BAB I PENDAHULUAN. runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Selama lebih dari dua dekade, pengukuran kinerja (performance measurement)

B A B 1 P E N D A H U L U A N

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran tersebut

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memberikan informasi keuangan kepada publik, Dewan Perwakilan. rakyat Daerah (DPRD), dan pihak-pihak yang menjadi stakeholder

BAB 1 PENDAHULUAN. publik. Pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. dan akuntabilitas pada instansi pemerintah semakin meningkat. Selain itu tuntutan yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi rumusan masalah penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik,

Kata Pengantar. Oleh karena itu agar langkah dimaksud dapat menjadi prioritas program lima tahun pembangunan kepegawaian ke depan menyongsong ii

PENINGKATAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS APARATUR DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

BAB I PENDAHULUAN. akuntabel serta penyelenggaraan negara yang bersih dari unsur-unsur KKN untuk

PENDAHULUAN. pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, serta untuk meningkatkan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pada hierarki dan jenjang jabatan. Dalam tataran praktek, birokrasi seringkali

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

BAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman mengenai good governance mulai dikemukakan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Birokrasi yang berbelit dan kurang akomodatif terhadap gerak ekonomi mulai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak dan penerimaan Negara lainnya, dimana kegiatannya banyak

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang terdiri atas latar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka merespon tuntutan masyarakat menuju good governance,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pesat terhadap akses yang dapat dilakukan masyarakat untuk. masyarakat akan adanya suatu pengukuran kinerja.

REFORMASI BIROKRASI. Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. mencanangkan suatu kebijakan yang dikenal dengan nama Gerakan Reformasi

BAB I PENDAHULUAN. tujuan negara yang sudah tercantum dalam UUD 1945 alenia ke-4 yaitu untuk

Pendidikan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, perkembangan sektor publik dewasa

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan akhir dari para

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. bagi pihak-pihak di dalam sektor publik. Reformasi birokrasi muncul karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. good governance. Good governance merupakan salah satu alat reformasi yang


REFORMASI BIROKRASI. (Presentasi Materi Subtansi Instansi) Jakarta, 18 Juli 2017

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) lahir dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good public and corporate governance (Mardiasmo, 2009:27).

BAB I PENDAHULUAN. dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. A. Pandangan Umum

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan dalam sebuah laporan penelitian menyajikan latar

BAB I PENDAHULUAN. hasil pengujian penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Berkembangnya isu di masyarakat yang menggambarkan kegagalan

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan sistem pemerintahan, good governance telah

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian,

BABl PENDAHULUAN. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan sejak tahun 2001

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DAN EVALUASI KINERJA Kedeputian Pelayanan Publik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KOTA BANDUNG KECAMATAN BANDUNG KULON

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

DOKUMEN RENCANA STRATEGIS TAHUN PENGADILAN AGAMA KOTABUMI

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. daerah, tetapi keberadaan RSD masih dipandang sebelah mata oleh. masyarakat. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan

SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DAN LAPORAN AKUNTANTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi merupakan suatu aktivitas yang memiliki tujuan (purposive

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB I PENDAHULUAN. efektifitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA SEKRETARIAT INSPEKTORAT JENDERAL TAHUN 2016

1 Pendahuluan. Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Kab. Pasuruan 1

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

I. PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB I PEDAHULUAN. Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan

DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN MUSI RAWAS

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya era reformasi selama lebih dari satu dekade ini menandai runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi dari yang semula apatis menjadi masyarakat kritis dan menuntut (Akbar, 2011). Sebagai hasilnya, pemerintah mengalami tekanan untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada rakyat selaku priority stakeholder. Segala program, kebijakan, dan keputusan yang diambil pemerintah harus berorientasi pada rakyat dan untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD RI Tahun 1945 dalam Pembukaan Alenia IV. Menghadapi gelombang reformasi yang besar, beberapa regulasi dikeluarkan untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara demokratis dan terdesentralisasi, yaitu: TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Baik (Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), UU No. 22 Tahun 1999 (diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) yang mengatur Desentralisasi Pemerintah Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 (diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Menurut Mardiasmo (2006) dalam Wijaya dan Akbar (2012) pendelegasian kewenangan pusat ke daerah disertai dengan penyerahan dan 1

