TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi

BAB 3 METODE PENELITIAN

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

EFEKTIVITAS EDUKASI UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PENANGANAN RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

ARTIKEL ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

Costs incurred by rhinitis are substantial.

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

PRESCRIPTION FOR HEALTH: MENGUBAH PRAKTEK PRIMARY CARE UNTUK MENGUBAH PERILAKU SEHAT

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersinbersin,

BAB 4 METODE PENELITIAN

Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera 1, Lina Lasminingrum 1 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

Rinitis alergika adalah suatu kelainan gejala. Efektivitas dan Keamanan Kombinasi Terfenadin dan Pseudoefedrin pada Anak Rinitis Alergika

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

Penyakit Alergi lain yang Dialami Anak dengan Asma

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

APLIKASI TERAPI GUIDED IMAGERY UNTUK PASIEN ASMA DENGAN STATUS ASMATIKUS PADA UNIT GAWAT DARURAT. Nurma Afiani

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization, 2014). Data proyek Global Cancer (GLOBOCAN) dari

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi,

Wanita Usia 20 Tahun dengan Rhinitis Alergi Intermiten Sedang-Berat. A 20 Years Old Woman with Moderate-Severe Intermittent Allergic Rhinitis

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur

Perubahan kualitas hidup, eosinofil mukosa hidung, dan interleukin-5 serum pasien rinitis alergi pasca terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Menurut perkiraan United States Bureau of Census 1993, populasi lanjut

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan kerusakan jaringan ( Davis dan Walsh, 2004). Nyeri merupakan salah satu

BAB 4 METODE PENELITIAN

Transkripsi:

TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI Abstrak Rhinitis alergi (RA) merupakan masalah kesehatan umum dan kronis dengan prevalensi tinggi serta dampak yang signifikan terhadap pengeluaran perawatan kesehatan. Spray steroid intranasal dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan RA menengah hingga parah. Studi kami menganalisis secara klinis penggunaan latihan pernapasan hidung (LPH) sebagai tambahan untuk spray steroid intranasal sebagai cara murah dan efektif dalam pengelolaan RA. Studi 3 bulan, paralel, dan acak dilakukan di sebuah pusat rujukan perawatan daerah dan tersier. Dalam studi ini, peserta (N = 60) dengan gejala RA diberikan baik spray steroid intranasal flutikason propionat (kelompok A) atau flutikason propionat spraay hidung dan LPH (kelompok B). Peserta menilai keparahan gejala mereka sehari-hari selama masa pengobatan 3 bulan. Rata-rata skor total gejala nasal lebih rendah pada kedua kelompok (5,1 vs 3,8333 untuk kelompok A dan 5,2 vs 2,6777 untuk kelompok B) dan perbedaannya signifikan secara statistik (P <0,05). Para pasien menunjukkan peningkatan yang pasti dalam gejala keseluruhan dan individu untuk kedua kelompok dengan penurunan signifikan lebih besar pada gejala individu dalam kelompok B (P <0,05). Dalam penelitian kami, kami telah menemukan bahwa dari kedua terapi yang disediakan mendapatkan tanggapan yang berarti, tapi secara keseluruhan flutikason propionat dan kelompok LPH lebih disukai. Oleh karena itu LPH adalah cara yang sederhana dan efektif untuk mengurangi gejala RA dan meningkatkan kepuasan pasien. Kata kunci: rinitis alergi, semprotan steroid intranasal, Fluticasone propionat, latihan pernapasan hidung Pandahuluan Rhinitis alergi (RA) merupakan masalah kesehatan umum yang menyebabkan pasien sering berkunjung ke dokter perawatan primer dan spesialis THT. Biaya perawatan tersebut menyumbang sejumlah besar pengeluaran perawatan kesehatan akibat biaya langsung yang timbul dari kunjungan dokter, serta biaya tidak langsung yang berkaitan dengan kehilangan waktu di tempat kerja dan kerugian produktivitas akibat penurunan kualitas hidup mereka yang terkena[1-4]. RA merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi pasien dari segala usia dan kelompok etnis dengan prevalensi diperkirakan 30% pada populasi umum [5].

