrogen relatif kecil. Penyerapan nitrogen oleh tanaman hanya berkisar % dari senyawa nitrogen yang terlarut di dalam air (Gersbeg, 1985). Sebagian besar penghilangan senyawa nitrogen dilakukan oleh bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Waktu detensi pada constructed wetland untuk penyisihan NTK memiliki waktu optimum. Jika waktu detensi yang digunakan pada constructed wetland terlalu lama maka kandungan oksigen di dalam tanah akan menurun sehingga proses nitrifikasi dapat terganggu karena proses ini membutuhkan oksigen dan bila tercipta kondisi anaerob maka sejumlah amonium akan terbentuk dalam tanah. Tanaman akuatik mempunyai peran yang tidak langsung tetapi sangat penting yaitu sebagai tempat pelengketan mikroorganisme dan menyuplai oksigen melalui akar sehingga mendukung pertumbuhan bakteri aerob. Sisa-sisa bagian tanaman yang mati menjadi sumber karbon organik yang diperlukan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses denitrifikasi, yaitu perubahan nitrat menjadi gas N 2. Akar tanaman akuatik juga dapat menyaring partikel padat yang mengandung nitrogen (Liehr, et al., 2000). Penyisihan total fosfat tertinggi terjadi pada waktu detensi 7 hari yaitu dengan efisiensi sebesar 93,3 % (Beban ABR 3000 mg/l COD) dan 78,6 % (Beban ABR 4000 mg/l COD). Hasil percobaan Sonie (2007) untuk penyisihan total fosfat pada waktu detensi 5 hari dan beban pengolahan 600 mg/l memiliki efisiensi 75,19 %. Dengan demikian dengan waktu detensi yang lebih lama (7 hari) penyisihan total fosfat semakin meningkat. Pada waktu detensi yang lebih lama kontak antara pencemar dengan bakteri maupun akar tanaman semakin lama sehingga terjadi penguraian fosfat oleh bakteri dan penyerapan fosfat oleh tanaman semakin banyak. Penyisihan total solid tertinggi terjadi pada waktu detensi 7 hari dengan efisiensi sebesar 49,6% (Beban ABR 3000 mg/l COD) dan 77,5 % (Beban ABR 4000 mg/l COD). Hasil percobaan Sonie (2007) untuk penyisihan total solid dengan reaktor horizontal subsurface flow tanpa sekat pada beban pengolahan 600 mg/l memiliki efisiensi tertinggi pada waktu detensi 5 hari yaitu 35,5%. Dengan demikian dengan waktu detensi yang lebih lama (7 hari) penyisihan total solid IV-27

28 semakin tinggi. Penyisihan total solid terjadi melalui proses sedimentasi dan filtrasi. Pada waktu detensi lebih lama kontak antara partikel solid dengan media, akar dan biofilm semakin lama sehingga terjadi tingkat penyisihan yang lebih besar. Mekanisme filtrasi pada sistem constructed wetland tergantung pada bentuk perakaran tanaman, dan ukuran media yang digunakan pada constructed wetland. Jika ukuran media yng digunakan semakin kecil dan akar tanaman memiliki banyak serabut maka efisiensi penyisihan total solid akan semakin besar. Variasi waktu detensi pada Scirpus grossus Perbandingan efisiensi dengan variasi waktu detensi pada beban ABR 3000 mg/l COD dan 4000 mg/l COD untuk tanaman Scirpus grossus dapat dilihat pada Gambar Penyisihan pada tanaman Scirpus grossus memiliki pola yang hampir sama dengan penyisihan pada tanaman Sagittaria lancifolia dimana efisiensi penyisihan COD dan BOD tertinggi terjadi pada waktu detensi 7 hari dan efisiensi penyisihan NTK tertinggi pada waktu detensi 5 hari. Pada tanaman Scirpus grossus efisiensi penyisihan total solid tertinggi terjadi pada waktu detensi 5 hari, sedangkan penyisihan total fosfat bervariasi. Gambar 4.23 Perbandingan efisiensi dengan variasi detensi pada beban pengolahan untuk Scirpus grossus Efisiensi penyisihan total fosfat tertinggi pada beban ABR 3000 mg/l COD terjadi pada waktu detensi 5 hari, namun pada beban ABR 4000 mg/l COD IV-28

