Habib Muhammad bin Muchtar Al-Habsyi 52 ALKISAH NO. 05/25 FEB. - 9 MAR. 2008 52
Prioritas Dakwahnya di Luar Jawa Habib Muhammad bin Muchtar Al-Habsyi tinggal di Jakarta, tetapi garapan dakwahnya terfokus di Indonesia Timur. Daerah yang masih terpinggirkan dalam peta dakwah di Indonesia. Dia tinggal di Jakarta, tetapi tiga perempat waktunya dihabiskan di luar kota. Saya banyak bertabligh ke luar Jawa, kata Habib Muhammad bin Muchtar Al-Habsyi (51), mengawali percakapannya dengan alkisah. Dengan banyaknya aktivitas dakwah di luar Jakarta, bukan berarti dia tidak sibuk di dalam kota. Di rumahnya yang sederhana di Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur, ia menyelenggarakan pengajian yang diberi nama Majelis Dzikir/Mudzakarah Bait Al-Muchtar, empat kali dalam seminggu. Ahad malam dan Kamis malam, lalu hari Senin siang dan Rabu siang khusus untuk kaum wanita dengan pengajar Ustadzah Syarifah Laila Al-Habsyi, membahas kitab fiqih dan tasawuf. Selain itu, dia juga menggelar kegiatan akbar pada hari-hari besar Islam. Seperti Maulid Nabi, Isra Mi raj, 10 Muharram, Safari Ramadhan, sekaligus pemberian santunan kepada fakir miskin, dhu afa, dan anak-anak yatim piatu. Sedang kegiatan lain masih dalam konteks tasyakuran atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-nya. Kesibukannya yang padat di luar Jawa dilatari pengalamannya sebagai salesman di beberapa perusahaan berskala nasional yang pernah digelutinya semasa muda di Jakarta. Waktu itu, tahun 1980-an, ia sering dikirim ke luar Jawa. Di samping melaksanakan tugasnya, ia juga kerap memperhatikan pengajian dan majelis ta lim di kota-kota yang dikunjunginya. Kok sepertinya kurang semarak. Bagaimana kalau ditingkatkan, sehingga bisa menarik jamaah lebih banyak lagi, pikirnya saat itu. Demi Nama Al-Habsyi Habib Muhammad bin Muchtar Al- Habsyi lahir di Ternate, Maluku Utara, DENGAN KELUARGA. Mendukung secara moril ALKISAH NO. 05/25 FEB. - 9 MAR. 2008 53 53
BERSAMA PARA HABIB. Berdoa ke makam Condet pada 27 Juli 1955, dari pasangan Habib Muchtar Agil Al-Habsyi asal Gorontalo dan Deetje Djalaludin, asli Ternate. Kakek buyutnya, Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi, berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan. Ia memperoleh pendidikan agama dari Madrasah Al-Khaerat di kota kelahirannya sambil sekolah di SMA. Tahun 1975 ia merantau ke Jawa, mulai dari Semarang, Surabaya, sampai Jakarta. Selama itulah, 1975-1992, dia bergerak khusus di bidang pemasaran pada beberapa perusahaan swasta dan asing, yang membawanya keliling Indonesia Bagian Timur. Selama itu pula, dia tidak pernah surut untuk memperdalam ilmu agama dari pengajian satu ke pengajian lain yang banyak bermunculan, terutama di ibu kota. Seperti berguru pada Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaff (Bukit Duri), Habib Ali bin Abdurrahman Assegaff (Tebet), Habib Umar bin Abdurrahman Assegaff, Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (Kwitang). Bahkan ketika di Surabaya, selain menjadi manajer pemasaran sebuah perusahaan swasta, ia juga memberanikan diri memberikan taushiyah pada suatu majelis ta lim yang digelar di sebuah hotel berbintang. Agaknya kebahagiaan sebagai tenaga pemasaran tidak melenakan dirinya. Terbukti, pada suatu hari ia merasa terdorong untuk berkiprah dalam kegiatan dakwah. Berbekal ilmu agama dan semangat ziarah kepada para wali dan habaib di Jawa, seluruh aktivitas pemasaran dia tinggalkan. Kemudian ia membuka majelis dzikir dan memfokuskan diri pada daerah-daerah yang terletak jauh di berbagai pulau. Pada 1997, Habib Muhammad, yang saat itu lebih dikenal dengan nama Rahman Al-Habsyi, memutuskan untuk terjun dalam bidang dakwah, dengan mengibarkan bendera Majelis Dzikir/Mudzakarah Bait Al-Muchtar. Khususnya dakwah ke berbagai daerah yang kurang mendapat perhatian para dai atau muballigh dari Jakarta. Untuk itu dia sengaja mengundurkan diri dari kegiatannya sebagai tenaga salesman di sebuah perusahaan asing yang telah memberinya kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Suatu langkah yang berani. Rupanya, dia terpanggil oleh nama Al-Habsyi yang disandangnya. Bukankah Al-Habsyi adalah nama habib yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW? katanya dalam hati. Mengapa saya tidak terpanggil untuk ikut membesarkan nama tersebut? Maka, dengan niat suci dan membaca basmalah, dilayangkannya surat 54 ALKISAH NO. 05/25 FEB. - 9 MAR. 2008 54
