TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon Saat ini proses budidaya tebu terdapat dua cara dalam penanaman. Pertama dengan cara Plant Cane dan kedua dengan Ratoon Cane. Plant Cane adalah tanaman tebu yang ditanam di lahan baru atau bongkaran setelah panen. Lahan tersebut harus diolah dulu sebelum ditanami. Sedangkan Ratoon Cane adalah tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang yang tertinggal dalam tanah setelah tebu ditebang dan dikepras. Penanaman tebu dilakukan pada dua jenis lahan, yaitu lahan sawah atau bekas sawah (system reynoso) yang beririgasi dan lahan kering atau tegalan (rain fed system). Pada cara reynoso tanah yang diolah hanya di sekitar tempat yang akan ditanami tebu saja, sedangkan pada lahan kering tanah diolah secara keseluruhan. Penanaman bibit tebu di lahan kering dilakukan di dalam coklak atau juringan pada alur tanam. Penanaman tebu dapat dilakukan dengan cara meletakkan secara horizontal batang tebu yang memiliki mata tunas atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian ditutup dengan tanah. Kemudian pemeliharaan meliputi kegiatan penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pembuangan daun yang sudah tua, dan pemberantasan hama penyakit. Proses pemanenan atau penebangan tebu merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memungut hasil melalui pemotongan batang tebu pada bagian pangkal 10-20 cm dari permukaan guludan. Penebangan umumnya dilakukan secara manual menggunakan alat potong berupa golok atau sabit. Daun-daun yang kering dan klaras yang terdapat pada batang tebu dibersihkan terlebih dahulu. Selanjutnya pucuk batang tersebut dipotong, kemudian batang tebu yang telah dibersihkan ditumpuk pada satu barisan. Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan (Koswara 1988). Saat ini pengeprasan tebu masih dilakukan secara manual menggunakan peralatan yang cukup sederhana berupa cangkul. Masalah yang timbul berkaitan dengan pengeprasan secara manual adalah ketersediaan
14 Three hitch point berfungsi untuk penggandengan peralatan atau implemen yang akan digunakan dengan traktor sehingga mempermudah dalam pengoperasian implemen di lahan. Daya yang dibutuhkan untuk mengangkat atau menggerakan Three hitch point didapat dari tenaga yang yang dihasilkan oleh pengangkat hidrolik yang terpasang pada bagian belakang traktor. Power Take Off (PTO) PTO adalah tambahan dalam alat penyalur tenaga suatu engine. PTO menggerakkan peralatan tambahan baik yang ditarik maupun yang digandeng pada traktor. PTO merupakan sumber tenaga putar yang dihasilkan dari transmisi engine melalui mekanisme tertentu. Pada umumnya PTO digerakkan oleh gear dari transmisinya dan menyalurkan tenaga melalui sebuah poros ke keluaran PTO dimana dipasangkan peralatan implemen yang akan digerakkan. Terdapat 3 macam PTO (Moedjiarto dan Irwanto 1983). a Transmission driven PTO bekerja hanya jika kopling mesin terpasang dan berhenti apabila kopling dalam keadaan bebas (mesin Stasioner) b Continuous running PTO Unit ini mempunyai 2 kopling yaitu untuk transmisi dan PTO. Kedua kopling ini bekerja dalam satu pengaturan. Sebagian mengatur kopling kopling transmisi dan sebagian lagi mengatur kopling PTO. Oleh karena itu PTO dapat dijalankan dengan transmisi tidak terpasang (jalan di tempat), tetapi transmisi ini tidak dapat dipasng lagi pada waktu PTO berjalan. c Independent PTO Tipe ini mempunyai pengaturan kopling tersendiri yang sama sekali terpisah dari kopling mesin dan transmisi. PTO dapat bekerja pada waktu mesin diberhentikan dan juga PTO dapat dipasang pada waktu mesin dalam keadaan bergerak. Dalam penyaluran tenaga dari PTO ke peralatan yang akan digerakkan diperlukan suatu alat yang fleksibel yaitu universal joint. Universal joint ini diperlukan untuk menghubungkan dua buah poros yang berputar pada bidang
16 Perbedaannya hanya terletak pada ukuran lebar guludan, yakni guludan untuk R3 memiliki 85 cm, sedangkan untuk R1 dan R2 80 cm. Jarak pohon ke pohon guludan untuk ke tiga tanaman 135 cm, ketinggian guludan dan permukaan 20 cm dan lebar daerah tunggul yang harus dikepras 40 cm. Sedangkan posisi alur tebu tidak selalu lurus ditengah, simpangan berkisar antara 0-25 cm dari tengah. Jumlah tunggul rata-rata 4-12 tunggul perumpun. Penelitian Lisyanto (2007), lahan tebu PG Jatitujuh memiliki jenis tanah mediteran atau alvisol. Tahanan penetrasi merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekerasan tanah yang dinyatakan dengan Cone Indeks (CI). Guludan R1 tahanan penetrasinya lebih rendah dibandingkan R2 dan R3. Pada kedalaman 10 cm tahanan penetrasi atau Cone Indeks rata-rata untuk guludan R1 adalah 3.6 kg cm -2, R2 adalah 4.7 kg cm -2 dan R3 adalah 4.5 kg cm -2. Pada kedalaman 15 cm, Cone Indeks rata-rata R1 adalah 4.1 kg cm -2, R2 adalah 7.3 kg cm -2 dan R3 adalah 6.3 kg cm -2. Sedangkan tahan geser rata-rata guludan tebu pada beban 10-30 kg dengan kedalaman 5 dan 10 cm untuk tanaman keprasan (R1, R2, dan R3) adalah 32.98 kg cm -2. Efek Ketajaman dan Sudut Kemiringan Pemotongan Pisau Pemotongan adalah proses pembagian benda solid secara mekanik sepanjang garis yang diinginkan dengan menggunakan alat pemotong (Persson 1987). Dalam beberapa kasus, pemotongan mempunyai istilah lain tergantung dengan alat apa dan bagaimana pemotongan dilakukan. Istilah tersebut antara lain mencacah (chopping), memangkas (Mowing), menggergaji (sawing), membelah (spliting), mengiris (slicing) dan sebagainya. Ketajaman (sharpness) dan keruncingan (finesess) merupakan dua sifat yang berbeda pada sebuah mata pisau (Gambar 15). Pisau dikatakan tajam (sharp) apabila pisau tersebut memiliki radius dan ketebalan mata pisau yang kecil, sedangkan dikatakan runcing (finesess) apabila pisau tersebut memiliki sudut mata pisau yang kecil. Kebalikan dari ketajaman adalah ketumpulan (dullness), sedangkan kebalikan dari keruncingan adalah tidak runcing (bluntness). Ketajaman mata pisau merupakan faktor penting dalam pemotongan material. Ketajaman memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan,
18 Disebut pemotongan lurus karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tegak lurus terhadap arah gerak maju atau sering disebut dengan pemotongan tanpa sudut kemiringan pisau (Gambar 16a), sedangkan dikatakan pemotongan miring karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tidak tegak lurus (membentuk sudut kemiringan) terhadap arah gerak maju pisau (Gambar 16b). Apabila referensi sudut kemiringan pisau (ANO) mengikuti Gambar 16b, yakni sudut 0 o dimulai dari sumbu Y, maka salah satu upaya untuk menurunkan gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dapat dilakukan dengan cara memperbesar sudut kemiringan pisau (ANO). Hal tersebut disebabkan semakin besar ANO maka lebar pemotongannya semakin kecil, sehingga gaya pemotongan yang dibutuhkan relatif rendah. Keterangan: a :MAL = 0.0289 g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = -1.44 N/derajat b :MAL = 0.0193 g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = -1.22 N/derajat a :MAL = 0.0096 g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = -1.43 N/derajat LTS = 1000(MAL/LWC)/MDS MAL = bobot material kering perunit panjang lapisan (g mm -1 ) MDS = densitas material solid = 1.45 mg mm -1 Gambar 17 Efek sudut kemiringan pisau (ANO) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada tiga Ketebalan lapisan Solid (LTS) yang berbeda (Persson 1987) Gambar 17 memperlihatkan bahwa pada pemotongan timothy berkadar air rata-rata 43%, lebar pemotongan rata-rata 11.1 mm, dan tingkat ketebalan lapisan solid material (LTS) yang berbeda, FOCSMX yang relatif rendah terjadi pada ANO sebesar 45 o (Persson 1987). Torsi dan Kecepatan Putar Pemotongan Torsi pemotongan merupakan hasil kali antara gaya yang diperlukan oleh mata pisau untuk melakukan pemotongan dan jari-jari atau radius putaran mata
pisau. Selanjutnya parameter torsi pemotongan tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya gaya dan daya pemotongan (Lisyanto 2007). Untuk poros yang berputar, besarnya P (Watt) dipengaruhi oleh torsi (T) yang menyebabkan putaran dan kecepatan putaran : P 2 NT Di mana N adalah kecepatan putar poros (rpm) dan T adalah torsi (Nm) Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) mengungkapkan bahwa peningkatan kecepatan potong pada mower dengan kisaran kecepatan antara 1.75 dan 5.2 m s -1 hanya memiliki efek yang relatif kecil terhadap peningkatan energi pemotongan untuk pemotongan batang timothy berkadar air 54%. (1)