29 efisiensi tertinggi terjadi pada waktu detensi 7 hari. Pada beban ABR 3000 mg/l COD perbedaan nilai efisiensi tidak signifikan sehingga pengaruh waktu detensi sangat kecil, sedangkan pada beban ABR 4000 mg/l perbedaan nilai efisiensi sangat signifikan sehingga pengaruh waktu detensi sangat besar. Secara umum dapat dikatakan tingkat penyisihan total fosfat tertinggi terjadi pada waktu detensi yang lebih lama (7 hari). Penyisihan fosfor terjadi melalui penyerapan oleh tanaman dan absorpsi oleh media yang dilewatinya. Pada waktu detensi yang lebih lama kontak antara pencemar dengan akar tanaman dan media semakin lama sehingga terjadi penyerapan oleh tanaman dan absorpsi oleh media yang semakin tinggi. Penyisihan total solid tertinggi pada tanaman Scirpus grossus terjadi pada waktu detensi yang lebih cepat (5 hari). Hal ini disebabkan pada waktu detensi yang lebih lama terjadinya pembentukan biomassa pada outlet sehingga terjadi peningkatan total solid pada efluen yang menurunkan efisiensi penyisihan total solid. Sejumlah eskskresi oleh akar bersifat toksik bagi mikroorganisme dan dalam lingkungan yang tidak mendukung mikroorganisme tersebut akan mengalami kematian. Faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pada constructed wetland adalah konstanta temperatur (K T ), dan hydraulic conductivity (K S ). Nilai K S dan K T digunakan untuk mendesain constructed wetland agar memenuhi kriteria dan memiliki kemampuan penyisihan yang diinginkan. Perbandingan kemampuan penyisihan, K T, dan K S pada setiap reaktor dapat dilihat pada Tabel 4.5. Nilai K T dipengaruhi oleh suhu air yang diolah. Pada perhitungan digunakan suhu air terendah karena pada suhu tersebut aktivitas biologi berjalan lambat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai K T antara lain konsentrasi influen dan efluen pada constructed wetland. Dimana kedua faktor tersebut juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti media dan mikroba yang berperan dalam penyisihan pencemar. Semakin kecil nilai K T maka luas permukaan yang dibutuhkan semakin besar. IV-29

30 Tabel 4.5 Perbandingan Kemampuan Penyisihan, Nilai K T dan K S Reaktor A (td 5 hari, Scirpus grossus) B (td 5 hari, Sagittaria lancifolia) C (td 7 hari, Sagittaria lancifolia) D (td 7 hari, Scirpus grossus) kemampuan penyisihan mg/m 2 /hari Beban 3000 mg/l COD K T /hari K S m 3 /m 2 /hari kemampuan penyisihan kg/m 2 /hari Beban 4000 mg/l COD K T /hari K S m 3 /m 2 /hari 7, , ,1 7, , , , , , ,4 Nilai K S dipengaruhi oleh debit dan media yang digunakan. Ks untuk debit dan media yang sama memiliki nilai yang sama. Penggunaan Nilai K S tetap untuk jenis reaktor yang sama karena semua faktornya tetap, tidak mengalami perubahan. Faktor yang mempengaruhi nilai K S (hydraulic conductivity) yaitu debit, slope, dan luas penampang constructed wetland. Bila dibandingkan dengan literatur maka nilai Ks pada penelitian ini jauh lebih kecil, hal ini disebabkan karena debit yang digunakan sangat kecil, debit yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan waktu detensi yang digunakan. Nilai K S pada desain suatu constructed wetland menunjukkan kecepatan aliran limbah pada media yang digunakan. Jika porositas media besar maka hydraulic conductivity akan besar juga. Pada desain constructed wetland dibutuhkan nilai hydraulic conductivity yang tidak terlalu besar. Jika digunakan hydraulic conductivity yang besar maka waktu kontak limbah dengan media hanya sebentar sehingga tingkat penyisihan polutan akan rendah. 4.8 Pengaruh Variasi Beban Pengolahan Tingkat penyisihan COD dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan dapat dilihat pada Gambar 4.24 untuk tanaman Scirpus grossus dan Gambar 4.25 untuk tanaman Sagittaria lancifolia. IV-30

31 Gambar 4.24 Efisiensi penyisihan COD dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan pada Scirpus grossus Gambar 4.25 Efisiensi penyisihan COD dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan pada Sagittaria lancifolia IV-31

32 Tabel 4.6 Efisiensi Penyisihan COD pada Reaktor Constructed Wetland dengan Variasi Waktu Detensi dan Beban Pengolahan Reaktor COD Influen ABR (mg/l) HRT (hari) Influen (mg/l) Efluen (mg/l) Efisiensi (%) Scirpus grossus 3000 Scirpus grossus , ,4 91, ,7 92, ,2 98,29 Sagittaria lancifolia Sagittaria lancifolia ,12 95, , , ,4 16,87 98,31 Jika dilihat berdasarkan beban pengolahan, maka efisiensi penyisihan COD meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi influen, baik pada tanaman Scirpus grossus maupun Sagittaria lancifolia. Hal ini disebakan constructed wetland mampu menghasilkan efluen yang bagus dan stabil, sehingga peningkatan konsentrasi influen cenderung meningkatkan efisiensi pengolahan. Perbandingan efisiensi penyisihan COD, BOD, NTK, Total fosfat, dan total solid dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan dapat dlihat pada Gambar 4.26 untuk Scirpus grossus dan Gambar 4.27 untuk Sagittaria lancifolia. Pada parameter BOD, NTK, dan total fosfat, peningkatan beban pengolahan cenderung menurunkan efisiensi. Hal ini dapat terjadi karena proses secara biologi baik oleh mikroorganisme maupun tanaman telah mencapai titik optimum sehingga pada beban pengolahan yang lebih tinggi zat-zat pencemar tidak dapat lebih banyak tersisihkan. Sedangkan penyisihan parameter total solid memiliki pola yang sama dengan penyisihan COD dimana pada beban pengolahan yang lebih tinggi memiliki efisiensi yang lebih baik. Hal ini disebabkan penyisihan total solid lebih didominasi oleh proses fisik melalui penyaringan dan IV-32

33 penyerapan oleh media dan akar tanaman sehingga efluen yang dihasilkan relatif stabil. Gambar 4.26 Perbandingan efisiensi penyisihan COD, BOD, NTK, total fosfat, dan total solid dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan pada Scirpus grossus Gambar 4.27 Perbandingan efisiensi penyisihan COD, BOD, NTK, total fosfat, dan total solid dengan variasi waktu detensi dan beban pengolahan pada Sagittaria lancifolia 4.9 Pengaruh Vegetasi Pada Constructed Wetland Tanaman berperan penting pada constructed wetland yaitu mentransfer oksigen melalui akar dan sistem rhizome menuju bagian dasar media dan menyediakan suatu media di bawah air untuk tempat melekatnya mikroorganisme yang dapat mendegradasi limbah. Selain itu tanaman air juga menyerap bahan pencemar dari air limbah untuk menjadi biomassa yang dapat bernilai ekonomis tergantung jenis tanamannya. IV-33

34 Pada daerah akar terjadi degradasi materi organik secara aerob dan anaerob. Selama limbah cair melewati rizosfer dari tanaman, materi organik akan terdekomposisi akibat aktivitas mikroba, nitrogen akan terdenitrifikasi jika tersedia materi organik yang cukup, fosfor akan teradsorpsi oleh media dan tanaman. Tanaman Sagittaria lancifolia memiliki zona perakaran yang lebih panjang daripada tanaman Scirpus grossus, tetapi memiliki jumlah serabut yang relatif lebih sedikit. Zona perakaran dari kedua jenis tanaman ini dapat dilihat pada Gambar Sagittaria lancifolia Scirpus grossus Gambar 4.28 Zona perakaran Sagittaria lancifolia dan Scirpus grossus Akar yang panjang memungkinkan Sagittaria lancifolia menjangkau area yang lebih dalam dan luas sehingga dapat lebih banyak menyerap nutrien seperti senyawa organik, fosfor dan nitrogen dalam tanah serta mentransfer oksigen ke dalam dasar media dan memungkinkan mikroorganisme tumbuh di sekitar perakaran sehingga oksidasi zat organik berlangsung lebih cepat. Akar Scirpus grossus memiliki serabut lebih banyak. Akar dengan serabut yang lebih banyak dapat memperkecil nilai porositas dalam tanah sehingga filtrasi total solid akan semakin baik. Batang dan daun juga memiliki peran penting untuk meningkatkan transfer oksigen ke dalam akar. Tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi energi kimia dan membawa oksigen dari permukaan daun dan batang untuk dilepaskan di akar. Sagittaria lancifolia memiliki kepadatan tanaman yang lebih banyak dan memiliki permukaan daun yang lebih luas sehingga dapat terjadi proses fotosintesis yang lebih cepat dan suplai oksigen ke dalam akar semakin IV-34

35 banyak. Bentuk daun Sagittaria lancifolia dan Scirpus grossus dapat dilihat pada Gambar Sagittaria lancifolia Scirpus grossus Gambar 4.29 Bentuk daun Sagittaria lancifolia dan Scirpus grossus Perbandingan efisiensi berdasarkan jenis tanaman untuk setiap parameter pencemar dengan beban ABR 3000 mg/l COD dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.30 diketahui bahwa Sagittaria lancifolia memiliki efisiensi penyisihan pencemar lebih tinggi dibandingkan dengan Scirpus grossus pada beban ABR 3000 mg/l COD, baik untuk waktu detensi 7 hari maupun 5 hari, kecuali pada penyisihan total solid. Penyisihan total solid sangat dipengaruhi oleh perakaran tanaman dimana Scirpus grossus memiliki jumlah serabut lebih banyak sehingga memungkinkan proses filtrasi berlangsung lebih baik. Gambar 4.30 Perbandingan efisiensi penyisihan pencemar pada beban ABR 3000 mg/l COD Pada beban ABR 4000 mg/l COD, Perbandingan efisiensi berdasarkan jenis tanaman memiliki pola yang relatif sama seperti pada beban ABR 3000 mg/l COD. Sagittaria lancifolia memiliki efisiensi penyisihan pencemar lebih tinggi dibandingkan dengan Scirpus grossus baik pada waktu detensi 7 hari maupun 5 hari, kecuali pada penyisihan total solid untuk waktu detensi 7 hari. Pada waktu IV-35

36 detensi lebih lama dan beban pengolahan lebih besar penyisihan total solid menurun karena terjadi pembentukan biomassa di zona outlet Scirpus grossus. Perbandingan efisiensi penyisihan parameter pencemar pada beban pengolahan 4000 mg/l COD dapat dilihat pada Gambar Gambar 4.31 Perbandingan efisiensi penyisihan pencemar pada beban ABR 4000 mg/l COD 4.10 Penentuan Kondisi Reaktor Optimal Kondisi reaktor yang paling optimal berdasarkan variasi jenis tanaman, beban pengolahan, dan waktu detensi dapat dilihat pada Tabel 4.7. Kondisi reaktor optimum ditentukan dengan melihat kemampuan penyisihan pencemar. Reaktor optimum memiliki penyisihan pencemar terbesar untuk setiap m 3 limbah per hari. Berdasarkan Tabel 4.7 diketahui kondisi optimum pada reaktor constructed wetland yang digunakan, yaitu : 1. Penyisihan COD optimum terjadi pada reaktor tanaman Scirpus grossus dengan beban ABR 4000 mg/l COD untuk waktu detensi 7 hari sebesar 16,67 g/m 2.hari dengan efisiensi penyisihan 98,29 %. 2. Penyisihan BOD optimum terjadi pada reaktor tanaman Sagittaria lancifolia dengan beban ABR 3000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari sebesar 3,56 g/m 2.hari dengan efisiensi penyisihan 94,32 %. 3. Penyisihan NTK optimum tejadi pada reaktor tanaman Sagittaria lancifolia dengan beban ABR 3000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari sebesar 0,59 g/m 2.hari dengan efisiensi penyisihan 68,98 %. 4. Penyisihan total fosfat optimum tejadi pada reaktor tanaman Sagittaria lancifolia dengan beban ABR 3000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari sebesar 0,05 g/m 2.hari dengan efisiensi penyisihan 86,49%. IV-36

37 5. Penyisihan total solid optimum tejadi pada reaktor tanaman Scirpus grossus dengan beban ABR 4000 mg/l COD untuk waktu detensi 5 hari sebesar 24,65 g/m 2.hari dengan efisiensi penyisihan 66,74 % Tabel 4.7 Kondisi Optimum Reaktor Jenis Tanaman Scirpus Grossus Dengan Beban ABR (mg/l COD) Parameter Pencemar COD BOD NTK TP TS COD BOD NTK TP TS td optimal (hari) Efisiensi (%) Penyisihan (g/m 2.hari) Sagittaria lancifolia COD BOD NTK TP TS COD BOD NTK TP TS IV-37

BAB III METODOLOGI. Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur. Pembuatan Reaktor.

BAB III METODOLOGI. Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur. Pembuatan Reaktor. BAB III METODOLOGI 3.1 Tahapan Penelitian Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur Penyiapan Alat dan Bahan Penelitian Pemilihan Tanaman Pembuatan Reaktor Tahap Penjenuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang sedang berkembang, sektor perekonomian di Indonesia tumbuh dengan pesat. Pola perekonomian yang ada di Indonesia juga berubah, dari yang

Lebih terperinci

MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU

MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU Modifikasi Subsurface Wetland (Rakhmi Sonie) MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU MODIFICATION OF SUBSURFACE WETLAND FOR SLAUGHTER HOUSE S AND TOFU INDUSTRY S

Lebih terperinci

PENYISIHAN ORGANIK MELALUI DUA TAHAP PENGOLAHAN DENGAN MODIFIKASI ABR DAN CONSTRUCTED WETLAND PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA

PENYISIHAN ORGANIK MELALUI DUA TAHAP PENGOLAHAN DENGAN MODIFIKASI ABR DAN CONSTRUCTED WETLAND PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA VOLUME 4 NO. 4, DESEMBER 2008 PENYISIHAN ORGANIK MELALUI DUA TAHAP PENGOLAHAN DENGAN MODIFIKASI ABR DAN CONSTRUCTED WETLAND PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA Ashila Rieska Munazah, Prayatni Soewondo Jurusan Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) Diperoleh penurunan kadar COD optimum pada variasi tumbuhan Tapak Kuda + Kompos 1 g/l. Nilai COD lebih cepat diuraikan dengan melibatkan sistem tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk

BAB I PENDAHULUAN UKDW. peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dekade terakhir ini kebutuhan masyarakat terhadap produk-produk peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk peternakan dihasilkan dari usaha

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB V ANALISA AIR LIMBAH

BAB V ANALISA AIR LIMBAH BAB V ANALISA AIR LIMBAH Analisa air limbah merupakan cara untuk mengetahui karakteristik dari air limbah yang dihasilkan serta mengetahui cara pengujian dari air limbah yang akan diuji sebagai karakteristik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain mengandung gizi yang baik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

APLIKASI WETLAND. Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB

APLIKASI WETLAND. Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB APLIKASI WETLAND Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB PEMBAHASAN: Teori: - Difinisi Wetland - Type-Type Wetland - Konstruksi Wetland Penerapan Wetland: - Skala lab - Skala Lapangan WETLAND

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika analisa dan pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terdiri dari karakteristik air limbah, pola penyisihan pencemar organik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang OP-18 REKAYASA BAK INTERCEPTOR DENGAN SISTEM TOP AND BOTTOM UNTUK PEMISAHAN MINYAK/LEMAK DALAM AIR LIMBAH KEGIATAN KATERING Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1. Umum Pada Bab IV ini akan dijabarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil-hasil penelitian yang didapatkan. Secara garis besar penjelasan hasil penelitian

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air buangan merupakan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Jenis limbah cair ini dibedakan lagi atas sumber aktifitasnya,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 85 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Karakteristik Limbah Pemeriksaan karakteristik limbah cair dilakukan untuk mengetahui parameter apa saja yang terdapat dalam sampel dan menentukan pengaruhnya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua makhluk hidup. Maka, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota besar, semakin banyak didirikan Rumah Sakit (RS). 1 Rumah Sakit sebagai sarana upaya perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air adalah materi esensial di dalam kehidupan. Tidak ada satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Sel hidup seperti tumbuh-tumbuhan atau hewan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air limbah merupakan air sisa dari suatu kegiatan dan biasanya air limbah dibuang ke sungai, sedangkan air sungai menjadi salah satu sumber air bagi kehidupan mahluk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Sebelum dibuang ke lingkungan, keberadaan suatu limbah membutuhkan pengolahan dan pengendalian agar tidak terjadi pencemaran lingkungan yang tidak terkendali. Sehingga, setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di tengah era globalisasi ini industri pangan mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan industri pangan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

penambahan nutrisi berupa lumpur sebanyak ± 200 ml yang diambil dari IPAL

penambahan nutrisi berupa lumpur sebanyak ± 200 ml yang diambil dari IPAL 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dengan menggunakan Fluidized Bed Reaktor secara aerobik dengan media styrofoam ini dimulai dengan melakukan strarter bakteri yaitu dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS 6.1 Pre Eksperimen BAB VI HASIL Sebelum dilakukan eksperimen tentang pengolahan limbah cair, peneliti melakukan pre eksperimen untuk mengetahui lama waktu aerasi yang efektif menurunkan kadar kandungan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian dan Kondisi Umum Kualitas Air Limbah Penelitian ini terletak di Perumahan Mutihan RT 03/ RW X, Sondakan, Laweyan, Surakarta,