Pengobatan AR mencakup menghindari alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Kortikosteroid intranasal (INS) direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan penyakit sedang sampai berat, terutama bila hidung tersumbat merupakan komponen utama dari gejala [6]. Karena kronisitas penyakit dan respon yang beragam terhadap terapi, sejumlah besar pasien mencari untuk pengobatan alternatif untuk RA. Tujuan kami dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektivitas latihan pernapasan hidung (LPH) pada pasien RA. Metode Desain penelitian adalah analisis prospektif yang dilakukan pada rumah sakit rujukan daerah dan tersier dan telah disetujui oleh komite etika kelembagaan. Antara 1 Januari 2008 dan 31 Desember 2008, 98 pasien RA secara prospektif terdaftar dalam penelitian ini. Kriteria kelayakan untuk dimasukkan didirikan kriteria RA sesuai ARIA 2007 dan usia> 18 tahun. Kriteria eksklusi adalah kehamilan, menyusui, masalah psikologis yang signifikan, ketidakmampuan untuk mematuhi protokol penelitian, operasi hidung dan sinus paranasal terakhir dan pengobatan dengan steroid sistemik selama 30 hari sebelumnya atau penggunaan steroid topikal, antihistamin, dekongestan, atau kromolin dalam sebelumnya 2 minggu atau imunoterapi dalam 2 tahun terakhir. Secara keseluruhan 80 pasien yang memenuhi kriteria untuk partisipasi. Populasi penelitian acak dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 40. Kelompok A diobati dengan INS semprot flutikason propionat (FP) dua kali sehari di kedua lubang hidung dan grup B dengan INS semprot dan LPH setelah semprot. Untuk memiliki keseragaman dalam prosedur LPH itu ditunjukkan kepada pasien dan sama diulang oleh pasien di hadapan penguji. Latihan dalam penelitian ini adalah inspirasi dalam diikuti dengan ekspirasi melalui satu lubang hidung dengan lubang hidung lainnya ditutup oleh jari dengan mengucapkan hmm... suara atau om... Latihan ini diulang lima kali setiap lubang hidung setelah semprot INS oleh pasien dari grup B. Setiap pasien mencatat skor gejala dalam buku harian sekali sehari. Pasienn melaporkan bersin, rhinorrhea, hidung tersumbat, dan gatal-gatal pada skala 2

deskripsi lisan. 0 1 2 3 Tidak pernah Jarang Kadang kadang Sering Tidak ada masalah. Ada masalah namun tidak mengganggu. Masalah mengganggu namun tidak mempengaruhi aktifitas dan waktu tidur. Masalah mempengaruhi aktifitas dan waktu tidur.. Skor gejala total dihitung harian untuk setiap gejala dan skor bulanan dievaluasi untuk jangka waktu 3 bulan setelah pengobatan. Gejala individu serta total skor gejala sebelum pengobatan dibandingkan dengan skor setelah perawatan untuk signifikansi statistik. Data ditabulasi di excel worksheet dan analisis statistik yang dilakukan oleh SPSS 18. Analisis deskriptif dilakukan analisis dan statistik dilakukan dengan uji t sampel independen. P <0,05 dianggap signifikan secara statistik. Hasil Penelitian ini melibatkan 80 pasien dari mana tujuh pasien dari kelompok A dan empat pasien dari kelompok B yang mangkir selama bulan pasca pengobatan 3. Oleh karena itu dihasilkan komputer sampel acak dari 30 pasien diambil dalam setiap kelompok untuk evaluasi statistik lebih lanjut. Grup A terdiri dari 30 pasien dengan usia rata-rata 30,7 tahun dan kelompok B termasuk 30 pasien dengan usia rata-rata 32,4 tahun. Bersin dan nasal discharge adalah gejala yang paling umum pada kedua kelompok (Tabel 1). Pada evaluasi skor gejala sebelum pengobatan, kelompok A mendapatkan skor rata-rata 5.100 (SD 1,34805, 0,24612 SE) dan kelompok B memiliki skor rata-rata 5.200 (SD 1,60602, 0,29322 SE). Perbedaan rata-rata adalah 0.100 (SE diff. 0,3828, 95% CI 0,6663-0,8663) yang tidak ditemukan secara statistik signifikan (P = 0,795). 3