pengunduran dirinya kepada pemimpin perusahaan tempatnya bekerja. Ternyata niat suci itu tidak berjalan mulus. Saya diuji Tuhan selama empat tahun, kenangnya. Kepada istrinya, diutarakannya niat tersebut. Sang istri tidak memberi komentar, selain mendukung secara moril. Masalahnya, saat itu dia telah memiliki empat orang anak yang masih kecil-kecil. Urusan ekonomi rumah tangga jelas tetap menjadi tanggung jawabnya, baik sebagai suami maupun sebagai kepala rumah tangga. Apalagi rumah pun masih ngontrak. Begitu lepas dari perusahaan itu, dia memang tidak punya penghasilan lagi. Fasilitas kendaraan yang selama itu dia dapatkan, lepas semuanya. Dengan bismillah, ia kemudian berjualan minyak wangi, peralatan shalat, dan kitab-kitab agama, dari masjid ke masjid atau di majelis ta lim yang bertebaran di Jakarta. Hal itu dia lakukan dengan berjalan kaki, sesuatu yang sudah menjadi tekadnya. Namun, kegiatan tersebut tidak bisa menunjang hidupnya bersama keluarga. Untuk mengatasi hal itu, istrinya terpaksa membuka warung kecil-kecilan di rumahnya. Kerja seperti itu dilaluinya selama empat tahun lebih. Menyerahkah Habib Muhammad? Ternyata tidak. Dia lebih menganggap hal itu merupakan godaan. Memang tidak mudah untuk mecapai tujuan mulia. Nabi Muhammad saja harus menghadapi ujian, apalagi kita manusia biasa, katanya. Rejeki Nomplok Pada suatu pagi yang cerah, ia berdiri di depan makam Condet, di depan Masjid Al-Hawi, untuk mengirim doa kepada para ahli kubur di makam itu, yang terdiri dari para habib. Tanpa sepengetahuannya, di sana telah menunggu seseorang yang ingin menyerahkan bingkisan. Orang itu sengaja menunggu orang pertama yang datang ke makam tersebut untuk diberi bingkisan. Kebetulan ana orang pertama yang dilihatnya di makam itu. Maka ana-lah yang kebagian rizqi itu. Namanya juga rejeki nomplok, datangnya tidak disangka-sangka, ujarnya. BERSAMA SBY. Berkiprah dalam bidang dakwah ALKISAH NO. 05/25 FEB. - 9 MAR. 2008 55 55
DENGAN USTADZ ARIFIN ILHAM. Menggarap daerah terpencil BERSAMA MUHIBBIN. Dari satu pulau ke pulau lain Rupanya orang itu menunaikan nazarnya dengan sejumlah uang tertentu. Uang itu akan diserahkan kepada orang pertama yang ditemuinya di makam Condet. Ketika bingkisan tersebut dibuka di depan istrinya, ternyata isinya berupa uang tunai yang jumlahnya cukup besar untuk keperluannya kala itu. Sub-hanallah! Alhamdulillah! katanya. Mereka berdua pun saling bertangisan karena bahagia. Allah telah menunjukkan keleluasaan-nya kepada kita. Dengan orang itu, dia masih memelihara hubungan karib, hingga kini. Habib Muhammad pun memulai lembaran baru hidupnya dengan uang itu, yaitu dengan menjalankan kegiatan dakwah di rumahnya dan beberapa tempat di seputar Jakarta hingga dikenal masyarakat. Kemudian dia mulai merealisasikan gagasannya berdakwah ke luar Jawa. Ia sengaja memilih daerah-daerah terpencil, kalau perlu dengan menggunakan kendaraan darat, laut, dan udara. Maka kota-kota seperti Manado, Tondano, Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), Ternate, Tidore (Maluku Utara), Makassar, Gowa, Maros, Selayar, Jeneponto, Pangkep (Sulawesi Selatan), Provinsi Gorontalo, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, menjadi perhatian utamanya. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Selain menyiapkan SDM seperti muballigh, pembaca qashidah, pemain hadrah dan marawis, dia juga banyak mendapat undangan dan pernyataan perasaan simpati dari daerah-daerah tersebut. Sehingga, seperti diakuinya sendiri, dia lebih banyak berada di luar Jawa, dan kurang dikenal di Jakarta. Daerah yang kini tengah digarapnya adalah Provinsi Sulawesi Barat, yang beribu kota Mamuju. Ia telah mendatangi provinsi baru ini dua-tiga kali dan mendapat respons yang cukup bagus. Setiap kali datang ke sana, ia menghabiskan waktu dua-tiga minggu. Maklum, kondisi medannya masih serba baru, dan di sana-sini keadaannya belum tertata dengan baik... Bill*AM 56 ALKISAH NO. 05/25 FEB. - 9 MAR. 2008 56