BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan

dokumen-dokumen yang mirip
QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN. tingkatan, yaitu : (1) Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya,

QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan prinsip Negara

QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM OTONOMI KHUSUS (The Existence of Customary Law in Special Autonomy) ABSTRACT

PEMERINTAH KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR: 4 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN MUKIM DI KECAMATAN KOTA SIGLI KABUPATEN PIDIE

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia.

IMUEM GAMPONG DALAM PEMBANGUNAN SOSIO EKONOMI MASYARAKAT ACEH. Taufiq

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG REUSAM GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA BANDA ACEH

-1- BUPATI GAYO LUES QANUN KABUPATEN GAYO LUES NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA

-1- QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN TEMPAT IBADAH

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA/KONFLIK PERKARA SECARA ADAT

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DALAM KABUPATEN ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG SUMBER KEUANGAN GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI ACEH BARAT DAYA PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH BARAT DAYA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DALAM KABUPATEN BIREUEN

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH,

-1- BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BENER MERIAH QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 14 TAHUN 2005 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara hukum yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 16/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG KEBUDAYAAN ACEH BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG

QANUN KOTA SABANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SABANG,

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN PIDIE JAYA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN KELURAHAN DAN PEMBENTUKAN GAMPONG DALAM KABUPATEN PIDIE JAYA

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN

WALIKOTA LHOKSEUMAWE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Setelah reformasi, terjadi beberapa amandemen terhadap UUD 1945.

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

PERATURAN WALIKOTA BANDA ACEH NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA WALIKOTA BANDA ACEH,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BENER MERIAH

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN PIDIE JAYA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERJA KECAMATAN DALAM KABUPATEN PIDIE JAYA

Analisis tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat

QANUN KABUPATEN PIDIE JAYA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERJA KECAMATAN DALAM KABUPATEN PIDIE JAYA

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. RI No. II/MPR/1983 tentang GBHN. Dengan demikian peradilan TUN

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR : 7 Tahun 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM TERPADU GANGGUAN KEAMANAN DALAM NEGERI DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2003

PEMERINTAH KABUPATEN GAYO LUES

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PEMBENTUKAN TUHA PEUT GAMPONG DI KOTA LANGSA

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG DALAM KOTA LANGSA DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA LANGSA,

QANUN ACEH NOMOR : TAHUN 2007 TENTANG

QANUN KABUPATEN ACEH UTARA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN KECAMATAN DALAM KABUPATEN ACEH UTARA

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KRAMA ADAT SASAK

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT

BAB I PENDAHULUAN. setelah melakukan musyawarah dengan para shahabatnya. pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam

QANUN ACEH NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

QANUN KOTA SABANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERJA KECAMATAN DALAM KOTA SABANG

BAB I PENDAHULUAN. Konflik merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan

QANUN ACEH NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM FAKIR MISKIN

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT LEMBAGA KEISTIMEWAAN KOTA BANDA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

BUPATI ACEH UTARA PERATURAN BUPATI ACEH UTARA NOMOR 33 TAHUN 2017 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DALAM KABUPATEN ACEH UTARA

PEMERINTAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN KELURAHAN DAN PEMBENTUKAN GAMPONG DALAM KABUPATEN BIREUEN BUPATI BIREUEN

BAB I PENDAHULUAN. akan berjalan dengan lancar apabila masyarakat ikut berpartisipasi dan memiliki

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karateristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidup. Dalam perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi (Wirawan, 2009:2). Namun, meskipun konflik tidak dapat dihindari perlu adanya upaya penyelesaian konflik dengan segera sehingga mengantisipasi dampak konflik yang dapat berkembang. Konflik berdampak terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat, ketika situasi konflik secara terus menerus berlangsung akan berpengaruh terhadap ketentraman dan ketertiban masyarakat yang bahkan dapat mempengaruhi aspek-aspek lain. Wirawan (2009:27-28) menyebutkan bahwa penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui pihak-pihak yang berkonflik dengan mengadakan pendekatan dan perundingan untuk menyelesaikan konflik. Pihak yang terlibat konflik melakukan musyawarah, negosiasi, bertukar informasi, saling mendengar penjelasan, serta malakukan sikap memberi dan mengambil (give and take), untuk menciptakan win & win solution yang memuaskan. Ketika pihak-pihak yang terlibat konflik merasa sama kuat dan benar atau sama-sama mempunyai hak setelah musyawarah perlu pihak ketiga/ulil amri dalam menyelesaikan konflik. 1

2 Di Indonesia, orang yang termasuk pihak ketiga/ulil amri dan berhubungan dengan konflik adalah pemimpin formal, ulama, mediator, arbiter, ombudsman, dan ilmuwan. Mencermati pernyataan tersebut, penyelesaian konflik dapat dilakukan menggunakan pendekatan musyawarah atau negosiasi antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, tetapi ketika proses ini tidak menemukan jalan keluar maka diperlukan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Pihak ketiga dapat melibatkan lembaga pemerintah, lembaga agama maupun adat yang ada di suatu wilayah. Korten (1985:14) mengungkapkan bahwa cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Bagi masyarakat Aceh, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menjadikan Aceh memiliki hak keistimewaan di bidang adat, agama dan pendidikan. Penyelenggaraan keistimewaan dijelaskan pada pasal 3 ayat 2 meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Melalui peraturan ini pemerintah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah Aceh untuk menggali dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang telah ada di masyarakat Aceh. Keistimewaan Aceh dapat dilihat seperti salah satunya dalam penyelenggaraan kehidupan adat dengan diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat. Lembaga adat dalam masyarakat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,

3 kemasyarakatan. Sebagai bagian masyarakat yang telah terbentuk oleh sejarah yang panjang, peran lembaga adat dalam masyarakat memiliki pola dan pendekatan tersendiri. Begitu juga halnya dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, lembaga adat telah memiliki pola dan pendekatan tersendiri yang telah diakui oieh pemerintah Republik Indonesia (Rl) sebagai salah satu altematif penyelesaian sengketa/konflik di tengah-tengah masyarakat. (Kamaruddin, 2013) Salah satu lembaga adat di Aceh adalah mukim. Mukim merupakan lembaga yang sudah ada sejak jaman pra kemerdekaan dan masih diakui bahkan direvitalisasi menjadi acuan masyarakat Aceh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa mukim mempunyai andil yang sangat besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, mukim menjadi bagian yang sangat penting dalam masyarakat. Seorang mukim merupakan orang yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Fakta tersebut diperkuat oleh Busroh dan Busro (1983:125) yang menyatakan bahwa masih adanya pengaruh dan pengaturan kepada imeum mukim disebabkan karena mereka memiliki kharisma. Secara historis, lembaga mukim termasuk dalam lima tingkatan struktur pemerintahan di Aceh, namun pada masa orde baru keberadaan mukim mengalami pasang surut sebagai bagian dari pemerintahan ini ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada saat dilaksanakannya peraturan ini, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh harus

4 menentukan pilihan terhadap dua strata pemerintahan lokal yang berada di bawah kecamatan untuk dijadikan desa, yang merupakan akibat dari undang-undang tersebut. Gampong diputuskan untuk menjadi desa yang langsung berada di bawah camat, sehingga mukim tidak lagi diakui sebagai salah satu strata pemerintahan yang ada di daerah. Tetapi di dalam lingkungan masyarakat peran dan fungsinya imeum mukim tetap diakui sebagai pemimpin informal, mereka tetap disegani dan diminta pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan adat pada tingkat gampong (Abdullah, 1982:5). Keberadaan mukim yang secara kedudukan berada di bawah kecamatan dan di atas pemerintahan gampong menjadikan struktur pemerintahan yang unik bagi Aceh. Keberadaan lembaga-lembaga adat di masa lampau yang dapat mengelola dan mengatur sosial masyarakat mulai diperhatikan kembali dan diterapkan pada saat ini. Namun di sisi lain, kondisi tatanan kehidupan masyarakat khususnya Aceh pada saat ini telah sangat berbeda. Hal ini yang menjadikan mukim sebagai bagian dari struktur pemerintahan di Aceh penuh dinamika dan persoalan sehingga mukim dalam menjalankan tugas dan fungsinya belum dapat maksimal. Mukim dalam qanun/peraturan daerah memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri dari gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Mukim dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya berlandaskan sejarah dan adat yang telah berakar dalam sistem sosial budaya masyarakat Aceh secara turun temurun.

5 Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mukim sesuai yang telah diatur menurut qanun/peraturan daerah serta tidak terlepas adanya hubungan yang saling berkaitan antara pemerintah kecamatan yang dalam hal ini adalah camat dan keuchik yang berada di tingkat gampong (desa). Urusan lain yang dilaksanakan mukim sangat tergantung kepada kebijakan camat yang bersangkutan dalam memberikan tugas-tugas pemerintahan kepada mukim. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, mukim memiliki tanggung jawab penuh terhadap persoalan-persoalan di gampong, dalam salah satu ayat pada pasal 4 menyebutkan bahwa tanggung jawab mukim adalah penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. Mukim yang didasari posisinya sebagai lembaga adat memiliki tugas dan tanggung jawab menyelesaikan sengketa/konflik dalam masyarakat. Mekanisme penyelesaian konflik melalui lembaga adat diatur dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, pasal 41 pada peraturan ini menyebutkan bahwa penyelesaian konflik dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengedepankan pranata adat dan/atau pranata sosial yang ada dan diakui keberadaannya. Bagi provinsi Aceh, pengaturan mengenai penyelesaian konflik melalui lembaga adat telah diterbitkan dalam aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan adat di Aceh sebagai dasar hukum. Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII mengenai Lembaga Adat Pasal 98 ayat 2 mengatakan bahwa Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.

6 Berdasarkan Hasil penelitian UNDP dari 3.054 perkara yang diselesaikan di tingkat gampong dan mukim, terungkap bahwa para pihak mengaku cukup puas dengan proses penyelesaian peradilan adat seperti ini sedangkan persentase masyarakat yang tidak puas terhadap proses peradilan ini terbilang kecil, hanya puluhan kasus dari 3.000 lebih kasus. Hal Ini bermakna, pengadilan alternatif ini sangat menjanjikan di tengah turunnya kredibilitas berbagai institusi penegak hukum lainnya.http://www.acehmail.com/2014/06/peradilan-adat-masih-terhambat/ Beberapa penjelasan mengungkapkan peran mukim dalam kehidupan sosial masih sangat penting di Aceh. Dalam masyarakat, mukim dianggap sebagai pemimpin yang memiliki kharisma tinggi dan dapat menjadi panutan bagi setiap kalangan di lingkungan masyarakat. Apabila dikaitkan dari sisi agama, pemilihan mukim juga lebih menggunakan pendekatan pengetahuan agama atau dengan kata lain mukim adalah dipilih dari orang atau tokoh yang menguasai agama yang mayoritas dianut masyarakat Aceh yaitu Islam. Akan tetapi, penyelesaian permasalahan di tengah masyarakat terkait dengan konflik sosial, persengkataan atau perkara adat belum sepenuhnya dapat diselesaikan oleh mukim, bahkan beberapa mukim belum terlihat menjalankan perannya ketika konflik terjadi di wilayah, meskipun lembaga adat mukim memiliki peran yang sangat signifikan dan dijadikan sebagai lembaga alternatif khususnya dalam penyelesaian konflik. Bahkan pada kasus-kasus tertentu sebagian masyarakat Aceh meletakkan posisi lembaga adat lebih tinggi tingkatannya dibandingkan lembaga pengadilan formal.

7 Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi mukim. Di satu sisi, peran dan identitas mukim yang mulai tidak terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh, meskipun telah dilakukannya upaya penataan struktur Pemerintahan di Aceh berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang penggunaan istilah Pemerintahan Aceh dalam peraturan ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, karena berbeda dengan daerah lain yang menggunakan istilah Pemerintahan Daerah Provinsi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mempertegas hadirnya mukim dalam pemerintahan. Pada bab II Pasal 2 menyatakan bahwa Aceh terdiri dari lima strata pemerintahan yaitu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, mukim dan gampong. Berbagai aturan yang telah diterbitkan bertujuan untuk mengembalikan kewibawaan mukim, namun fakta di lapangan keberadaan mukim masih belum terlihat maksimal serta belum adanya penegasan fungsi dan wewenang dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan. Disisi lain, tantangan bagi mukim sebagai bagian lembaga adat yang berada di masyarakat adalah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya khususnya terkait penyelesaian konflik sosial. Harapan terhadap penyelesaian konflik melalui lembaga informal seperti mukim menjadi pilihan alternatif dalam upaya penyelesaian konflik menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan dan ketertiban suatu wilayah. Hal ini juga dibuktikan dengan telah diterbitkannya beberapa aturan yang menyebutkan bahwa dalam upaya penyelesaian konflik mengedepankan pranata sosial/adat atau mendahulukan peran lembaga-lembaga informal yang ada di setiap wilayah.

8 Kenyataannya penyelesaian konflik melalui lembaga adat mukim khususnya di Kabupaten Bener Meriah belum dapat berjalan baik, beberapa permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat baik terkait konflik sosial maupun sengketa adat dalam penanganannya dan penyelesaiannya masih belum tuntas pada tingkat mukim. Penyelesaian konflik masih melibatkan pemerintah daerah (kecamatan) maupun lembaga formal lain di daerah. Padahal sebagai lembaga adat, mukim memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah juga memberi kewenangan terhadap penyelesaian konflik mulai di tingkat bawah dengan tujuan agar ketika konflik terjadi upaya penyelesaian dapat dilaksanakan secepat mungkin untuk menghindari dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti peran mukim dalam penyelesaian konflik dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah (studi di Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh). 1.2 Perumusan Masalah Berangkat dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar dalam penyelesaian konflik sosial? 2. Bagaimana Implikasi Peran Mukim Kute Teras dalam penyelesaian konflik sosial terhadap ketahanan wilayah?

9 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan peran Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar dalam penyelesaian konflik sosial. 2. Mengetahui implikasi peran Mukim Kute Teras dalam penyelesaian konflik sosial terhadap ketahanan wilayah. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Secara Praktis, penelitian ini sebagai bahan masukan bagi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota dalam rangka merumuskan dan mengevaluasi kebijakan yang berlandaskan pada sistem/pranata sosial wilayah, terutama dalam hal penyelenggaraan urusanurusan pemerintahan dan peran kelembagaan di level paling rendah seperti mukim dan kampung. 2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dilaksanakan oleh para mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada serta menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

10 1.5 Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian mengenai peran mukim dalam penyelesaian konflik sosial dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah, namun ada beberapa penelitian yang sejenis dan berhubungan dengan judul yang diteliti, baik berkaitan dengan tema mukim maupun konflik berdasarkan penelusuran pustaka sebagai berikut: Tabel 1.1 Penelitian Terkait Judul Penelitian Tujuan Penelitian Peneliti/ Tahun Penataan Kembali Lembaga 1. Mendeskripsikan potensi-potensi Mukhsin Mukim di Provinsi Nanggroe sumber daya Mukim melalu sejarah 2003 Aceh Darussalam Sesuai pemerintahan Mukim, dari masa dengan UU Nomor 18 Tahun prakemerdekaan sampai masa 2001 pasca kemerdekaan 2. Mencari format baru dalam menata kembali lembaga Mukim sesuai nilai-nilai sosial, norma-norma historis dan nilai luhur masyarakat Aceh serta sesuai dengan prinsipprinsip yang terkandung dalam UU No.18/2001 Peranan Imeum Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Gampong (Studi Kasus di Mukim Meuraxa Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh) Peranan Lembaga Adat Malamoi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Adat pada Masyarakat Adat Suku MOI di Kabupaten Sorong Untuk mengetahui sejauh mana peranan Imeum Mukim sebagai Lembaga Adat dan peranan sebagai koordinator pemerintahan gampong (Desa) Untuk mengetahui peran dan ruang lingkup lembaga adat Malamoi di Kabupaten Sorong Fadli Rahmad 2004 Fitriana 2008

11 Pengelolaan Konflik Berbasis Hukum Adat (Studi Tentang Metode Penyelesaian Konflik dan Pencegahan Konflik Melalui Lembaga Adat Keujreun Blang di Kecamatan Kuala Kabupaten Naga Raya, NAD) Peran Lembaga Adat Dalam Mengelola Konflik (Studi Kasus Peran Panglima Laot Lhok Pusong Lhokseumawe dalam Mengelola Konflik Nelayan) Peran Lembaga Adat Mosalaki Dalam Penyelesaian Konflik Hak Tanah Ulayat di Kelurahan Wolojita Kecamatan Wolijata Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur Lanjutan Tabel 1.1 1. Untuk mengetahui dan menginventarisir apa saja sengketa dan perselisihan blang (sawah) yang pernah terjadi. 2. Untuk mengetahui peran, proses, koordinasi dan metode lembaga adat keujreun blang dalam menyelesaikan sengketa dan perselisihan blang di dalam masyarakat. Untuk mengetahui tentang kontribusi peran lembaga adat panglima laot dalam mengelola konflik nelayan. Untuk mengetahui bagaimana peran Mosalaki dalam Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat di Kelurahan Wolojita Khudri 2009 Rudi Hidayat 2009 Maria Enggelina Iku Sakasare 2010 Berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian ini memenuhi unsur kebaruan, karena peneliti tidak menemukan penelitian yang sama. Beberapa penelitian tentang mukim sebelumnya tidak secara khusus membahas tentang peran mukim dalam penyelesaian konflik serta berada di wilayah berbeda dengan peneliti lakukan. Begitu juga penelitian tentang peran lembaga adat dalam penyelesaian konflik yang telah dilakukan di daerah lain juga hanya sebatas dalam satu kasus/bidang. Atas dasar ini, peneliti tertarik meneliti Peran Mukim dalam Penyelesaian Konflik Sosial dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Studi di Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh).