BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Bab 2. Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEREMPUAN BEKERJA DENGAN STATUS MENIKAH DAN BELUM MENIKAH

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB 2 Tinjauan Pustaka

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap pasangan yang telah menikah tentu saja tidak ingin terpisahkan baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat menjadi 80 juta jiwa (Menkokesra). Data statistik tersebut

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being, aspek-aspek psychological well-being, pengertian ibu, pengertian status bekerja ibu, pengertian ibu rumah tangga, pengertian ibu bekerja, dan perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja. A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Waterman (dalam Singh, dkk, 2012) menjelaskan well-being dalam dua pandangan yaitu pandangan hedonic dan eudemonic. Pandangan hedonic menekankan kepada pencapaian kebahagiaan dan menghindari sesuatu yang menyakitkan. Pandangan eudemonic lebih menekankan pada kehidupan yang bermakna, pencapaian pemenuhan diri, dan sejauhmana seseorang mampu berfungsi secara penuh (Ryan dan Deci, dalam Singh, dkk, 2012). Menurut Diaz, Rodriguez-Carvajal, dan Blanco (dalam Singh, dkk, 2012) bahwa pengertian psychological well-being lebih menekankan pada pandangan eudemonic yaitu keberfungsian positif individu yang ditandai dengan adanya kemampuan individu untuk terus mengembangkan keterampilan dan pertumbuhan pribadi Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) psychological well-being merupakan konsep kriteria kesehatan mental. Individu yang dapat mencapai psychological well-being ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang dapat membuat 10

11 hidup menjadi bermakna, serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri secara optimal. Pendapat lainnya dari Bradburn (dalam Singh, dkk, 2012) bahwa psychological well-being sebagai kebahagiaan, yakni kebahagiaan merupakan hasil kesejahteraan psikologis yang tercapai dengan adanya keseimbangan antara hal positif dan negatif. Berdasarkan pemaparan beberapa teori di atas, maka dapat disimpulkan psychological well-being adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya kebahagiaan, mampu tumbuh dan berkembang, serta menunjukkan potensinya secara optimal, yang dapat diketahui dari adanya sikap penerimaan diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, memiliki tujuan hidup, serta pertumbuhan pribadi. 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being Faktor Faktor yang memengaruhi psychological well-being antara lain : a. Usia Ryff dan Keyes (dalam Snyder & Lopez, 2005) menjelaskan perbedaan usia akan mempengaruhi dimensi-dimensi dari psychological well-being. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes menunjukkan pada usia dewasa muda hingga dewasa akhir mengalami peningkatan dalam dimensi otonomi dan juga penguasaan lingkungan. Dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan pada periode usia dewasa muda sampai dewasa akhir. Dimensi penerimaan diri menunjukkan adanya perbedaan yang sangat kecil dalam variasi usia, hal ini sama seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain (khusus untuk perempuan).

12 b. Jenis Kelamin Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat perbedaan well-being pada jenis kelamin yang berbeda. Perempuan menunjukkan adanya profil yang lebih positif dibandingkan dengan laki-laki dalam hal well-being. Untuk dimensi interpersonal yaitu hubungan positif dengan orang lain, perempuan selalu menunjukkan skor signifikan lebih tinggi daripada laki-laki (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2005). Dalam beberapa penelitian, perempuan juga menunjukkan profil yang lebih tinggi dalam hal pertumbuhan pribadi dibandingkan laki-laki (Ryff & Singer, dalam Snyder & Lopez, 2005). c. Status Sosial Ekonomi Faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being adalah situasi status sosial ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif antara lain seperti bagaimana akses keperumahan, sistem kesehatan, pekerjaan, dan aktivitas rekreasi (Diener dalam Singh, dkk, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (dalam Singh, dkk, 2012) tentang dampak tingkat ekonomi pada tingkat well-being menunjukkan hubungan yang kuat yakni tingkat sosial ekonomi mempengaruhi dimensi penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, dan juga pada tujuan hidup. Hasil beberapa penelitian menunjukkan orang dengan tingkat ekonomi rendah yang ditentukan baik dari karakteristik pendidikan dan aktivitas pekerjaan yang dilakukan memiliki tingkat psychological well-being yang juga lebih rendah. Terkait dengan kesejahteraan pada perempuan, ditemukan hubungan yang kuat pada tingkat well-being perempuan dengan kepuasan akan pekerjaan dan kepuasan akan kehidupan (dalam Singh, dkk, 2012).

13 d. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberikan dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi. Budaya timur (kolektivisme) memiliki skor tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain. e. Dukungan sosial Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau organisasi masyarakat (Cobb; Gentry & Kobasa; Wallston; Alagha, DeVellis & De Vellis; Wills, dalam Sarafino & Smith, 1990). Pada kenyataannya, banyak penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir telah menemukan bahwa isolasi sosial, kesepian, dan kehilangan dukungan sosial berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit atau mengurangi harapan hidup (Berkman, Davis, Morris and Graus, dalam Singh, dkk, 2012). Tidak adanya dukungan sosial akan mengakibatkan kesepian. Kesepian dapat memiliki efek negatif pada psychological well-being (Green & Shellenberger, Brannon & Feist, dalam Compton, 2005). f. Religiusitas Religiusitas dapat mempengaruhi well-being. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Pargament dan Zinnabaur (dalam Snyder & Lopez, 2005), bahwa baik agama dan spiritualistas dapat dikatakan sebagai individu dan sosial, serta keduanya memiliki kapasitas untuk dapat mendorong atau menghambat well-being. Selain itu, Pargament, Smith, Koenig dan Perez, Emmons (dalam Compton, 2005) juga mengungkapkan bahwa ketaatan pada agama atau melakukan aktivitas keagamaan

14 mempengaruhi well-being atau kesehatan mental dan juga fisik karena dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu religiusitas memberikan dukungan sosial, mendukung gaya hidup yang sehat, meningkatkan integrasi kepribadian, meningkatkan generatifitas, memberikan strategi coping yang unik, dan memberikan rasa kebermaknaan dan tujuan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi psychological well-being adalah usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya, dukungan sosial, dan religiusitas. 3. Aspek-Aspek Psychological Well-Being Carol Ryff (dalam Singh, dkk, 2012) mengembangkan sebuah model yang mencakup enam dimensi dari psychological well-being. Keenam dimensi atau aspek psychological well-being tersebut antara lain: a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Aspek ini merupakan bagian penting dari kesejahteraan dan berpusat pada penilaian positif dari seseorang akan dirinya sendiri. Hal ini tidak menunjukkan kecintaan pada diri sendiri, tetapi sebaliknya membangun harga diri yang mampu menerima diri baik yang mencakup aspek positif dan juga negatif (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Penerimaan diri ini dibangun dengan penilaian diri sendiri yang jujur yaitu individu menyadari kegagalan pribadi dan keterbatasan di masa lalu, namun tetap dapat menerima dan mencintai dirinya. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang menunjukkan sikap positif terhadap diri, mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya termasuk kualitas yang baik maupun buruk, serta memiliki perasaan yang positif tentang kehidupan masa lalu. Individu yang rendah dalam aspek ini merasa tidak puas dengan diri, kecewa atau tidak nyaman dengan apa yang

15 sudah terjadi dalam kehidupan masa lalunya, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu, berharap ingin berbeda dari diri yang sekarang (Papalia, dkk, 2009). b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relationships with Others) Aspek ini mencakup adanya daya tahan, kesenangan dan kegembiraan yang datang dari adanya hubungan dekat dengan orang lain, serta dari intimasi dan cinta (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Teori tentang tahap perkembangan dewasa juga menekankan tentang hubungan dekat dengan orang lain (intimacy) dan perhatian terhadap orang lain (generativity). Definisi kesejahteraan psikologis menekankan pada memiliki hubungan positif dengan orang lain (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang mampu untuk membangun hubungan yang saling percaya dan puas, dengan orang lain, hangat, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami hubungan manusia yang memberi dan menerima. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap kesejahteraan orang lain. Individu merasa terasing dan frustrasi dalam hubungan sosialnya, tidak bersedia membuat komitmen untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain (Papalia, dkk, 2009). c. Otonomi (Autonomy) Aspek ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengejar pendirian dan keyakinan sendiri, bahkan jika itu melawan dogma yang diterima dan kebijaksanaan yang lazim telah berlaku. Aspek ini juga mengacu pada kemampuan untuk melakukan segala sesuatu sendiri jika diperlukan dan hidup mandiri (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Teori tentang aktualisasi diri dan perwujudan diri

16 dijelaskan sebagai fungsi dari otonomi. Pada studi tersebut dijelaskan bahwa konsep dari fungsi optimal individu adalah seseorang dengan penilaian dari dalam, yang terutama tidak tertarik akan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya, tetapi mengevalusi diri sendiri sesuai dengan standar pribadi (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki otonomi tinggi ialah memiliki pengaturan diri dan mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caracara tertentu, dan mengatur perilakunya dari dalam. Individu mampu mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini cenderung khawatir mengenai pengharapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain sebelum membuat suatu keputusan yang penting, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang dipengaruhi oleh tekanan sosial (Papalia, dkk, 2009). d. Penguasaan Lingkungan (Envinronmental Mastery) Aspek ini adalah bagian penting dalam kesejahteraan dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh individu di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan kematangan individu tersebut. Kemampuan ini membutuhkan keterampilan menciptakan dan mendukung lingkungan yang menguntungkan bagi individu (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Kemampuan dari individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang tepat untuk keadaan mentalnya. Kemampuan ini dijelaskan sebagai karakteristik dari kesehatan mental. Menurut teori life-span, kemampuan menguasai lingkungan membutuhkan kemampuan dalam mengelola dan mengendalikan lingkungan yang kompleks. Perspektif ini menekankan pada kebutuhan untuk bergerak maju yang diwujudkan dengan kegiatan fisik dan mental (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012).

17 Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini mempunyai kemampuan dalam menguasai dan berkompetensi dalam lingkungan, menggunakan kesempatan di lingkungan sekitarnya dengan efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini kesulitan mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks di lingkungan sekitarnya, tidak sadar akan peluang di lingkungan sekitarnya, kurangnya kesadaran akan kendali atas dunia eksternal (Papalia, dkk, 2009). e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Aspek ini mengacu pada kemampuan individu untuk menemukan makna dan petunjuk dalam peristiwa atau kejadian yang dialami, memiliki niat dan juga sekumpulan tujuan di dalam hidupnya. Definisi dari kedewasaan menekankan pada kemampuan seseorang untuk memahami tujuan hidup dan kesadaran akan arah atau tujuan serta intensionalitas. Individu yang berfungsi positif, digambarkan dengan memiliki tujuan, niat dan kesadaran akan arah. Kondisi ini akan membantu individu untuk dapat memberikan makna pada hidupnya (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu dengan skor tinggi adalah yang memiliki tujuan hidup dan kesadaran akan arah (directedness); merasa ada makna dalam kehidupan sekarang dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. Individu yang rendah dalam aspek ini menunjukkan kurangnya perasaan kebermaknaan dalam hidup, memiliki sedikit tujuan atau sasaran, kurangnya kesadaran akan arah, tidak memiliki tujuan dalam kehidupan masa lalu, dan tidak memiliki sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup (Papalia, dkk, 2009)

18 f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Aspek ini meliputi kemampuan individu untuk merealisasikan potensi dan bakatnya dan mengembangkan sumber-sumber baru. Hal ini meliputi kemampuan seseorang untuk menggali kekuatan dari dalam diri terutama saat menghadapi kesulitan. Terbuka akan pengalaman baru juga merupakan karakteristik dari fungsi optimal individu. Teori life-span development juga menekankan tentang pentingnya terus tumbuh dan menangani tugas-tugas baru atau tantangan dalam berbagai kehidupan seseorang. (Ryff and Singer, dalam Singh, dkk, 2012). Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ialah mereka yang memiliki perasaan berkembang secara berkesinambungan, melihat diri sebagai diri yang berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi sendiri, melihat perbaikan di dalam diri dan perilaku sepanjang waktu, dan mau berubah untuk meningkatkan pengetahuan diri dan keefektifan. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki perasaan kemandekan pribadi, kurang kesadaran akan perbaikan atau perluasan sepanjang waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dalam kehidupan, merasa tidak mampu dalam mengembangkan berbagai sikap atau perilaku yang baru (Papalia, dkk, 2009). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek psychological well-being adalah penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. B. Status Bekerja Ibu 1. Pengertian Ibu Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), ibu diartikan sebagai perempuan yang telah melahirkan seseorang,

19 panggilan yang umum yang diberikan kepada perempuan, baik yang telah bersuami atau yang belum bersuami. Pendapat lainnya dari Gunarsa dan Gunarsa (2008) ibu adalah tokoh yang mendidik anak-anaknya, yang memelihara perkembangan anak-anaknya, mempengaruhi aktivitas-aktivitas anak di luar rumah, dan sosok yang akan melakukan apa saja untuk anaknya, serta dapat memenuhi kebutuhan fisik anak-anaknya. Berdasarkan beberapa pengertian ibu yang telah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ibu merupakan perempuan yang telah melahirkan, baik yang telah bersuami atau belum, berperan dalam mengatur rumah tangga dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya. 2. Pengertian Status Bekerja Ibu Menurut Soerjono (Lubis, 2013), status sosial atau kedudukan adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak, serta kewajiban-kewajibannya. Pendapat serupa diungkapkan oleh Taylor, Peplau, dan Sears (2009) yakni status sosial mengacu pada tingkat atau kedudukan seseorang dalam kelompok, berdasarkan pada karakteristik seperti usia, gender, atau posisi dalam bisnis. Berdasarkan beberapa pemaparan teori di atas, maka dapat disimpulkan status bekerja ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan atau kedudukan ibu yakni sebagai ibu rumah tangga atau sebagai ibu bekerja. a. Pengertian Ibu Rumah Tangga Ibu rumah tangga menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah perempuan yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga (tidak bekerja di kantor). Menurut Kartono (1992), ibu rumah tangga adalah individu dalam keluarga yang

20 berperan dalam kegiatan melayani, seperti mendidik, mengatur, mengurus untuk dinikmati orang lain atau bersama-sama untuk dinikmati orang lain. Berdasarkan beberapa pemaparan teori di atas, dapat disimpulkan ibu rumah tangga adalah perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah untuk melakukan kegiatan rumah tangga termasuk memelihara, mendidik, dan mengasuh anak-anak tanpa terikat pekerjaan di luar kegiatan rumah tangga. b. Pengertian Ibu Bekerja Menurut Matlin (2012), perempuan bekerja adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan gaji atau berwiraswasta. Pendapat lainnya yakni dari Subhan (2004) perempuan karir atau ibu bekerja adalah diartikan sebagai seorang perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan profesi, seperti kegiatan usaha atau perkantoran. Dapat disimpulkan ibu bekerja adalah seorang perempuan, yang melakukan kegiatan secara teratur, yang selain mengurus rumah tangga juga memiliki tanggung jawab atau terikat dengan pekerjaan di luar kegiatan rumah tangga, baik bekerja di instasi negeri, swasta, atau kegiatan wiraswasta untuk memperoleh penghasilan sendiri. C. Ibu Rumah Tangga dan Ibu Bekerja di Kabupaten Gianyar Kabupaten Gianyar merupakan bagian dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Kabupaten Gianyar memiliki budaya patrilineal, yakni garis keturunan berasal dari pihak ayah. Pada keluarga besar patrilineal, ayah memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak laki-laki adalah keturunan yang lebih diutamakan dari pada anak perempuan dalam kehidupan keluarga, sehingga terdapat perbedaan peran dan tanggung jawab (dalam Panetje, 1986). Pada budaya di Bali, tugas laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dalam kegiatan keagamaan, namun

21 kenyataannya perempuan lebih banyak menyiapkan sarana dan sesajen untuk upacara keagamaan. Kabupaten Gianyar merupakan kabupaten yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat (Atmaja & Virnayanthi, 2010). Adat istiadat mengambarkan tentang kumpulan aturan, tindakan, atau ketentuan yang sudah lama ada dan merupakan suatu kebiasaan. Adat istiadat pada suatu daerah diatur dalam awig-awig. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang harmonis di masyarakat (Surpha, 2002). Awig-awig tidak hanya melingkupi hak dan kewajiban masyarakat, namun juga sanksi-sanksi adat, baik sanksi denda atau psikologis (Surpha, 2002). Adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Kaputen Gianyar ialah terkait upacara keagamaan. Upacara keagamaan membutuhkan banten atau sesajen. Tanpa adanya sesajen, maka suatu upacara keagamaan tidak akan dapat dilaksanakan. Para ibu memiliki tugas untuk membuat sesajen tersebut (Suryani, 2003). Adat istiadat yang lainnya ialah adanya kegiatan ngayah. Ngayah ialah melakukan kegiatan secara gotong royong tanpa pamrih. Ngayah biasanya dilakukan ketika ada upacara atau aktivitas di pura atau fasilitas umum milik masyarakat. Pembuatan sesajen, mempersembahkan sesajen dan kegiatan ngayah merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh perempuan di Kabupaten Gianyar. Apabila tidak dilaksanakan maka akan mendapatkan sanksi adat. Sanksi adat ada yang berbentuk denda dan sebagaian besar bersifat psikologis, misalnya disisihkan dalam masyarakat, tidak diajak bicara, atau tidak diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat (Surpha, 2002). Maka perempuan yang sudah menikah, tidak hanya menjalan peran domestik seperti kegiatan

22 mengurus rumah tangga, menjaga anak dan mendampingi suami, namun juga melaksanakan peran dalam adat seperti pembuatan banten dan wajib mengikuti ngayah. Perempuan yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga di Kabupaten Gianyar akan fokus menjalan kedua peran yaitu peran dalam keluarga dan peran dalam adat. Adanya adat istiadat seperti membuat sesajen dan ngayah, tidak menjadi penghalang bagi para perempuan di Kabupaten Gianyar untuk memiliki pekerjaan di luar kegiatan domestik. Jumlah perempuan bekerja di Kabupaten Gianyar sebanyak 118.762 orang. Jumlah perempuan bekerja tertinggi berada di Kota Denpasar dengan jumlah 189.782 orang, diikuti dengan Kabupaten Buleleng dengan jumlah 157.859 orang, Kabupaten Badung dengan jumlah 133.463 orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2011). Meskipun jumlah perempuan bekerja tertinggi berada di Kota Denpasar, namun Kabupaten Gianyar memiliki jumlah penduduk pendatang perempuan yang tergolong sedikit dengan jumlah penduduk pendatang adalah 7.287 orang. Jumlah tersebut sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan Kota Denpasar yang memiliki jumlah penduduk pendatang perempuan 24.898 orang dan juga Kabupaten Badung 24.766 orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010). Semakin sedikit jumlah penduduk pendatang maka semakin cenderung proporsi tenaga kerja di wilayah bersangkutan adalah tenaga kerja asli wilayah tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun di Kabupaten Gianyar memiliki adat istiadat yang mengikat perempuan memiliki peran dalam rumah tangga dan juga adat, namun jumlah penduduk perempuan di Kabupaten Gianyar yang bekerja tergolong tinggi. Perempuan yang memiliki peran sebagai ibu bekerja tidak hanya menjalankan tugas rumah tangga dan pekerjaan, namun juga kewajiban dalam adat. Kewajiban tersebut seperti melaksanakan upacara keagamaan yang meliputi pembuatan banten, dan ngayah. Maka ibu bekerja memiliki 3 peran (Handayani & Sugiarti, 2008). Peran tersebut yakni

23 peran domestik, peran publik, dan peran sosial. Ibu bekerja dituntut untuk mampu menjalankan ketiga peran yaitu peran dalam rumah tangga, pekerjaan dan kewajiban dalam ucapara keagamaan. D. Dinamika Antar Variabel Psychological well-being adalah kesejahteraan psikologis tertinggi yang dapat dicapai oleh individu. Individu yang dapat mencapai psychological well-being ditandai dalam enam dimensi atau aspek antara lain adanya penerimaan akan diri sendiri baik aspek positif maupun aspek negatif, individu mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain seperti hangat, puas, peduli, dan saling percaya dengan orang lain, individu mampu mandiri dan melakukan tindakan dan evaluasi berdasarkan standar pribadi, individu memiliki kemampuan untuk menguasai atau mengelola lingkungan dan juga memilih dan menggunakan kesempatan yang ada di lingkungan dengan efektif, individu juga memiliki tujuan dan arah yang jelas dalam kehidupannya, serta memiliki pertumbuhan pribadi yang baik yaitu memiliki perasaan perkembangan yang berkesinambungan (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2005). Pencapaian psychological well-being akan berbeda pada setiap individu, begitu juga pada kaum perempuan. Perempuan dalam keluarga memiliki peran tertentu, yakni sebagai ibu rumah tangga atau sebagai ibu bekerja. Ibu rumah tangga di Kabupaten Gianyar tidak hanya memiliki peran domestik yakni mengurus rumah tangga, mendampingi suami, mengatur perekonomian keluarga dan mengasuh anak, tetapi juga memiliki peran sosial di adat. Peran tersebut berkaitan dengan upacara keagamaan seperti membuat sesajen, mempersembahkan sesajen, dan ngayah. Ibu bekerja di Kabupaten Gianyar memiliki tiga peran yakni peran domestik, peran publik, dan peran sosial. Ibu bekerja dituntut untuk

24 mampu mengatur waktu untuk mengerjakan tugas rumah tangga, tugas dalam pekerjaan, dan kewajiban dalam ucapara keagamaan. Adapun perbedaan tugas dan tanggung jawab antara ibu rumah tangga dan ibu bekerja akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain sehingga akan berdampak juga pada pencapaian psychological well-being pada individu yang bersangkutan. Pencapaian psychological well-being oleh individu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dukungan sosial, budaya dan religiusitas. Diener (dalam Singh, dkk, 2012) mengungkapkan salah satu status sosial ekonomi yang mempengaruhi psychological well-being adalah pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ananda (2013), menunjukkan ibu rumah tangga memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan ibu bekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ibu rumah tangga kurang memberikan penghargaan terhadap diri sendiri atas kegiatan atau peran yang dijalankan. Hal serupa diungkapkan oleh Frieze (1978) ibu rumah tangga cenderung memandang rendah dirinya sendiri, karena pekerjaan ibu rumah tangga diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak memerlukan kemampuan khusus. Kurangnya penghargaan terhadap diri sendiri pada ibu rumah tangga akan berdampak pada tingkat psychological well-being. Menurut Ryff (Singh, dkk, 2012) individu yang memiliki psychological well-being adalah individu yang mampu menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri dengan menerima segala aspek negatif dan positif. Menurut Singh, Mohan, & Anasseri (2012) mengungkapkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kesejahteraan dengan pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan. Ibu bekerja cenderung dapat memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan ibu rumah tangga. Perempuan yang bekerja dapat berkontribusi pada penghasilan keluarga sehingga membuat perempuan lebih mandiri, mengurangi tekanan

25 antara suami dan istri, serta harga diri yang lebih meningkat (Gilbert dalam Papalia, dkk, 2009). Hal yang serupa diungkapkan oleh Santrock (2002) bahwa ibu yang bekerja memiliki sejumlah keuntungan antara lain yaitu dalam hal keuangan, pernikahan dengan karir ganda dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri dan meningkatkan rasa harga diri bagi ibu. Hal ini menunjukkan bahwa ibu bekerja dapat memiliki tingkat otonomi dan harga diri yang tinggi. Menurut pendapat dari Ryff (Singh, dkk, 2012) individu yang mencapai psychological well-being ditandai dengan adanya otonomi dan juga penerimaan diri. Berdasarkan tinjauan terhadap dinamika kedua variabel dalam penelitian ini, maka dapat diasumsikan adanya perbedaan psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja. Status Bekerja Ibu Ibu Rumah Tangga Ibu Bekerja Psychological Well-Being a. Penerimaan Diri b. Hubungan Positif dengan Orang Lain c. Otonomi d. Penguasaan Lingkungan e. Tujuan Hidup f. Pertumbuhan Pribadi Psychological Well-Being a. Penerimaan Diri b. Hubungan Positif dengan Orang Lain c. Otonomi d. Penguasaan Lingkungan e. Tujuan Hidup f. Pertumbuhan Pribadi Keterangan gambar: : Variabel penelitian : Dimensi variabel : garis pengaruh yang akan diteliti Gambar 1. Diagram Psychological Well-Being pada Ibu Rumah Tangga dengan Ibu Bekerja

26 E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha : Terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja di Kabupaten Gianyar. H0 : Tidak terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada ibu rumah tangga dengan ibu bekerja di Kabupaten Gianyar.