pengalihan pendanaan, sehingga untuk memastikan kinerja pengelolaan kewenangan, perlu adanya suatu sistem untuk mengatur hubungan keuangan antara pusat daerah dan pertanggungjawaban kegiatan serta pengelolaan keuangan oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan Negara, pemerintah dengan persetujuan DPR RI menetapkan paket perundang-undangan di bidang keuangan Negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Serangkaian regulasi tersebut diharapkan mampu mendorong terselenggaranya manajemen (pengelolaan) sektor publik yang profesional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya menerapkan paradigma good governance dalam konteks pengelolaan organisasional dan kinerja. Paradigma pengelolaan organisasi sektor publik pada tingkat global telah mengalami beberapa pergeseran, mulai dari model klasik (traditional public administration) yang berkembang dalam kurun waktu 1855/1887 hingga akhir 1980-an; new public management (NPM) yang berkembang dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an; sampai kepada good governance yang berkembang sejak pertengahan 1990-an hingga saat ini. Praktik good governance menjadi semakin berkembang dikarenakan paradigma ini dianggap mampu menutup kelemahan dua model paradigma sebelumnya, yaitu traditional public administration dan new public management. Tata kelola yang baik (good governance) memberikan keseimbangan antara 2

kuatnya semangat yang diadopsi dari sektor privat dalam berkompetisi memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan tetap melibatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Akbar, et al., 2013). Lebih dari satu dekade, governance memang telah menjadi isu pokok untuk organisasi-organisasi internasional. Organisasi seperti PBB, OECD, dan Uni Eropa gencar memberikan kebijakan, saran, dan penelitian berkenaan dengan isu governance (Löffler, 2003). Pada gilirannya, perkembangan wacana di tingkat global tentang good governance jelas berpengaruh pada perkembangan wacana good governance di Indonesia (Solikin, 2006). Beberapa karakteristik/prinsip-prinsip good governance yang dicetuskan oleh UNDP di antaranya: participation (partisipasi), rule of law (aturan hukum), transparency (transparansi), responsiveness (responsivitas), consensus orientation (orientasi pada konsensus), equity (kesetaraan), effectiveness and efficiency (efektivitas dan efisiensi), dan accountability (akuntabilitas). Sementara itu, berdasarkan PP No. 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa paradigma good governance memiliki prinsip-prinsip: profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tiga prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas (Simanjuntak, 2005; Solikin, 2006). Tidak ada definisi yang lebih halus terkait dengan karakteristik good governance. Dengan demikian, yang terpenting dalam menerapkan seluruh prinsip good governance harus disepakati 3

dulu oleh berbagai stakeholder di area geografis tertentu atau dalam sebuah jejaring kebijakan (Bovaird dan Löffler, 2003). Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi, tapi juga berkaitan dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan kepentingan publik kepada stakeholder nya (BPKP, 2011). Sebagai komponen penting dari good governance, akuntabilitas memiliki prinsip dasar agar lembaga publik terutama instansi pemerintah memberikan informasi dan transparansi penyelenggaraan urusan publik (UNDP, 2009; Elahi, 2009). Dengan demikian, semua unit organisasi publik harus mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan semua kegiatan/tindakan yang dilakukan dan menerima sanksi apabila terdapat tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Mardiasmo (2009) yang menyatakan bahwa akuntabilitas sebagai kewajiban pemegang amanah (pemerintah) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (masyarakat) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan good governance dan otonomi daerah, pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem perencanaan dan pertanggungjawaban yang dinamakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) melalui Inpres No. 7 Tahun 1999. Instansi pemerintah yang diwajibkan menerapkan SAKIP di antaranya: unit organisasi/satuan kerja yang mandiri, mempunyai kewenangan pelaksanaan kebijakan publik, dan 4

melaksanakan kegiatan pelayanan masyarakat secara langsung (Kemenpan dan RB, 2011). Dalam kaitannya dengan penerapan SAKIP, Presiden menunjuk Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk membuat pedoman penyusunan, memberikan bantuan teknis, dan penyuluhan tentang LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), Kepala BPKP untuk melakukan evaluasi terhadap LAKIP, dan Menpan RB mengkoordinasikan pelaksanaan SAKIP. SAKIP merupakan salah satu alat manajemen (kinerja) dalam rangka penyelenggaraan pemerintah terdesentralisasi yang diharapkan mampu memperbaiki kinerja pemerintah (Nusantoro, 2009). SAKIP dapat dianggap sebagai bagian dari sistem manajemen strategik sektor publik yang merujuk pada sistem pengendalian manajemen untuk memastikan bahwa tujuan organisasi dalam kerangka pemenuhan visi dan misi organisasi dapat dicapai melalui penyelenggaraan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan dengan baik (Sulaeman, 2013). Sebagai produk pemerintah, proses SAKIP meliputi kegiatan perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, dan pelaporan kinerja (BPKP, 2011). Rangkaian proses/kegiatan SAKIP dibangun dan dikembangkan sebagai wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan sumber daya, pelaksanaan kebijakan, dan pelaksanaan program yang ditujukan kepada rakyat melalui jajaran di atasnya. Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan salah satu unsur penting dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi 5