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2012

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2012 Oleh : Rr. Adistya Chrisafitri 3308100038 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Nieke Karnaningroem, M.Sc. JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2012

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Analisa Kualitas Air Seperti yang di jelaskan di bab bab sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran penuruan kadar yang terkandung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK KARAKTERISTIK LIMBAH KARAKTERISTIK LIMBAH Karakteristik limbah ternak dipengaruhi : a. unit produksi: padat, semipadat, cair b. Kandang : Lantai keras : terakumulasi diatas lantai kelembaban dan konsistensinya

Lebih terperinci

OPTIMASI EFISIENSI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DARI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DAN PABRIK TAHU DENGAN REAKTOR ANAEROBIK BERSEKAT

OPTIMASI EFISIENSI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DARI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DAN PABRIK TAHU DENGAN REAKTOR ANAEROBIK BERSEKAT No. Urut : 12187/1007/P/2007 OPTIMASI EFISIENSI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DARI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DAN PABRIK TAHU DENGAN REAKTOR ANAEROBIK BERSEKAT TUGAS AKHIR Karya Tulis sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan ke arah yang lebih baik. Kegiatan pembangunan biasanya selalu

BAB I PENDAHULUAN. keadaan ke arah yang lebih baik. Kegiatan pembangunan biasanya selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan kegiatan terencana dalam upaya merubah suatu keadaan ke arah yang lebih baik. Kegiatan pembangunan biasanya selalu membawa dampak positif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan sektor industri menjadi salah satu sektor penting, dimana keberadaannya berdampak positif dalam pembangunan suatu wilayah karena dengan adanya industri maka

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas bahan uji dan bahan kimia. Bahan uji yang digunakan adalah air limbah industri tepung agar-agar. Bahan kimia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Setiap kegiatan industri akan menghasilkan limbah sebagai sisa hasil proses produksi, baik limbah padat, cair, maupun gas. Limbah dari kegiatan industri mempunyai potensi

Lebih terperinci

1 Security Printing merupakan bidang industri percetakan yang berhubungan dengan pencetakan beberapa

1 Security Printing merupakan bidang industri percetakan yang berhubungan dengan pencetakan beberapa Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Limbah cair dari sebuah perusahaan security printing 1 yang menjadi obyek penelitian ini selanjutnya disebut sebagai Perusahaan Security Printing X - memiliki karakteristik

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM)

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM) BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM) 90 5.1 Klasifikasi Proses Film Mikrobiologis (Biofilm) Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau biofilter secara garis

Lebih terperinci

INTEGRASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI BENANG DAN TEKSTIL MELALUI PROSES ABR DAN FITOREMOVAL MENGGUNAKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes)

INTEGRASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI BENANG DAN TEKSTIL MELALUI PROSES ABR DAN FITOREMOVAL MENGGUNAKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) PRESENTASI THESIS : INTEGRASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI BENANG DAN TEKSTIL MELALUI PROSES ABR DAN FITOREMOVAL MENGGUNAKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) Oleh: DYAH SETYORINI 3307 201 002 JURUSAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

penelitian ini reaktor yang digunakan adalah reaktor kedua dan ketiga. Adapun

penelitian ini reaktor yang digunakan adalah reaktor kedua dan ketiga. Adapun BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Aerobik Horizontal Roughing Filter dengan menggunakan krikil yang berukuran 10-5 mm untuk menumnkan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Rumah Makan dengan Proses Biofilter Aerobik

Pengolahan Limbah Rumah Makan dengan Proses Biofilter Aerobik JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-35 Pengolahan Limbah Rumah Makan dengan Proses Biofilter Aerobik Laily Zoraya Zahra, dan Ipung Fitri Purwanti Jurusan Teknik

Lebih terperinci

III.2.1 Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit Makna Ciledug.

