FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA PENDAHULUAN Penyebab tersering trauma wajah pada daerah konflik biasanya adalah luka tembak selain ledakan bom, yang ditandai dengan adanya penetrasi peluru pada wajah yang menimbulkan adanya luka masuk dengan atau tanpa luka keluar. Facial gun shot wound dapat menimbulkan kelainan yang tidak berarti tetapi bisa juga berakibat fatal, tergantung pada jarak, kecepatan, dan diameter peluru. Peluru kaliber kecil dapat hanya menimbulkan luka yang biasa dan tidak parah, sebaliknya tembakan jarak dekat dapat menimbulkan luka yang sangat parah pada jaringan lunak dan tulang wajah sehingga harapan hidup penderita tidak bisa diperkirakan. Walaupun kematian tidak segera terjadi. MEKANISME TRAUMA Semakin tinggi kecepatan tembakan peluru yang mengenai wajah, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan pada jaringan, baik pada soft tissue maupun pada hard tissue. Tembakan peluru dengan kecepatan tinggi dari senapan modern, menyebabkan letusan terhadap jaringan dengan rongga yang luas (kavitas). Pada peluru berkecepatan tinggi seperti Riffle Bullets/Military missile (> 600 m/detik) dapat menimbulkan kavitas yang nyata dan kerusakan jaringan tulang wajah yang berat dan kehilangan jaringan lunak pada daerah yang luas. Sedangkan peluru kaliber kecil 1
dalam kecepatan rendah membuat kerusakan soft tissue yang ringan atau tanpa kerusakan tulang wajah dan tembakan seringkali tidak menyebabkan kerusakan yang parah pada wajah. Peluru dari pistol genggam sipil yang meluncur dalam kecepatan rendah (300 800 m/detik) menimbulkan kavitas yang lebih kecil. Sedangkan pada senjata yang lebih kecil dengan kecepatan < 300 m/detik seperti senjata Colt 45, kerusakan jaringan mungkin benar-benar terbatas pada lintasan peluru. Luka tembak biasanya hanya berbahaya jika dilakukan pada jarak dekat, terutama pada jarak tembakan < 10 kaki. Kerusakan yang berat pada wajah oleh karena ledakan bom dapat berupa kerusakan tulang dan jaringan lunak yang hebat dan disertai dengan munculnya edema yang cepat yang dapat menimbulkan sumbatan jalan napas bagian atas. GEJALA KLINIS Ketika peluru mengenai wajah maka peluru akan menimbulkan kerusakan mulai dari kutis, jaringan subkutis, otot bahkan tulang dan membentuk suatu kavitas yang menimbulkan deformitas pada wajah. Disamping itu perlu diperhatikan adanya cedera syaraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran liur. Adanya cedera tersebut bisa menimbulkan dampak pada fungsi bicara, mengunyah, menelan, pernapasan dan penglihatan. Tempat masuk yang kecil pada wajah dengan luka keluar mungkin akan menyembunyikan kerusakan dalam yang luas. Luka ditempat keluarnya peluru (kalau ada) biasanya lebih besar daripada di tempat masuknya. Hal ini disebabkan oleh karena serpihan tulang wajah yang bergerak secara diversi seperti anak peluru, disamping posisi peluru pada saat keluar meninggalkan wajah. 2
Toleransi tulang wajah terhadap trauma secara individual berbeda-beda kekuatannya (fragility). Tulang nasal, zygoma, ramus mandibula dan sinus frontalis sangat rentan terhadap benturan/trauma dibanding tulang wajah yang lain. Sebagai contoh benturan dengan kecepatan 30 m.p.h dapat dengan mudah menyebabkan fraktur pada tulang-tulang tersebut dibanding dengan tulang tulang wajah lain. Hal ini dapat menjelaskan mengapa fraktur pada tulang nasal, zygoma dan mandibula sering terjadi. Adanya fraktur tulang wajah dapat menyebabkan gangguan fungsi dan gangguan estetik. Bentuk dan besarnya luka keluar tergantung pada posisi peluru pada saat keluar, apakah tegak lurus, miring dan sebagainya. Kemungkinan yang timbul bila peluru menembus keluar dari wajah adalah luka tembak masuk lebih kecil dari keluar. Hal ini terjadi oleh karena anak peluru mengenai tulang keras dulu, sehingga serpihan tulang sendiri berlaku seperti anak peluru juga. Keadaan dimana luka masuk sama dengan luka keluar atau luka masuk lebih besar dari luka keluar adalah bila mana peluru mengenai daerah lain pada tubuh terutama bila jaringan lunak lebih dominan. PENATALKSANAAN Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing (patahan gigi), muntah, edema dan bekuan darah pada fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan 3
napas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Proteksi dari vertebra servikal merupakan hal yang penting. Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Kontrol jalan napas pada penderita dengan airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal, baik oral maupun nasal. Surgical airway (cricothyroidectomy) dapat dilakukan bila intubasi endotrakeal tidak memungkinkan. Kontrol perdarahan harus dilakukan pada facial gun shot wound bisa dengan tekanan langsung atau secara operatif, karena luka tersebut dapat menyebabkan perdarahan hebat. Pembersihan luka dari semua benda asing dan jaringan yang rusak. Lakukan debridement pada tempat masuk dan pada tempat keluarnya peluru serta keluarkan semua jaringan yang tidak sehat tetap berprinsip hemat jaringan untuk mencegah cacat yang tidak perlu. Cedera peluru berkecepatan tinggi membutuhkan pembersihan menyeluruh pada luka dan debridement dengan larutan saline. Jika tempat luka keluarnya besar dengan banyak terdapat fragmen tulang dan penderita dalam keadaan syok berat, maka penderita mungkin mendapat cedera oleh tembakan peluru berkecepatan tinggi. Kita perlu mengeluarkan bekuan darah, jaringan otot yang mati dan banyak fragmen tulang. Luka pada muka harus diperlakukan istemewa dibanding dengan didaerah tubuh lain, misalnya benang paling luar harus dipakai yang non reaktif, monofilamen dan halus. Cedera pada struktur penting seperti nervus fasialis, duktus nasolakrimalis, duktus parotis harus direpair agar dapat berfungsi kembali. Adanya infeksi pada wajah dapat memperlambat penyembuhan dan bisa 4
mengganggu fungsi dan bentuk. Infeksi dapat menyebabkan bahaya karena organisme yang ada dapat masuk ke sistem vena dan ke sinus cavernosus. Keadaan ini harus mendapat perhatian lebih. Kehilangan jaringan lunak pada wajah sering menimbulkan masalah penutupan, terutama luka yang diakibatkan oleh konflik peperangan. Defek pada jaringan lunak berupa kehilangan kulit, otot, jaringan syaraf, ruptur tendon dan putusnya pembuluh darah harus dikembalikan fungsinya dengan rekonstruksi seanatomis mungkin. Bila hanya didapatkan kehilangan kulit saja, maka kita dapat melakukan penutupan kulit dengan flap atau bila kehilangan kulit yang luas dapat dilakukan penutupan dengan skin graft. Tulang wajah yang mengalami fraktur di stabilkan dengan melakukan fiksasi fragmen fraktur dengan/tanpa bone graft. Bila tanpa gejala (non simptomatik) peluru yang ada didalam lebih baik dibiarkan karena bila dilakukan eksplorasi akan menimbulkan kerusakan. Bila terapi definitif tidak dapat dilakukan segera, tindakan bedah selanjutnya dapat dilakukan setelah penderita stabil. Masukkan penderita kembali ke kamar operasi dan lakukan evaluasi kembali dan direncanakan prioritas rekonstruksi dengan general anestesi. Fiksasi tulang interosseus dapat dilakukan dengan kawat, plates, screw, bone graft, K-wire. Keberhasilan dari perbaikan luka tergantung pada karakter dan lokasi luka serta teknik yang digunakan. Penyembuhan luka yang diharapkan seperti garis rambut tanpa distorsi. 5
KEPUSTAKAAN 1. Grabb, W.C and Smith J.W., Plastic Surgery, Little Broen and Company, London, 1997. 2. Mc. Swain N.E. & Kerstein MD, Evaluation and Management or Trauma, Appleton Century Crofts, Connecticut, 1987. 3. Marks, M.W. & Charles M. Fundamentals of Plastic Surgery, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997. 4. Mattox K.L. & Feliciano D.V., Trauma, 4 th edition, Mc. Graw Hill, New York, 2002. 5. Wilson R.F. & Walt A.J., Management of Trauma, 2 nd edition, Williams & Wilkins, Baltimore, 1996. 6