Pemerintah (SAKIP). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi (Modul SAKIP 5, 2000). Informasi kinerja yang terdapat dalam LAKIP selain sebagai alat mempertanggungjawabkan aktivitas pemerintahan (fungsi retrospektif), yang terpenting adalah dijadikan sebagai dasar pihak manajemen/internal pemerintah untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik di perioda berikutnya melalui praktik manajemen kinerja (fungsi prospektif). Pada praktiknya, LAKIP menggantikan Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah melalui Waskat (pengawasan melekat). Waskat merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundangundangan yang berlaku (Inpres No. 1 Tahun 1989). Gerakan pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) diawali dari Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang kemudian melibatkan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN, dulu Kementerian Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara) serta Lembaga Administrasi Negara (LAN) (Solikin, 2006). Pertanyaan mendasar sekarang yang harus dicari jawabannya adalah: setelah SAKIP diterapkan kurang lebih satu dekade dengan diiringi dinamika 6

reformasi, apakah sudah terjadi peningkatan kinerja nyata pelayanan publik dan akuntabilitas pemerintah secara signifikan? Tentunya sebagian besar aparat pemerintah kemungkinan besar secara serentak menjawab sudah, karena merasa sudah memberikan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang menjadi tuntutan dari Inpres No.7 Tahun 1999 dan hasil evaluasi AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) selama beberapa tahun ini menunjukkan peningkatan signifikan. Namun, masyarakat luas dan stakeholder lainnya seperti: lembaga legislatif dan pelaku usaha merasakan hal yang berlawanan dengan klaim aparat pemerintah tersebut. Tabel 1.1 Hasil Evaluasi AKIP Kementerian/Lembaga Tahun 2009-2012 Tahun 2009 2010 2011 2012 Jumlah K/L 72 79 82 81 Dievaluasi 72 79 82 81 AA 0 0 0 0 A 0 0 2 3 B 7 11 17 26 CC 29 39 49 48 C 33 27 14 4 Sumber: Kemenpan dan RB, 2012 Tabel 1.2 Hasil Evaluasi AKIP Pemerintah Provinsi Tahun 2009-2012 Tahun 2009 2010 2011 2012 Jumlah Prov 33 33 33 33 Dievaluasi 27 29 30 33 AA 0 0 0 0 A 0 0 0 0 B 0 0 2 6 CC 1 9 17 19 C 20 18 11 8 Sumber: Kemenpan dan RB, 2012. Akbar (2009) menyoroti tiga hal yang menunjukkan belum terwujudnya akuntabilitas dan perbaikan kinerja instansi pemerintah secara signifikan, yaitu 7

dominannya kekecewaan masyarakat daripada kepuasan publik, sering terjadinya perseteruan antara lembaga eksekutif dengan legislatif, dan seringnya dunia usaha melontarkan ketidaktanggapan pemerintah terhadap kebutuhan pelaku bisnis sehingga menghambat pertumbuhan dunia usaha. Survei KPK pada tahun 2012 terhadap 498 unit layanan pemerintah menghasilkan skor indeks integritas nasional (IIN) 6,37, dari skala 0-10 (kpk.go.id, 2012). Hal tersebut menunjukkan kualitas integritas pelayanan publik yang buruk. Sementara itu, laporan The World Bank tahun 2013 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 166 dari 185 negara yang disurvei dalam hal kemudahan memulai bisnis, atau turun lima peringkat dari posisi tahun sebelumnya (doingbusiness.org, 2013). Dengan demikian, hasil evaluasi AKIP yang meningkat belum merepresentasikan atau dapat dijadikan acuan bahwa sudah berjalannya praktik akuntabilitas dengan baik, apalagi terjadinya peningkatan kinerja secara signifikan. Dengan melihat kenyataan masih buruknya praktik akuntabilitas dan kinerja instansi pemerintah, tentu hal yang perlu disorot adalah aspek penerapan SAKIP selama ini. Solikin (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa antara SAKIP dengan sistem lain, seperti: sistem perencanaan pembangunan, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintah tidak terjadi integrasi secara baik. Suhartanto (2012) juga mengakui bahwa selama ini masih banyak dijumpai kelemahan pelaksanaan sistem AKIP secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh harmonisasi antar sub sistem AKIP belum terlaksana dengan baik dan dengan sistem lain, seperti: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Sistem 8

Penganggaran Berbasis Kinerja (SPBK), Sistem Manajemen Berbasis Kinerja (SMBK), dan Sistem Informasi Manajemen Kinerja (SIMK). Penelitian yang dilakukan Akbar, et al. (2012) terhadap instansi Pemerintah Daerah (Pemda) Indonesia menemukan bahwa pengembangan ukuran kinerja dalam sistem pengukuran kinerja lebih dipengaruhi motif memenuhi kewajiban aturan daripada motif membuat organisasi menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, fungsi LAKIP sebagai muara dari SAKIP hanya sebatas pemenuhan kewajiban instansi pemerintah secara simbolis bukan dalam rangka mendorong perbaikan kinerja pada perioda berikutnya (it s simply to conform, not to perform). Selain itu, tata cara penyusunan LAKIP tidak terstruktur dan apabila monitoring pelaporannya tidak konsisten, maka nasibnya akan sama dengan kewajiban pelaporan Waskat (Bastian, 2001). Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut dan hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi bahwa konstruksi SAKIP yang telah dikembangkan secara konseptual lemah dan tidak sistematis. Konstruksi SAKIP yang secara konseptual lemah dan tidak sistematis akan menimbulkan permasalahan di lapangan pada saat suatu instansi mengimplementasikan SAKIP terutama untuk tahap pengembangan sistem pengukuran kinerja maupun pada tahap penggunaan hasil dari implementasi sistem pengukuran kinerja (Sihaloho dan Halim, 2005). Mengingat SAKIP merupakan suatu instrumen utama yang saat ini dimiliki dan diandalkan instansi pemerintah dalam menghasilkan laporan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan serta diharapkan menjadi acuan untuk perbaikan kinerja 9

di masa berikutnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian kritis terhadap konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja. 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut, berikut rumusan masalah yang dapat diajukan: 1. Bagaimana perkembangan komponen, alat, dan prosedur pelaksanaan SAKIP? 2. Bagaimana pengukuran kinerja model SAKIP dari awal diterapkan hingga sekarang? 3. Apakah pengukuran kinerja model SAKIP berjalan dengan baik dan sistematis? 4. Apa kelemahan konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja instansi pemerintah? 1.3. Batasan Masalah Peneliti membatasi masalah terhadap objek kajian yaitu Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai sistem pengukuran kinerja dan alat manajemen berbasis kinerja. Analisis akan difokuskan pada deskripsi perkembangan komponen pembentuk SAKIP dan deskripsi model atau bekerjanya pengukuran kinerja dengan menggunakan SAKIP (aspek filosofi SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja). Deskripsi konstruksi SAKIP tersebut kemudian dijadikan dasar dalam mengevaluasi SAKIP dan menganalisis kelemahan SAKIP. 10

1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan membandingkan konstruksi SAKIP dari waktu ke waktu. 2. Mendeskripsikan perkembangan pengukuran kinerja model SAKIP dari awal diterapkan hingga sekarang. 3. Menganalisis berjalannya pengukuran kinerja model SAKIP. 4. Mengevaluasi SAKIP dan menganalisis kelemahan konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja dan alat manajemen berbasis kinerja. 1.5. Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian yang diharapkan dapat tercapai dengan dilaksanakannya penelitian ini di antaranya: 1. Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan literatur-literatur akuntansi pemerintahan yang sudah ada, serta memberikan variasi bagi penelitian sebelumnya berkenaan dengan evaluasi konstruksi SAKIP dan analisis berjalannya SAKIP. 2. Hasil penelitian memberikan wawasan mengenai perkembangan konstruksi SAKIP dan pengukuran model SAKIP dari mulai diterapkan hingga sekarang. 3. Bagi jajaran praktisi di pemerintahan, hasil penelitian dapat dijadikan wawasan dan bahan evaluasi tentang kelemahan konstruksi SAKIP yang telah 11

diterapkan sebagai sistem pengukuran, alat manajemen kinerja, dan alat akuntabilitas. 4. Bagi instansi pemerintah yang menerapkan SAKIP, hasil penelitian dapat memberikan rekomendasi dan acuan dalam pengembangan dan perbaikan SAKIP ke depannya. 5. Bagi akademisi, penelitian ini memberikan kontribusi untuk penelitianpenelitian selanjutnya berkenaan dengan kajian kritis SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) dan alat manajemen kinerja organisasi sektor pemerintahan. 1.6. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: - Bab I Merupakan bagian pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang yang mendasari munculnya permasalahan dalam penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. - Bab II Merupakan bagian tinjauan pustaka, berisi teori-teori yang melandasi penelitian dan menjadi dasar/acuan melakukan kajian kritis serta penelitianpenelitian terdahulu. - Bab III 12

Membahas mengenai metoda penelitian yang menjelaskan jenis dan ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, dan metoda analisis yang digunakan untuk melakukan kajian kritis. - Bab IV Merupakan bagian pembahasan, yang berisi analisis dan diskusi terhadap konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja. - Bab V Merupakan bagian penutup, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis pada bab sebelumnya, saran untuk memperbaiki konstruksi SAKIP dan implementasi SAKIP, dan keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya. 13