III.2.1 Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit Makna Ciledug. 39 III.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Makna, Ciledug yang terletak di Jalan Ciledug Raya no. 4 A, Tangerang. Instalasi Pengolahan Air

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL 34 3.1. Uraian Proses Pengolahan Air limbah dari masing-masing unit produksi mula-mula dialirkan ke dalam bak kontrol yang dilengkapi saringan kasar (bar screen) untuk menyaring

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. rata-rata nilai BOD dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Nilai BOD dari tahun 2007 sampai 2014.

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. rata-rata nilai BOD dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Nilai BOD dari tahun 2007 sampai 2014. BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Parameter Kualitas Air Limbah BOD 5.1.1. Parameter BOD Analisa terhadap nilai BOD pada instalasi pengolahan air limbah pada tahun 2007-2014 dilakukan dengan menganalisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan. Limbah

Lebih terperinci

PENURUNAN KADAR BOD, COD, TSS, CO 2 AIR SUNGAI MARTAPURA MENGGUNAKAN TANGKI AERASI BERTINGKAT

PENURUNAN KADAR BOD, COD, TSS, CO 2 AIR SUNGAI MARTAPURA MENGGUNAKAN TANGKI AERASI BERTINGKAT PENURUNAN KADAR BOD, COD, TSS, CO 2 AIR SUNGAI MARTAPURA MENGGUNAKAN TANGKI AERASI BERTINGKAT Oleh : Agus Mirwan, Ulfia Wijaya, Ade Resty Ananda, Noor Wahidayanti Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER Afry Rakhmadany 1, *) dan Nieke Karnaningroem 2) 1)Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, aktivitas pengurangan amonium oleh bakteri nitrifikasi dan anamox diamati pada dua jenis sampel, yaitu air limbah industri dan lindi. A. Pengurangan amonium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri tahu telah berkontribusi dalam penyediaan pangan bergizi,

I. PENDAHULUAN. Industri tahu telah berkontribusi dalam penyediaan pangan bergizi, I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Industri tahu telah berkontribusi dalam penyediaan pangan bergizi, penyerapan tenaga kerja, dan pengembangan ekonomi daerah. Namun industri tahu juga berpotensi mencemari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Unit Operasi IPAL Mojosongo Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Mojosongo di bangun untuk mengolah air buangan dari kota Surakarta bagian utara, dengan

Lebih terperinci

BAB 9 KOLAM (PONDS) DAN LAGOON

BAB 9 KOLAM (PONDS) DAN LAGOON BAB 9 KOLAM (PONDS) DAN LAGOON 177 Di dalam proses pengolahan air limbah secara biologis, selain proses dengan biakan tersuspensi (suspended culture) dan proses dengan biakan melekat (attached culture),

Lebih terperinci

PERANCANGAN REAKTOR ACTIVATED SLUDGE DENGAN SISTEM AEROB UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DOMESTIK

PERANCANGAN REAKTOR ACTIVATED SLUDGE DENGAN SISTEM AEROB UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DOMESTIK PERANCANGAN REAKTOR ACTIVATED SLUDGE DENGAN SISTEM AEROB UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DOMESTIK TUGAS AKHIR Oleh: I Gusti Ngurah Indra Cahya Hardiana 0704105029 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Karakteristik Limbah Ternak

Karakteristik Limbah Ternak Fakultas Peternakan UNHAS Karakteristik Limbah Ternak Dr.Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P 2014 J l. P e r i n t i s K e m e r d e k a a n K m. 1 0 M a k a s s a r KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK Dr. Muhammad

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Medan diantaranya adalah pemotongan hewan, pengadaan, dan penyaluran daging

BAB I PENDAHULUAN. Medan diantaranya adalah pemotongan hewan, pengadaan, dan penyaluran daging 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH) Kota Medan secara administratif berada di wilayah Kota Medan Kecamatan Medan Deli tepatnya Kelurahan Mabar Hilir. PD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin besarnya limbah yang di hasilkan dari waktu ke waktu. Konsekuensinya adalah beban badan air selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Air limbah dari proses pengolahan kelapa sawit dapat mencemari perairan karena kandungan zat organiknya tinggi, tingkat keasaman yang rendah, dan mengandung unsur hara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencuci, air untuk pengairan pertanian, air untuk kolam perikanan, air untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencuci, air untuk pengairan pertanian, air untuk kolam perikanan, air untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia di bumi ini. Sesuai dengan kegunaannya, air dipakai sebagai air minum, air untuk mandi dan mencuci, air untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bioetanol berbasis tebu, baik yang berbahan baku dari ampas tebu (baggase), nira

BAB I. PENDAHULUAN. bioetanol berbasis tebu, baik yang berbahan baku dari ampas tebu (baggase), nira BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis energi menjadi topik utama dalam perbincangan dunia, sehingga pengembangan energi alternatif semakin pesat. Salah satunya adalah produksi bioetanol berbasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disempurnakan dan diganti dengan Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG PERANCANGAN PABRIK PENGOLAHAN LIMBAH Oleh: KELOMPOK 2 M. Husain Kamaluddin 105100200111013 Rezal Dwi Permana Putra 105100201111015 Tri Priyo Utomo 105100201111005 Defanty Nurillamadhan 105100200111010

Lebih terperinci

PENGARUH SISTEM ATTACHED GROWTH BERGANDA ANAEROB AEROB UP FLOW TERHADAP PENYISIHAN KADAR BOD,COD DAN TSS PADA LIMBAH CAIR HOTEL

PENGARUH SISTEM ATTACHED GROWTH BERGANDA ANAEROB AEROB UP FLOW TERHADAP PENYISIHAN KADAR BOD,COD DAN TSS PADA LIMBAH CAIR HOTEL PENGARUH SISTEM ATTACHED GROWTH BERGANDA ANAEROB AEROB UP FLOW TERHADAP PENYISIHAN KADAR BOD,COD DAN TSS PADA LIMBAH CAIR HOTEL Lana Abdullah, Rany A. Hiola, Lia Amalia 1 lanasingkeruang@gmail.com Program

Lebih terperinci

PEMBENIHAN DAN AKLIMATISASI PADA SISTEM ANAEROBIK

PEMBENIHAN DAN AKLIMATISASI PADA SISTEM ANAEROBIK JRL Vol.6 No.2 Hal. 159-164 Jakarta, Juli 21 ISSN : 285-3866 PEMBENIHAN DAN AKLIMATISASI PADA SISTEM ANAEROBIK Indriyati Pusat Teknologi Lingkungan - BPPT Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta 134 Abstract Seeding

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Air Sumur 4.1.1 Karakteristik Air Sumur di Sekitar Pabrik Gula Madukismo Air sumur yang berada di sekitar Pabrik Gula Madukismo sudah tercemar oleh

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN Alisma plantago DALAM SISTEM LAHAN BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-WETLAND)

PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN Alisma plantago DALAM SISTEM LAHAN BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-WETLAND) PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK MENGGUNAKAN TANAMAN Alisma plantago DALAM SISTEM LAHAN BASAH BUATAN ALIRAN BAWAH PERMUKAAN (SSF-WETLAND) Amalia Masturah 1) Lita Darmayanti 2) Yohanna Lilis H 2) 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

PENURUNAN BOD DAN COD PADA AIR LIMBAH KATERING MENGGUNAKAN KONSTRUKSI WETLAND SUBSURFACE-FLOW DENGAN TUMBUHAN KANA (Canna indica)

PENURUNAN BOD DAN COD PADA AIR LIMBAH KATERING MENGGUNAKAN KONSTRUKSI WETLAND SUBSURFACE-FLOW DENGAN TUMBUHAN KANA (Canna indica) 1 PENURUNAN BOD DAN COD PADA AIR LIMBAH KATERING MENGGUNAKAN KONSTRUKSI WETLAND SUBSURFACE-FLOW DENGAN TUMBUHAN KANA (Canna indica) Anindita Laksmi Prabowo dan Sarwoko Mangkoedihardjo Jurusan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL Berdasarkan hasil pengamatan sarana pengolahan limbah cair pada 19 rumah sakit di Kota Denpasar bahwa terdapat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan industri adalah salah satu kegiatan sektor ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektor industri terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Keberadaan amonium di alam dapat berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa protein. Senyawa ini perlu didegradasi menjadi gas nitrogen (N2) karena amonium menyebabkan

Lebih terperinci

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Topik : Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Tujuan : 1. Mahasiswa memahami sumber-sumber dan macam-macam limbah cair 2. Mahasiswa memahami karakteristik limbah cair 3. Mahasiswa memahami teknologi pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci