KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL MEI. website :

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV. website :

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL FEBRUARI

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV. website :

KAJIAN EKONOMI REGIONAL REGIONAL KAJIAN EKONOMI TRIWULAN III. website :

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Halaman ini sengaja dikosongkan.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH AGUSTUS

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI LAMPUNG. Kajian Triwulanan Misi Bank Indonesia. Visi, Misi dan Nilai Strategis Bank Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH FEBRUARI 2017

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Publikasi ini dapat diakses secara online pada :

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH TRIWULAN I

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan I 2016

Tim Penulis : Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan KPwBI Provinsi Bangka Belitung CP. dan

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Tim Penulis : Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan KPwBI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan IV 2015

Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti...

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan III 2015

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

Kajian Ekonomi Regional Banten

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Jambi

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI KALIMANTAN BARAT FEBRUARI 2018

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Pertumbuhan Ekonomi Kepulauan Riau. *)angka sementara **)angka sangat sementara

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Kalimantan Tengah

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

Pertumbuhan Ekonomi Kepulauan Riau

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOVEMBER 2017

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Jambi

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

3.1. Inflasi Umum Provinsi Lampung Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental.

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

ii Triwulan I 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL. Provinsi Nusa Tenggara Timur

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

6.1. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi Keuangan Secara Tunai Transaksi Keuangan Secara Non Tunai... 74

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Periode November 2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Jambi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Jambi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT MEI 2018 GEOPARK CILETUH

Tim Penulis : Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan KPwBI Provinsi Bangka Belitung CP. dan

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Penulis: Unit Advisory Ekonomi dan Keuangan KPw BI Provinsi Kaltara CP. dan

Halaman ini sengaja dikosongkan. This page is intentionally blank

Agustus KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan I 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi DKI Jakarta. Triwulan I 2016


BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Barat

Transkripsi:

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL AGUSTUS 216 website : www.bi.go.id email : empekanbaru@bi.go.id

VISI BANK INDONESIA : kredibel dan terbaik di regional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil MISI BANK INDONESIA : 1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; 2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional; 3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan akses dan kepentingan nasional; 4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA : -nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity, Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar KATA PENGANTAR BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II 216 dengan penekanan kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan Ekonomi Daerah pada triwulan III 216. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya. Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau, dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi sangat diharapkan. Pekanbaru, 23 Agustus 216 Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau Ismet Inono Deputi Direktur iii

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kata Pengantar duduk di rumah memegang amanah duduk di tanah memegang petuah duduk di kampung menjadi payung duduk di banjar bertunjuk ajar duduk di ladang tenggang menenggang duduk di negeri tahukan diri duduk di dusun ia penyantun duduk beramai elok perangai apa tanda Melayu bertuah, tahu berguru pada yang sudah tahu berbuat pada yang ada tahu memandang jauh ke muka apa tanda Melayu terbilang, dada lapang pandangan panjang iv

Daftar Isi DAFTAR ISI HALAMAN Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... vii Daftar Grafik... viii Daftar Gambar... xii Tabel Indikator Ekonomi Terpilih... xiii RINGKASAN EKSEKUTIF... 1 BAB 1. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1 1. 2. Kondisi Umum... PDRB Sisi Penggunaan... 1 12 2.1. Konsumsi... 13 2.2 Investasi (PMTB)... 15 2.3 Ekspor dan Impor... 16 2.3.1. Ekspor... 2.3.2. Impor... 16 18 3. PDRB Sektoral... 19 3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 2 3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian... 22 3.3. Sektor Industri Pengolahan... 23 3.4. Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor... 24 3.5. Sektor Konstruksi... 26 4. Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan 26 4.1 28 28 4.1.2. 29 29 iv

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi 4.2 HALAMAN 3 31 4.2.1. Sektor Pertanian, Kehutanan dan 4.2.2. Sektor Pertambangan dan 4.2.3. Sektor Industri 4.2.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.. 31 32 33 34 35 Boks 1 Boks 2 Quick Survei Paket Kebijakan Ekonomi Permasalahan Ekonomi Riau BAB 2. ASESMEN INFLASI DAERAH... 36 1. Kondisi Umum... 36 2. Perkembangan Inflasi Provinsi Riau 2.1. Inflasi Kota... 2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru... 2.1.2. Inflasi Kota Dumai... 2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan... 2.2. Disagregasi Inflasi (yoy)... 2.2.1. Inflasi Inti (Core)... 2.2.2. Inflasi Volatile Foods... 2.2.3. Inflasi Administered Price... 2.3. Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan Berjalan... 2.4. Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau 37 41 41 42 43 44 45 47 48 49 5 Boks 3 Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau BAB 3 ASESMEN KEUANGAN PEMERINTAH... 1. Kondisi Umum... 52 52 v

Daftar Isi Boks 4 HALAMAN 2. Realisasi APBD Triwulan I 216... 2.1 Realisasi Pendapatan... 2.2 Realisasi Belanja... Hasil Rapat Koordinasi Revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah( RPJMD) Provinsi Riau Tahun 214-219 53 54 55 BAB 4. Boks 5 ASESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN PENGEMBANGAN 59 UMKM 1. Kondisi Umum Perbankan... 59 2. Perkembangan Bank Umum... 6 2.1.... 6 2.2.. 62 2.3. 63 3. Intermediasi dan Risiko Perbankan 65 4. 67 4.1. Ketahanan S. 67 4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah... 7 4.3.... 72 5. Perkembangan Perbankan 74 6. 76 Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau BAB 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH... 77 1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai.. 79 2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai... 8 2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow - Outflow)... 8 2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar... 81 2.3. Uang Rupiah Tidak Asli... 82 3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai... 81 3.1. Transaksi Kliring... 83 BAB 6 ASESMEN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN DAERAH... 85 vi

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi HALAMAN 1. Kondisi Umum... 85 2. Ketenagakerjaan...... 86 3. Kesejahteraan Daerah... 3.1. Penduduk Miskin Riau... 3.2. Garis Kemiskinan Riau 3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Riau 9 9 91 92 Boks 6 Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Peningkatan Kepariwisataan dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan BAB 7 PROSPEK PEREKONOMIAN... 94 1. 94 2. Perkiraan Inflasi...... 97 3. 99 Daftar Istilah xv vii

Daftar Tabel DAFTAR TABEL HALAMAN Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)... 12 Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau... 14 Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)... 16 Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)... 2 Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau... 53 Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau... 54 Tabel 3.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau... 56 Tabel 4.1 Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau... 6 Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan... 63 Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi... 67 Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi... 68 Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau Menurut Sektor Ekonomi... 73 Tabel 5.1. Historis Net Outflow Lebaran dalam 6 tahun terakhir... 81 Tabel 6.1. Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau SUmatera... 86 Tabel 6.2. Penduduk Usia 15 tahun keatas yang bekerja... 87 Tabel 6.3. Garis Kemiskinan Provinsi Tabel 7.1. Perkembangan Pertumb Tabel 7.2. Outlook Pereko Tabel 7.3. Perkembangan Infl vii

Daftar Grafik DAFTAR GRAFIK HALAMAN Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy%)... 11 Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau... 13 Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini... 14 Grafik 1.4.Kredit Konsumsi... 14 Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor... 14 Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang dan Aksesori... 14 Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau... 15 Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau... 15 Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau... 16 Grafik 1.1. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau... 16 Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau... 17 Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau... 17 Grafik 1.13. Ekspor CPO Dunia... 17 Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor dan Indeks Dollar... 17 Grafik 1.15 Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah.... 18 Grafik 1.16. Perkembangan Ekspor Non Migas Riau... 19 Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau... 19 Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier... 19 Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi... 19 Grafik 1.2. Perkembangan Harga Karet... 21 Grafik 1.21. Perkembangan Harga Sawit... 21 Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian... 21 Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit... 21 Grafik 1.24. Pertumbuhan Subse 22 Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau... 22 Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau... 22 Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan... 24 viii

Daftar Grafik Grafik 1.28. Indeks Makanan Minuman dan Tembakau... 24 Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor... 25 Grafik 1.3. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga... 25 Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Durable Goods di Riau... 25 Grafik 1.32. Indeks Barang Tahan Lama... 25 Grafik 1.33. Kredit Konstruksi... 26 Grafik 1.34. Konsumsi Grafik 1.36. Likert Scale 29 Grafik 1.41. Lifting Grafik 1.43. P Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy)... 38 Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy)... 38 Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)... 39 Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)... 39 Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw II di Provinsi Riau (qtq)... 4 Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw II 216 di Riau (qtq)... 41 Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw II (211-215)... 42 Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw II 216... 43 Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw II (211-215)... 43 Grafik 2.1. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw II 216... 43 Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan... 44 ix

Daftar Grafik Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw II 216... 44 Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)... 45 Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)... 46 Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD... 46 Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia... 46 Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)... 46 Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)... 47 Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Kota Pekanbaru... 47 Grafik 2.2. Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota....48 Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price Grafik 2.24....5 5 Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau... 61 Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok... 61 Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank... 61 Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank... 61 Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan... 62 Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan... 62 Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan... 64 Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan... 64 Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta... 65 Grafik 4.1. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta... 65 Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau... 65 Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau... 66 Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-216... 66 Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-216... 66 Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-216... 66 Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-216... 68 x

Daftar Grafik Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-216... 68 Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan... 7 Grafik 4.2. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor... 7 Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna... 7 Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods... 7 Grafik 4.23. Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Konsumsi Barang Tahan 71 Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM... 72 Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha... 72 Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM... 73 Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan I-216 (%)... 73 Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah... 74 Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan... 74 Grafik 4.3. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Jenis Penggunaan... 75 Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral... 75 Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah... 76 Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah... 76 Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S... 77 Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S... 77 Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S... 77 Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral... 77 Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S... 78 Grafik 4.39. Perkembangan LDR BPR/S... 78 Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau... 8 Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Tw.I-216... 8 Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan... 82 Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Riau... 83 Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Riau... 84 Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Riau Growth... 84 Grafik 6.1. Perkembangan TPAK Riau Feb-216... 86 Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-216... 86 Grafik 6.3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja... 87 xi

Daftar Grafik Grafik 6.4. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja... 88 Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja Per Minggu Feb-216... 89 Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan... 89 Grafik 6.7. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan... 89 Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau... 9 Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau... 9 Grafik 6.1 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Riau... 92 Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan Riau... 92 Grafik 7.1 Perkembangan Indeks Keyakinan Grafik 7.2 Perkembangan Indeks Ek Grafik 7.3 Perkembangan Harga Bumbu-bu Grafik 7.4 Perkembangan Harga Daging Segar dan Hasilnya di Kota Pekanbaru...98 xii

Daftar Gambar DAFTAR GAMBAR HALAMAN Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 216 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)... 37 xii

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Tabel Indikator TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH A. INFLASI DAN PDRB INDIKATOR 214 215 216 I II III IV I II III IV I II Indeks Harga Konsumen*) : - Provinsi Riau 111.51 112.42 115. 119.9 118.39 12.73 121.55 123.8 123.63 123.4 - Kota Pekanbaru 111.13 111.89 114.51 119.56 117.98 12.31 121.4 122.8 123.16 122.29 - Kota Dumai 111.27 112.62 115.2 119.6 118.5 12.83 122.16 122.75 124.23 124.48 - Kota Tembilahan 116.5 117.61 12.11 124.6 122.58 124.94 125.77 126.62 127.48 127.17 Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) : - Provinsi Riau 7.75 6.59 5.81 8.65 6.17 7.39 5.7 2.65 4.42 1.92 - Kota Pekanbaru 7.38 6.17 5.5 8.53 6.16 7.53 5.7 2.71 4.39 1.65 - Kota Dumai 7.26 6.78 5.88 8.53 6.5 7.29 6.21 2.63 4.84 3.2 - Kota Tembilahan 12.59 1.64 8.91 1.6 5.63 6.23 4.71 2.6 4. 2.63 Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 4.5 2.83 2.61 1.39 (.1) (2.13) (1.38) 4.45 2.32 2.4 Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,988.85 2,833.27 3,75.96 3,162.66 2,596.67 3,9.73 2,558.21 2,67.62 2,22.9 2,633.1 Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,442.86 4,119.36 4,548.42 5,196.4 4,348.7 5,124.7 4,697.83 5,378.75 4,183.82 4,311.28 Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 47.21 351.21 38.77 299.12 34.74 28.97 33.32 195.42 265.6 34.8 Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 542.25 585.34 62.44 686.66 723.88 531.3 482.82 39.43 67.27 655.36 B. PERBANKAN Bank Umum INDIKATOR 214 215 216 I II III IV I II III IV I II Total Aset (dalam Rp Juta) 73,21,71 82,36,875 86,572,336 85,652,213 9,534,888 98,451,429 95,323,47 81,686,28 84,514,141 87,15,773 DPK (dalam Rp Juta) 54,466,287 6,795,211 63,383,834 64,143,197 66,525,297 7,42,859 69,189,487 62,5,178 62,588,183 65,616,219 - Giro 12,556,764 16,863,613 14,828,129 13,723,591 15,18,19 15,31,1 14,785,66 9,874,611 11,99,735 11,691,981 - Tabungan 27,363,917 26,936,859 27,586,835 29,478,22 27,139,376 27,688,84 28,427,87 31,117,84 28,694,78 3,93,236 - Deposito 14,545,66 16,994,736 2,968,87 2,941,386 24,277,812 27,431,54 25,976,795 21,57,764 21,984,37 23,21,2 Kredit (dalam Rp Juta) 48,487,679 5,668,252 5,978,867 52,283,437 52,41,716 54,12,485 54,946,577 56,538,247 56,252,232 58,325,238 - Modal Kerja 14,871,32 15,62,41 15,971,72 16,318,273 16,78,784 16,81,235 16,81,524 17,653,632 17,488,673 18,65,46 - Investasi 15,482,142 16,292,777 16,8,635 16,621,249 16,716,814 17,125,784 17,428,77 17,48,648 17,23,391 17,571,645 - Konsumsi 18,134,236 18,755,434 18,926,53 19,343,915 19,66,118 2,85,465 2,716,283 21,43,968 21,56,168 22,13,187 - LDR (%) 89.2 83.34 8.43 81.51 78.77 76.7 79.41 91.12 89.88 88.89 - NPL (%) 3.32 3.54 3.57 3.46 3.64 4.16 4.34 3.71 4.7 3.98 Kredit UMKM (dalam Rp Juta) 18,94,921 19,753,458 19,687,77 2,32,69 19,89,94 2,212,276 19,894,36 19,884,668 19,95,368 2,633,645 - Mikro 4,424,699 5,21,241 4,94,41 5,42,536 5,461,112 5,531,45 5,465,328 5,645,99 5,835,773 6,15,89 - Kecil 7,3,433 7,279,42 7,669,811 7,531,647 7,439,193 7,775,31 7,771,32 7,687,958 7,791,884 8,63,526 - Menengah 6,639,789 7,263,815 7,77,558 7,98,57 6,99,635 6,95,929 6,657,713 6,55,721 6,277,711 6,465,29 NPL UMKM (%) 5.12 5.82 5.99 5.49 6.2 6.71 7.41 6.76 7.65 7.69 BPR Total Aset (dalam Rp Juta) 1,12,376 1,91,313 1,16,417 1,16,162 1,189,489 1,185,757 1,186,762 1,228,315 1,246,785 1,252,252 DPK (dalam Rp Juta) 748,775 744,336 77,216 89,748 847,56 857,25 881,188 877,171 895,393 911,325 - Tabungan 336,569 345,835 352,3 356,75 364,632 349,23 353,742 348,11 347,972 337,76 - Deposito 412,26 398,52 418,186 453,673 482,929 58,2 527,447 529,16 547,421 574,25 Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek 762,7 782,561 815,127 836,111 864,37 911,96 916,54 97,81 916,87 957,829 Rasio NPL (%) 15.47 15.78 15.56 13.75 14.45 13.84 14.39 12.92 14.8 13.76 LDR (%) 11.86 15.14 15.83 13.26 11.98 16.28 14.1 13.41 12.4 15.1 xiii

Tabel Indikator TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH C. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta) Inflow (dalam Rp Juta) Outflow (dalam Rp Juta) 214 215 216 I II III IV I II III IV I II 247,524 2,25,641 2,61,379 3,154,898 (111,261) 2,575,811 1,81,68 3,45,622 (264,922) 5,668,369 1,884,781 1,135,22 2,33,869 721,361 1,798,68 1,45,848 2,414,612 1,224,352 2,253,374 1,293,835 2,132,35 3,385,843 4,941,248 3,876,259 1,687,347 3,981,659 4,216,22 4,629,974 1,988,452 6,962,23 Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 38,769 317,52 196,336 249,464 185,727 33,59 171,823 313,27 799,259 614,941 Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) 73,538 97,73 9,461 14,12 89,64 19,63 88,477 68,937 - - Volume Transaksi RTGS (lembar) *) 47,244 48,67 48,59 52,78 31,363 32,636 3,853 13,564 - - Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,226 1,656 1,413 1,578 1,446 1,797 1,44 1,94 - - Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 787 825 758 789 56 535 49 215 - - Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 7,742 7,672 8,7 8,438 7,881 5,163 8,684 7,366 6,89 6,56 Volume Transaksi Kliring (lembar) 261,889 257,996 256,661 274,715 254,5 135,164 237,984 26,11 29,67 194,424 Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 129 13 135 128 127 85 138 117 113 - Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar) 6 59 6 66 62 61 63 63 61 - xiv

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif RINGKASAN EKSEKUTIF GAMBARAN UMUM Perekonomian Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar 2.4% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan I 216 sebesar 2.32% (yoy) pada triwulan II 216 mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 2,4% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan I 216 yang tercatat sebesar 2,32% (yoy) serta lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun 215 yang tercatat kontraksi 2,13% (yoy). Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi tanpa migas Riau triwulan II 216 tercatat sebesar 4,8% (yoy), mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,49% (yoy). 1

Ringkasan Eksekutif Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan Sumatera yang juga tercatat meningkat masing-masing dari 4,92% (yoy) dan 4,18% (yoy) pada triwulan I 216 menjadi 5,18% (yoy) dan 4,49% (yoy) pada triwulan II-216 I. ASSESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 216 bersumber dari meningkatnya konsumsi swasta, konsumsi pemerintah, investasi dan perbaikan kinerja ekspor Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 216 bersumber dari meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor. Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan triwulan I 216. Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan juga didorong oleh peningkatan investasi seiring dengan masih berlanjutnya investasi pelaku usaha dan proyek infrastruktur strategis pemerintah. Sedangkan meningkatnya ekspor terutama akibat meningkatnya permintaan komoditas pulp semakin mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Riau triwulan laporan. Di sisi lain, perlambatan konsumsi rumah tangga dan peningkatan impor menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan ekonomi triwulan II 216. Pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi dan perdagangan besar dan eceran Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 216 secara umum menunjukkan peningkatan. Peningkatan kinerja terjadi di tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan besar eceran. Meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit seiring dengan membaiknya harga TBS Lokal dan CPO Global dan meningkatnya kredit perkebunan kelapa sawit. Sedangkan meningkatnya kinerja di sektor konstruksi dipengaruhi oleh peningkatan realisasi belanja pemerintah yang mana hal ini juga tercermin dari meningkatnya volume konsumsi semen. Sementara itu, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran ditunjukkan oleh peningkatan durable goods serta meningkatnya indeks pembelian barang tahan lama sejalan dengan momentum perayaan Idul Fitri dan liburan sekolah. Laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tertahan oleh kontraksi sektor pertambangan dan penggalian seiring dengan semakin 2

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif menurunnya kinerja lifting migas serta melambatnya industri pengolahan akibat melambatnya permintaan negara mitra dagang serta fluktuasi harga komoditas internasional. Perkembangan berbagai indikator ekonomi terkini mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau triwulan III 216 Memasuki triwulan III 216, perkembangan berbagai indikator ekonomi mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan. Kegiatan konsumsi diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring terjaganya daya beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen yang disertai dengan kenaikan kredit konsumsi dan pembelian durable goods. Sementara itu, kegiatan investasi juga diindikasikan membaik sejalan dengan monitoring anggaran secara lebih intensif untuk mempercepat realisasi proyek infrastruktur strategis di Riau. Kegiatan investasi swasta juga diperkirakan membaik yang tercermin pada meningkatnya konsumsi semen dan indikator likert scale realisasi dan perkiraan investasi. Seiring dengan mandatori campuran 2% biodiesel ke dalam bahan bakar berpotensi meningkatkan penyerapan produk industri pengolahan sawit di Riau. Pertumbuhan ekonomi sektoral bersumber dari meningkatnya kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan dan konstruksi. Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan diperkirakan meningkat seiring dengan adanya pergeseran musim panen dan semakin gencarnya program pemerintah di sektor pertanian berupa intensifikasi dan perluasan areal tanam. Periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru juga diperkirakan turut mendorong peningkatan aktivitas di sektor perdagangan pada periode laporan. Sementara itu kinerja sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam seiring dengan penurunan lifting migas Riau. Secara keseluruhan tahun 216, indikasi perbaikan ekonomi masih cukup kuat seiring dengan membaiknya harga komoditas perkebunan meskipun masih terbatas, serta realisasi proyek infrastruktur strategis pemerintah yang terus ditingkatkan. II. ASSESMEN INFLASI DAERAH Inflasi Provinsi Riau pada triwulan II 216 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I 216 sebesar 4,42% (yoy) Inflasi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan I-216 yang tercatat sebesar 4,42% (yoy). Kondisi ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan penurunan dari 4,45% pada triwulan I-216 menjadi 3,45% pada triwulan 3

Ringkasan Eksekutif II-216. Jika dibandingkan dengan rata-rata historis 5 tahun terakhir 211-215, inflasi Riau pada triwulan I dan II-216 masih tercatat lebih rendah. Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua komponen terutama volatile food seiring koordinasi aktifnya TPID Riau Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua komponen terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya pasokan dan tidak terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, dan instansi terkait lainnya, antara lain sidak dan operasi pasar untuk komoditas beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi serta pemberian himbauan (moral suasion) secara aktif kepada beberapa elemen masyarakat. Selain itu, penurunan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price akibat penurunan harga bahan bakar dan penyesuaian tariff listrik untuk beberapa golongan pelanggan pada triwulan laporan. Disisi lain, penurunan tekanan inflasi dari kelompok inti bersumber dari menurunnya harga bahan bangunan seperti batu bata dan semen, serta menurunnya harga laptop/notebook seiring dengan relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 216. Inflasi tahunan tertinggi terjadi di Kota Dumai, diikuti Tembilahan dan Pekanbaru Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai mencapai 3,2% (yoy), diikuti oleh Tembilahan dan Pekanbaru masing-masing 2,63% (yoy) dan 1,65% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan I-216 yang masing-masing tercatat sebesar 4,84% (yoy), 4,% (yoy) dan 4,39% (yoy). Hal ini juga menunjukkan bahwa disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil. III. ASSESMEN KEUANGAN PEMERINTAH Realisasi anggaran pendapatan pemerintah Riau di triwulan II 216 secara umum lebih baik jika dibandingkan triwulan I 216. Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 216 secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 215. Dari sisi pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,72 triliun pada tahun 215 menjadi Rp7,58 triliun pada tahun 216. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) migas seiring dengan semakin menurunnya lifting migas. Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 216 relatif meningkat 4

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif dibandingkan tahun 215 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari Rp1,68 triliun pada tahun 215 menjadi Rp1,97 triliun pada tahun 216. Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga triwulan II 216 secara umum lebih baik dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan II 216 Anggaran Pendapatan Daerah telah terealisasi sebesar 43,3% dari total yang dianggarkan, sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah telah mencapai 23,5% dari total yang dianggarkan. IV. ASSESMEN STABILITAS KEUANGAN DAERAH DAN PENGEMBANGAN EKONOMI Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II- 216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan I-216. Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II-216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), namun hal ini berbanding terbalik dengan penyaluran Kredit Bank Umum pada triwulan II-216 yang tercatat sebesar Rp58,33 triliun, tumbuh sebesar 7,98% (yoy), lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tumbuh sebesar 7,35%(yoy) seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, aset perbankan triwulan II-216 tercatat mencapai Rp88,4 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 6,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 11,28% (yoy). Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp66,52 triliun, juga menurun dari kontraksi 5,77% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 6,66% (yoy) pada triwulan II 216. Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 88,89% yang sebelumnya di triwulan I-216 tercatat sebesar 89,88%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 1% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. 5

Ringkasan Eksekutif Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 216 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 216 masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 23,3% dan 21,88% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp13,43 triliun dan Rp12,76 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan II- 216 sedikit membaik jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan II-216 sedikit membaik jika dibandingkan dengan triwulan I 216. Membaiknya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke sektor perumahan yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya. Membaiknya realisasi kredit konsumsi pada triwulan laporan diperkirakan didorong oleh daya beli masyarakat yang mulai membaik ditengah perbaikan harga komoditas. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 216 meningkat dibandingkan triwulan I 216. Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp2,63 triliun pada triwulan II 216, meningkat 2,8% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar,48%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau mengalami sedikit penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 35,39% menjadi 35,38%. Kinerja perbankan syariah tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara, kinerja BPR/S menunjukkan perlambatan. Aset BPR/S tercatat tumbuh membaik dibandingkan triwulan I 216. Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan I-216. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,75 triliun meningkat sebesar 19,12% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I- 216 yang tumbuh sebesar 6,78% (yoy). Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp1,25 triliun, tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan I-216 yaitu dari 4,71% (yoy) menjadi 5,61% (yoy) pada triwulan II-216. Sementara, 6

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif DPK BPR/S pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp911 miliar, tumbuh 6,31% (yoy) membaik dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). V. ASSESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II 216 mengalami net outlow Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II 216 mengalami net outlow, sejalan dengan kondisi yang terjadi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh peningkatan outflow dan penurunan inflow, akibat seasonal factor meningkatnya konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan di triwulan II 216. Kondisi tersebut ditambah dengan meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki musim liburan sekolah. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun volume. Secara berkala Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar (fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat. Selain itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas keliling wholesale untuk perbankan dan kas keliling retail untuk melayani masyarakat umum. Bank Indonesia secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciriciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat di beberapa daerah termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli. 7

Ringkasan Eksekutif VI. ASSESMEN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Perkembangan ketengakerjaan dan kesejahteraan daerah di awal tahun 216 terindikasi membaik. Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada tahun 216 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 215 menjadi 5,94% di tahun 216. Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari penurunan persentase jumlah penduduk miskin dibanding julah penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada Maret 215 menjadi 7,98% pada Maret 216. VII. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-216 diperkirakan tumbuh meningkat pada kisaran 2.7+.5%(yoy) dengan tendensi ke arah batas atas Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan III-216 secara umum diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.7+.5%(yoy) dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari seluruh komponen baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang mengalami perbaikan kinerja dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I dan triwulan II tahun 216. Pertumbuhan ekonomi triwulan III 216 diperkirakan ditopang oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan perbaikan ekspor Ditinjau dari sisi penggunaan, pertumbuhan pada triwulan III 216 diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada triwulan III 216 (Juli dan Agustus) di Provinsi Riau menunjukkan adanya tren peningkatan. Peningkatan optimisme konsumen tersebut diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi sampai dengan 6 bulan yang akan datang, terutama espektasi terhadap penghasilan dan konsumsi durable goods meskipun masih terbatas. Sementara itu konsumsi 8

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Ringkasan Eksekutif pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai meningkatnya realisasi APBD pada triwulan III 216 meskipun dengan alokasi pendapatan yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan III 216 diperkirakan membaik namun masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi di sisi sektoral utamanya diperkirakan bersumber dari subsektor perkebunan dan industri pengolahan Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan membaik dibandingkan triwulan I dan triwulan II 216. Faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Kurang optimalnya produksi sawit pada awal tahun 216 karena tertundanya pemupukan pada saat kondisi asap pada semester II 215, diperkirakan akan terus mulai membaik pada triwulan III 216. Selain itu mulai meningkatnya harga TBS lokal dan meningkatnya permintaan domestik CPO (termasuk penyerapan untuk produk turunan), serta mulai berproduksinya beberapa lahan replanting mendorong laju pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan akan meningkat yang didorong oleh perbaikan harga komoditas internasional, meningkatnya kinerja industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas dan batubara menjadi faktor yang menahan pertumbuhan Inflasi Riau pada triwulan III-216 diperkirakan berada pada kisaran 3.15+.5% (yoy) Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung mengalami peningkatan, yaitu berada pada kisaran 3.15+.5% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi disebabkan peningkatan harga bahan makanan yang cukup tinggi pada awal triwulan III 216. Adapun capaian inflasi hingga akhir tahun 216 diperkirakan berada pada kisaran 3,95 +.5% (yoy), masih berada di dalam sasaran inflasi nasional 216 sebesar 4±1% (yoy). Beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi antara lain menguatnya kemungkinan terjadinya la nina yang berpotensi menganggu produksi daerah sentra pertanian. Sementara itu, faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah yaitu perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices. 9

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Bab 1 ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH 1. KONDISI UMUM Perekonomian Riau pada triwulan II 216 mengalami pertumbuhan positif, yaitu sebesar 2,4% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan I 216 yang tercatat sebesar 2,32% (yoy) serta lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun 215 yang tercatat kontraksi 2,13% (yoy). Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi tanpa migas Riau triwulan II 216 tercatat sebesar 4,8% (yoy), mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,49% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan Sumatera yang juga tercatat meningkat masing-masing dari 4,92% (yoy) dan 4,18% (yoy) pada triwulan I 216 menjadi 5,18% (yoy) dan 4,49% (yoy) pada triwulan II-216 (Grafik 1.1). 1

Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) % 6.5 5.5 4.5 3.5 2.5 1.5.5 (.5) (1.5) (2.5) Sumber: BPS Meningkatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 216 utamanya disebabkan oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti pengadaan listrik, gas juga mengalami peningkatan. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kinerja sektor-sektor tersebut di atas, sektor jasa perusahaan baik pendidikan, kesehatan dan lainnya serta administrasi pemerintahan, pertanahan, dan jaminan sosial juga tercatat mengalami peningkatan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Riau secara keseluruhan. Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan ekonomi tertahan oleh kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang semakin dalam, melambatnya industri pengolahan, menurunnya kinerja sektor pengadaan air, pengelolaan sampah dan perlambatan transportasi dan pergudangan serta real estate. Faktor yang mendorong meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit seiring dengan membaiknya harga TBS Lokal dan CPO Global dan meningkatnya kredit perkebunan kelapa sawit. Sedangkan meningkatnya kinerja di sektor konstruksi dipengaruhi oleh peningkatan realisasi belanja pemerintah yang mana hal ini juga tercermin dari meningkatnya volume konsumsi semen. Sementara itu, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran ditunjukkan oleh peningkatan durable goods serta meningkatnya indeks pembelian barang tahan lama sejalan dengan momentum perayaan Idul Fitri dan liburan sekolah. Laju Pertumbuhan PDRB (% yoy) I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Nasional 5.14 4.96 4.97 5.4 4.73 4.66 4.74 5.4 4.92 5.18 Sumatera 5.3 4.55 4.52 4.2 3.47 2.98 3.13 4.56 4.18 4.49 Riau 4.5 2.83 2.61 1.39 (. (2.1 (1.3 4.45 2.32 2.4 Dari sisi penggunaan, peningkatan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor. Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan 11

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional triwulan I 216. Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan juga didorong oleh peningkatan investasi yang terelaksasi dengan peningkatan konsumsi semen, realisasi investasi PMA dan PMDN serta likert scale realisasi dan perkiraan investasi triwulan II 216. Sedangkan meningkatnya ekspor terutama akibat meningkatnya permintaan komoditas pulp semakin mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Riau triwulan laporan. 2. PDRB SISI PENGGUNAAN Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau triwulan II 216 bersumber dari meningkatnya konsumsi pemerintah, investasi, dan perbaikan ekspor. Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat tumbuh meningkat dibandingkan triwulan I 216. Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif. Selain itu meningkatnya pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan laporan juga didorong oleh peningkatan investasi seiring dengan masih berlanjutnya investasi pelaku usaha dan proyek infrastruktur strategis pemerintah. Sedangkan meningkatnya ekspor terutama akibat meningkatnya permintaan komoditas pulp semakin mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Riau triwulan laporan. Disisi lain, perlambatan konsumsi rumah tangga dan peningkatan impor menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan ekonomi triwulan II 216. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) Komponen Pengeluaran 214 Growth (% yoy) Kontribusi Pertumbuhan (%) 215 216 216 215 214 215 I II III IV I II Tw 1 Tw 2 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 7.23 6. 6.36 5.92 5.56 5.95 6.41 5.8 2.11 2.4 2.31 2.8 2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 15.44 (.7) (1.61).7 2.9.29 2.89 3.14.6..1.1 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (3.8) 2.27 1.17 3.3 7.39 3.75 (1.69) 6.88 -.9.14 -.5.26 4. Pembentukan M odal Tetap Bruto 1.81 1.61 2.4 5.31 6.79 4.6 2.96 3.9.45 1.23.95 1.1 5. Ekspor Luar Negeri 4.82 (3.63) (17.75) (9.55) 1.96 (15.27) (4.68) (9.11) 1.86-4.96-1.24-2.47 6. Impor Luar Negeri (13.1) (7.1) (8.25) (17.42) 4.17 (7.65) (3.47) 15.63 -.51 -.29 -.14.65 7. Net Ekspor Antar Daerah 26.49 (83.4) (63.82) (983.21) 15.62 (59.89) (23.18) (78.64).86 -.95 -.93-1.91 PDRB 2.7 (.1) (2.13) (1.38) 4.45.22 2.32 2.4 2.7.22 2.32 2.4 Sumber: BPS Provinsi Riau 12

Kondisi Ekonomi Makro Regional 2.1. Konsumsi Konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan II 216 tercatat sebesar 5,8% (yoy), melambat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 6,41% (yoy). Melambatnya konsumsi rumah tangga dipengaruhi pula oleh harga Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Survei Ekspektasi Konsumen Riau 16 15 14 13 12 11 1 9 8 komoditas internasional dan 7 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II 211 212 213 214 215 216 IKK IKE IEK Garis 1 permintaan negara mitra dagang Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia yang belum stabil sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat yang mayoritas bekerja di subsektor perkebunan kelapa sawit. Perlambatan konsumsi rumah tangga ini juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Keyakinan Ekonomi (IKE) yang berada pada level pesimis (di bawah batas 1) (Grafik 1.2) serta menurunnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) triwulan II 216. Pada triwulan II 216, IKK tercatat sebesar 94,97% atau lebih rendah di bandingkan triwulan I 216 sebesar 96,91%. Disisi lain, IEK juga tercatat mengalami penurunan dari 11,76% pada triwulan sebelumnya menjadi 11,66% pada triwulan laporan. Menurunnya Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini di sebabkan oleh menurunnya Indeks Penghasilan Konsumen pada level 11,5% triwulan II 216, lebih rendah dibandingkan triwulan lalu yang mencapai 19,16%. Selain itu, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang berada pada level pesimis 57,61% bahkan lebih rendah dibandingkan triwulan I 216 sebesar 58,8%. Hal ini secara langsung mempengaruhi Indeks Kegiatan Usaha Konsumen ke depan yang berada pada level 11,22%, menurun dibandingkan triwulan lalu sebesar 115,42% (Grafik 1.3). Menurunnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi saat ini juga terindikasi dari Kredit Konsumsi yang tumbuh melambat secara tahunan (Grafik 1.4) serta melambatnya kredit rumah tangga khususnya Kredit Kendaraan Bermotor (Grafik 1.5) yang terelaksasi pula pada Indeks Suku Cadang dan Aksesori berdasarkan hasil Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (Grafik 1.6). 13

Rp. Miliar Persen (%) Rp Triliun Persen (%) E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini Grafik 1.4. Kredit Konsumsi 16 25 3 14 12 1 8 6 4 2 15 1 25 2 15 1 2 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II 213 214 215 216 Indeks Kegiatan Usaha Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Garis 1 Indeks Penghasilan Konsumen 5 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Kredit Konsumsi g - yoy (kanan) 5 Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Sumber: LBU Bank Indonesia Grafik 1.5. Kredit Kendaraan Bermotor 6 5 4 3 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Kendaraan Sumber : LBU Bank Indonesia g - yoy (kanan) 25 2 15 1 5-5 -1-15 -2-25 Grafik 1.6. Indeks Suku Cadang dan Aksesori 14 13 12 11 1 9 8 Suku Cadang dan Aksesori 7 Indeks Total 6 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Sumber : Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia Sementara itu, konsumsi pemerintah pada triwulan laporan masing-masing tercatat tumbuh sebesar 3,14% (yoy) dan 6,88% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 216 yang masing-masing tercatat sebesar 2,89% (yoy) dan kontraksi 1,69% (yoy). Meningkatnya konsumsi pemerintah didukung oleh monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif sehingga mendorong realisasi triwulan II 216 yang relatif lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. (Tabel 1.1). Realisasi belanja pemerintah pada triwulan II 216 tercatat sebesar 23,5% atau Rp 2,58 triliun, lebih tinggi jika dibandingkan triwulan II 215 yang tercatat sebesar 13,21% atau sebesar Rp 1,41 triliun. Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau Uraian Triwulan II 215 Triwulan II 216 Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Pendapatan Daerah 8.721,57 3.768,55 43,21% 7.588,65 3.265,4 43,3% Belanja Daerah 1.683,97 1.411,56 13,21% 1.972,7 2.578,12 23,5% Pembiayaan Daerah 1.962,4,75,4% 3.383,43 3.131,9 92,57% Surplus / (Defisit) -1.962,4 2.356,99-12,11% -3.383,43 686,91-2,3% Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau 14

Kondisi Ekonomi Makro Regional 2.2. Investasi (PMTB) Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan II 216 tercatat sebesar 3,9% (yoy), meningkat jika dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar 2,96% (yoy). Kondisi ini didukung oleh meningkatnya realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Realisasi PMDN triwulan II 216 tercatat sebesar Rp2,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar Rp1,34 triliun (Grafik 1.7). Sedangkan realisasi PMA triwulan II 216 tercatat sebesar USD 42 ribu, meningkat sangat signifikan dibandingkan realisasi triwulan I 216 yang tercatat hanya sebesar USD 42,46 ribu (Grafik 1.8). Kondisi ini dipengaruhi oleh optimisme pelaku usaha terhadap kondisi pertumbuhan ekonomi ke depan di tengah upaya untuk mempercepat proyekproyek infrastruktur pemerintah. Grafik 1.7. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau USD Ribu Realisasi PMDN growth (yoy) % yoy 4,5, 6 4,, 5 3,5, 4 3,, 3 2,5, 2 2,, 1,5, 1 1,, 5, -1 - -2 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau USD Ribu 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, - % yoy Realisasi PMA Realisasi PMDN 35 3 25 2 15 1 5-5 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Kegiatan investasi PMDN di Riau utamanya bersumber dari kegiatan investasi di industri makanan, kimia dasar dan pertambangan, sedangkan PMA di provinsi Riau didominasi oleh investasi di bidang pertambangan, kimia dasar, dan farmasi, perdagangan dan reparasi serta jasa lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau, jumlah investor PMA dan PMDN di Riau terus meningkat dan perusahaan tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja baik Tenaga Kerja Indonesia maupun Asing (Tabel 1.3). Tabel 1.3. Jumlah Investor dan Tenaga Kerja PMA & PMDN di Riau PMA PMDN Uraian 216 216 I II I II Jumlah Perusahaan 52 152 38 114 Tenaga Kerja Indonesia 894 1257 149 225 Tenaga Kerja Asing 11 12 11 22 Sumber : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi Riau 15

ribu ton % ribu ton % E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional 2.3. Ekspor dan Impor 2.3.1. Ekspor Kinerja net ekspor Provinsi Riau pada triwulan II 216 tercatat tumbuh sebesar,3% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi sebesar 1,65% (yoy). Perbaikan net ekspor bersumber dari peningkatan ekspor antar daerah yang sebelumnya tumbuh 39,8% (yoy) menjadi 15,89% (yoy) pada triwulan II 216. Tabel 1.4. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) Jenis 215 (ribu ton) 216 Pangsa (%) yoy (%) 215 I II III IV I II I-16 II-16 I-16 II-16 Makanan dan Hewan Bernyawa 426.3 378.3 398.85 53.7 1,733.24 385.27 343.4 9.21 7.97 (9.57) (9.23) Tembakau dan Minuman 6.89 9.54 5.53 5.97 27.93 7.47 8.26.18.19 8.38 (13.41) Barang Mentah 741.56 711.78 737.73 729.47 2,92.53 685.76 774.12 16.39 17.96 (7.52) 8.76 Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 28.2 53.34 15.37 22.16 119.6 4.8 23.15.96.54 42.1 (56.59) Minyak dan Lemak Nabati 2,613.93 3,43.66 3,4.55 3,541.13 12,563.28 2,455.28 2,562.86 58.69 59.45 (6.7) (24.7) Bahan Kimia 118.96 171.17 114.89 136.84 541.85 172.27 169.38 4.12 3.93 44.81 (1.4) Barang Manufaktur 412.5 396.91 42.91 413.11 1,643.43 437.4 429.92 1.45 9.97 6.4 8.32 Mesin dan Peralatan -....1.29.18.1... Hasil Olahan Manufaktur...1..1 - - - - (1.) (1.) Koin, bukan mata uang - - - - - - - - - - - Total 4,348.7 5,124.7 4,697.83 5,378.75 19,549.34 4,183.82 4,311.28 1. 1. (3.78) (15.87) Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Berdasarkan hasil liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau, peningkatan ekspor terutama bersumber dari komoditas pulp seiring dengan proyeksi peningkatan produksi pulp salah satu pemain besar di industri ini yang mencapai di atas 1% (Grafik 1.1). Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau 3,5 3, 2,5 2, 1,5 1, 5 Vol (kiri) yoy (kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 8. 6. 4. 2. - (2.) (4.) 9. 8. 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1. Grafik 1.1. Perkembangan Volume Ekspor Pulp Riau - Vol (kiri) yoy (kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 4. 3. 2. 1. - (1.) (2.) Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah 16

ribu ton % ribu ton % KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau 5. 45. 4. 35. 3. 25. 2. 15. 1. 5. - Vol (kiri) yoy (kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah 6. 4. 2. - (2.) (4.) (6.) (8.) (1.) (12.) Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau 4. 3.5 3. 2.5 2. 1.5 1..5 - Vol (kiri) yoy (kanan) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah 25 2 15 1 5-5 -1 Meningkatnya ekspor juga dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas global. Namun perbaikan ekspor ini masih relatif terbatas karena gejolak ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut (Grafik 1.13 dan 1.14) sehingga berdampak terhadap permintaan komoditas utama. 5, 45, 4, 35, 3, 25, 2, 15, 1, 5, - Grafik 1.13 Ekspor CPO Dunia (Juta MT) Grafik 1.14. Pertumbuhan Ekspor dan Indeks Dollar Other Benin Thailand Papua New Guinea Malaysia Indonesia Sumber: United States Department of Agriculture Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia Berdasarkan negara tujuan ekspornya, peningkatan ekspor pada triwulan laporan terutama berasal dari India yang tercatat sebesar 677 ribu ton, meningkat 29,18% (qtq) dibandingkan triwulan I 216 yang hanya mencapai 524 ribu ton. Namun peningkatan ekspor tertahan oleh melemahnya permintaan dari Eropa yang diperkirakan melambat akibat BREXIT meskipun jika dilihat dari pangsa ekspor Riau ke Inggris relatif kecil namun kondisi BREXIT tersebut memberikan dampak terhadap ekonomi negara mitra dagang Riau (Grafik 1.15). \ 17

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan 6, 5, 4, 3, 2, 1, - 1,343 1,257 734 563 783 733 511 481 1,433 1,457 1,83 1,657 1,558 1,667 6 91 842 922 787 675 644 585 658 851 662 814 835 818 635 69 92 92 1,617 1,892 1,717 573 691 598 432 651 538 589 548 651 1,988 759 518 99 786 762 1,78 1,34 678 759 766 1,24 965 78 869 942 1,985 592 58 51 2,228 1,89 57 587 637 66 798 644 1,928 756 787 72 981 896 - - 622 55 524 677 681 891 971 1,188 773 797 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Cina India ASEAN MEE Lainnya Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah 2.3.2. Impor Perkembangan impor Riau pada triwulan II 216 tercatat sebesar 8,19% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat tumbuh 1,56% (yoy). Peningkatan kinerja impor terutama disebabkan oleh meningkatnya impor luar negeri 15,63% (yoy) terjadi setelah mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 3,47% (yoy). Peningkatan impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan utamanya bersumber dari peningkatan impor non migas yang tercatat tumbuh 161,73% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi sebesar 7,39% (yoy) sebagaimana yang ditunjukkan Grafik 1.16. Jika dilihat dari jenis barang non migas yang diimpor, barang modal dan intermedier (Grafik 1.17 dan Grafik 1.18) tercatat mengalami peningkatan masingmasing mencapai 125,8% (yoy) dan 163,59% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan lalu yang masing-masing mengalami kontraksi sebesar 69,58% (yoy) dan 9,11% (yoy). Meningkatnya impor juga dipengaruhi oleh penguatan nilai tukar rupiah yang pada triwulan II 216 secara rata-rata tercatat sebesar Rp13.317,/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah pada triwulan I 216 sebesar Rp13.527,/USD. Namun peningkatan impor ini tertahan oleh melambatnya impor barang konsumsi sebesar 23,34% (yoy) seiring dengan melambatnya konsumsi rumah tangga (Grafik 1.19). 18

Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.16. Perkembangan Impor Non Migas Riau Grafik 1.17. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau Ribu Ton Volume (ribu ton) growth (rhs) yoy,% 16 2 14 15 12 1 1 8 5 6 4 2-5 -1 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 ribu Ton Barang Modal(lhs) yoy (rhs) 12 1 8 6 4 2 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 % 8 7 6 5 4 3 2 1 - (1) (2) Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ribu Ton Barang intermedier (lhs) yoy (rhs) 1,6 1,4 1,2 1, 8 6 4 2 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 2 15 1 5 - % (5) Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ribu Ton Barang Konsumsi (lhs) yoy (rhs) 4 35 3 25 2 15 1-5 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 6 5 4 3 2 1 - % (1) (2) Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah 3. PDRB SEKTORAL Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan II 216 secara umum menunjukkan peningkatan. Peningkatan kinerja terjadi di tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan besar eceran. Meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian berasal dari peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit seiring dengan membaiknya harga TBS Lokal dan CPO Global dan meningkatnya kredit perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, meningkatnya kinerja di sektor konstruksi tercermin dari meningkatnya kredit konstruksi dan volume konsumsi semen yang pada triwulan II 216 tercatat sebanyak 379.929 ton, sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 373.842 ton. Selain itu, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran ditunjukkan oleh peningkatan durable goods serta meningkatnya indeks pembelian barang tahan lama. 19

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Selain itu, sektor jasa perusahaan baik pendidikan, kesehatan dan lainnya serta administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial juga tercatat mengalami peningkatan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Riau secara keseluruhan. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tertahan oleh kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang semakin dalam, melambatnya industri pengolahan, menurunnya kinerja sektor pengadaan air, pengelolaan sampah dan perlambatan transportasi dan pergudangan serta real estate. Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) Growth (% yoy) Kontribusi Pertumbuhan (%) Uraian 215 216 215 216 214 215 215 I II III IV I II IV I II Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.21 7.28-4.54-7.62 8.24.35 3.18 4.31 1.85.8.73.99 Pertambangan dan Penggalian -5.28-8.43-7.62-6.7-5.5-6.91-2.95-4.35-1.64-2.12 -.86-1.23 Industri Pengolahan 5.63 -.48.94 4.28 9.58 3.61 5.4 4.62 2.32.86 1.31 1.13 Pengadaan Listrik, Gas 6.81 8.32 8.67 8.51 1.18 6.43 14.66 17.24...1.1 Pengadaan Air 1.6-2.9 3.1 2.55 7.1 2.41 2. -1.49.... Konstruksi 8.46 4.59 5.7 8.6 7.69 6.39 3.84 4.87.63.51.31.4 Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor 3.82 1.36.57.58 3.97 1.63 4.93 5.98.36.14.46.56 Transportasi dan Pergudangan 7.99 4.29 4.58 5.69 6.85 5.38 4.52 4.46.5.4.4.4 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.97 1.8-2.17 -.3 8.75 1.89 5.47 6.1.5.1.3.3 Informasi dan Komunikasi 5.64 8.88 7.7 5.26 6.9 7.15 4.21 5.19.4.4.3.3 Jasa Keuangan 4.93 5.84-3.44 -.11 -.69.35 1.83 8.41 -.1..2.8 Real Estate 5.32 7.4 7.91 8.38 9.98 8.34 1.91.51.8.7.2. Jasa Perusahaan 12.84 6.98 7.9 8.31 8.25 7.67.19 1.34.... Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos. 1.53 1.38 6.8 5.92 4.21 4.39-5.7.2.7.7 -.7. Jasa Pendidikan 5.9 6.29 6.47 8.91 3.94 6.35.63 2.64.2.3..1 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8.4 11.68 8.92 11.6 8.26 9.94.17 1.3.2.2.. Jasa lainnya 11.14 8.41 9.55 11.2 11.24 1.14 5.65 6.27.5.4.3.3 PDRB 2.7 -.1-2.13-1.38 4.45.22 2.32 2.4 4.45.22 2.32 2.4 PDRB Tanpa Migas 5.92 2.83 -.57 -.28 6.2 2.1 3.49 4.8 6.2 2.1 3.49 4.8 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah 3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan II 216 tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,31% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I 216 sebesar 3,18% (yoy). Sejalan dengan subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian, kinerja subsektor kehutanan dan penebangan kayu serta subsektor perikanan juga tercatat meningkat masing-masing dari 6,55% (yoy), kontraksi 3,1% (yoy) dan,33% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 5,91% (yoy), kontraksi 7,1% (yoy) dan,9% (yoy). 2

% Rp Triliun Persen (%) KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Meningkatnya kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan laporan terindikasi dari meningkatnya harga CPO Global dan TBS Lokal akibat menurunnya jumlah produksi seiring terjadinya La Nina. Selain CPO dan TBS, harga karet juga menunjukkan tren meningkat. Pada dasarnya beberapa faktor yang menyebabkan volatilitas harga komoditas dunia ini, antara lain kondisi ekonomi internasional, volume permintaan dan pasokan, fluktuasi nilai tukar dan pergerakan harga minyak dunia (Grafik 1.22 dan Grafik 1.23). 6. 5. 4. 3. 2. 1. - Grafik 1.2. Perkembangan Harga Karet Harga Karet (USD) Growth 12% 1% 8% 6% 4% Grafik 1.21. Perkembangan Harga Sawit 2% 14 % 13 12 TBS -2% 11 CPO (RHS) -4% I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 1 Rp/Kg Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw Tw 21 211 212 213 214 215 216 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 19 18 17 16 15 Tw Tw I II 21 211 212 213 214 215 216 14 12 1 8 6 4 2 $/MT Sumber: Bloomberg Sumber : Bloomberg Berdasarkan informasi dari contact liaison, peningkatan harga ini memberikan optimisme terhadap kinerja sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan ke depan (Grafik 1.24). Pada semester I 216, produktifitas sawit berada pada titik yang rendah seiring dengan terjadinya musim trek sehingga menyebabkan terbatasnya suplai TBS yang secara otomatis mendorong kenaikan harga TBS dan CPO. Selain itu, meningkatnya kinerja juga terindikasi dari perkembangan kredit perkebunan kelapa sawit (Grafik 1.25) berdasarkan lokasi bank yang secara nominal tercatat sebesar Rp 12,49 triliun atau tumbuh 15,51% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar Rp 11,59 triliun atau tumbuh 13,47% (yoy). Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian 2. 1.5 1..5. -.5-1. -1.5-2. Total I II III IV Total I II Sumber: BPS Provinsi Riau Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan 215 216 Axis Title Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit 14 12 1 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Kredit Kelapa Sawit Sumber : LBU Bank Indonesia g - yoy (kanan) 6 5 4 3 2 1 21

I II III IV I II III IV I II III IV Tw-I Tw-II E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional 3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan II 216 mengalami kontraksi sebesar 4,35% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi triwulan Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebelumnya sebesar 2,95% (yoy) (Grafik 1.26). Semakin dalamnya kontraksi terutama bersumber dari penurunan kinerja pertambangan minyak dan gas bumi yang pada triwulan I 216 tercatat kontraksi 2,77% (yoy), turun lebih dalam pada triwulan II 216 menjadi - Sumber: BPS Prov. Riau (diolah) 4,66% (yoy) sebagaimana yang ditunjukkan Grafik 1.28. Berdasarkan hasil survei dan liaison, penurunan tersebut disebabkan semakin berkurangnya cadangan minyak bumi dan keterbatasan perusahaan untuk melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak yang tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Kondisi ini juga tercermin dari pencapaian lifting minyak bumi Provinsi Riau yang hingga triwulan II 216 masih cenderung melanjutkan tren penurunan (Grafik 1.27). Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau SBT 6 4 2-2 -4 213 214 215 216-6 Sumber: Kementerian ESDM -8 Sumber: SKDU Bank Indonesia Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin menurun akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural declining) dan minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif 22

Kondisi Ekonomi Makro Regional di Provinsi Riau. Beberapa perusahaan pertambangan minyak berusaha menahan laju penurunan produksi melalui penggunaan alat-alat drilling berteknologi tinggi, seperti injeksi uap dan mulai melakukan uji coba bahan-bahan kimia seperti injeksi kuman serta bahan kimia lainnya agar dapat mengambil sisa-sisa minyak bumi namun tingginya biaya investasi tidak sebanding dengan harga minyak saat ini sehingga tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Selain itu, perusahaan minyak juga dihadapkan pada permasalahan perijinan antara lain meliputi ijin eksploitasi, ijin pengembangan sumur dan fasilitas produksi, serta ijin lingkungan (AMDAL) termasuk terkait pembuangan limbah, dimana terjadi tumpang tindih antara peraturan beberapa pihak berwenang. Di sisi lain, perbaikan kontraksi di sektor pertambangan dan penggalian bersumber dari perbaikan kinerja pertambangan batu bara yang semula tercatat kontraksi sebesar 24,44% (yoy), membaik pada triwulan laporan kontraksi 5,15% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, kondisi ini didorong oleh perkembangan harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan akibat menurunnya produksi batubara di Tiongkok dan Amerika Serikat sehingga perusahaan berupaya untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan. 3.3. Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan II 216 tumbuh 4,62% (yoy), melambat jika dibandingkan triwulan I 216 yang tumbuh sebesar 5,4% (yoy). Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan laporan didorong oleh beberapa subsektor berikut antara lain, kontraksi industri batubara dan pengilangan migas, industri karet, barang dari karet dan plastik dan perlambatan industri kayu dan industri makanan dan minuman (Grafik 1.29). Pada triwulan II 216 subsektor pertambangan dan pengilangan migas tercatat mengalami kontraksi,43% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang masih tumbuh 2,7% (yoy). Kontraksi industri batubara dan pengilangan migas pada triwulan laporan terjadi seiring dengan semakin berkurangnya cadangan minyak bumi. Subsektor lainnya yang mengalami kontraksi pada triwulan II 216 adalah industri karet, barang dari karet dan plastik sebesar -4,87% (yoy), menurun cukup signifikan dibandingkan triwulan I 216 yang masih tumbuh 5,89% (yoy). Kontraksi subsektor karet ini dipengaruhi oleh fluktuasi harga karet 23

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan dan minimnya pasokan bahan baku mengakibatkan kinerja perusahaan di subsektor industri pengolahan karet juga semakin menurun. Sementara itu, subsektor industri barang dari kayu, gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya pada triwulan laporan tercatat sebesar 3,77% (yoy), melambat dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar 4,95% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan dengan masih berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika terhadap produk kertas Indonesia Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan juga bersumber dari subsektor industri makanan dan minuman (Grafik 1.3) yang tercatat sebesar 5,53% (yoy), sedikit melambat dibandingkan triwulan I 216 sebesar 5,55% (yoy). Perlambatan kinerja industri pengolahan subsektor makanan dan minuman yang salah satunya adalah pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global turut menggoncang kinerja perusahaan. Grafik 1.27 Perkembangan Pertumbuhan Industri Pengolahan Grafik 1.28. Indeks Makanan, Minuman dan Tembakau Sumber : BPS Provinsi Riau 16 15 14 13 12 11 1 9 8 7 6 Makanan, Minuman dan Tembakau Indeks Total I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia 3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan II 216 tercatat meningkat dibandingkan triwulan I 216 yaitu dari 4,93% (yoy) menjadi 5,98% (yoy). Peningkatan pada sektor ini terutama didorong oleh peningkatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor 24

Rp Miliar Persen (%) KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional dan reparasinya serta perdagangan besar dan eceran yang pada triwulan laporan masing-masing tercatat sebesar 6,2% dan 5,96% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya masing-masing sebesar 5,46% dan 4,73% (yoy) sebagaimana Grafik 1.31. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang tercermin dari peningkatan Indeks Rata-rata Penggunaan Penghasilan Konsumen untuk pengeluaran barang transpor (Grafik 1.32) pada momentum Hari Raya Idul Fitri dan liburan sekolah. Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor Indeks 21 Grafik 1.3 Jenis Pengeluaran Rumah Tangga 19 17 15 13 11 9 7 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 213 214 215 216 Indeks Keyakinan Konsumen Pengeluaran Konsumsi Pengeluaran Barang Transpor Sumber: BPS Provinsi Riau Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Jika dilihat dari kredit perbankan, peningkatan pertumbuhan sektor perdagangan juga tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit durable goods berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau (Grafik 1.33) yang pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp 71,2 Miliar atau tumbuh 253,61% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar Rp 55.6 Miliar atau tumbuh 182,4% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kinerja sektor perdagangan besar dan eceran juga tercermin dari meningkatnya Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama (Grafik 1.34) triwulan II 216 yang berada pada level optimis 15,74% lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang berada pada level pesimis 81,2%. Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Durable Goods di Riau Grafik.1.32. Indeks Barang Tahan Lama 8 3 14 7 25 12 6 5 4 2 15 1 1 8 3 5 6 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216-5 -1 4 2 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Durable Goods Sumber: LBU Bank Indonesia g - yoy (kanan) 213 214 215 216 Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia 25

Rp Triliun Persen (%) ribu Ton E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL 3.5. Sektor Konstruksi Kondisi Ekonomi Makro Regional Kinerja sektor konstruksi pada triwulan II 216 tercatat sebesar 4,87% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 216 sebesar 3,84% (yoy). Meningkatnya realisasi investasi PMDN dan PMA serta semakin gencarnya pemerintah dalam merealisasikan proyek-proyek yang di biayai dengan APBD juga turut mendorong peningkatan kinerja sektor konstruksi pada triwulan laporan. Peningkatan kinerja sektor kontruksi tercermin dari meningkatnya realisasi penyaluran dan pertumbuhan kredit konstruksi berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau yang pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp 1,85 triliun, lebih tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 1,73 triliun (Grafik 1.35). Selain itu, indikator peningkatan volume realisasi konsumsi semen yang pada triwulan laporan mencapai 379.929 ton juga turut menjadi indikator pendukung meningkatnya kinerja sektor konstruksi. Meskipun tidak setinggi periode yang sama tahun sebelumnya, namun pencapaian volume konsumsi semen triwulan II 216 ini tercatat lebih tinggi di bandingkan realisasi triwulan I 216 sebanyak 373.842 ton (Grafik 1.36). Grafik.1.33. Kredit Konstruksi Grafik.1.34. Konsumsi Semen 2.5 1 6 % 5 2 8 5 4 1.5 1.5 6 4 2 4 3 2 1 3 2 1-1 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II -2 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II -2 212 213 214 215 216 21 211 212 213 214 215 216 Konstruksi g - yoy (kanan) Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan) Sumber: LBU Bank Indonesia Sumber: Asosiasi Semen Indonesia 4. ASESMEN PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN BERJALAN Memasuki triwulan III 216, perkembangan berbagai indikator ekonomi mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi Riau ke depan. Kegiatan konsumsi diindikasikan mengalami perbaikan meski masih terbatas seiring terjaganya daya beli dan sejalan dengan membaiknya ekspektasi konsumen yang disertai dengan kenaikan kredit konsumsi dan pembelian durable goods. Sementara itu, kegiatan investasi juga diindikasikan membaik sejalan dengan monitoring anggaran secara 26

Kondisi Ekonomi Makro Regional lebih intensif untuk mempercepat realisasi proyek infrastruktur strategis di Riau. Kegiatan investasi swasta juga diperkirakan membaik yang tercermin pada meningkatnya konsumsi semen dan indikator likert scale realisasi dan perkiraan investasi. Seiring dengan mandatori campuran 2% biodiesel ke dalam bahan bakar berpotensi meningkatkan penyerapan produk industri pengolahan sawit di Riau. Di sisi sektoral, kinerja sektor pertanian diperkirakan meningkat seiring dengan adanya pergeseran musim panen dan semakin gencarnya program pemerintah di sektor pertanian berupa intensiikasi dan perluasan areal tanam. Periode liburan sekolah dan tahun ajaran baru juga diperkirakan turut mendorong peningkatan aktivitas di sektor perdagangan pada periode laporan. Sementara itu kinerja sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan mengalami kontraksi lebih dalam seiring dengan penurunan lifting migas Riau. Secara keseluruhan tahun 216, indikasi perbaikan ekonomi masih cukup kuat seiring dengan membaiknya harga komoditas perkebunan meskipun masih terbatas, serta realisasi proyek infrastruktur strategis pemerintah yang terus ditingkatkan. Tabel 1.6. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Tw III 216 Uraian Tendensi Asesmen Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Rumah Tangga Perbaikan konsumsi rumah tangga, pemerintah, investasi, ekspor Perayaan Hari Raya Idul Fitri, persepsi membaiknya penghasilan konsumen Konsumsi Pemerintah Investasi (PMTB) Ekspor Impor Monitoring realisasi anggaran yang lebih intensif Ekspansi investasi existing, maintenance, berlanjutnya proyek infrastruktur strategis Perbaikan harga komoditas internasional, kerjasama internasional, rencana peningkatan produksi pulp Penguatan nilai tukar, membaiknya daya beli masyarakat 27

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional 4.1. PDRB SISI PENGGUNAAN Seiring dengan perkembangan indikator terkini, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan ini utamanya didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan perbaikan ekspor. 4.1.1 Konsumsi Peningkatan pendapatan akibat ekspektasi membaiknya harga komoditas perkebunan dan meningkatnya realisasi anggaran pemerintah daerah mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. 16 15 14 13 12 11 1 9 8 Grafik 1.35. Indeks Survei Konsumen Adapun faktor-faktor yang dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga antara lain adalah 7 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Agt 211 212 213 214 215 216 IKK IKE IEK Garis 1 Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia perayaan Idul Fitri, libur sekolah dan tahun ajaran baru serta persepsi akan membaiknya penghasilan mendorong realisasi konsumsi masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang berpotensi menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah lebih rendahnya alokasi pendapatan tahun 216 sehingga mengurangi optimalisasi penggunaan anggaran serta adanya kebijakan penyesuaian tarif listrik golongan tertentu dan menurunnya harga minyak mentah yang dapat menekan perbaikan harga komoditas global. Sementara itu, adanya monitoring anggaran yang lebih intensif diharapkan mendorong realisasi konsumsi pemerintah yang lebih baik. Monitoring ini merupakan salah satu faktor pendorong utama meningkatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah. Namun demikian, tertekannya pertumbuhan konsumsi pemerintah dapat bersumber dari sikap pemerintah yang semakin hati-hati dalam menggunakan anggaran dan adanya regulasi yang menghambat realisasi bantuan sosial dan hibah. 28

Kondisi Ekonomi Makro Regional 4.1.2 Investasi Indikator terkini menunjukkan peningkatan kinerja investasi seiring dengan meningkatnya investasi sektor swasta dan pemerintah meskipun ada kemungkinan bias ke bawah. Beberapa faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan investasi pada triwulan berjalan antara lain i) ekspansi investasi existing danprogram maintenance, ii) 2.5 2. 1.5 1..5. -.5-1. -1.5 Grafik 1.36. Likert Scale Investasi I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 29 21 211 212 213 214 215 216 Sumber: Liaison Bank Indonesia Investasi Perkiraan Investasi masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol, rehabilitasi bangunan, peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan dan pembangunan jalur kereta api Dumai-Bukit Kayu Kapur, iii) adanya penurunan suku bunga acuan diharapkan menurunkan tingkat suku bunga bank, iv) relaksasi LTV diharapkan meningkatkan KPR (investasi sektor konstruksi) dan v) insentif tax amnesty diharapkan mendorong peningkatan masuknya dana segar sehingga dapat meningkatkan kapasitas permodalan. Adapun faktor lain yang berpotensi menahan pertumbuhan investasi di Riau pada triwulan III 216 adalah sikap pelaku usaha yang cenderung wait and see terkait perkembangan harga komoditas yang belum optimal, belum maksimalnya kapasitas utilisasi dan belum disahkannya RTRW sesuai dengan yang diharapkan pemerintah di Provinsi Riau. 4.1.3 Ekspor Ekspor pada triwulan III 216 diperkirakan meningkat meskipun masih dalam level terbatas. Perbaikan ekspor ini didukung oleh menurunnya produksi CPO Dunia sehingga menaikkan harga, Vietnam yang akan segera bergabung dengan International Tri-Partite Rubber Grafik 1.37. Perkiraan Harga 3 Bulan yad 2 19 18 17 16 15 14 13 12 11 1 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Agt 213 214 215 216 Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Commission (ITRC) dan diharapkan dapat mendorong perbaikan harga karet, 29

E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional penetapan bea keluar serta kontrak penjualan biodiesel periode Mei-Oktober 216 mendorong meningkatnya penjualan domestik, meningkanya produksi kertas dan tisu guna memenuhi permintaan buyer salah satu perusahaan besar di industri sejenis. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat menahan pertumbuhan ekspor Riau ke depan yaitu mulai diberlakukannya kebijakan compound rubber Tiongkok (max 88%) mulai 1 Juli 215 menurunkan demand dari Tiongkok, Black campaign CPO di kawasan Eropa, meningkatnya intensi proteksi industri dalam negeri maupun industri produk substitusi, pembatasan volume ekspor karet terkait kesepakatan tri partit (Indonesia, Malaysia, Thailand) untuk mendorong kenaikan harga dan kembali tertekannya harga minyak dunia menyebabkan perbaikan harga komoditas yang tidak optimal. 4.1.4 Impor Impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan II 216. Hal ini dipicu oleh meningkatnya daya beli masyarakat serta penguatan nilai tukar yang sudah terlihat sejak awal tahun 216. Namun masih belum optimalnya kapasitas utilisasi perusahaan di tengah gejolak ekonomi global berpotensi menahan laju impor. Grafik 1.38 Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Sumber: Bank Indonesia 3

Kondisi Ekonomi Makro Regional 4.2. PDRB SEKTORAL Perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan besar & eceran serta konstruksi. Peningkatan laju ekonomi sektoral diperkirakan tertahan oleh kontraksi sektor pertambangan yang semakin dalam. 4.2.1 Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Panen raya kedua tanaman pangan pada periode laporan diperkirakan mendorong membaiknya kinerja sektor ini. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan kinerja sektor ini antara lain adalah adanya kontrak penjualan biodiesel pemerintah dengan perusahaan di Riau serta program pemerintah yang cukup baik di bidang pertanian, antara lain: Intensifikasi dan perluasan areal tanam oleh Distan melalui peningkatan indeks pertanaman. Bantuan alsintan berupa traktor roda empat dan handtractor kepada petani. Program penanaman 284.417 hektare tanaman jagung pada tahun 216. Program pembagian kapal tangkap ikan bagi nelayan Perluasan area tanam bawang merah dengan jumlah insentif Rp37,5 juta per hektar. Adapun beberapa faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor pertanian antara lain i) bantuan benih Pajale yang belum sepenuhnya disalurkan (pertanian tabama), ii) belum disahkannya RTRW yang berdampak terhadap izin sertifikat lahan yang tidak bisa dikeluarkan sehingga bantuan dana untuk replanting kelapa sawit terhambat, ii) preferensi Tiongkok untuk mulai menggunakan kedelai dibandingkan dengan kelapa sawit seiring dengan berkembangnya industri peternakan serta selisih harga yang rendah dan iv) adanya libur lebaran menyebabkan petani enggan melakukan panen kelapa sawit akibat tutupnya beberapa petani kelapa sawit. 31

ribu barel/hari yoy,% USD/MT USD/Kg E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.39. Perkembangan Harga Sawit 8. 4.% 7. 3.% 6. 2.% 5. 1.% 4..% 3. -1.% 2. -2.% 1. -3.% - -4.% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8* 215 216 Sawit growth Sumber: Bloomberg Grafik 1.4 Perkembangan Harga Karet 2.5 5.%.% 2. -5.% 1.5-1.% -15.% 1. -2.% -25.%.5-3.% - -35.% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8* 215 216 Karet growth Sumber: Bloomberg 4.2.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian Subsektor pertambangan dan penggalian diperkirakan akan mengalami kontraksi yang semakin dalam. Adapun perbaikan saat ini diperkirakan bersifat sementara karena harga yang relatif membaik. Namun berdasarkan kondisi secara alamiah, lifting migas mengalami penurunan Grafik 1.41. Lifting Migas Lifting (LHS) growth (RHS) 45. 5. 4. - 35. 3. (5.) 25. (1.) 2. 15. (15.) 1. (2.) 5. - (25.) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II Agt 211 212 213 214 215 216 Sumber: Kementerian ESDM seiring dengan cadangan minyak yang semakin berkurang dan usia sumur yang tua serta keterbatasan untuk melakukan eksplorasi baru. Akibatnya, produksi migas secala alami turun sekitar 8-12% per tahun namun dengan investasi yang dilakukan penurunan dapat ditekan menjadi 6-7%. Namun dengan kondisi saat ini, perusahaan tidak mungkin melakukan investasi baru akibat harga yang tidak memenuhi nilai keekonomisan atau tidak dapat menutupi biaya investasi yang tergolong besar. Selain itu eksplorasi sumur baru juga menghadapi kendala perijinan terutama izin amdal. 32

USD/Ton USD/bbl KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Grafik 1.42. Perkembangan Harga Batubara 6..% 5. -5.% 4. -1.% Grafik 1.43 Perkembangan Harga Minyak WTI 7. 1.% 6..% 5. -1.% 3. -15.% 4. -2.% 2. -2.% 3. -3.% 1. - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8* 215 216-25.% -3.% 2. 1. - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8* 215 216-4.% -5.% -6.% Batubara growth Minyak WTI growth Sumber: Bloomberg Sumber: Bloomberg Kenaikan harga minyak ke depan relatif terbatas mengingat masih tingginya pasokan di tengah permintaan yang masih lemah. Meningkatnya harga minyak akhir-akhir ini bersifat temporary dipengaruhi oleh penurunan supply AS dan gangguan produksi (di Kanada, Nigeria, Libya dan Venezuela) serta perbaikan demand pada awal triwulan III 216, terutama dari India dan Tiongkok. Berdasarkan informasi dari contact liaison, produksi batubara semester I 216 meningkat dibandingkan 215. Hal ini didorong oleh perkembangan harga batubara dunia yang mulai menunjukkan peningkatan, sehingga perusahaan berupaya untuk terus mempertahankan produksi dalam rangka menjaga eksistensi perusahaan dan memenuhi kontrak dengan buyer pada triwulan laporan. Namun demikian produksi batubara Riau relatif terbatas. 4.2.3 Sektor Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan diperkirakan meningkat sejalan dengan kebijakan 15% kelapa sawit dalam BBN semakin digencarkan sehingga meningkatkan penyerapan domestik. Selain itu, peningkatan penjualan domestik di subsektor industri pengolahan CPO menjadi Biodiesel terjadi akibat didorong oleh peningkatan permintaan dari Pemerintah untuk mensuplai Pertamina. Di sisi lain, peningkatan produksi kertas dan tisu dari salah satu pemain besar di industri sejenis turut menjadi faktor yang dapat mendorong peningkatan pertumbuhan di sektor ini. 33

99. 94.5 98.4 1. 1. 14. 118.5 15. 18.73 9.33 77. 99. 81.2 15.74 111. E KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional Adapun faktor yang berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor ini antara lain, i) Black campaign CPO di Eropa, dalam bentuk penerapan bea masuk dan kewajiban adanya label POF (Palm Oil Free). Begitu juga dengan negara lain seperti India, Rusia dan Tiongkok yang menerapkan adanya bea masuk, ii) pasokan BBM yang masih cukup tinggi menyebabkan kembali rendahnya harga minyak dunia tekanan bagi perkembangan harga komoditas perkebunan, iii) keterbatasan pasokan TBS akibat persaingan dengan perusahaan indusri sejenis, terutama pada saat harga membaik di triwulan II 216 sehingga produksi perusahaan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dan iv) tindakan anti dumping Amerika Serikat. 14 12 1 8 6 4 2 Grafik 1.44. Indeks Pembelian Barang Tahan Lama Tw I Tw II Tw IIITw IV Tw I Tw II Tw IIITw IV Tw I Tw II Tw IIITw IV Tw I Tw II Agt 213 214 215 216 Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia 4.2.4 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Meningkatnya konsumsi rumah tangga pada periode triwulan berjalan diperkirakan mendorong peningkatan sektor perdagangan besar, eceran dan reparasi mobil ini. Selain itu, masih rendahnya risiko tekanan inflasi, terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi dan tarif angkutan menjadi insentif bagi pengusaha di sektor ini dan berpotensi mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Namun demikian, depresiasi nilai tukar dapat menyebabkan harga sparepart, suku cadang dan aksesoris kendaraan bermotor melambung sehingga menahan kinerja sektor perdagangan. Disisi lain, pembatasan operasionalisasi truk selama mudik lebaran juga diperkirakan menghambat pasokan dan stock barang. 34

Jan-14 Feb-14 Mar-14 Apr-14 May-14 Jun-14 Jul-14 Aug-14 Sep-14 Oct-14 Nov-14 Dec-14 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 May-15 Jun-15 Jul-15 Aug-15 Sep-15 Oct-15 Nov-15 Dec-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16 Jul-16 Ton KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Ekonomi Makro Regional 4.2.5 Sektor Konstruksi Seiring dengan berlanjutnya proyek infrastruktur, kinerja kategori Konstruksi diperkirakan membaik. Meningkatnya kinerja sektor ini dapat menimbulkan optimisme pelaku usaha terhadap membaiknya daya beli masyarakat ke depan. Sebaliknya, apabila pelaku swasta khawatir dalam merealisasikan investasinya terkait dengan kepatuhan Grafik 1.45. Konsumsi Semen % 25, Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan) 6 5 2, 4 3 15, 2 1 1, -1 5, -2-3 - -4 214 215 216 Sumber: Asosiasi Semen Indonesia wajib pajak, terutama untuk penjualan rumah premium yang tercermin dari undisbursed loan di kategori konstruksi yang didominasi oleh perumahan premium dapat menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan sektor konstruksi. Demikian juga dengan belum disahkannya RTRW sesuai dengan yang diharapkan. 35

Boks Quick Survey Awareness Pelaku Usaha terhadap Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah Reformasi struktural menjadi salah satu strategi utama yang dilakukan Pemerintah untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, di tengah perlambatan ekonomi global yang salah satunya terangkum dalam 12 paket kebijakan yang merupakan bagian dari 9 Program Prioritas Nawacita. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut tidak terlepas dari berbagai Tantangan Struktural Perekonomian berikut: Gambar I Tantangan Struktural Perekonomian Optimisme terhadap ketahanan ekonomi tidak terlepas dari komitmen untuk terus mempercepat dan melaksanakan reformasi structural tersebut secara berkelanjutan, konsisten dan bersinergi lintas sektor serta antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu, untuk melihat bagaimana respon pelaku usaha terhadap paket Riau melakukan Quick Survey terkait 12 paket kebijakan kepada 7 (tujuh) responden yang bergerak di subsector industry pengolahan karet dan CPO dan perdagangan. Hasil survey menunjukkan bahwa efektifitas kebijakan hanya dirasakan oleh 33% responden, terutama terkait relevansi paket kebijakan IX, X dan XII terkait infrastruktur listrik dan logistic, keterbukaan investasi dan Ease of Doing Business. Responden menyatakan bahwa paket kebijakan tersebut belum tersosialisasikan dengan baik sehingga sebagian besar responden belum merasakan dampak langsung efektifitas kebijakan tersebut.

Grafik 1 Efektifitas Kebijakan Grafik 2 Relevansi Kebijakan dengan Bidang Usaha Responden Sumber: Quick Survey Bank Indonesia Untuk meningkatkan daya saing industri beberapa kendala masih dihadapi antara lain: pengembangan kawasan industri yang belum terarah, masih banyaknya kendala perizinan, kondisi infrastruktur yang belum memadai terutama jalan dan pelabuhan sehingga logistic cost juga masih cukup tinggi. Selain itu realisasi APBD yang masih rendah, serta belum siapnya pemanfaatan dana desa dan pemanfaatan CPO fund yang belum tepat sasaran juga menjadi salah satu sumber permasalahan belum optimalnya pelaksanaan 12 paket kebijakan di Riau.

Boks Dinamika Sektoral Riau Selama kurun waktu 12 tahun terakhir, struktur perekonomian Provinsi Riau didominasi oleh 3 (tiga) sektor utama Grafik 1 Shifting Sektoral Riau yaitu sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan pertanian, kehutanan dan perikanan. Namun demikian, secara jangka panjang Provinsi Riau tidak lagi dapat hanya mengandalkan sektor tersebut, seiring dengan semakin menurunnya Sumber: BPS Provinsi Riau, diolah lfting migas (khususnya sektor pertambangan dan penggalian dan industri pengolahan migas), kondisi fluktuasi harga komoditas internasional (migas dan CPO), dan masih terbatasnya hilirisasi di Provinsi Riau (hilirisasi hasil perkebunan kelapa sawit). Grafik 2. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau Grafik 3. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau ribu barel/hari Lifting (LHS) growth (RHS) 45 4 35 3 25 2 15 1 5 yoy,% 5. - (5.) (1.) (15.) (2.) (25.) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II* 211 212 213 214 215 216 (3.) Sumber: Kementerian ESDM Sumber : Bloomberg Secara alamiah, lifting migas mengalami penurunan seiring dengan cadangan minyak yang semakin berkurang dan usia sumur yang tua serta keterbatasan untuk melakukan eksplorasi baru. Akibatnya, produksi migas secara alami turun sekitar 8-12% per tahun namun dengan investasi yang dilakukan penurunan dapat ditekan menjadi 6-7%. Namun harga migas saat ini tidak memenuhi nilai keekonomisan sehingga perusahaan tidak dapat menutupi biaya investasi yang

tergolong besar. Selain itu eksplorasi sumur baru juga menghadapi kendala perizinan terutama ijin amdal dan masih terkendala RTRW. Disisi lain, kenaikan harga komoditas internasional ke depan relatif terbatas mengingat masih tingginya pasokan di tengah permintaan yang masih lemah. Sementara itu, pengembangan industri pengolahan yang saat ini masih didominasi komoditas sawit memiliki beberapa tantangan sebagai berikut: Gambar I Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Industri Sawit Sumber : Bank Indonesia Dengan kondisi tersebut diatas, sudah seharusnya Provinsi Riau fokus terhadap pengembangan kawasan industri dan infrastruktur yang mendukung industrialisasi dalam jangka panjang seperti pengembangan sarana jalan, pelabuhan, dan kelistrikan dengan terus melakukan monitoring progress dan evaluasi secara intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit (menciptakan nilai tambah produk kelapa sawit).

Perkembangan Inflasi Daerah Bab 2 ASESMEN INFLASI DAERAH 1. KONDISI UMUM Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan II 216 berada pada level di bawah perkiraan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan tekanan inflasi Riau pada triwulan II 216 yang secara year-on-year tercatat lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Menurunnya tekanan inflasi terjadi di semua komponen terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya pasokan dan tidak terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, dan instansi terkait lainnya. Selain itu, penurunan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price dan inflasi inti akibat penurunan harga bahan bakar, penyesuaian tariff listrik serta relatif terjaganya nilai tukar rupiah. 36

Perkembangan Inflasi Daerah Namun demikian, penurunan laju inflasi yang lebih dalam tertahan oleh kenaikan harga bawang putih, beras, bawang merah dan daging sapi akibat meningkatnya permintaan yang tidak diiringi oleh peningkatan pasokan pada bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Sementara itu, kenaikan harga rokok kretek, rokok putih dan rokok kretek filter turut menjadi faktor yang menahan penurunan inflasi kelompok administered price secara tahunan. Demikian juga dengan penurunan inflasi kelompok core yang tertahan oleh kenaikan sejumlah komoditas seperti gula pasir, makanan jadi, serta biaya pendidikan khususnya di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas karena memasuki periode tahun ajaran baru. 2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU Inflasi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar 1,92% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan I-216 yang tercatat sebesar 4,42% (yoy). Kondisi ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan penurunan dari 4,45% pada triwulan I-216 menjadi 3,45% pada triwulan II-216. Jika dibandingkan dengan rata-rata historis 5 tahun terakhir 211-215, inflasi Riau pada triwulan I dan II-216 masih tercatat lebih rendah. Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw II 216 dibandingkan dengan Historisnya (yoy) Sumber : BPS, diolah Secara tahunan, menurunnya tekanan inflasi bersumber dari semua komponen terutama dari kelompok volatile food seiring dengan terjaganya pasokan dan tidak terlepas dari berbagai koordinasi aktif yang ditempuh Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, dan instansi terkait lainnya, antara lain sidak dan operasi pasar untuk komoditas beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi serta pemberian himbauan 37

Perkembangan Inflasi Daerah (moral suasion) secara aktif kepada beberapa elemen masyarakat. Selain itu, penurunan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price akibat penurunan harga bahan bakar dan penyesuaian tariff listrik untuk beberapa golongan pelanggan pada triwulan laporan. Di sisi lain, penurunan tekanan inflasi dari kelompok inti bersumber dari menurunnya harga bahan bangunan seperti batu bata dan semen, serta menurunnya harga laptop/notebook seiring dengan relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 216. Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota Dumai mencapai 3,2% (yoy), diikuti oleh Tembilahan dan Pekanbaru masingmasing 2,63% (yoy) dan 1,65% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan triwulan I-216 yang masingmasing tercatat sebesar 4,84% (yoy), 4,% (yoy) dan 4,39% (yoy). Disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil. Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) % (yoy) Nasional Riau Sumatera 1. % (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan Riau 8. 6. 4. 2. - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 3.2 1.65 2.63 1.92 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau, sumber penurunan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan II 216 terutama berasal dari penurunan yang cukup signifikan pada kelompok bahan makanan dan kelompok transportasi & komunikasi. Kelompok sandang sedikit mengalami peningkatan kontribusi dari,15% pada triwulan sebelumnya menjadi,16% pada triwulan II-216. Sebaliknya kelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi & olahraga, serta transportasi & komunikasi 38

Perkembangan Inflasi Daerah mengalami penurunan kontribusi dibandingkan triwulan sebelumnya. Adapun kelompok barang dan jasa yang memberikan kontribusi terkecil adalah kelompok transportasi & komunikasi dengan kontribusi sebesar -,18% atau tercatat mengalami deflasi sebesar -1,17% (yoy). Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) % (yoy) 1 8 6 4 2 % (yoy) Tw I 216 % (yoy) Tw II 216 Kont.Tw I 216 Kont.Tw I 216 % Kontribusi 2.5 2. 1.5 1..5-2 Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi Transportasi Komunikasi. -.5 Sumber : BPS, diolah Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan mengalami deflasi -,48% (qtq), menurun bila dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tercatat mengalami inflasi sebesar,45% (qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang tercatat sebesar 1,1% (qtq). Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) % qtq Pekanbaru Dumai Tembilahan Nasional Riau 5 4 3 2 1-1 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216-2 Sumber : BPS, diolah Menurunnya tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh menurunnya harga subkelompok transpor, bumbu-bumbuan, bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan/peralatan pendidikan. Dilihat dari komoditasnya, penurunan harga utamanya bersumber dari bensin, cabai merah, solar, tarif listrik, batubata, semen, buncis, cabai rawit, laptop/notebook, daging ayam ras, dan bahan bakar rumah 39

Perkembangan Inflasi Daerah tangga. Penurunan harga aneka cabai disebabkan oleh melimpahnya pasokan di sebagian besar sentra produksi di Jawa dan Sumatera Barat, sedangkan menurunnya harga daging ayam ras terjadi seiring dengan panen Day Old Chick (DOC) dan meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan ternak. Sementara itu, penurunan harga komoditas subkelompok transpor dan bahan bakar, penerangan dan air seperti bensin dan solar disebabkan oleh penurunan harga premium dan solar pada bulan Mei dan April 216 dan kebijakan tarif adjustment listrik setiap bulannya. Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw II di Provinsi Riau (qtq) % (qtq) Historis 211-215 Tw II-216 3.5 2.5 1.5.5.83.44 1.1.95 1.22.2 1.63.59 -.5-1.5 Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan -.48 -.71 Sumber : BPS, diolah Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, kelompok bahan makanan, transportasi & komunikasi dan perumahan mengalami deflasi sebesar - 2,25% (qtq), -1,48% (qtq) dan -,34% (qtq) dengan andil pada inflasi triwulan laporan masing-masing sebesar -,56%, -,23% dan -,8%. Sementara itu, inflasi triwulanan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan 1,51% (qtq) dengan andil,31%, disusul kelompok sandang dan kesehatan masing-masing,73% (qtq) dan,24% (qtq) dengan andil,5% dan,1%. 4

Perkembangan Inflasi Daerah Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw II 216 di Riau (qtq) % (qtq) 4 3 2 1 % (qtq) Tw I 216 % (qtq) Tw II 216 Kont.Tw I 216 Kont.Tw II 216 % Kontribusi.6.4.2. -1 Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi Transportasi Komunikasi -.2 -.4-2 -.6-3 -.8 Sumber : BPS, diolah 2.1. Inflasi Kota 2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru Pada triwulan II-216, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 1,65% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,39% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi terutama terjadi pada kelompok volatile food akibat berlangsung musim panen di sebagian besar daerah sentra produksi khususnya Jawa dan Sumatera Barat sehingga pasokan sejumlah komoditas strategis seperti cabai merah, daging ayam ras dan cabai rawit relatif terjaga. Sumber penurunan tekanan inflasi juga bersumber dari kelompok administered price akibat adanya penurunan harga bensin dan solar pada periode triwulan laporan dan kebijakan penyesuaian tarif listrik yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sehingga menyebabkan komoditas bensin, solar, tarif listrik mengalami deflasi. Selain itu, deflasi juga terjadi kelompok inflasi inti seperti batubata, semen dan laptop/notebook. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh terjaganya nilai tukar rupiah sehingga menyebabkan barang-barang impor mengalami penurunan harga. Penurunan inflasi yang lebih dalam tertahan oleh kenaikan tarif angkutan udara, bawang merah, beras, rokok kretek, gula pasir, rokok putih dan bawang putih akibat meningkatnya permintaan pada bulan ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri sehingga mendorong distributor untuk menaikkan harga. 41

Perkembangan Inflasi Daerah Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, deflasi bersumber dari kelompok transportasi & komunikasi sebesar -1,13% (yoy), sedangkan kelompok lainnya mengalami inflasi dengan peningkatan tertinggi terjadi pada kelompok makanan jadi 3,77% (yoy), diikuti bahan makanan 2,65% (yoy), sandang 2,44% (yoy), dan pendidikan, rekreasi & olahraga 2.37% (yoy). Dari keseluruhan kelompok, makanan jadi dan bahan makanan memiliki kontribusi inflasi tertinggi masing-masing mencapai,76% dan,59%. Sebagian besar kelompok komoditas mengalami penurunan tekanan inflasi dibandingkan dengan triwulan I-216, dengan penurunan terbesar terjadi pada kelompok bahan makanan dari 1,9% (yoy) menjadi 2,65% (yoy), transportasi & komunikasi dari 2,11% (yoy) menjadi -1,13% (yoy), dan kelompok perumahan dari 2,37% (yoy) menjadi,58% (yoy). Sebaliknya, kelompok komoditas yang mengalami peningkatan laju inflasi yaitu kelompok sandang dari 1,91% menjadi 2,44% (yoy). Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw II (211-215) % (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy 1 % (qtq) 5 Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Pekanbaru Tw II 216 % (yoy) % (yoy) Tw II 216 Kont.Tw II 216 % kontribusi 12 1. 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Sumber : BPS, diolah 4 3 2 1-1 -2 8 4-4 2.65 3.77.58 2.44 1.18 2.37 Bahan Makanan Makanan Jadi Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi Transport & Kom -1.13.6.2 -.2 2.1.2. Inflasi Kota Dumai Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga tercatat mengalami penurunan dari 4,84% menjadi 2,83% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi di Dumai terutama bersumber dari kelompok volatile food karena terjaganya pasokan komoditas bumbu-bumbuan seperti bawang merah, cabai merah, cabai rawit, serta telur ayam ras. Di sisi lain, relatif rendahnya inflasi inti disebabkan oleh menurunnya harga emas perhiasan dan minyak goreng, sedangkan penurunan inflasi administered price bersumber dari menurunnya harga bahan bakar rumah tangga, solar dan tarif listrik seiring dengan kebijakan penyesuaian harga 42

Perkembangan Inflasi Daerah komoditas tersebut oleh pemerintah. Penurunan laju inflasi yang lebih dalam tertahan oleh kenaikan harga sejumlah komoditas seperti rokok kretek filter dengan andil sebesar,47% serta meningkatnya biaya pendidikan Sekolah Menengah Atas dan komoditas bawang putih yang masing-masing memiliki andil sebesar,25% terhadap inflasi tahunan kota Dumai. Apabila dilihat per kelompok komoditas semua komponen inflasi tercatat lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan inflasi terbesar triwulan laporan terjadi pada kelompok bahan makanan dari 5,84% menjadi 2,83% (yoy) pada triwulan II-216, diikuti kelompok transportasi & komunikasi dari 2,8% menjadi deflasi -,9% (yoy). Begitu halnya kedua kelompok tersebut, kelompok sandang, makanan jadi, perumahan, pendidikan, rekreasi & olahraga, serta kesehatan juga mengalami perlambatan tekanan. Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw II (211-215) % (yoy) Inflasi Tahunan Inflasi Triwulanan avg yoy 1 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Sumber : BPS, diolah % (qtq) 5 4 3 2 1-1 -2 Grafik 2.1. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw II 216 % (yoy) % (yoy) Tw II 216 Kont.Tw II 216 8 7.17 6.92 6 4 2-2 2.83 Bahan Makanan Makanan Jadi.95 2.76 5.14 % kontribusi. Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Transport & Rekreasi Kom -.9 -.4 1.6 1.2.8.4 2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan Searah dengan kedua kota lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan laporan tercatat sebesar 2,63% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,% (yoy). Penurunan tekanan inflasi ini utamanya disebabkan oleh penurunan harga komoditas volatile food seperti cabai merah akibat panen di daerah sentra produksi yang menyebabkan melimpahnya pasokan dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat di Kota Tembilahan. Sementara itu, menurunnya tekanan inflasi juga bersumber dari inflasi inti yang berada pada level terjaga terutama karena menurunnya harga telepon seluler dan bahan bangunan besi beton. Hal ini diperkirakan terjadi karena apresiasi nilai tukar rupiah yang mana 43

Perkembangan Inflasi Daerah gejolak kurs rupiah sejak awal tahun 216 relatif terjaga. Selain itu, inflasi kelompok administered price juga tercatat mengalami penurunan akibat menurunnya harga bensin, solar dan tarif listrik seperti yang terjadi di Provinsi Riau dan nasional secara umum. Namun demikian, penurunan inflasi yang lebih dalam tertahan oleh meningkatnya harga bawang putih, bawang merah, jeruk, udang basah dan rokok kretek sehingga menimbulkan tekanan inflasi. Berdasarkan kelompoknya, penurunan inflasi terbesar terjadi pada kelompok transportasi & komunikasi dari 1,89% menjadi deflasi 2,5% (yoy) pada triwulan II- 216, diikuti oleh bahan makanan dari 7,51% menjadi 4,9% (yoy) dan perumahan dari 2,8% menjadi,74% (yoy). Sebaliknya, kelompok lainnya mengalami peningkatan inflasi, dengan tekanan inflasi tertinggi pada triwulan laporan terjadi pada kelompok makanan jadi dari 3,26% menjadi 4,35% (yoy), dan kelompok sandang dari 2,19% menjadi 3,9% (yoy). Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan % (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy 14 12 1 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II Sumber : BPS, diolah 214 215 216 % (qtq) 4 4 3 3 2 2 1 1-1 -1-2 Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw II 216 % (yoy) % (yoy) Tw II 216 Kont.Tw II 216 6 4.99 4.91 4.9 4.35 4 3.9 2-2 -4 Bahan Makanan Makanan Jadi.74 Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi % kontribusi Transport & Kom (2.5) 1.6 1.2.8.4. -.4 2.2. Disagregasi Inflasi 1 (yoy) Menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan didorong oleh menurunnya tekanan inflasi pada semua komponen inflasi administered price, volatile food dan inflasi inti. Menurunnya tekanan inflasi administered price bersumber dari penurunan harga bensin, solar, dan bahan bakar rumah tangga sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menurunkan harga premium dan solar pada bulan Mei dan April 216, serta kebijakan tarif adjustment listrik setiap bulannya. Sementara itu, menurunnya tekanan inflasi volatile food disebabkan oleh menurunnya harga cabai 1 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok 44

Perkembangan Inflasi Daerah merah, cabai rawit dan daging ayam ras akibat berlangsungnya panen raya di besar daerah sentra produksi serta panen Day Old Chick (DOC) dan meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan ternak. Disisi lain, terkendalinya laju inflasi inti dipengaruhi oleh terjaganya nilai tukar rupiah yang mampu menekan gejolak harga inflasi inti seperti perlengkapan/peralatan pendidikan berupa laptop/notebook, termasuk bahan bangunan seperti batubata dan semen. Sebaliknya, penurunan laju inflasi tertahan oleh kenaikan harga rokok kretek, bawang putih, beras, gula pasir dan makanan jadi yang masing-masing memberikan andil,14%,,13%,,13%,,11% dan,1% terhadap inflasi tahunan Provinsi Riau. Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) (% yoy) 2 CPI Core Volatile Food Administered 15 1 5-5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11112 1 2 3 4 5 6 7 213 214 215 216 Sumber : BPS, diolah 2.2.1. Inflasi Inti (Core) Laju inflasi inti pada triwulan II-216 tercatat sebesar 2,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I-216 yang mencapai 2,98% (yoy). Terjaganya inflasi inti merupakan dampak dari relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 216. Penurunan tingkat inflasi ini juga turut dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan ekonomi Riau yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum, serta relatif terkendalinya ekspektasi inflasi. Pada akhir periode triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi inti didorong oleh penurunan harga komoditas batu bata/batu tela, semen, laptop/notebook dan harga televisi berwarna. 45

USD 2-Jan-15 23-Jan-15 13-Feb-15 9-Mar-15 3-Mar-15 21-Apr-15 13-May-15 5-Jun-15 26-Jun-15 23-Jul-15 13-Aug-15 4-Sep-15 28-Sep-15 2-Oct-15 1-Nov-15 1-Dec-15 23-Dec-15 18-Jan-16 9-Feb-16 1-Mar-16 23-Mar-16 14-Apr-16 9 Mei 216 3 Mei 216 2-Jun-16 15-Jul-16 5 Agust 216 KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan harga komoditas emas perhiasan dan kenaikan harga gula pasir yang terjadi di sebagian besar daerah serta kenaikan harga makanan jadi pada bulan Ramadhan, menjelang hari raya Idul Fitri, dan memasuki musim liburan sekolah sehingga permintaan meningkat dan mendorong produsen serta distributor menaikkan harga. Selain itu, penyumbang inflasi inti terbesar lainnya adalah kenaikan biaya pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang masing-masing memiliki andil sebesar,8% dan,7% akibat memasuki tahun ajaran baru. Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, inflasi inti terendah terjadi di Tembilahan sebesar 2,19% (yoy), diikuti Pekanbaru dan Dumai masing-masing sebesar 2,29% dan 4,8% (yoy). Apabila dilihat dari pergerakannya, inflasi inti di ketiga kota tersebut mengalami penurunan dibandingkan triwulan I-216. Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) % (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU 1 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II Sumber : BPS, diolah Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia 1,6. 1,4. 1,2. 1,. 212 213 214 215 216 8. 6. 4. 2. - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8* 215 216 Emas growth Sumber : Bloomberg, diolah 25.% 2.% 15.% 1.% 5.%.% -5.% -1.% -15.% -2.% Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD 15, 14,5 14, 13,5 13, 12,5 12, 11,5 11, Sumber : Bank Indonesia Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy) % (yoy) 12 1 8 6 4 2 Tradeable Sumber : BPS, diolah Kurs Tengah Non Tradeable 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 213 214 215 216 46

MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV M I M II M III M IV KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah 2.2.2. Inflasi Volatile Food Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode triwulan laporan tercatat sebesar 2,59% (yoy), menurun signifikan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 9,22% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi volatile food didorong oleh inflasi yang terjadi pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, daging dan hasilnya serta sayuran. Komoditas utama penyumbang deflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah, buncis, cabai rawit, daging ayam ras dan jengkol. Penurunan tersebut terjadi seiring dengan berlangsungnya musim panen di sebagian besar daerah sentra produksi sehingga meningkatkan pasokan yang tersedia yang pada akhirnya mampu menekan kenaikan harga. Namun demikian, beberapa harga komoditas mulai menunjukkan kenaikan harga pada akhir triwulan laporan seperti bawang putih, beras, bawang merah dan daging sapi sehingga menahan penurunan laju inflasi kelompok volatile food pada triwulan II-216. Meningkatnya harga sejumlah komoditas strategis tersebut dipengaruhi oleh faktor musiman Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri, namun kenaikan harga yang terjadi masih dalam rentang harga yang wajar. Jika dilihat dari ketiga kota perhitungan inflasi di Riau, inflasi volatile food terendah pada triwulan II-216 terjadi di Dumai sebesar 2,33% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru dan tertinggi di Tembilahan dengan angka inflasi masing-masing sebesar 2,43% (yoy) dan 4,21% (yoy). Namun demikian, inflasi volatile food di ketiga kota tersebut tercatat lebih rendah bila dibandingkan triwulan I-216 yang masing-masing tercatat sebesar 5,55% (yoy), 1,37% (yoy) dan 7,78% (yoy). Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) % (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU 28 24 2 16 12 8 4-4 -8 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 212 213 214 215 Sumber : BPS, diolah Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Pekanbaru Cabe Merah Besar Cabe Merah Keriting Cabe Rawit Bawang Merah Bawang Putih 68 58 48 38 28 18 8 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16 Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI 47

MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV M I M II M III M IV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV MI MII MIII MIV MV MI MII MIII MIV M I M II M III M IV KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah Grafik 2.2. Perkembangan Harga Komoditas Beras di Kota Pekanbaru Cabe Merah Besar Cabe Merah Keriting Cabe Rawit Bawang Merah Bawang Putih 68 58 48 38 28 18 8 Grafik 2.21. Perkembangan Harga Daging dan Telur di Kota Pekanbaru 43 38 33 28 23 18 13 8 Daging Ayam Ras Telur Ayam Ras Daging Sapi 16 14 12 1 8 6 4 2 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16 Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 June-16 Juli 16 Sumber : Survei Pemantantauan Harga BI 2.2.3. Inflasi Administered Prices Pada triwulan II-216 kelompok administered prices mengalami deflasi,26% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I-216 yang tercatat mengalami inflasi sebesar 3,46% (yoy). Deflasi kelompok inflasi ini terutama bersumber dari koreksi harga pada kelompok transpor, perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar akibat menurunnya harga bensin, solar dan tarif listrik pada triwulan laporan seiring dengan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar dan listrik untuk beberapa golongan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Jika dilihat per kota, menurunnya tekanan inflasi administered price terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Pada triwulan II-216, Pekanbaru mengalami deflasi administered price sebesar -,87% (yoy), sementara Dumai dan Tembilahan mengalami inflasi sebesar 1,25% dan 1,65% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,24%, 4,39%, dan 3,31% (yoy). Grafik 2.22. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy) % (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU 28 24 2 16 12 8 4-4 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 212 213 214 215 Sumber : BPS, diolah 48

Perkembangan Inflasi Daerah 2.3 Prospek Perkembangan Harga Barang dan Jasa Triwulan Berjalan Secara tahunan inflasi IHK Riau sampai dengan Juli 216 mencapai 2,38% (yoy) atau secara kumulatif Januari-Juli 216 mengalami inflasi sebesar 1,4% (ytd), meningkat jika dibandingkan posisi Juni 216 yang secara kumulatif deflasi,2% (ytd) dan secara tahunan mencapai 1,92% (yoy), namun masih berada di bawah kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia 4±1% (yoy). Jika dilihat per kelompok disagregasi, peningkatan inflasi berasal dari tekanan inflasi volatile food yaitu kenaikan harga cabai merah, daging ayam ras, kentang beras, bawang merah, dan daging sapi, serta kenaikan tekanan kelompok inti akibat meningkatnya harga gula pasir dan emas perhiasan menjelang hari raya Idul Fitri. Namun demikian jika dilihat secara historis, inflasi IHK secara year on year pada bulan lebaran tahun ini cukup terkendali dan lebih rendah dibandingkan ratarata periode lebaran 4 tahun terakhir. Ke depan, inflasi diperkirakan masih berada pada batas bawah sasaran inflasi nasional 216, yaitu 4%±1% (yoy). Pada bulan Agustus 216, inflasi secara bulanan (mtm) diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Juli 216. Penurunan tersebut diperkirakan terjadi pada kelompok disagregasi administered price yakni penurunan Tarif Dasar Listrik rata-rata Rp3 per kwh pada 12 golongan yang tidak mendapatkan subsidi. Penurunan tarif listrik ini disebabkan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar USD dan penurunan harga minyak Indonesia. Selain itu penurunan bahan bakar Dexlite sebesar Rp.3/ liter yang resmi berlaku sejak 1 Agustus 216 diperkirakan akan menurunkan laju inflasi pada kelompok ini. Sementara itu, koordinasi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan inflasi volatile food akibat adanya kemungkinan fenomena La Nina yang akan menguat di pertengahan 216, meskipun masih dalam intensitas lemah. Fenomena tersebut berpotensi menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung sehingga dapat menganggu produksi daerah sentra pertanian dan berpotensi memberikan gangguan dari sisi supply. Namun demikian tekanan inflasi kelompok bahan makanan secara keseluruhan diperkirakan akan berkurang pada periode Agustus 216. Koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi akan terus diperkuat melalui upaya menjamin ketersediaan pasokan dan 49

Perkembangan Inflasi Daerah distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi inflasi agar tetap terkendali. Grafik 2.23. Pergerakan Inflasi Tahunan Riau 14 Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan 12 1 8 6 4 2 Grafik 2.24. Perbandingan Inflasi Juli Riau Inflasi Bulan Juli (% mtm) Juli 216 Avg Juli (212-215) 1,6 1,51 1,4 1,3 1,23 1,2 1,6,93 1,3 1,,87,8,69,58,6,46,4,2, Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan Sumber : BPS, diolah Grafik 2.25. Perkiraan Harga 3 Bulan Ke Depan 2 19 18 17 16 15 14 13 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Grafik 2.26. Perkiraan Harga Harga Per Kelompok Per Kelompok Barang 2 19 18 17 16 15 14 13 12 Bahan makanan Makanan jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 11 Sandang Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 1 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul 213 214 215 216 Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia 2.4 Program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Riau Kegiatan pengendalian inflasi yang dilakukan di Provinsi Riau pada periode laporan adalah terus meningkatkan koordinasi untuk mengendalikan harga. Pada jangka pendek, TPID berkoordinasi dan menyusun program dalam menghadapi bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang secara historis selalu memberikan tekanan kenaikan harga antara lain: (i) rapat koordinasi TPID untuk mempersiapkan program pengendalian inflasi ramadhan; (ii) melakukan inspeksi mendadak ke pasar untuk mengidentifikasi potensi lonjakan harga; (iii) melakukan pemantauan ketersediaan pangan di gudang distributor dan pedagang pasar; (iv) menyelenggarakan pertemuan dengan pelaku pasar untuk mengantisipasi tindakan spekulasi dan mengambil keuntungan; (v) menyelenggarakan pertemuan dengan distributor dan pemangku kebijakan lain untuk memastikan aliran distribusi bahan pangan dapat dijaga; (vi) menyelenggarakan pasar murah/operasi pasar di lingkungan masyarakat; 5

Perkembangan Inflasi Daerah (vii) merangkul tokoh agama untuk menjaga perilaku konsumtif masyarakat di bulan Ramadhan; (viii) mengelola ekspektasi masyarakat melalui himbauan berupa publikasi di media cetak maupun elektronik (talkshow dan iklan layanan masyarakat). Pada jangka menengah, TPID akan melakukan evaluasi rumusan Roadmap TPID Tahun 215 untuk memonitor perkembangan kegiatan pengendalian inflasi yang dilakukan, fokus pada komoditas volatile food beras, cabe merah, bawang merah, daging sapi, dan daging ayam ras. Evaluasi meliputi beberapa aspek diantaranya: progress dan kendala pelaksanaan program perbaikan sarana irigasi, pencetakan lahan sawah baru, perbaikan teknis budidaya cabe, pengembangan bawang merah varietas Bima, penyusunan masterplan pengembangan tanaman hortikultura, dan sebagainya. Roadmap tersebut kemudian akan dilengkapi dengan penyesuaian program kerja terbaru dan telah ditandatangani sebagai bentuk komitmen pelaksanaan program TPID pada 1 Agustus 216. Roadmap tersebut juga akan dilengkapi rencana tindak lanjut hasil Rakornas VII TPID yang diselenggarakan pada bulan Agustus 216. 51

Boks z Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau Tantangan pengendalian inflasi di Provinsi Riau utamanya disebabkan oleh 11 komoditas dari 3 kelompok komoditas yang secara rata-rata memberikan andil terbesar bagi pembentukan inflasi pada tahun 215. Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi Riau akibat masih rendahnya kinerja sektor-sektor utama membuat upaya pengendalian inflasi perlu dilakukan lebih baik, agar daya beli masyarakat di tengah lesunya kondisi perekonomian tetap terjaga. Pada kelompok administered price, komoditas tarif tenaga listrik, bensin dan rokok menjadi komoditas pemberi andil terbesar. Sementara pada kelompok volatile food, komoditas utama penyumbang andil inflasi di Riau adalah cabai merah, bawang merah, beras, daging sapi dan telur ayam. Selain komoditas-komoditas utama penyumbang andil terbesar tersebut, tantangan dalam pengendalian inflasi adalah karakteristik Riau sebagai daerah non produsen membuat ketergantungan yang relatif tinggi terhadap pasokan dari daerah produksi. Gangguan produksi dan distribusi menjadi risiko yang perlu dikelola terutama menghadapi Hari Raya Besar Keagamaan. Pada semester I-216, faktor musiman di Riau adalah pada periode bulan puasa dan menjelang Idul Fitri yang secara historis memberikan tekanan inflasi yang relatif tinggi. Secara historis di 5 tahun terakhir, rata-rata tingkat inflasi Riau di bulan puasa berada pada angka,85% (mtm).

Dalam upaya pengendalian inflasi di Riau, saat ini telah dibentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi Riau dan 12 TPID di tingkat Kabupaten/Kota. TPID yang terdiri dari gabungan instansi lintas satker merupakan bentuk upaya koordinasi untuk mengatasi tekanan inflasi dari berbagai sektor. Dari sisi penawaran, upaya peningkatan produksi dilakukan baik dengan optimalisasi lahan yang ada maupun ekstensifikasi lahan baru. Upaya peningkatan produksi perlu dilakukan secara komprehensif dengan meningkatkan sarana infrastruktur pendukung seperti saluran irigasi yang banyak mengalami kerusakan. Untuk mengantisipasi defisit pangan di Riau, perbaikan jalur distribusi berupa perbaikan jalan serta memprioritaskan angkutan pangan mendapat perhatian untuk menjaga ketersediaan dan kelancaran pasokan. Dari sisi permintaan, untuk menjaga harga berada pada tingkat yang wajar telah dilakukan beberapa upaya seperti pemanfaatan pangan alternatif sagu di Riau untuk pemenuhan karbohidrat. Selain itu himbauan terus disampaikan kepada masyarakat untuk tetap menjaga konsumsi pada batas sewajarnya agar tidak terjadi lonjakan harga akibat kelangkaan barang. Fungsi tata niaga sebagai intermediari antara penawaran dan permintaan juga menjadi salah satu agenda program TPID Riau melalui percepatan proses pembangunan pasar induk dengan referensi Pasar Kramat Jati di Jakarta dan Pasar Caringin di Bandung, monitoring distribusi bahan pangan serta tindakan antisipasi perilaku profit taking yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Selain itu untuk meningkatkan pemenuhan pangan khususnya beras dari Riau, dilakukan melalui optimalisasi Toko Tani Indonesia (TTI) sebanyak 16 outlet yang dipasok oleh 8 Gapoktan dari daerah produsen padi lokal. TPID juga secara berkala telah melakukan upaya pengelolaan ekspektasi masyarakat melalui publikasi kegiatan seperti rapat koordinasi, talkshow, himbauan bersama tokoh masyarakat serta iklan layanan masyarakat untuk dapat menjaga pola konsumsi dan ekspektasi masyarakat mengenai respon kenaikan harga dan ketersediaan pasokan.

Secara khusus untuk menghadapi periode bulan puasa serta Idul Fitri, program TPID ditingkatkan terutama rapat koordinasi lintas satker untuk memastikan harga pangan pokok tetap berada pada level wajar. Sebagai identifikasi awal, dilakukan inspeksi ke pasar untuk mengetahui perkembangan harga dan analisa penyebab kenaikan harga. Untuk mengantisipasi potensi penimbunan barang juga dilakukan inspeksi ke gudang dan pertemuan dengan para distributor dan pedagang besar. Sebagai respon kenaikan harga di bulan puasa, diselenggarakan operasi pasar serentak di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Riau yang dilaksanakan secara periodik. Pelaksanaan difokuskan di titik-titik yang berkenaan langsung dengan masyarakat sehingga dampaknya dapat langsung diterima oleh masyarakat. Selain itu, operasi pasar diselenggarakan bekerjasama antar satuan kerja seperti Bulog, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) serta pihak swasta untuk mengakomodir komoditas-komoditas yang menjadi perhatian seperti beras, daging, gula dan minyak goreng. Upaya pengendalian inflasi yang dilakukan berdampak pada pencapaian inflasi Riau yang relatif rendah di Semester I-216. Secara spesifik untuk periode Ramadhan dan Idul Fitri tahun 216, inflasi yang terjadi hanya mencapai,43% (mtm), lebih rendah dari rata-rata inflasi Riau di bulan puasa periode 212-215 yang mencapai,85% (mtm). Secara umum, infasi Riau di Semester I-216 adalah 1,92% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional yang mencapai 3,45% (yoy). Tantangan pengendalian inflasi ke depan adalah dinamika perekonomian yang relatif terjadi lebih cepat. Dalam rangka mengantisipasi tantangan tersebut, TPID Provinsi Riau akan mengevaluasi Roadmap Pengendalian Inflasi di Riau baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa pokok pembahasan yang akan dikaji adalah (i) peningkatan produksi berdasarkan produk/kawasan unggulan; (ii) pengembangan infrastruktur pendukung produksi dan distribusi pangan; (iii) pengembangan struktur pasar dan tata niaga bahan pangan pokok; (iv) kegiatan operasi pasar dan pasar murah; (v) pengelolaan dampak penyesuaian harga; (vi) mendorong ketersediaan informasi; dan (vii) koordinasi intensif antar SKPD. Untuk mendukung pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, perlu dilakukan upaya oleh segenap pemangku kebijakan sehingga program dapat berjalan secara komprehensif.

Keuangan Pemerintah Bab 3 ASESMEN KEUANGAN PEMERINTAH 1. Kondisi Umum Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga triwulan II 216 secara umum lebih baik dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan II 216 Anggaran Pendapatan Daerah telah terealisasi sebesar 43,3% dari total yang dianggarkan, sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah telah mencapai 23,5% dari total yang dianggarkan. 52

Keuangan Pemerintah 2. Realisasi APBD Triwulan I 216 Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 216 secara umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 215. Dari sisi pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,72 triliun pada tahun 215 menjadi Rp7,58 triliun pada tahun 216. Kondisi ini didorong oleh penurunan rata-rata harga minyak internasional yaitu dari USD 48,68/barel di tahun 215 menjadi USD 34,27/ barel di tahun 216. Penurunan harga minyak dunia tersebut berdampak terhadap penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi Riau hingga 65% (yoy), disamping karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural declining. Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 216 relatif meningkat dibandingkan tahun 215 sebesar 2,69% (yoy) yaitu dari Rp1,68 triliun pada tahun 215 menjadi Rp1,97 triliun pada tahun 216. Peningkatan utamanya berasal dari anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Tabel 3.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Triwulan II 215 dan Triwulan II 216 Uraian Triwulan II 215 Triwulan II 216 Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Pendapatan Daerah 8.721,57 3.768,55 43,21% 7.588,65 3.265,4 43,3% Belanja Daerah 1.683,97 1.411,56 13,21% 1.972,7 2.578,12 23,5% Pembiayaan Daerah 1.962,4,75,4% 3.383,43 3.131,9 92,57% Surplus / (Defisit) -1.962,4 2.356,99-12,11% -3.383,43 686,91-2,3% Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada triwulan II 216 khususnya belanja pemerintah daerah relatif meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya, sementara realisasi pendapatan daerah mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. Realisasi pendapatan dan belanja pemerintah Provinsi Riau pada triwulan II 216 masing-masing mencapai 43,3% dan 23,5% sementara realisasi pada triwulan yang sama tahun 215 tercatat sebesar 43,21% dan 13,21% dari total anggaran. Rendahnya realisasi belanja pemerintah selama dua tahun terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja daerah pada tahun 216. 53

Keuangan Pemerintah 2.1. Realisasi Pendapatan Realisasi pendapatan daerah Provinsi Riau hingga triwulan II 216 tercatat sebesar 43,3%, menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 43,21%. Penurunan realisasi pendapatan didorong oleh penurunan realisasi kelompok pendapatan asli daerah (PAD). Komponen utama yang mendorong penurunan realisasi PAD berasal dari realisasi pajak daerah yang baru mencapai Rp992,57 miliar atau sebesar 35,89% dari total yang dianggarkan pada tahun 216, yaitu sebesar Rp2,76 triliun. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,21 triliun atau sebesar 41,48% dari total yang dianggarkan. Penurunan realisasi pendapatan pajak daerah salah satunya diperkirakan bersumber dari penurunan realisasi pajak Keterangan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang tidak sesuai target, yang sampai dengan triwulan II 216 realisasi pajak BBNKB tercatat sebesar Rp298,9 miliar atau 39,12% dari target sebesar Rp764,12 miliar. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, dimana pada akhir triwulan II 216 realisasi pajak BBNKB tercatat sebesar Rp379,67 miliar atau sebesar 41,84% dari target sebesar Rp97,48 miliar. Masih rendahnya realisasi dari pajak BBNKB diperkirakan karena penurunan jumlah kendaraan baru di Provinsi Riau yang disebabkan daya beli masyarakat yang menurun akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 216. Tabel 3.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Triwulan II Tahun 215 dan 216 Tw II 215 Tw II 216 Uraian (Miliar Rupiah) Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % PENDAPATAN DAERAH 8.721,57 3.768,54 43,21 7.588,64 3.265,3 43,3 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3.656,36 1.58,82 41,27 3.495,55 1.28,19 36,62 Pajak Daerah 2.924,92 1.213,18 41,48 2.765,55 992,57 35,89 Retribusi Daerah 24,37 8,66 35,54 11, 4,39 39,91 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 28,54 13,64 62,64 218, 1,46,67 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 498,52 156,33 31,36 51, 281,76 56,24 DANA PERIMBANGAN 4.196,34 1.82,73 43,39 4.85,27 1.978,68 48,43 Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak 559,67 475,56 84,97 877,34 427,98 48,78 Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam 2.93,25 939,78 32,37 1.15,83 444,11 43,72 Pendapatan Dana Alokasi Umum 654,22 381,63 58,33 737,74 43,35 58,33 Pendapatan Dana Alokasi Khusus 79,2 23,76 3, 1.454,36 676,23 46,5 Dana Penyesuaian 868,88 439, 5,53 5, 5, 1, LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 868,88 438,99 5,52 7,82 6,16 78,77 Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau 54

Keuangan Pemerintah Sementara itu, pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan hingga triwulan II 216 tercatat mencapai Rp1,97 triliun atau sebesar 48,43% dari total yang dianggarkan. Realisasi ini relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang terealisasi sebesar Rp1,82 triliun atau 43,39% dari total yang dianggarkan. Peningkatan realisasi Dana Perimbangan berasal dari komponen pendapatan dana alokasi khusus dimana pada triwulan II 216 tercatat realisasi sebesar Rp 676,23 miliar atau sebesar 46,5% dari yang dianggarkan. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dimana Dana Alokasi Khusus hanya terealisasi sebesar Rp 23,76 miliar atau 3% dari yang dianggarkan. Adanya peningkatan pendapatan dari Dana Alokasi Khusus sejalan dengan beberapa proyek pemerintah pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol Pekanbaru- Dumai dan pembangunan jalur lintas kereta api trans-sumatera. Penurunan pendapatan daerah yang berasal dari Dana Bagi Hasil sumber daya alam diperkirakan mencapai 65% pada tahun 216 dibandingkan tahun 215. Kondisi ini terjadi akibat penurunan harga minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang disebabkan oleh kondisi sumur yang semakin tua (natural declining). 2.2. Realisasi Belanja Realisasi anggaran belanja Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp 2,57 triliun atau sebesar 23,5% dari total alokasi anggaran. Total belanja langsung pada tahun 216 secara umum menurun dibandingkan tahun 215, khususnya pada komponen belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja barang dan jasa pada tahun 216 dianggarkan sebanyak Rp2,7 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun 215 yang dianggarkan sebanyak Rp3,1 triliun. Sementara itu, belanja modal yang dianggarkan pada tahun 216 adalah sebesar Rp2,53 triliun, juga menurun jika dibandingkan tahun 215 yang sebesar Rp2,9 triliun. Penurunan alokasi anggaran diperkirakan akibat penyesuaian terhadap menurunnya pendapatan di tahun 216. Di sisi lain, rencana anggaran kelompok belanja tidak langsung pada tahun 216 cenderung meningkat dibandingkan tahun 215, yaitu dari Rp4,4 triliun menjadi Rp5,38 triliun. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pada belanja hibah, belanja bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa, serta belanja pegawai. Kondisi ini diperkirakan akibat adanya peningkatan UMP dan UMK 55

Keuangan Pemerintah di tahun 216 serta fokus pemerintahan di tahun 216 yang lebih menitikberatkan pada percepatan pembangunan di pedesaan. Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw II 215 dan Tw II 216 Uraian (Miliar Rupiah) Triwulan II 215 Triwulan II 216 Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % BELANJA DAERAH 1.683,97 1.411,55 13,21 1.972,7 2.578,12 23,5 BELANJA TIDAK LANGSUNG 4.42,19 926,22 21,4 5.388,35 1.651,76 3,65 Belanja Pegawai 1.122,75 39,88 34,81 1.22,95 496,42 41,27 Belanja Bunga - - - - - Belanja Subsidi - - - - - - Belanja Hibah 1.7,65 434,44 4,58 1.293,61 638,96 49,39 Belanja Bantuan Sosial 7,18 - - 1, 4,88 48,8 Belanja Bagi Hasil 1.159,15 32,9 2,77 1.283,58 451,41 35,17 Belanja Bantuan Keuangan 1.32,47 68,88 6,67 1.58,21 6,7 3,8 Belanja Tidak Terduga 1, - - 18, - - BELANJA LANGSUNG 6.281,78 485,33 7,73 5.583,72 926,36 16,59 Belanja Pegawai 272,81 76,92 28,2 34,56 15,11 3,86 Belanja Barang dan Jasa 3.17,85 264,4 8,5 2.711,4 52,92 18,55 Belanja Modal 2.91,12 144,31 4,97 2.532,12 318,33 12,57 Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 216 tercatat sebesar Rp2,57 triliun atau 23,5% dari total belanja sebesar Rp1,97 triliun yang dianggarkan dalam APBD 216. Kondisi ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan realisasi belanja daerah pada triwulan II tahun 215 yang tercatat sebesar Rp 1,41 triliun atau 13,21% dari total belanja sebesar Rp1,68 triliun pada APBD 215. Penyerapan anggaran belanja daerah baik belanja langsung dan belanja tidak langsung mengalami kenaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada triwulan II 216 ini realisasi belanja tidak langsung di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp2,57 triliun atau sebesar 3,65% dari total anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp5,38 triliun, kondisi ini meningkat jika dibandingkan dengan realisasi belanja tidak langsung pada triwulan II 215 yang baru mencapai 21,4% dari anggaran belanja tidak langsung. Meningkatnya realisasi belanja tidak langsung pada triwulan II 216 bersumber dari belanja hibah dan belanja bagi hasil yang masing-masing tercatat sebesar Rp638,96 miliar dan Rp451,41 miliar atau 49,39% dan 35,17% dari anggaran belanja hibah dan belanja bagi hasil untuk tahun 216. Kondisi ini lebih baik dibandingkan periode yang sama pada tahun 215 dimana realisasi belanja hibah dan belanja hasil hanya sekitar 4,58% dan 2,77%. 56

Keuangan Pemerintah Sementara itu Belanja Langsung terealisasi sebesar Rp 926,36 miliar atau 16,59% dari Rp5,58 triliun yang dianggarkan. Realisasi ini lebih baik jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yakni sebesar Rp485,33 miliar atau sebesar 7,73% dari yang dianggarkan sebesar Rp 6,28 triliun. Meningkatnya realisasi belanja langsung tersebut, bersumber dari realisasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di triwulan II tahun 216 yang tercatat relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga Juni 216, realisasi belanja modal pemerintah Provinsi Riau tercatat mencapai Rp318,33 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun 215 yang baru mencapai Rp144,31 miliar. Selanjutnya, realisasi belanja barang dan jasa hingga akhir Juni 216 mencapai Rp52,92 miliar, lebih tinggi dibandingkan realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp264,4 miliar. Meskipun relatif lebih baik dibanding tahun sebelumnya, realisasi belanja pemerintah Provinsi Riau hingga akhir tahun 216 masih perlu mendapat perhatian serius. Adapun kendala dalam realisasi belanja APBD di Provinsi Riau antara lain: 1. Keterlambatan pengesahan APBD Kabupaten / Kota / Provinsi, termasuk keterlambatan Daerah dalam menetapkan Perda APBD dan terlambatnya penyusunan dan penetapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD; 2. Belum kuatnya manajemen keuangan daerah, dan masih lemahnya pemantauan pelaksanaan program/ kegiatan dengan belum diberlakukannya reward dan punishment bagi SKPD yang tidak dapat memenuhi target penyerapan; 3. Belum memadainya kemampuan manajemen pelaksanaaan proyek, antara lain kurangnya koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah, dan keterbatasan SDM terkait dengan persiapan teknis, penyusunan RAB, dan desain konstruksi atas pekerjaan fisik. 4. Tingginya pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan pada awal tahun anggaran. 5. Pemerintah Daerah sangat berhati-hati dalam melaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa melalui lelang di daerah, sehingga terkadang proses lelang mengalami keterlambatan. Proses pengadaan barang dan/atau jasa dapat terhambat karena: a. Tidak terdapat tenaga ahli (PPK) yang memadai pada masing-masing satker, kurangnya personil yang mempunyai sertifikasi pengadaan 57

Keuangan Pemerintah barang dan jasa; termasuk Keengganan pegawai untuk ditunjuk menjadi PPK karena takut terjerat kasus hukum oleh oknum di kepolisian dan kejaksaan. b. belum ditetapkannya pengelola anggaran dan pengelola kegiatan/ pengadaan; c. perencanaan pengadaan yang mengalami keterlambatan, meliputi penetapan jadwal pengadaan, penyusunan dan penetapan dokumen pengadaan, serta pengumuman pengadaan. 6. Terdapatnya double penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah terhadap kegiatan yang sama sehingga anggaran tidak terserap dengan maksimal. 7. Kurang baiknya perencanaan anggaran yang berdampak terhadap adanya revisi anggaran di pertengahan tahun. Hal ini biasanya akan menyebabkan program dan kegiatan dimana program dan kegiatan yang belum/tidak direncanakan sebelumnya tidak dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran, karena harus menunggu perubahan anggaran (APBD-P). Solusi yang ditempuh agar penyerapan APBD di Provinsi Riau lebih maskimal kedepannya antara lain : 1. Menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang sinkron dengan rencana pengadaan (procurement plan). 2. Mengurangi pertukaran Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun anggaran sehingga kelancaran pelaksanaan anggaran pada tahun berjalan dapat dilakukan dengan baik. 3. Komitmen dan kesepakatan antara legislatif dan yudikatif terhadap pentingnya ketepatan waktu dalam penyusunan anggaran. 4. Penyusunan program di daerah berpatokan pada RPJMD dengan mengacu kepada RPJMN. 58

Boks Revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 214-219 Pada tanggal 27 Juni 216, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Riau melaksanakan Rapat Koordinasi Revisi RPJMD Provinsi Riau Tahun 214-219. Rapat ini bertujuan untuk melakukan penyempurnaan terhadap dimensi revisi RPJMD dan penyesuaian terhadap regulasi, diantaranya terkait dengan Undang-Undang 23 tahun 214 tentang Pemerintahan Daerah beserta revisinya, pergeseran asumsi kemampuan keuangan yang signifikan, penyesuaian target, penetapan RPJMN 215-219 dan Nawacita, revisi RPJPD Provinsi Riau 25-225, penyesuaian kebijakan kewilayahan, perubahan pola perhitungan IPM, ringkasan struktur keuangan unbalanced, koreksi indikator dan penetapan sasaran daerah, keselarasan antara isu, arah kebijakan, program serta target yang ditetapkan. Selanjutnya fokus pembangunan jangka panjang tahap PJMD ke 3 dengan mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat 2-3%, IPM pada indeks 73, tingkat kemiskinan menurun 7-8% dengan prioritas wilayah pedesaan, indeks gini,3, pengendalian inflasi hingga mencapai 3-4% per tahun serta berkurangnya disparitas antar wilayah. berikut: Adapun beberapa saran dan masukan dari stakeholder diantaranya adalah sebagai Melakukan percepatan pengesahan RTRW, Mencari alternative pengganti sektor migas, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Pendidikan diminta merumuskan konsep pendidikan gratis, Membuka keterisoliran daerah-daerah terpencil di kabupaten/kota, Melakukan transparansi pengelolaan pemerintahan dengan menggunakan informasi tekhnologi, perlu adanya langkah kongkrit tingkat implementasi yang jelas terhadap pelaksanaan kerjasama daerah PEKANSIKAWAN serta menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor prioritas, Penguatan restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti, Penguatan kerjasama daerah SIAPBEDELAU Sumber: BAPPEDA Provinsi Riau

Penguatan pariwisata Kabupaten Siak, Pengembangan industri hilir produk perkebunan sawit di Kabupaten Rokan Hulu dapat memperkecil disparitas antar wilayah, dan Pengurangan terhadap angka kemiskinan dan tingkat pengangguran dan perlu dibangunnya sistem pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan memanfaatkan informasi teknologi. Sejalan dengan revisi RPJPD Provinsi Riau tahun 25-225, terdapat pergeseran pencapaian target-target indikator ekonomi makro, perlunya peningkatan agroindustri, perumusan alternatif baru pengganti migas dan perkebunan ke arah sektor lainnya seperti sektor pariwisata berbasis budaya. Peningkatan sektor pariwisata secara langsung akan berdampak pada perkembangan sektor rill secara swadaya masyarakat, serta perputaran likuditas atau uang beredar di masyarakat menjadi lebih tinggi sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Selain pengembangan sektor alternatif, diperlukan pengembangan kawasan industri berbentuk ekonomi khusus dengan adanya kekhususan produk industri yang ditonjolkan dan terintegrasi dengan fasilitas perhubungan yang memadai. Beberapa fasilitas infrastruktur perhubungan yang perlu dikembangkan secara intensif antara lain pelabuhan Kuala Enok, Tanjung Buton, dan Dumai, pembangunan tol dan railway Pekanbaru Dumai, sekaligus pengembangan Dumai sebagai salah satu titik pengembangan tol laut di wilayah pesisir pulau Sumatera yang juga berbatasan langsung dengan Negara tetangga Singapura dan Malaysia. Sumber: BAPPEDA Provinsi Riau

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Bab 4 STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN dan UMKM 1. Kondisi Umum Perbankan Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan II-216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), namun hal ini berbanding terbalik dengan penyaluran Kredit yang justru mengalami pertumbuhan, seiring dengan meningkatnya perekonomian. Pada triwulan II-216 aset perbankan tercatat mencapai Rp88,4 triliun, mengalami penurunan dari kontraksi 6,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 11,28% (yoy). Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat sebesar Rp66,52 triliun, juga menurun dari kontraksi 5,77% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 6,66% (yoy) pada triwulan II 216. 59

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Berbanding terbalik dengan perkembangan aset dan DPK yang mengalami penurunan, penyaluran kredit pada triwulan II-216 mengalami perbaikan jika dibandingkan triwulan I-216, yaitu dari 7,33% (yoy) tumbuh menjadi 7,94% (yoy) dengan nilai mencapai Rp59,28 triliun. Seiring dengan membaiknya pertumbuhan kredit, kualitas kredit yang disalurkan perbankan di provinsi Riau juga mengalami perbaikan. NPL perbankan di triwulan II-216 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan NPL di triwulan I-216 dari 4,23% menjadi 4,14%. Sejalan dengan penurunan pertumbuhan DPK yang diikuti pertumbuhan kredit yang mulai membaik, LDR perbankan berada pada level 89,11% yang mencerminkan bahwa masih cukup terjaganya likuiditas perbankan di Provinsi Riau. Tabel 4.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta) Indikator 215 216 (yoy, %) I II III IV I II Tw I 216 Tw II 216 Aset (Rp Juta) 91.724.376 99.637.187 96.51.233 82.914.524 85.76.926 88.43.26 (6,5) (11,28) - Bank Umum 9.534.888 98.451.429 95.323.47 81.686.28 84.514.141 87.15.773 (6,65) (11,48) - BPR/S 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785 1.252.252 4,82 5,61 Kredit (Rp Juta) 53.266.23 54.923.581 55.863.81 57.445.328 57.169.12 59.283.67 7,33 7,94 - Bank Umum 52.41.716 54.12.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232 58.325.238 7,35 7,98 - BPR/S 864.37 911.96 916.54 97.81 916.87 957.829 6,8 5,13 Kredit UMKM (Rp Juta) 19.89.94 2.212.276 19.894.36 19.884.668 19.95.368 2.633.645,48 2,8 Dana Pihak Ketiga (Rp Juta) 67.372.858 71.278.18 7.7.676 62.927.349 63.483.576 66.527.545 (5,77) (6,66) - Bank Umum 66.525.297 7.42.859 69.189.487 62.5.178 62.588.183 65.616.219 (5,92) (6,82) - BPR/S 847.56 857.25 881.188 877.171 895.392,67 911.325,21 5,64 6,31 LDR 79,6% 77,6% 79,72% 91,29% 9,5% 89,11% NPL 3,82% 4,33% 4,5% 3,86% 4,23% 4,14% - Bank Umum 3,64% 4,16% 4,34% 3,71% 4,7% 3,98% - BPR/S 14,45% 13,84% 14,39% 12,92% 14,8% 13,76% Sumber : Bank Indonesia 2. Perkembangan Bank Umum 2.1. Perkembangan Aset Pada triwulan II 216, aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp87,15 triliun mengalami kontraksi sebesar 11,48% (yoy) menurun dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi sebesar 6,65% (yoy). Jika dilihat secara triwulanan aset bank umum mengalami ekspansi sebesar 3,12% (qtq) menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami ekspansi sebesar 3,46% (qtq). 6

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grafik 4.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau Grafik 4.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok Rp Triliun Aset g - yoy (RHS) Persen (%) 12 3 1 2 8 1 6 4 2-1 -2 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Rp Triliun Pemerintah Swasta Total (RHS) 8 7 6 5 4 3 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia 12 1 8 6 4 2 Berdasarkan kepemilikannya, menurunnya pertumbuhan aset bank umum pada triwulan laporan terutama bersumber dari kontraksi aset kelompok bank umum pemerintah sebesar 16,5% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi di triwulan sebelumnya sebesar 9,64% (yoy). Sementara pertumbuhan aset bank swasta mengalami pertumbuhan sebesar 1,74% (yoy) lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 1,4% (yoy). Pangsa aset bank umum pemerintah masih tetap mendominasi dengan share 7,48% mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya dengan share 7,57%. Grafik 4.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank Grafik 4.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank Rp Triliun Pemerintah Swasta Total (RHS) 8 7 6 5 4 3 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 12 1 8 6 4 2 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Persen (%) Konvensional Syariah II III IV II I III IV I II I III IV I II 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1,, 213 214 215 216 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kegiatannya, aset bank umum konvensional (pangsa 93,44%) pada triwulan II-216 tercatat mengalami kontraksi sebesar 13,5% (yoy) dengan nilai mencapai Rp81,43 triliun menurun dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 7,37% (yoy) dengan nilai mencapai Rp79,61%. Namun berbeda dengan kinerja bank umum syariah (pangsa 6,56%), di 61

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM tengah perlambatan pertumbuhan aset bank umum konvensional, kinerja bank umum syariah masih tercatat cukup baik dengan aset yang tumbuh sebesar 19,14% (yoy) dengan nilai mencapai Rp5,72 triliun, membaik dibanding dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,84% (yoy) dengan nilai mencapai Rp 4,91 triliun. 2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Penghimpunan DPK oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat mengalami kontraksi sebesar 6,82% (yoy). Penurunan kinerja tersebut melanjutkan perlambatan pertumbuhan DPK yang terjadi mulai triwulan I 215. Terkontraksinya DPK pada triwulan II 216 bersumber dari Deposito (pangsa 35,8%) yang terkontraksi lebih dalam yaitu dari kontraksi 9,45% (yoy) menjadi kontraksi 16,8% (yoy) di triwulan II-216, dan komponen Giro (pangsa 17,82%) yang terkontraksi sebesar 23,59% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 21,17% (yoy). Sementara itu Tabungan (pangsa 47,1%) mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup signifikan dari 5,73% (yoy) di triwulan I-216 menjadi 11,61% (yoy) di Triwulan II-216. Grafik 4.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan RpTriliun DPK Giro Tabungan Deposito 8 35 7 6 5 4 3 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia 3 25 2 15 1 5 Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan Persen (%) 8 6 4 2-2 -4 Sumber : Bank Indonesia Giro Tabungan Deposito DPK I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 212 213 214 215 216 Deposito yang terkontraksi lebih dalam disebabkan oleh Deposito milik Pemerintah Daerah yang terkontraksi semakin dalam dari kontraksi 47,67% (yoy) menjadi kontraksi 63,16% (yoy) di triwulan II-216. Kondisi ini menunjukkan Pemerintah Daerah dan Badan banyak melakukan penarikan sejumlah dana yang disimpan dalam bentuk Deposito, hal ini terkait dengan percepatan realisasi anggaran APBD pada triwulan II-216. Sementara penurunan pertumbuhan Giro disebabkan oleh menurunnya Giro di sektor Pemerintah Daerah yang mengalami kontraksi semakin dalam yakni dari kontraksi 43,27% (yoy) menjadi kontraksi 56,7% (yoy) pada 62

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM triwulan II-216. Terjadinya kontraksi giro pemerintah daerah pada triwulan I-216 dan triwulan II-216 merupakan efek dari diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.235/PMK.7/215 perihal Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai dimana sejak PMK tersebut diberlakukan, Dana Bagi Hasil (DBH) atau Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini disalurkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana tunai berubah kedalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Di sisi lain, Tabungan menunjukkan tren pertumbuhan dari triwulan I-215 hingga triwulan II-216 meskipun pertumbuhan di triwulan laporan relatif belum signifikan. Kondisi ini mencerminkan masih cukup rendahnya daya beli masyarakat dan ekspektasi kondisi perekonomian yang masih rendah sehingga masyarakat cenderung berjaga-jaga menyimpan dananya dalam bentuk tabungan di perbankan. Tabel 4.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar) RpMiliar Sumber : Bank Indonesia 2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit Pada triwulan II-216, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp58,33 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,98% (yoy), lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tumbuh sebesar 7,35%(yoy). Perbaikan penyaluran kredit menunjukkan mulai meningkatnya permintaan kredit pada triwulan laporan, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi meskipun masih terbatas. 215 216 I II III IV I II g - yoy Pemerintah 16.13 17.859 16.726 6.254 9.396 8.65-54,84 Pemerintah Pusat 291 294 335 36 431 412 4,29 Pemerintah Daerah 13.832 15.818 14.341 4.94 7.634 6.467-59,12 Badan/ Lembaga Pemerintah 16 12 114 13 165 164 6,19 Badan Usaha Milik Negara 1.82 1.62 1.768 1.525 1.38 97-43,41 Badan Usaha Milik Daerah 53 43 168 144 129 116 168,78 Swasta 8.93 9.256 8.165 9.133 7.734 8.175-11,68 Perusahaan Asuransi 84 67 8 85 82 69 3,36 Perusahaan Swasta 7.1 8.189 7.51 7.836 6.561 6.949-15,14 Yayasan dan Badan Sosial 793 783 82 922 848 887 13,33 Koperasi 214 218 214 29 242 269 23,64 Lainnya 3 3 3 2 3 3-7,33 Perorangan 42.326 43.32 44.295 46.661 45.455 49.374 14,2 63

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM 7 Rp Triliun 6 5 4 3 2 1 Grafik 4.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Modal kerja Investasi Konsumsi Produktif Total 25 2 15 1 5-5 -1 Grafik 4.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan Persen (%) Modal kerja Investasi 35 Konsumsi Produktif 3 Total I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Membaiknya penyaluran kredit pada triwulan II-216 bersumber dari membaiknya penyaluran kredit pada sektor pemerintah yang tumbuh sebesar 14,4% (yoy) lebih baik jika dibandingkan triwulan I-216 sebesar 13,65 (yoy). Membaiknya penyaluran kredit juga ditopang oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor swasta yang mengalami kenaikan walaupun masih mengalami kontraksi sebesar 4,43% (yoy) pada triwulan laporan, namun masih lebih baik jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,5% (yoy). Sementara itu berdasarkan jenis penggunaanya, kredit investasi (pangsa 3,13%) mengalami perlambatan yaitu dari tumbuh 2,91% (yoy) di triwulan I 216 menjadi 2,6% (yoy) di triwulan II-216 dengan nilai mencapai Rp17.57 triliun. Sementara kredit modal kerja (pangsa 31,98%) mengalami perbaikan jika dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 8,77% (yoy) di triwulan I 216 tumbuh menjadi 11,1% (yoy) di triwulan II 216 dengan nilai mencapai Rp 18,65 triliun. Hal ini juga diikuti oleh membaiknya kredit konsumsi (pangsa 37,9%) yang tumbuh dari 9,97% (yoy) di triwulan I-216 menjadi 1,5% (yoy) di triwulan II-216 dengan nilai mencapai Rp22,1 triliun. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penyaluran kredit produktif di triwulan II-216 mencapai Rp36,22 triliun atau tumbuh sebesar 6,76% (yoy). 64

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Rptriliun 7 6 5 4 3 2 1 Grafik 4.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Pemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan) 3 2 1 25 2 15 1 5-5 -1 Grafik 4.1. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta Persen (%) Persen (%) -2 I II III IV I II III IV I II III IV I II -3 213 214 215 216-4 Pemerintah Swasta Rupiah Valas (Kanan) 3 2 1-1 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Perlambatan kredit terjadi pada penyaluran kredit valas sementara kredit dalam mata uang Rupiah mengalami pertumbuhan. Kredit rupiah mencapai Rp57,49 triliun, tumbuh 8,78% (yoy) meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 7,99% (yoy). Sementara kredit valas mencapai Rp 832,99 miliar, mengalami kontraksi yang semakin dalam sebesar 28,15% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar 21,52% (yoy). 3. Intermediasi dan Risiko Perbankan Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan II-216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 88,89% yang sebelumnya di triwulan I-216 tercatat sebesar 89,88%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 1% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Grafik 4.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau 8 7 6 5 4 3 2 1 Rp Triliun Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 94 92 9 88 86 84 82 8 78 76 74 DPK Kredit LDR (Kanan) Sumber : Bank Indonesia 65

Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, gas dan air Konstruksi Perdag, resto.. Pengangkutan, pe.. Jasa Lainnya Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, gas dan.. Konstruksi Perdagangan, res.. Pengangkutan, per.. Jasa Lainnya KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM NPL kredit bank umum pada periode laporan menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 4,7% menjadi 3,98%. Tingkat NPL kredit bank umum yang menurun menunjukkan trend perbaikan kualitas kredit yang disalurkan bank umum di Provinsi Riau dalam kurun 3 bulan terakhir. Dengan demikian kualitas kredit di Provinsi Riau masih berada di bawah batas kewajaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (5%) namun perlu menjadi perhatian oleh perbankan, mengingat kecenderungan NPL dapat meningkat di triwulan berikutnya. Grafik 4.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau Grafik 4.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan II-216 1,8 1,6 1,4 1,2 1,,8,6,4,2 - RpTriliun Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 5 4 3 2 1 1 8 6 4 2 4,25 1,5 1,5,79 8,5 6,52 4,61 4,28 Persen (%) 2,33 213 214 215 216 Kurang lancar Diragukan Macet Diragukan Sumber : Bank Indonesia Grafik 4.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-216 Sumber : Bank Indonesia Grafik 4.15. NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan II-216 35 Pertanian 3 2,74 6,71 22,25 24,57 6,41,26 1,14,7 Pertambangan Perindustrian Listrik, gas dan air Konstruksi Perdagangan, resto dan hotel Pengangkutan, pergudangan Jasa 25 2 15 1 5-5 35,85 Lainnya Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi yaitu sebesar 8,5%, menurun dibandingkan triwulan I 216 yang sebesar 9,48%. Beberapa sektor lain yang memilki NPL cukup tinggi pada periode laporan ini adalah sektor perdagangan sebesar 6,52% dan sektor pengangkutan 4,61%. Pada kedua sektor tersebut angka NPL juga tercatat menunjukkan penurunan jika dibandingkan triwulan sebelumnya. 66

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM 4. Stabilitas Sistem Keuangan 4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan II 216 masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 23,3% dan 21,88% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp13,43 triliun dan Rp12,76 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa 93,%dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp12,49 triliun. Sedangkan subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan, minuman dan tembakau dengan pangsa 18,46% dari total kredit sektor perdagangan atu sebesar Rp2,36 triliun. Pada triwulan II 216 penyaluran kredit kepada sektor pertanian membaik yaitu tercatat tumbuh sebesar 13,11% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan I 216 yang tumbuh sebesar 9,57% (yoy), begitu pula dengan penyaluran kredit di sektor perdagangan yang turut tumbuh sebesar 11,28% (yoy) di triwulan II 216, membaik jika dibandingkan dengan triwulan I 216 yang tumbuh sebesar 8,71% (yoy). Tabel 4.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun) RpTriliun 215 216 I II III IV I II Pangsa g (yoy) Pertanian 11,45 11,87 12,14 12,62 12,54 13,43 23,3 13,11 Pertambangan,39,5,42,45,36,4,68 (2,47) Perindustrian 2,14 2,26 2,28 2,31 2,43 2,52 4,31 11,48 Listrik, gas dan air,11,1,11,22,21,2,34 9,69 Konstruksi 1,76 1,88 2,14 1,9 1,73 1,85 3,17 (1,41) Perdag, resto dan hotel 11,2 11,47 11,48 12,4 12,18 12,76 21,88 11,28 Pengangkutan, pergud 1,62 1,57 1,55 1,51 1,46 1,38 2,37 (12,29) Jasa 4,8 4,24 4,8 4,5 3,76 3,64 6,24 (14,25) Lainnya 19,65 2,11 2,74 21,43 21,58 22,15 37,98 1,12 Total 52,4 54,1 54,95 56,54 56,25 58,33 1, 7,98 Sumber : Bank Indonesia Meningkatnya penyaluran kredit sektor pertanian utamanya didorong oleh peningkatan subsektor perkebunan kelapa sawit yang pada triwulan II 216 tumbuh sebesar 15,51% (yoy) lebih baik dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,47% (yoy). Sementara meningkatnya penyaluran kredit sektor perdagangan utamanya didorong oleh peningkatan sub sektor 67

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM perdagangan kelapa dan kelapa sawit yang di triwulan II 216 tumbuh sebesar 3,69% (yoy) lebih baik dibanding triwulan I 216 yang tumbuh 1,6% (yoy). Grafik 4.16. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-216 Grafik 4.17. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-216 Hotel bintang 47,18 Hotel bintang 1,2 Persen (%) Perdagangan eceran bahan konstruksi -2,37 Perdagangan eceran bahan konstruksi 4,94 Perdagangan eceran komoditi lainnya. 12,1 Perdagangan eceran komoditi lainnya. 5,57 Perdagangan kelapa dan kelapa sawit 3,69 Perdagangan kelapa dan kelapa sawit 5,22 Perdagangan eceran didominasi makanan 1,46 Perdagangan eceran didominasi makanan. 18,46 Perkebunan karet -18,38 dan getah lainnya Perkebunan karet dan getah lainnya 2,68 Perkebunan kelapa sawit 15,51 Perkebunan kelapa sawit 93, Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Tabel 4.4. Kredit Lokasi Proyek Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun) Sektor Ekonomi (Rp Triliun) 215 216 I II III IV I II Pangsa g (yoy) Pertanian 19,34 19,83 2,24 24,91 24,43 25,25 29,44% 27,34 Pertambangan dan Penggalian 1,18 1,21 1,11 1,8,92,95 1,1% -21,72 Industri Pengolahan 9,3 8,72 9,23 8,98 8,31 8,44 9,84% -3,28 Listrik, Gas dan Air,45,45,48 1,76 1,65 1,75 2,4% 289,54 Konstruksi 1,95 2,23 2,46 2,29 2,17 2,35 2,74% 5,46 Perdagangan 12,4 12,5 12,59 14,36 14,59 14,96 17,45% 19,7 Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 1,93 1,89 1,96 1,94 1,85 1,89 2,2% -,7 Jasa 4,53 4,67 4,37 4,77 4,61 4,48 5,23% -4,12 Lainnya 23,6 24,17 24,93 25,13 25,28 25,69 29,96% 6,31 TOTAL KREDIT 74,5 75,67 77,37 85,22 83,82 85,76 1,% 13,33 Sejalan dengan kredit berdasarkan lokasi bank, jumlah penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau pada triwulan I 216 tercatat sebesar Rp85,76 trilun atau tumbuh sebesar 13,33% (yoy) lebih baik dibandingkan triwulan I 216 yang tercatat sebesar Rp83,81 triliun atau tumbuh sebesar 13,19% (yoy). Penyaluran kredit masih didominasi oleh sektor pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 29,44% dan 17,45% dengan nilai kredit masingmasing sebesar Rp25,24 triliun dan Rp14,96 triliun. 68

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Secara sektoral NPL sektor pertanian pada triwulan II 216 berada pada level 4,25% memburuk jika dibandingkan triwulan I 216 yang berada pada level 3,92%, sementara NPL di sektor perdagangan pada triwulan II 216 berada pada level 6,52% membaik jika dibandingkan triwulan I 216 yang berada pada level 7,1% namun telah berada diatas treshold yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%, oleh karena itu penyaluran kredit secara ekspansif di sektor Pertanian dan Perdagangan harus dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan adanya perbaikan Kinerja keuangan pelaku usaha pada triwulan II- 216 jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari perkembangan kemampuan akses kredit yang cenderung meningkat. Penurunan suku bunga perbankan saat ini sudah mulai berdampak terhadap kondisi kredit para pelaku usaha, baik dari kredit modal kerja ataupun kredit investasi. Meskipun demikian, peningkatan diperkirakan belum siginifikan mengingat ketidakpastian kondisi ekonomi dan masih terbatasnya permintaan. Grafik 4.18. Akses Kredit (SBT%) 69

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM 4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah Kredit konsumsi di Provinsi Riau pada triwulan II-216 sedikit membaik jika dibandingkan dengan triwulan I 216, dimana pada triwulan ini kredit konsumsi tercatat tumbuh sebesar 1,5% (yoy) lebih baik dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 9,97% (yoy). Grafik 4.19. Perkembangan Kredit Perumahan Grafik 4.2. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Rp Triliun Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Perumahan g yoy (kanan) 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2-2 6 5 4 3 2 1 Rp. Miliar Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Kendaraan g yoy (kanan) 25 2 15 1 5-5 -1-15 -2-25 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Membaiknya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari penyaluran kredit ke sektor perumahan yang tumbuh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan II-216, kredit perumahan tercatat sebesar Rp8,2 triliun atau tumbuh sebesar 7,73% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tercatat tumbuh Rp7,71 triliun atau tumbuh 5,52% (yoy). Membaiknya penyaluran kredit di sektor perumahan bersumber dari meningkatnya kredit rumah tangga kepemilikan rumah tinggal tipe 22 s.d 7 (pangsa 55,61%) yang pada triwulan II 216 tercatat tumbuh sebesar 18,46% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh hanya sebesar 14,55% (yoy). 16 14 12 1 8 6 4 2 Grafik 4.21. Perkembangan Kredit Multiguna Rp. Triliun I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Multiguna g yoy (kanan) Persen (%) 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 Grafik 4.22. Perkembangan Kredit Durable Goods 8 7 6 5 4 3 2 1 Rp Miliar I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Durable goods Persen (%) g yoy (kanan) 3 25 2 15 1 5-5 -1 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia 7

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Sementara kredit kendaraan bermotor pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp365,24 miliar, mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan sebelumnya yakni dari kontraksi 12,5% menjadi 15,66% (yoy). Melambatnya pertumbuhan di sektor kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya kredit kendaraan roda empat (pangsa 89,4%) yang mengalami kontraksi lebih dalam dari kontraksi triwulan sebelumnya yaitu 12,73% (yoy) menjadi 16,83% (yoy). Membaiknya kredit konsumsi juga ditopang oleh sektor kredit durable goods yang mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 182,4% (yoy) di triwulan I-216 menjadi 253,61% (yoy) di triwulan II-216 dengan nilai mencapai Rp71,2 miliar. Meningkatnya kredit durable goods sejalan dengan kredit multiguna yang pertumbuhannya meningkat dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 12,62% (yoy) menjadi 21,67% (yoy) dengan nilai kredit sebesar Rp14,15 triliun. Berdasarkan hasil Survei Konsumen, ketahanan sektor rumah tangga tercermin dari peningkatan indeks konsumsi barang tahan lama yang meningkat pada periode laporan. Peningkatan penghasilan masyarakat (Indeks Penghasilan Konsumen) menjadi pendorong kuatnya konsumsi rumah tangga di Provinsi Riau yang dipengaruhi momen Bulan Ramadan dan persiapan Idul Fitri. Grafik 4.23. Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks Konsumsi Barang Tahan Lama 16 14 12 1 8 6 4 2 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Indeks Penghasilan Konsumen Indeks Konsumsi barang-barang kebutuhan tahan lama 71

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM 4.3. Ketahanan Sektor UMKM Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp2,63 triliun pada triwulan II 216, meningkat 2,8% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar,48%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau mengalami sedikit penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 35,39% menjadi 35,38%. Penyaluran kredit skala usaha mikro (Pangsa 29,59%) memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan II 216 yaitu sebesar 1,38% (yoy), sementara kredit skala usaha menengah juga membaik walaupun masih tercatat kontraksi sebesar 6,38% (yoy) namun masih lebih baik jika dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi sebesar 9,15% (yoy). Di sisi lain kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit UMKM Riau (39,8%) pada triwulan II 216 mengalami perlambatan dari tumbuh sebesar 4,74% (yoy) pada triwulan I 216 menjadi tumbuh 3,71% (yoy) pada triwulan II 216. Grafik 4.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM Grafik 4.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha 25 2 15 1 Rp Triliun Persen (%) 25 2 15 1 5 Menengah 31% Mikro 3% 5 I II III IV I II III IV I II III IV I II -5 213 214 215 216 Kredit UMKM g yoy (kanan) Kecil 39% Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Jika dilihat porsinya, kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil sebesar Rp8,6 triliun (pangsa 39,8%), kemudian diikuti oleh kredit usaha menengah (pangsa 31,33%) dan kredit usaha mikro (pangsa 29,59%) masing-masing sebesar Rp6,47 triliun dan Rp6,11 triliun. 72

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Tabel 4.5. Kredit UMKM di Provinsi Riau TwIV-215 Menurut Sektor Ekonomi (RpMiliar) RpMiliar 215 216 I II III IV I II Pangsa g (yoy) Pertanian 6.658 6.956 6.952 6.772 6.693 6.896 33,42 -,85 Pertambangan 158 186 15 161 92 95,46-48,94 Perindustrian 466 391 39 432 415 452 2,19 15,62 Listrik, gas dan air 17 99 15 38 89 176,85 78,32 Konstruksi 1.6 1.6 1.23 1.46 1.78 1.184 5,74 11,66 Perdagangan 8.456 8.634 8.563 8.831 9.56 9.4 45,55 8,87 Pengangkutan 719 78 662 64 58 565 2,74-2,14 Jasa 2.166 2.168 2.41 1.945 1.888 1.825 8,84-15,82 Lainnya 21 12 9 2 17 41,2 254,25 Total 19.81 2.212 19.894 19.885 19.95 2.634 1 2,8 Sumber : Bank Indonesia Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan (pangsa 45,55%) dan pertanian (pangsa 33,42%). Pada triwulan II-216, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor perdagangan mencapai Rp9,4 triliun atau tumbuh sebesar 8,87% (yoy) di triwulan II-216, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,9% (yoy). Sementara itu, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor pertanian mencapai Rp6,89 triliun mengalami kontraksi sebesar,85% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar,52% (yoy). Grafik 4.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM Grafik 4.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan II-216 (%) Rp Triliun Kredit UMKM NPL Persen (%) 25 9 8 2 7 6 15 5 4 1 3 5 2 1 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Lainnya 1,77 Persen (%) Jasa 7,35 Pengangkutan Perdagangan Konstruksi Listrik, gas dan air,89 Perindustrian 5,56 Pertambangan 5,66 Pertanian 7,3 Sumber : Bank Indonesia 8,45 8,21 8,31 NPL UMKM tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan I-216 yaitu dari 7,65% menjadi 7,69%. Masih tingginya NPL tersebut didorong oleh memburuknya NPL sektor pertanian yang tercatat cukup tinggi sebesar 7,3% memburuk dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 6,68%. Tingginya NPL di sektor tersebut diperkirakan karena harga komoditas yang belum sepenuhnya membaik sehingga mencipatakan daya beli masyarakat yang rendah dan 73

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM berpengaruh terhadap kemampuan membayar hutang jatuh tempo. Angka NPL di sektor UMKM tersebut telah jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 5%. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian serius perbankan untuk semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit UMKM. 5. Perkembangan Perbankan Syariah Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan I-216. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp5,75 triliun meningkat sebesar 19,12% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I-216 yang tumbuh sebesar 6,78% (yoy). Sementara, dana yang dihimpun oleh perbankan syariah tercatat sebesar Rp3,93 triliun atau tumbuh 13,79% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 12,18% (yoy). Peningkatan DPK perbankan syariah didorong oleh meningkatnya jenis simpanan tabungan (pangsa 53,25%) dan deposito (pangsa 36,79%) dibandingkan triwulan I-216. Tabungan meningkat dari 5,45% (yoy) menjadi 8,49% (yoy), sementara Deposito tumbuh sebesar 25,87% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 21,79% (yoy). Sementara Giro (pangsa 9,96%) tumbuh melambat dari 19,16% (yoy) pada triwulan I 216 menjadi 4,11% (yoy) pada triwulan laporan. Grafik 4.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah Grafik 4.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1,, Rp Triliun Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 4 3 2 1-1 -2 9. 8. 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1. - Rp Miliar I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 213 214 215 216 Aset Sumber : Bank Indonesia g yoy (kanan) Giro Tabungan Deposito Total Sumber : Bank Indonesia 74

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grafik 4.3. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Penggunaan Grafik 4.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral 2.5 2. 1.5 1. 5 - Rp Miliar I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Modal Kerja Investasi Konsumsi Total 4.5 4. 3.5 3. 2.5 2. 1.5 1. 5 - Lainnya Jasa Pengangkutan, pergud Perdag, resto dan hotel Konstruksi Listrik, gas dan air Perindustrian Pertambangan Pertanian 391 12 684 189 28 25 54 51 Rp Miliar 2.21 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Sementara di sisi pembiayaan, perbankan syariah pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp4,1 triliun meningkat dari tumbuh 6,22% (yoy) di triwulan I 216 menjadi 17,88% (yoy). Meningkatnya pembiayaan perbankan syariah didorong oleh peningkatan pembiayaan konsumsi (pangsa 49,59%) dan investasi (pangsa 31,69%). Pembiayaan konsumsi meningkat dari 11,63% (yoy) pada triwulan I 216 menjadi 16,61% (yoy) pada triwulan II 216, sementara pembiayaan investasi mengalami perbaikan yang pada triwulan I 216 tumbuh sebesar 1,8% (yoy), pada triwulan II 216 tumbuh menjadi 33,81% (yoy). Secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (pangsa 12,48%) dan perdagangan (pangsa 17,4%). Pembiayaan sektor pertanian dan perdagangan pada triwulan I-216 masing-masing tercatat sebesar Rp51 miliar dan Rp684 miliar mengalami peningkatan dibandingkan triwulan I 216. Pembiayaan sektor pertanian meningkat dari tumbuh sebesar 19,23% menjadi 2,16% (yoy), sementara pembiayaan sektor perdagangan meningkat dari 16,91% (yoy) menjadi 67,88% (yoy). 75

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grafik 4.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah Grafik 4.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah 25 2 15 1 5 Rp Miliar Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 7 6 5 4 3 2 1 4.5 4. 3.5 3. 2.5 2. 1.5 1. 5 - I II III IV I II III IV I II III IV I II 15 1 95 9 85 8 75 213 214 215 216 213 214 215 216 Nominal NPL (Kanan) DPK Pembiayaan FDR (Kanan) Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Selanjutnya, kualitas pembiayaan oleh perbankan syariah pada triwulan laporan tercatat membaik, hal ini tercermin dari menurunnya NPF yaitu dari 5,5% di triwulan I-216 menjadi 4,96% di triwulan II-216. Namun demikian, perbankan syariah tetap perlu meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan. Di sisi lain, FDR perbankan syariah tercatat membaik dari 95,8% pada triwulan I 216 menjadi sebesar 11,87% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas berada pada kondisi yang masih terjaga. 6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp1,25 triliun, tumbuh membaik jika dibandingkan dengan triwulan I-216 yaitu dari 4,71% (yoy) menjadi 5,61% (yoy) pada triwulan II-216. Sementara, DPK BPR/S pada triwulan II- 216 tercatat sebesar Rp911 miliar, tumbuh 6,31% (yoy) membaik dibandingkan dengan triwulan I-216 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Membaiknya pertumbuhan DPK BPR/S didorong oleh membaiknya pertumbuhan tabungan (pangsa 36,98%) dari yang pada triwulan II 216 walau masih mengalami kontraksi sebesar 3,48% (yoy) namun masih lebih baik dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 4,57% (yoy). Namun membaiknya pertumbuhan DPK tertahan oleh melambatnya pertumbuhan deposito (Pangsa 63,1%) yang pada triwulan II 216 tumbuh sebesar 13,4% (yoy) melambat dibandingkan triwulan I 216 yang tumbuh sebesar 13,35% (yoy). 76

Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, gas dan air Konstruksi Perdagangan Pengangkutan Jasa Lainnya KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM Grafik 4.34. Perkembangan Aset BPR/S Grafik 4.35. Perkembangan DPK BPR/S 14 12 1 8 6 4 2 Rp Miliar Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 7 6 5 4 3 2 1 - Rp Miliar I II III IV I II III IV I II III IV I II 1. 8 6 4 2-213 214 215 216 213 214 215 216 Aset g yoy (kanan) Tabungan Deposito DPK (Kanan) Sumber : Bank Indonesia Grafik 4.36. Perkembangan Kredit BPR/S Sumber : Bank Indonesia Grafik 4.37. Penyaluran Kredit Sektoral 1.2 1. 8 6 4 2 - Rp. Miliar Persen (%) I II III IV I II III IV I II III IV I II 18 16 14 12 1 8 6 4 2 4 35 3 25 2 15 1 5-267 Rp Miliar 1 7 3 14 237 23 35 371 213 214 215 216 Kredit g yoy (kanan) Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia Perlambatan juga terjadi dari sisi penyaluran kredit, pada triwulan II-216 kredit yang disalurkan oleh BPR/S tercatat sebesar Rp958 miliar atau tumbuh 5,13% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan I-216 yang tumbuh mencapai 6,8% (yoy). Melambatnya penyaluran kredit utamanya bersumber dari perlambatan sektor perdagangan (pangsa 24,76%) dari 12,78% (yoy) di triwulan I-216 menjadi tumbuh sebesar 7,79% (yoy) di triwulan II-216. Namun perlambatan pertumbuhan kredit dimaksud tertahan oleh membaiknya penyaluran kredit ke sektor pertanian (pangsa 27,82%) yang walaupun masih tercatat mengalami kontraksi sebesar 1,44% (yoy) namun lebih baik dibandingkan triwulan I 216 yang mengalami kontraksi lebih dalam sebesar 1,82% (yoy). Di sisi lain, kualitas kredit yang disalurkan oleh BPR/S pada triwulan II 216 tercatat mengalami perbaikan yakni sebesar 13,76%, lebih baik dibandingkan dengan triwulan I-216 dimana NPL tercatat pada level 14,8%. Selain itu, risiko likuiditas BPR/S juga perlu menjadi perhatian dimana angka LDR BPR/S pada triwulan II-216 77

Stabilitas Keuangan Daerah, Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM mencapai 15,1% yang menunjukkan bahwa DPK BPR/S tidak dapat menutupi jumlah kredit yang disalurkan. Grafik 4.38. Perkembangan NPL BPR/S Grafik 4.39. Perkembangan LDR BPR/S 14 12 1 8 Rp Miliar Persen (%) 18 16 14 12 1 112 11 18 16 6 4 2 8 6 4 2 14 12 1 - I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Nominal NPL (Kanan) 98 96 I II III IV I II III IV I II III IV I II 213 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia 78

Boks Upaya Pengendalian Inflasi di Provinsi Riau Melalui Kegiatan Diversifikasi Pangan Ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan di Provinsi Riau yang belum terselesaikan. Komoditas pangan utama di Riau yaitu beras mengalami defisit pangan sebesar 59,45% pada tahun 213 atau setara dengan 397.558 Ton. Kekurangan pasokan tersebut selama ini dipenuhi dari luar wilayah Riau. Ketergantungan pasokan dari luar menyebabkan Riau menjadi rentan terhadap guncangan stok pangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menekan permintaan beras dengan melakukan upaya diversifikasi pangan. Sagu saat ini menjadi salah satu sektor ekonomi utama masyarakat di Kepulauan Meranti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (214), Kep. Meranti memiilki wilayah seluas 37 ribu Hektar (BPS, 214). Dari luas wilayah tersebut, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kep. Meranti menyampaikan bahwa 16,17% merupakan areal perkebunan sagu. Selain itu, dari 41.299 KK yang terdiri dari 183.912 jiwa penduduk Meranti (BPS Kep. Meranti, 213), 6.766 KK (Dishutbun Kep. Meranti, 214) atau setara 16,38% bekerja di sektor sagu. Dengan luas tanam mencapai 49.163 Hektar dimana 78% areal merupakan lahan sagu rakyat, Meranti dapat memproduksi 21.162 Ton sagu kering/tahun (Dishutbun Kep. Meranti, 214). Potensi pengembangan komoditas sagu untuk mendorong perekonomian Kepulauan Meranti sangat besar, dengan permintaan rata-rata tepung sagu kering sebanyak 4. Ton/thn, Meranti baru dapat memenuhi ± 5% dari permintaan tersebut. Apabila permintaan 4, Ton/thn tepung sagu kering dapat dipenuhi dari Kab. Kep. Meranti, maka perputaran uang untuk sagu ± Rp. 2,3 Triliun. Mayoritas pemasaran hasil sagu tersebut dilakukan ke Cirebon yang akan mengolah bahan sagu tersebut menjadi produk lain. Selain pasar lokal, sagu juga diminati oleh pasar eskpor. Malaysia dan Jepang menjadi dua Negara tujuan ekspor sagu Meranti, dimana permintaan dari dua Negara tersebut memiliki kecenderungan meningkat dikarenakan saat ini telah ada penelitian yang menunjukkan bahwa sagu dapat menjadi pangan alternatif potensial. Selain itu sagu juga diketahui dapat diolah menjadi gula rendah glukosa. Selain dimanfaatkan untuk industri berbagai makanan seperti mie sagu,dan kue sagu kering.tepung sagu dari kepulauan Meranti juga digunakan untuk bahan baku industri non makanan seperti produk biodegradable plastic. Potensi sagu juga tidak terbatas pada produk olahan saja, namun limbah sagu seperti kulit tanaman dan ampas sagu dapat diolah menjadi bahan bakar pembangkit listrik, pakan ternak serta bio ethanol.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Bank Indonesia Provinsi Riau melalui perannya dalam perekonomian Riau terutama dalam pengendalian hal inflasi pangan (volatile food) tergerak untuk melakukan pengembangan komoditas sagu di Kepulauan Meranti sebagai komoditas alternatif pangan. Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui penandatanganan MoU pada tahun 215. Selanjutnya, Bank Indonesia melakukan sertifikasi terhadap benih varietas unggul Sagu Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti yang dilanjutkan dengan pembentukan 5 kelompok tani pembenih varietas sagu Selat Panjang Kepulauan Meranti yang telah disertifikasi. Pada bulan Desember tahun 215, KPwBI Provinsi Riau kembali memperkuat kerjasama melalui penandatangan Kerjasama Operasional (KSO) dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Berdasarkan KSO tersebut, KPw BI Provinsi Riau menyalurkan bantuan Program Sosial Bank Indonesia berupa satu unit kilang sagu kepada Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) di Kelurahan Desa Sungai Tohor. Satu unit kilang sagu tersebut digunakan oleh masyarakat Desa Sungai Tohor untuk mengolah tanaman sagu hasil pertanian mereka menjadi sagu basah, Petani sagu di Desa Sungai Tohor awalnya hanya merupakan petani sagu yang menjual tanaman hasil perkebunan sagu kepada pengumpul dengan harga yang rendah. Dengan mengolah tanaman sagu menjadi sagu basah yang merupakan turunan pertama, petani sagu mendapat manfaat dengan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan menjual dalam bentuk tanaman (tual). Sejak mulai dioperasikan pada awal tahun 216, kilang sagu bantuan Bank Indonesia kepada UP2K Desa Sungai Tohor telah memproduksi sebanyak 24 Ton sagu. Selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti serta menjadikan sagu sebagai alternatif komoditas pangan, pengolahan produk turunan sagu tidak dapat hanya berhenti sampai dengan mengolah tanaman sagu menjadi sagu basah. Hal ini belum berdampak signifikan dalam menggerakkan

roda perekonomian terutama dari sisi inflasi. Sagu basah tersebut masih dapat diolah menjadi produk turunan seperti tepung sagu yang dapat digunakan sebagai bahan baku makanan, dan dapat juga diolah menjadi produk akhir seperti beras analog dan gula cair. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia Riau pada tahun 216 berupaya mendorong pengolahan sagu di Kepulauan Meranti untuk dapat dikembangkan menghasilkan produk turunan yang dapat menggantikan atau menjadi alternatif komoditas penyumbang inflasi. Produk turunan tersebut antara lain berupa tepung sagu dan beras analog sebagai komoditas alternatif menggantikan beras, serta gula cair dari tegu untuk mengurangi ketergantungan impor akan kebutuhan gula dalam negeri. Program Pengembangan Klaster Sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti oleh KPwBI Provinsi Riau dirancang untuk jangka waktu 4 tahun.tahap ini berakhir ketika kelompok yang dibina telah melalui tahap pashing out (kemandirian). Adapun tujuan pengembangan klaster disini jelas yaitu adanya kemandirian. Untuk menjadikan kelompok tani menjadi mandiri tentunya melalui sebuah proses. Proses ini dilalui melalui fase atau tahap-tahap, dimana apabila prosesnya baik maka hasil yang akan di capai juga baik. Mekanisme dalam proses ini tak terlepas dari sikap yang dibangun dalam sebuah kelembagaan kelompok tani sagu. Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 1. Identifikasi potensian dan perencanaan klaster sagu yang melibatkan masyarakat dan Pemda Kab.Kep Meranti. 2. Koordinasi dengan stakeholders Klaster Sagu di Kep.Meranti 3. Menetapkan konsentrasi bentuk program kepada petani sagu. 4. Melaksanakan Mou Dengan Pemda Kab.Kep.Meranti. 1. Pembentukan kelompok tani penangkar bibit sagu. 2. Melakukan Pelatihan penangkaran bibit sagu besertifikat. 3. Pembangunan 1 unit kilang sagu di Desa Sei.Tohor. 4. Pembinaan Kelompok Unit usaha kilang sagu melalui UP2K Desa Sei Tohor. 5. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi. 1. Perencanaan, Pengembangan Produk turunan sagu. 2. Penjajakan informasi dan sharing dengan stakeholder terkait untuk pengolahan tepung sagu menjadi gula cair. 3. Pelatihan Pengolahan tepung sagu menjadi gula cair kepada Kel.Tani sagu dan UMKM. 4. Pemberian bantuan teknis perangkat mesin pengolahan tepung sagu menjadi gula cair kepada UP2K 5. Pelatihan pengemasan gula cair dan manajemen usaha. 6. Fasilitasi perizinan Dep.Kesehatan/Badan POM untuk gula cair. 7. Pelatihan kelembagaan dan Usaha Kelompok tani. 8. Sosialisasi dan Pelatihan pembiyaan usaha/penggalangan modal usaha kel.tani mengarah kepada Pembentukan LKMA khususnya produsen dan pemasaran produk. 9. Monitoring dan Evaluasi 1. Workshop kampanye gula cair untuk elemen masyarakat. 2. Peningkatan akses pasar untuk produk kelompok (Kel.UP2K). 3. Pembentukan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnsi) petani Sagu di Pulau Meranti. 4. Pelatihan Manajemen Lembaga Keuangan Mikro untuk UP2K 5. FGD dengan semua lembaga Pemerintah terkait menuju Meranti Mandiri Gula tahun 218. 6. Evaluasi dengan mengukur Impact /dampak program metode PVA (Project Vektor Analisis). Untuk masyarakat binaan dan non binaan KPWBI Riau. Telah dilaksanakan oleh KPwBI Provinsi Riau (Tahun Pertama) Tahun 216 (Tahun kedua) Tahun 217 (Tahun ketiga)

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Bab 5 ASESMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH 1. Kondisi Umum Sistem Pembayaran Tunai dan Non Tunai Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan II 216 mengalami net outlow, sejalan dengan kondisi yang terjadi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh peningkatan outflow dan penurunan inflow, akibat seasonal factor meningkatnya konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan di triwulan II 216. Kondisi tersebut ditambah dengan meningkatnya penarikan secara tunai oleh masyarakat menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki musim liburan sekolah. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui kliring mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun volume. 79

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai 2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow) Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau dapat terlihat dari pergerakan arus uang masuk (inflow) dan arus uang keluar (outflow). Pada triwulan laporan, terjadi peningkatan sisi outflow dari Rp1,98 triliun menjadi Rp6,96 triliun atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 25,13% (qtq). Sementara itu jumlah inflow pada triwulan II 216 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu Rp2,25 triliun menjadi Rp1,29 triliun atau turun 42,58% (qtq). Peningkatan jumlah outflow diperkirakan karena faktor musiman meningkatnya konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan, yang berlanjut menjelang hari raya Idul Fitri dan memasuki musim liburan sekolah sehingga masyarakat lebih banyak melakukan penarikan secara tunai. Tingginya peningkatan outflow dan rendahnya jumlah inflow pada triwulan laporan telah mendorong terjadinya net outflow sebesar Rp5,66 triliun. Grafik 5.1. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau Grafik 5.2. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Triwulan II-216 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, - Rp Triliun I II III IV I II III IV I II 6, 5, 4, 3, 2, 1, - (1,) Rp. Miliar 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1. 1.294 6.962 5.668 214 215 216 inflow outflow net outflow - Inflow Outflow Net Outflow Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia 8

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Tabel 5.1. Historis net outflow lebaran dalam 6 tahun terakhir Tahun Bulan Inflow Outflow Net Outflow Total Net Outflow Growth Net Outflow 211 212 213 214 215 216 7 143.264 887.186 743.922 8 134.29 2.729.12 2.595.73 3.338.995 7 39.546 1.195.829 85.283 8 73.599 2.386.992 1.656.392 2.461.675-26,27% 6 372.888 1.272.864 899.976 7 453.223 3.25.585 2.797.362 3.697.338 5,2% 6 39.145 1.184.449 875.34 7 23.435 3.974.95 3.743.66 4.618.964 24,93% 6 475.443 1.687.565 1.212.122 7 1.133.615 3.284.678 2.151.63 3.363.185-27,19% 6 415.18 4.17.889 3.755.87 7 1.997.9 46.51 (1.536.58) 2.219.29-34,1% 2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar Salah satu upaya Bank Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang kartal layak edar (fit for circulation) di masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari masyarakat. Selain itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau juga rutin melakukan kegiatan kas keliling wholesale untuk perbankan dan kas keliling retail untuk melayani masyarakat umum. Kegiatan kas keliling wholesale selama periode triwulan II 216 dilakukan di Belilas, Sie Apit, Dumai Expo, dan Bagan Siapiapi. Selain itu pada bulan Ramadhan juga dilakukan kegiatan penukaran bersama dengan perbankan yang dilakukan di beberapa kota yaitu Pekanbaru, Tembilahan, Dumai, dan Pasir Pangaraian. Sementara itu kegiatan kas keliling retail untuk kepentingan masyarakat umum dilakukan setiap 1 kali dalam seminggu. Upaya lain yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau untuk memenuhi uang layak beredar di Provinsi Riau adalah dengan membuka kas titipan. Kas titipan yang sudah beroperasi normal berada di kota Dumai dengan plafon sebesar Rp5 miliar, dan akan ditingkatkan Rp1 miliar (telah dilakukan pemeriksaan oleh DPU). Untuk menambah jumlah kas titipan saat ini telah dilakukan survey dan pembuatan kajian eligibilitas pembukaan kas titipan di 5 Kabupaten di Riau, dan telah dilakukan sosialisasi di Rengat dan Pasir Pangaraian. 81

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Grafik 5.3. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan 3. Rp Miliar Persen (%) 25 2.5 2 2. 15 1.5 1 1. 5 5 - I II III IV I II III IV I II 214 215 216 UTLE Inflow Rasio g - yoy -5 Sumber : Bank Indonesia Jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat sebesar Rp615 miliar, menurun jika dibanding triwulan sebelumnya sebesar 23,6% (qtq) dengan rasio UTLE terhadap inflow sebesar 47,53%. Menurunnya pemusnahan uang tidak layak edar pada triwulan II - 216 sejalan dengan menurunnya jumlah inflow pada triwulan laporan. 2.3. Uang Rupiah Tidak Asli Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat di beberapa daerah termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang) di Pasir Pangaraian dan Lokasi Car Free Day. Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli. Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan II-216 tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan I-216. Pada triwulan laporan, jumlah uang rupiah tidak asli sebanyak 431 lembar, sementara pada triwulan sebelumnya sebanyak 369 lembar. 82

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Grafik 5.4. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 Lembar Persen (%) 431 369 22 125 16 14 87 123 126 132 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 25 2 15 1 5-5 -1-15 Uang Rupiah Tidak Asli g (yoy) - kanan Sumber : Bank Indonesia Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau terdiri dari 262 lembar menyerupai pecahan Rp1 ribu, 149 lembar menyerupai pecahan Rp5 ribu dan 12 lembar menyerupai pecahan Rp2 ribu, 4 lembar menyerupai pecahan Rp1 ribu, dan 4 lembar menyerupai pecahan Rp5 ribu. Penemuan tersebut berdasarkan permintaan klarifikasi perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau. 3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI 3.1. Transaksi Kliring Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan II 216 tercatat menurun baik dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Menurunnya nominal dan jumlah warkat kliring pada periode laporan diperkirakan dipengaruhi oleh meningkatnya preferensi masyarakat terhadap transaksi pembayaran non tunai melalui BI-RTGS yang transaksinya lebih cepat. Nilai transaksi kliring pada triwulan II 216 tercatat sebesar Rp6,56 triliun dengan volume transaksi mencapai 194.424 lembar, menurun sedikit jika dibandingkan dengan triwulan I 216 yang nilainya tercatat sebesar Rp6,89 triliun dengan volume transaksi 29.67 lembar. Meskipun terjadi penurunan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari segi nominal 83

Asesmen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, namun nilai rata-rata transaksi per warkat tercatat meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp32,95 juta menjadi Rp33,74 juta per warkat. Grafik 5.5. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Provinsi Riau Grafik 5.6. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Provinsi Riau Rp. Miliar 1. 9. 8. 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1. - Nominal yoy - nominal Persen (%) 1 5-5 -1-15 -2 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Warkat Warkat yoy - lembar Persen (%) 3. 25. -5 2. -1 15. -15 1. -2 5. -25 - -3 I II III IV I II III IV I II 214 215 216 Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia 84

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Bab 6 ASESMEN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH 1. Kondisi Umum Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada tahun 216 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 215 menjadi 5,94% di tahun 216. Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari penurunan persentase jumlah penduduk miskin dibanding jumlah penduduk di Riau yakni dari 8,42% pada Maret 215 menjadi 7,98% pada Maret 216. 85

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 2. Ketenagakerjaan Grafik 6.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Feb - 216 Grafik 6.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Feb - 216 Aceh 64,24 Kepulauan Riau 65,58 Riau 67,1 Indonesia 68,6 Bangka Belitung 68,6 Jambi 68,53 Lampung 68,63 Sumatera Utara 68,87 Sumatera Selatan 7,1 Sumatera Barat 7,34 Bengkulu 73,59 58 6 62 64 66 68 7 72 74 76 Sumber : BPS Bengkulu 3,84 Sumatera Selatan 3,94 Lampung 4,54 Jambi 4,66 Indonesia 5,5 Sumatera Barat 5,81 Riau 5,94 Bangka Belitung 6,17 Sumatera Utara 6,49 Aceh 8,13 Kepulauan Riau 9,3 2 4 6 8 1 Sumber : BPS Kondisi ketenagakerjaan Provinsi Riau pada periode Februari 216 menunjukkan bahwa 2,98 juta (atau 67,1%) dari 4,4 juta jiwa penduduk dengan usia 15 tahun ke atas merupakan angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan dari periode Februari 215 yang tercatat sebesar 6,72% menjadi 5,94%. Trend penurunan TPT Riau searah dengan pergerakan TPT Indonesia yang tercatat 5,81% pada Februari 215 menjadi 5,5% di Februari 216 sehingga mengindikasikan terjadinya peningkatan ketenagakerjaan secara nasional. Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT kelima tertinggi di Sumatera. Sementara Bengkulu menjadi daerah dengan angka TPT terendah di Sumatera dengan angka 3,84%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 215, Kepulauan Riau merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami peningkatan TPT di tahun 216, yang diperkirakan sebagai akibat perlambatan ekonomi khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang diphk atau dirumahkan. Tabel 6.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%) Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel BengkuluLampung Babel Kepri Agt 214 9,2 6,23 6,5 6,56 5,8 4,96 3,47 4,79 5,14 6,69 Feb 215 7,73 6,39 5,99 6,72 2,73 5,3 3,21 3,44 3,35 9,5 Agt 215 9,93 6,71 6,89 7,83 4,34 6,7 4,91 5,14 6,29 6,2 Feb 216 8,13 6,49 5,81 5,94 4,66 3,94 3,84 4,54 6,17 9,3 86

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Sumber: BPS. Tabel 6.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Sumber: BPS Provinsi Riau Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja di Riau masih didominasi oleh sektor pertanian yaitu mencapai 41,44% dari total tenaga kerja, diikuti oleh sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi dan sektor jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan dengan share penyerapan tenaga kerja masing-masing mencapai 22,4% dan 18,26%. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian tercatat menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 46,9% menjadi 41,44%. Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi mengalami peningkatan, yaitu dari 16,4% menjadi 22,4%. Lapangan Pekerjaan Utama Februari 214 215 216 Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan 42,41 46,9 41,44 Pertambangan dan Penggalian 1,73 1,32 1,91 Industri 5,51 4,91 6,6 Listrik Gas dan Air Minum,31,12,32 Konstruksi 5,54 4,84 5,39 Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 2,5 16,4 22,4 Transportasi Pergudangan dan Komunikasi 3,79 3,85 2,14 Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,29 2,98 2,44 Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan 17,91 19,85 18,26 Total 1 1 1 Grafik 6.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Jasa Kemasyarakatan Lembaga Keuangan Transportasi, Per.. Perdagangan, ru.. Konstruksi Listrik, Gas.. Industri Pertambangan dan.. Pertanian, Pekerbunan.. 1 2 3 4 5 216 215 214 % 87

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,2%. Angka ini cenderung menurun dibandingkan tahun 215 yang tercatat sebesar 44,15%. Penurunan penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya perlambatan ekonomi khususnya penurunan Kinerja sektor migas yang menyebabkan terjadinya pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut. Sementara itu, penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri mengalami peningkatan dari 18,63% di tahun 215 menjadi 21,1% di tahun 216. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penduduk dituntut untuk kreatif menciptakan lapangan kerja yang sendiri pasca terjadinya pengurangan karyawan di beberapa sektor usaha. Grafik 6.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Berusaha Sendiri 13% 5% 3% 41% 21% 5% 12% Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap / Buruh Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap / Buruh Dibayar Buruh /Karyawan/Pegawai Pekerja Bebas di Pertanian Dilihat dari jumlah jam kerja perharinya, mayoritas tenaga kerja di Riau menghabiskan waktu jam kerjanya selama dan lebih dari 35 jam seminggu, yaitu sebanyak 62,5%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam seminggu merupakan pekerja penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari 35 jam seminggu merupakan pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas angkatan kerja yang bekerja di Riau pada Februari 215 merupakan pegawai dengan waktu kerja penuh. Hal ini sesuai dengan jumlah status pekerja terbesar di Riau yang berprofesi sebagai buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau didominasi oleh pekerja yang berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan buruh bebas. 88

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Grafik 6.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu Februari - 216 Grafik 6.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Diploma 3% Universitas 9% 62% 3% 7% 13% 15% 1-7 8-14 15-24 25-34 dan 35+ SMK 9% SMA 23% SD kebawah 37% SD kebawah SMP SMA SMK Diploma Universitas SMP 19% Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Grafik 6.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan 2 18 16 14 12 1 8 6 4 2 13,54 7,7 8,48 8,5 6,23 2,79 SD KEBAWAH SMP SMA SMK DIPLOMA UNIVERSITAS Feb 215 Feb 216 Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas merupakan tamatan SMP ke bawah, dengan prosentase sebesar 56,4%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 58,58%dari total angkatan kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan Diploma dan Universitas hanya mencapai 11,43%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat pendidikan SMA dan SMK mencapai 32,17%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong rendah. 89

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan Diploma dan Universitas, yaitu mencapai 21,59. Kondisi ini menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia di Provinsi Riau belum optimal dalam menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. 3. Kesejahteraan Daerah 3.1 Penduduk Miskin Riau Jumlah penduduk miskin di Riau pada bulan Maret 216 sebesar 515,4 ribu atau 7,98% dari jumlah penduduk Riau. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 15,98 ribu jiwa jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 215 yang berjumlah 531,39 ribu atau 8,42% dari jumlah penduduk Riau. Grafik 6.8. Perkembangan Penduduk Miskin Riau Grafik 6.9. Sebaran Penduduk Miskin Riau 54 52 Dalam Ribu 8,47 8,42 Persen (%) 8,6 8,4 5 48 46 8,22 7,72 8,12 7,98 8,2 8 7,8 7,6 32% 68% 44 7,4 42 211 212 213 214 215 216 Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin 7,2 Perdesean Perkotaan Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Jumlah penduduk miskin di Riau baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan pada Maret 216 mengalami penurunan. Dimana pada daerah pedesaan jumlah penduduk miskinnya mencapai 352,9 ribu penduduk, turun sebesar 11,98 ribu penduduk atau sekitar 3,28% jika dibandingkan dengan Maret 215 yang sebanyak 364,94 ribu penduduk. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Riau yang tinggal di daerah perkotaan Maret 216 sebesar 162,45 ribu jiwa, juga turun sebesar 4 ribu jiwa atau sebesar 2,4% jika dibandingkan dengan Maret 215 yang sebesar 166,45 ribu jiwa. 9

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 3.2 Garis Kemiskinan Riau Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh GK, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. Semakin tinggi GK, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Sumber : BPS Provinsi Riau Tabel 6.3 Garis Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 216 Daerah GK Tahun 215 GKM GKNM Total Perkotaan Mar-15 28.361 124.441 44.82 Mar-16 292.26 134.32 426.346 Perdesaan Mar-15 32.422 93.327 395.659 Mar-16 326.262 99.515 425.777 Kota + Desa Mar-15 293.851 15.361 399.211 Mar-16 312.352 113.648 426.1 Garis Kemiskinan (GK) Riau pada tahun 216 mencapai angka Rp426.1 per kapita/bulan, meningkat 6,71% (yoy) dari tahun 215 yang tercatat Rp399.211 per kapita/bulan. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM), terlihat bahwa komoditas makanan memiliki peranan yang jauh lebih besar dibandingkan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Peningkatan GK di daerah perdesaan pada tahun 216 mencapai 7,61% (yoy) sementara peningkatan GK di daerah perkotaan pada tahun 216 mencapai 5,32% (yoy). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa GK di daerah perdesaan mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan perkotaan sehingga mengakibatkan jumlah peningkatan penduduk miskin di Riau relatif lebih cepat bertambah. 91

Indeks Kedalaman Kemiskinan (%) Indeks Keparahan Kemiskinan (%) KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 3.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Riau Indeks kedalaman kemiskinan (P1) pada tahun 216 trend menurun. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,382 pada Maret 215 menjadi 1,359 pada Maret 216. Penurunan indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan. Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau Grafik 6.11. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau 2 1,8 1,6 1,4 Kota Desa Riau,7,6,5 Kota Desa Riau 1,2 1,8,4,3,6,2,4,2 Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I,1 Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I Smstr II Smstr I 213 214 215 216 213 214 215 216 Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah. Apabila dilihat secara terpisah, tingkat kedalaman kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan yaitu dari 1,88 pada Maret 215 menjadi,934 pada Maret 216, berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kemiskinan di daerah perdesaan yang mengalami kenaikan yaitu dari 1,569 pada Maret 215 menjadi 1,633 pada Maret 216. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perkotaan semakin mendekati garis kemiskinan sementara rata-rata pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan semakin menjauhi garis kemiskinan. Kondisi yang sama juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau yang menunjukkan trend penurunan, yaitu tercatat turun dari,358 pada Maret 215 menjadi,337 pada Maret 216. Penurunan indeks ini mengindikasikan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin mengalami penurunan. Jika dibandingkan antara daerah perdesaan dan perkotaan tercatat bahwa Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan mengalami peningkatan dari,41 92

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Asesmen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan pada Maret 215 menjadi,424 pada Maret 216, sedangkan di daerah perkotaan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan dari,275 pada Maret 215 menjadi,23 pada Maret 216, hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di daerah perdesaan sementara di daerah perkotaan terjadi penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin. 93

Boks Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim Untuk Mendukung Peningkatan Kepariwisataan Dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan Provinsi Riau memiliki potensi kemaritiman di bidang perikanan dan kelautan serta maupun mengalami kendala antara lain: i) tidak ada industri pakan ikan sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan industri perikanan menjadi lebih mahal karena pakan yang harus diimpor dari luar daerah; ii) masih banyaknya ilegal fishing di daerah perbatasan oleh nelayan asing seperti di Bengkalis dan Rokan Hilir serta masih terdapat kapal penangkap ikan yang belum memiliki izin, iii) mata rantai distribusi didominasi oleh pengepul sehingga bargaining power nelayan dalam menentukan harga relatif rendah akibat (sistem pinjaman dengan pengepul yang di nilai lebih likuid sesuai kebutuhan; iv) pengawasan terhadap daerah perairan di Riau masih rendah akibat keterbatasan Sumber Daya Manusia; dan v) keterbatasan infrastruktur seperti pelabuhan perikanan dan galangan kapal. Grafik 2. Produsen Ikan di Riau Grafik 1 Produsen Ikan Ton 12 1 8 6 4 2 Grafik 2 Produksi Ikan 21 211 212 213 214 215 Perikanan Laut Kolam Perairan Umum Tabel 1. Produksi Perikanan Riau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 215

Selain itu, Riau juga memiliki potensi wisata bahari yang tidak kalah menariknya dibandingkan Provinsi lain di Sumatera. Promosi objek wisata tersebut sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak dan social media, namun belum mampu menarik banyak wisatawan. Hal ini disebabkan oleh kondisi infrastruktur jalan yang kurang memadai, sarana transportasi dan akomodasi yang kurang memadai, serta kurang terawatnya kondisi dan fasilitas pendukung di daerah wisata. Beberapa objek wisata bahari unggulan di Provinsi Riau antara lain: Gambar 1 Objek Wisata Bahari Riau Untuk memaksimalkan potensi ini, pemerintah daerah Provinsi Riau perlu untuk memperketat pengawasan kapal yang beroperasi di wilayah perairan Riau terutama di daerah perbatasan yang rawan tindakan pencurian ikan dan penjualan ikan di tengah laut, mendata kembali seluruh kapal penangkap ikan, optimalisasi alokasi bantuan anggaran untuk nelayan, peningkatan kualitas pelabuhan perikanan, dan mengaktifikan kembali galangan kapal. Disisi lain, untuk memaksimalkan potensi wisata bahari, Riau perlu untuk melakukan percepatan perbaikan infrastruktur menuju daerah wisata disertai dengan peningkatan fasilitas pendukung dan kondisi akomodasi agar lebih memadai. Selain itu diperlukan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor Pariwisata dan sektor Jasa, peningkatan sosialisasi dan kampanye Sadar Wisata, serta menarik wisatawan dengan mengadakan event wisata tahunan seperti Bakar Tongkang, Pacu Jalur, Bono, dan Festival Pulau Rupat.