Jumlah pasien dengan gejala pada kelompok A dan B sebelum dan sesudah perlakuan Pada membandingkan skor gejala dari kelompok A dan B sebelum dan sesudah perlakuan terlihat bahwa nilai rata-rata setelah pengobatan untuk kelompok A adalah 3,8333 (2,4223 SD, SE 0,4422) dan untuk kelompok B adalah 2,6667 (1,6470 SD, SE 0,3007). Perbedaan rata-rata setelah pengobatan untuk kelompok A adalah 1.2666 (SE diff. 0,5061, 95% CI 0,2457-2,2858) dan untuk kelompok B adalah 2,5333 (SE diff. 0.420, 95% CI 1,6926-3,3740). Perbedaan dalam pra dan pasca skor gejala pengobatan ditemukan secara statistik signifikan (kelompok nilai P A = 0,016 dan P sekumpulan nilai B = 0,000). Kami juga membandingkan gejala skor pasca perlakuan antara kedua kelompok untuk menemukan perbedaan rata-rata 1,1666 (SE diff. 0,5348, 95% CI 0,0961-2,2371) yang juga signifikan secara statistik (p = 0,033). Pada evaluasi gejala individu (bersin, gatal mata dan hidung, sumbatan hidung dan pilek) sebelum dan sesudah perlakuan, kedua kelompok menunjukkan perbaikan gejala setelah pengobatan (Gambar 1). Perbedaan individu gejala peningkatan perawatan pasca dipamerkan signifikansi statistik pada kelompok B (Tabel 2). Skor gejala individu sebelum dan sesudah perlakuan 4

Selisih skor gejala untuk gejala individu setelah pengobatan Diskusi RA adalah penyakit saluran napas bagian atas yang disebabkan oleh reaksi inflamasi IgE-mediated setelah paparan alergen, dan bisa berkontribusi untuk penurunan aktivitas sosial, kualitas hidup yang buruk dan penurunan produktivitas pada pasien bergejala sedang sampai parah [2-4]. RA adalah penyakit yang sangat umum, dengan beban ekonomi yang besar pada keadaan karena biaya langsung dan tidak langsung terkait dengan penyakit ini. Biaya langsung berhubungan dengan penggunaan berbagai obat untuk AR sedangkan biaya tidak langsung yang dikaitkan dengan hilangnya waktu kerja dan biaya yang dikaitkan dengan kehilangan produktivitas. Dalam era sumber daya ekonomi kesehatan yang terbatas, sangat penting untuk membedakan mana terapi RA secara klinis paling efektif dan biaya yang efektif [2-4]. Saat ini, sesuai ARIA 2008 perkembangan terbaru berbagai perawatan medis yang tersedia untuk pengobatan RA, termasuk dekongestan oral, antihistamin, stabilisator sel mast, semprotan INS, leukotrien antagonis reseptor, antikolinergik, dan imunoterapi. INS direkomendasikan sebagai terapi lini pertama terutama ketika hidung tersumbat yang merupakan komponen utama dari gejala RA. Keuntungan utama dari administrasi INS adalah konsentrasi obat yang tinggi, dengan onset tindakan cepat, dapat disampaikan langsung ke organ target, sehingga efek sistemik dihindari atau diminimalkan. 5

FP adalah yang pertama dari generasi ketiga steroid inhalasi. Obat ini memiliki potensi rendah untuk efek samping sistemik karena sangat sulit diserap di saluran pencernaan dan merupakan subjek pada metabolisme lini pertama di hati. Berbagai penelitian telah mengevaluasi efektivitas FP spray dan ditemukan efektif dalam pengurangan total skor gejala hidung dan skor total gejala orbital [7-9]. RA bersifat kronis sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan kebutuhan obat secara jangka panjang. Meskipun efek samping dari penggunaan jangka panjang obat untuk RA minimal, tetap ada ketakutan banyak pasien terhadap efek samping obat sintetik. Ketakutan ini mempengaruhi banyak pasien untuk mencari pengobatan komplementer dan alternatif (PKA). Literatur menunjukkan penggunaan PKA tinggi di antara pasien Rhinology (65%) [10]. LPH yang digunakan dalam penelitian ini merupakan prosedur sederhana dan dapat dilakukan dengan mudah. Karena kemiripannya dengan latihan pernapasan yoga yang populer, latihan dapat dengan mudah dijelaskan kepada kelompok studi kami maupun pasien yang belum pernah melakukan itu. Meskipun studi ini tidak secara langsung menganalisis mekanisme LPH dan dampaknya pada RA, penulis mengusulkan penjelasan yang masuk akal untuk perbaikan gejala setelah LPH dengan literatur yang tersedia pada subjek. Ada juga analisis menarik tentang mendengung dan peningkatan NO (Nitrat Oksida) dibandingkan dengan pernafasan normal tenang menunjukkan peningkatan ventilasi sinus paranasal dengan manuver ini [14, 15]. Mendengung menyebabkan udara untuk berosilasi, yang pada akhirnya meningkatkan pertukaran udara antara sinus dan rongga hidung. Meskipun ada berbagai studi literatur tentang mekanisme peningkatan ventilasi sinus, tidak ada penelitian yang telah mengevaluasi gejala RAdan efek dengan latihan pernapasan. Penulis menganggap efek LPH setelah INS mengarah ke peningkatan distribusi obat dalam rongga hidung dan sinus paranasal yang bisa mengakibatkan peningkatan yang signifikan dari gejala pasien. Ketika total skor gejala setelah pengobatan diperiksa, nilai rata-rata dari pasien dalam kelompok LPH adalah secara numerik lebih rendah dibandingkan pasien dalam kelompok INS, dan besarnya perbedaan memiliki signifikansi statistik. Semua skor gejala individu kedua kelompok juga berkurang setelah pengobatan dan LPH menunjukkan superioritas statistik dalam pengurangan gejala individu RA. Mungkin studi yang lebih panjang akan menunjukkan perbedaan besar antara kelompok pengobatan dan gejala individu. Singkatnya, data kami menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi LPH dan INS menawarkan keuntungan statistik dibandingkan pengobatan dengan INS saja untuk RA. Penelitian kami memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan penelitian ini adalah fakta bahwa kami telah menyediakan studi pertama yang secara klinis 6

membandingkan efek dari LPH pada gejala RA. Faktor pengganggu utama dalam penelitian ini adalah penggunaan INS pada kedua kelompok yang tidak bisa dihindari karena komite etik lembaga tidak menerima penggunaan hanya LPH tanpa perawatan medis sebagai kelompok ketiga dalam penelitian ini. Namun demikian, temuan kami menambah literatur saat ini dan mudah-mudahan membuka jalan untuk penelitian yang lebih besar yang ditujukan untuk mengkonfirmasikan nilai LPH yang dapat menyebabkan meningkatkan kepuasan pasien dan mengurangi biaya langsung dan tidak langsung pengobatan RA. Kesimpulan RA merupakan masalah kesehatan umum dan kronis yang memiliki prevalensi tinggi dalam populasi. Biaya langsung pengobatan serta biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas yang cukup tinggi akibat RA. Data kami menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi LPH dan INS menawarkan keuntungan statistik selama pengobatan dibandingkan steroid FP intranasal untuk RA. Oleh karena itu LPH adalah cara yang sederhana dan efektif untuk mengurangi gejala RA dan meningkatkan kepuasan pasien. Referensi 1. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update (in collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen) Allergy. 2008;63(Suppl 86):8 160. doi: 10.1111/j.1398-9995.2007.01620.x. 2. Canonica GW, Bousquet J, Mullol J, Scadding GK, Virchow JCA. Survey of the burden of allergic rhinitis in Europe. Allergy. 2007;62(Suppl 85):17 25. doi: 10.1111/j.1398-9995.2007.01549.x. 3. Crystal-Peters J, Crown WH, Goetzel RZ, Schutt DC. The cost of productivity losses associated with allergic rhinitis. Am J Manag Care. 2000;6:373 378. 4. Oene CM, Reij EJ, Sprangers MA, Fokkens WJ. Quality assessment of diseasespecific quality of life questionnaires for rhinitis and rhinosinusitis: a systematic review. Allergy. 2007;62(12):1359 1371. doi: 10.1111/j.1398-9995.2007.01482.x. 5. Upton MN, McConnachie A, McSharry C, Hart CL, Smith GD, Gillis CR, Watt GCM. Intergenerational 20 year trends in the prevalence of asthma and hay fever in adults: the midspan family study surveys of parents and offspring. Br Med J. 2000;321(7253):88 92. doi: 10.1136/bmj.321.7253.88. 6. Yáñez A, Rodrigo GJ. Intranasal corticosteroids versus topical H1 receptor antagonists for the treatment of allergic rhinitis: a systematic review with 7

metaanalysis. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:479 484. doi: 10.1016/S1081-1206(10)62085-6. 7. Chan KO, Huang ZL, Wang DY. Acoustic rhinometric assessment of nasal obstruction after treatment with fluticasone propionate in patients with perennial rhinitis. Auris Nasus Larynx. 2003;30(4):379 383. doi: 10.1016/S0385-8146(03)00085-3. 8. Martin BG, Andrews CP, Bavel JH, Hampel FC, Klein KC, Prillaman BA, Faris MA, Philpot EE. Comparison of fluticasone propionate aqueous nasal spray and oral montelukast for the treatment of seasonal allergic rhinitis symptoms. Ann Allergy Asthma Immunol. 2006;96(6):851 857. doi: 10.1016/S1081-1206(10)61349-X. 9. DeWester J, Philpot EE, Westlund RE, Cook CK, Rickard KA. The efficacy of intranasal fluticasone propionate in the relief of ocular symptoms associated with seasonal allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc. 2003;24(5):331 337. 10. Featherstone C, Godden D, Gault C, Emslie M, Took-Zozaya M. Prevalence study of concurrent use of complementary and alternative medicine in patients attending primary care services in Scotland. Am J Public Health. 2003;93:1080 1082. doi: 10.2105/AJPH.93.7.1080. 11. Djupesland PG, Chatkin JM, Qian W, Haight JS. Nitric oxide in the nasal airway: a new dimension in otorhinolaryngology. Am J Otolaryngol. 2001;22:19 32. doi: 10.1053/ajot.2001.20700. 12. Lundberg JON, Farkas-Szallasi T, Weitzberg E. High nitric oxide production in human paranasal sinuses. Nat Med. 1995;1:370 373. doi: 10.1038/nm0495-370. 13. Maniscalco M, Weitzberg E, Sundberg J, Sofia M, Lundberg JO. Assessment of nasal and sinus nitric oxide output using single-breath humming exhalations. Eur Respir J. 2002;22:323 329. doi: 10.1183/09031936.03.00017903. 14. Weitzberg E, Lundberg JO. Humming greatly increases nasal nitric oxide. Am J Respir Crit Care Med. 2002;166:144 145. doi: 10.1164/rccm.200202-138BC. 15. Maniscalco M, Sofia M, Weitzberg E, Laurentis G, Stanziola A, Rosillo V. Humming induced release of nasal nitric oxide for assessment of sinus obstruction in allergic rhinitis; pilot study. Eur J Clin Invest. 2004;34(8):555 560. doi: 10.1111/j.1365-2362.2004.01384.x. 8