HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

PENERAPAN TEKNOLOGI PAKAN DAN FORMULASI RANSUM PADA KELOMPOK TERNAK KAMBING DI KABUPATEN BIREUEN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup, berproduksi, dan berkembang biak. Tillman dkk., (1989) menyatakan

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

MEMBUAT SILASE PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PEMBAHASAN. I. Keadaan Umum Wilayah Penelitian. Secara Geografis Kabupaten Soppeng terletak antara 4 o 06 o LS dan 4 o 32 o

SISTEM PERTANIAN TERPADU TEBU-TERNAK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA DAN DAGING

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

Lampiran 1. Peta Kabupaten Pati

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

PEMANFAATAN SILASE KULIT BUAH KAKAO UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KAMBING PADA SISTEM INTEGRASI KAKAO-KAMBING

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

ANGKA RAMALAN 2 TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

KARYA TULIS ILMIAH PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI BAHAN PAKAN TERNAK

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Keadaan Geografis. Secara geografis Kabupaten Jepara terletak antara sampai

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

KONSENTRAT TERNAK RUMINANSIA

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

TINJAUAN PUSTAKA Model dan Pemodelan Sistem

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sejak tahun Sentra produksi ubi jalar adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

PENDAHULUAN. Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat populer, mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, dan mampu beradaptasi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

I. PENDAHULUAN. Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah,

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2013)

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

KAJIAN POTENSI LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KOTA PARE-PARE

PENDAHULUAN. akan protein hewani berangsur-angsur dapat ditanggulangi. Beberapa sumber

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan adalah ketersediaan

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

STABILISASI HARGA PANGAN

POTENSI LIMBAH AMPAS TAHU SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMEKASAN KABUPATEN PAMEKASAN

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal Untuk Pengembangan Peternakan YENNI YUSRIANI

PENDAHULUAN. yang berasal dari bagian biji pada kebanyakan tanaman lebih banyak. diantaranya adalah daun singkong (Manihot utilisima).

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014)

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

ANGKA TETAP TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

PRODUKSI PADI JAGUNG DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN, PERJANJIAN KINERJA, PENGUKURAN KINERJA, INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha

ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 03 Pebruari :23 - Update Terakhir Selasa, 17 Pebruari :58

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

ANGKA TETAP TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

PENERAPAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT (IbM) KELOMPOK TANI KALISAPUN DAN MAKANTAR KELURAHAN MAPANGET BARAT KOTA MANADO

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

SISTEM INTEGRASI TANAMAN TERNAK : Upaya Meningkatkan Kesejahteraan dan Daya Saing Peternak Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba sebagian besar bahan

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

MODEL INDUSTRI PAKAN RUMINANSIA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH SKRIPSI KHOLISHOTUL FAUZIYAH

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANGKA RAMALAN 1 TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. kacang tanah. Ketela pohon merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan manusia akan sayuran yang tinggi akan meningkatkan jumlah pasokan

PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK DI SULAWESI SELATAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Evaluasi Ketersediaan Sumber Bahan Pakan Lokal bagi Industri Pakan Ruminansia Hasil identifikasi sumber bahan pakan lokal meliputi jenis sumber bahan pakan lokal, produksi hasil samping pertanian, produksi hasil samping industri pertanian, indeks konsentrasi produksi pakan (IKPP), dan kesesuaian ternak yang dapat dikembangkan. Sedangkan hasil evaluasi ketersediaan sumber bahan pakan lokal meliputi distribusi ketersediaan hasil samping pertanian, pola ketersediaan hasil samping industri pertanian, dan evaluasi pemanfaatan hasil samping. Jenis Sumber Bahan Pakan Lokal Bahan pakan lokal potensial di Kabupaten Jepara terdiri dari tiga sumber antara lain: Hasil pertanian yaitu jagung dan ubi kayu; Hasil samping pertanian meliputi jerami padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun ubi kayu, dan pucuk tebu; Hasil samping industri pertanian meliputi dedak padi, ampas tahu, dan ampas tempe. Evaluasi ketersediaan hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2011. Berdasarkan pola tanam yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Jepara pada saat penelitian berlangsung merupakan musim tanam untuk komoditas padi dan kacang tanah (Distanak, 2011). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi pertanian khususnya tanaman padi banyak mengalami gagal panen yang sebagian besar disebabkan oleh serangan hama dan penyakit sehingga tidak dapat ditemukan komoditas padi yang produktivitasnya bagus. Selain itu tanaman palawija sangat sedikit ditemui yang akan atau sedang dipanen, oleh karena itu produktivitas dan kualitas hasil samping pertanian diperoleh berdasarkan data sekunder. Pendekatan analisis kualitas bahan baku pakan lokal dan rata-rata produktivitas BK hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara kecuali jagung, ubi kayu, dan pucuk tebu didasarkan pada analisis proksimat kualitas bahan baku pakan lokal di Kabupaten Blora (Tabrany, 2006). Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai iklim yang sama dengan Kabupaten Jepara yaitu daerah rendah iklim kering. Jarak antara Blora dengan Jepara sekitar 131 km dari Kabupaten Jepara (BPS Kab. Jepara 2010). Kandungan nutrisi

hasil samping pertanian umumnya dipengaruhi oleh iklim, umur tanaman, dan pemupukan (Sofyan et al, 2000). Produksi Hasil Samping Pertanian Produksi potensial hasil samping pertanian adalah produksi hasil samping pertanian yang tersedia sepanjang tahun dengan asumsi tidak ada hasil samping pertanian yang terbuang (Tabrany, et al, 2006). Produksi hasil samping pertanian di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas lahan panen dari tanaman pangan tersebut (Jayasurya, 2002). Produksi efektif hasil samping pertanian adalah produksi hasil samping pertanian yang benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Tabrany, et al, 2006). Produksi efektif hasil samping pertanian diperoleh dari nilai produksi potensial hasil samping pertanian dikalikan dengan nilai proper use factor (angka manfaat) yaitu untuk jerami padi sebesar 70%, jerami jagung sebesar 75%, jerami kacang tanah sebesar 60%, jerami kacang kedelai sebesar 60%, daun ubi jalar 80%, daun ubi kayu sebesar 30% dan pucuk tebu sebesar 80% (Reksohadiprojo, 1984). Produksi riil hasil samping pertanian adalah produksi hasil samping pertanian yang tersedia dan benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, produksi riil hasil samping pertanian ini tidak bersaing dengan pemanfaatan lainnya yang menyebabkan hasil samping pertanian tidak tersedia untuk pakan ternak seperti pemanfaatan hasil samping pertanian sebagai bahan bakar dalam pembuatan genteng dan batu bata atau hasil samping pertanian dikirim ke luar daerah yang sudah berlangsung lama. Produksi riil hasil samping pertanian diperoleh dari nilai produksi efektif dikalikan dengan nilai feedstuff use factor (angka manfaat sebagai pakan). Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, didapatkan nilai feedstuff use factor (angka manfaat sebagai pakan) Kabupaten Jepara yaitu: jerami padi sebesar 70%, jerami jagung sebesar 91%, jerami kacang tanah sebesar 95%, jerami kacang kedelai sebesar 98%, daun ubi jalar sebesar 90%, daun ubi kayu sebesar 98% dan pucuk tebu sebesar 95%. Produksi potensial, produksi efektif, dan produksi riil hasil samping pertanian (% BK) dijelaskan pada Tabel 10, 11, dan 12. 37

Tabel 10. Produksi Potensial Hasil Samping Pertanian Berdasarkan BK, PK (% BK), dan TDN (% BK) di Kabupaten Jepara (ton/tahun) Bahan Baku Produksi Potensial BK PK (% BK) TDN (% BK) Jerami Padi 158.412,52 7.540,44 67.024,34 Jerami Jagung 24.796,80 1.683,70 12.393,44 Jerami Kacang Kedelai 59,20 6,23 31,13 Jerami Kacang Tanah 28.385,08 3.377,82 14.030,75 Daun Ubi Jalar 567,91 68,43 334,04 Daun Ubi Kayu 11.936,18 2.374,11 6.543,41 Pucuk Tebu 17.408,512 731,16 8.730,37 Jumlah 241.566,20 15.781,89 109.087,48 Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, TDN = Total Degistable Nutrient Pada Tabel 10 terlihat bahwa jerami padi merupakan hasil samping pertanian yang paling banyak dihasilkan dibanding dengan hasil samping pertanian yang lain. Persentase produksi potensial jerami padi dari total hasil samping pertanian yang dihasilkan di Jepara berdasarkan BK adalah sebesar 65,58% dari total keseluruhan, berdasarkan PK (%BK) 47,78%, dan berdasarkan TDN (%BK) 61,44%. Tabel 11. Produksi Efektif Hasil Samping Pertanian Berdasarkan BK, PK (% BK), dan TDN (% BK) di Kabupaten Jepara (ton/tahun) Bahan Baku Produksi Efektif BK PK (% BK) TDN (% BK) Jerami Padi 110.888,76 5.278,31 46.917,04 Jerami Jagung 18.597,60 1.262,78 9.295,08 Jerami Kacang Kedelai 35,52 3,74 18,68 Jerami Kacang Tanah 17.031,05 2.026,69 8.418,45 Daun Ubi Jalar 454,33 54,75 267,24 Daun Ubi Kayu 3.580,85 712,23 1.963,02 Pucuk Tebu 13.926,81 584,93 6.984,30 Jumlah 164.514,92 9.923,42 73.863,80 Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, TDN = Total Degistable Nutrient 38

Kendala dalam pemanfaatan jerami padi oleh petani terjadi pada musim penghujan. Pada musim ini petani sudah kebingungan dalam pengeringan padi, sehingga dalam mengeringkan jerami padi tidak dapat tertangani, hal ini menyebabkan sebagian besar jerami padi membusuk dan tidak termanfaatkan. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak biasanya terjadi pada musim panen yang ke dua, dimana pada musim panen ini mulai memasuki musim kemarau sehingga curah hujan mulai berkurang dan pengeringan jerami padi dapat dilakukan. Selain faktor musim, produksi jerami padi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain di antaranya adalah pemotongan hasil panen padi, varietas padi, dan jarak tanam padi (Tabrany, 2006) Tabel 12. Produksi Riil Hasil Samping Pertanian Berdasarkan BK, PK (%BK), dan TDN (%BK) di Kabupaten Jepara (ton/tahun) Bahan Baku Produksi Riil BK PK (% BK) TDN (% BK) Jerami Padi 77.622,13 3.694,81 32.841,93 Jerami Jagung 16.923,82 1.149,13 8.458,52 Jerami Kacang Kedelai 34,81 3,66 18,31 Jerami Kacang Tanah 16.179,50 1.925,36 7.997,52 Daun Ubi Jalar 408,90 49,27 240,51 Daun Ubi Kayu 3.509,24 697,99 1.923,76 Pucuk Tebu 13.923,53 584,79 6.982,65 Jumlah 128.601,92 8.105,01 58.463,21 Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, TDN = Total Degistable Nutrient Produksi riil hasil samping pertanian ini menggambarkan bahwa produksi hasil samping pertanian yang tersedia dan benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak di Kabupaten Jepara berdasarkan BK adalah 43,60% dari produksi potensial yang ada, sedangkan sisanya sebesar 56,40% dimanfaatkan untuk keperluan lain yang menyebabkan hasil samping tidak tersedia sebagai pakan ternak. Produksi riil berdasarkan PK (%BK) sebesar 44,33% dari produksi potensial dan berdasarkan TDN (%BK) sebesar 44,56%. Produksi hasil samping pertanian berdasarkan perwilayah dijelaskan pada Lampiran 7. Kecamatan dengan produksi hasil samping pertanian berdasarkan BK, 39

PK (%BK), maupun TDN (%BK) terbesar adalah Kecamatan Batealit kemudian diikuti Kecamatan Keling. Produksi hasil samping pertanian yang tinggi merupakan kekuatan bagi pengembangan pemanfaatan hasil samping pertanian sebagai pakan ternak. Sedangkan kecamatan dengan produksi terendah adalah Kecamatan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa merupakan wilayah dengan gugusan pulaupulau sebanyak 27 pulau yang mempunyai luas wilayah, luas tanah sawah, dan luas panen terendah di Kabupaten Jepara (BPS Kab. Jepara, 2010) sehingga produksi komoditas tanaman pangan di Kecamatan ini juga rendah yang kemudian menyebabkan rendahnya produksi hasil samping pertanian. Pada tahun 2009 secara umum produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Jepara mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (Distanak Kab. Jepara, 2011), untuk komoditi tanaman padi, ubi jalar, dan ubi kayu mengalami peningkatan luas panen. Dengan meningkatnya produktivitas dan luas panen akan berpengaruh pada jumlah produksi yang dihasilkan, yang secara otomatis akan mempengaruhi produksi jerami. Meningkatnya intensivikasi tanaman pangan akan mengakibatkan hasil ikutan pertanian melimpah (Tabrany et al., 2004). Produksi Hasil Samping Industri Pertanian Kabupaten Jepara mempunyai industri pertanian yang cukup banyak diantaranya adalah industri penggilingan padi, industri pembuatan tempe dan tahu. Dari industri pertanian ini akan dihasilkan hasil samping yang sangat potensial untuk pakan ternak ruminansia. Persentase (%) produksi hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara disajikan pada Gambar 7. Sedangkan produksi per jenis hasil samping industri pertanian di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada Tabel 13. TDN (%BK) 0.33 BK 0.06 0.61 Gambar 7. Persentase (%) Produksi Hasil Samping Industri Pertanian di Kabupaten Jepara 40

Hasil samping yang dimaksud di sini adalah hasil perhitungan dari hasil samping pabrik penggilingan padi yang ada di Jepara serta pabrik tempe dan pabrik tahu yang mendapatkan subsidi kedelai yang ada di Jepara. Berdasarkan data dari BPS Kab. Jepara (2010) bahwa terdapat sebanyak 226 penggilingan padi dan berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Jepara (2008) terdapat 377 UMK tempe dan 62 UMK tahu penerima subsidi kedelai dengan total kebutuhan kedelai untuk produksi tempe dan tahu masing-masing sebanyak 4.891 ton/tahun dan 1.627,9 ton/tahun. Tabel 13. Produksi Hasil Samping Industri Pertanian Kabupaten Jepara (ton/tahun) No Hasil Samping BK PK (%BK) TDN (%BK) 1 Dedak Padi 34.498,42 3.401,54 19.001,73 2 Ampas Tahu 68,68 14,48 48,98 3 Ampas Tempe 134,16 24,05 87,55 Jumlah 34.701,25 3.440,08 19.138,26 Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, TDN = Total Degistable Nutrient Berdasarkan Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil samping industri pertanian yang mempunyai produksi tertinggi adalah dedak padi yaitu berdasarkan BK sebesar 99,41% dari total produksi hasil samping industri pertanian, PK (%BK) sebesar 98,88%, dan TDN (%BK) sebesar 99,29%. Hal ini seiring dengan tingginya produksi padi, bahkan pada tahun 2009 produktivitas padi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Industri penggilingan padi akan menghasilkan hasil samping berupa dedak padi dan sekam padi. Dedak padi umumnya digunakan sebagai campuran pakan konsentrat untuk ternak ruminansia dan pakan ternak unggas. Menurut Tabrany (2006) menyatakan bahwa pada musim panen ketersediaan dedak padi sangat melimpah dan harganya umumnya murah. Berdasarkan produksi hasil samping industri pertanian perwilayah (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa kecamatan-kecamatan sentra dedak padi adalah Kecamatan Nalumsari dan Mlonggo. Adapun kecamatan-kecamatan sentra ampas tahu adalah Kecamatan Pakis Aji, Bangsri, dan Mlonggo. Sedangkan kecamatan-kecamatan sentra ampas tempe adalah Kecamatan Pecangaan, Jepara, dan Mlonggo. Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Mlonggo memiliki potensi sebagai lumbung hasil samping industri pertanian di Kabupaten Jepara karena merupakan 41

kecamatan yang sangat potensial dalam menyediakan ketiga hasil samping industri pertanian dibanding dengan wilayah lainnya. Sebenarnya masih banyak industri pembuatan tahu dan tempe yang belum terdata dikarenakan keterbatasan waktu dan dana. Sentra hasil samping indusri pertanian di Kabupaten Jepara dijelaskan dalam Gambar 8. Keterangan: : Dedak Padi : Ampas Tahu : Ampas Tempe Gambar 8. Sebaran Hasil Samping Industri Pertanian di Kabupaten Jepara 42

Indeks Konsentrasi Produksi Pakan (IKPP) Dari Hasil Samping Pertanian IKPP menggambarkan konsentrasi komparatif hasil samping pertanian antar kecamatan dalam satu kabupaten. IKPP dari hasil samping pertanian disajikan pada Gambar 9. 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Kecamatan Gambar 9. Indeks Konsentrasi Produksi Pakan (IKPP) dari Hasil Samping Pertanian Nilai IKPP ini secara tidak lansung menggambarkan potensi hasil samping pertanian yang ada di suatu kecamatan yang dapat mendukung ketersediaan pakan bagi ternak ruminansia. Nilai IKPP di atas rata-rata (IKPP > 1,0) untuk masingmasing kecamatan (Lampiran 9) yang memiliki potensi hasil samping pertanian yang tinggi adalah sebagai berikut: a. Kabupaten yang dominan menghasilkan jerami padi adalah Welahan, Nalumsari, Bangsri, dan Kedung. b. Kecamatan yang dominan menghasilkan jerami jagung adalah Keling, Batealit, Welahan, dan Nalumsari c. Kecamatan yang dominan menghasilkan jerami kacang kedelai adalah Kecamatan Mayong, Welahan, dan Nalumsari. d. Kecamatan yang dominan menghasilkan jerami kacang tanah adalah Batealit, Pakis aji, Bangsri, dan Keling. e. Kecamatan yang dominan menghasilkan daun ubi jalar adalah Kalinyamatan, Kedung, Nalumsari, dan Welahan. 43

f. Kecamatan yang dominan menghasilkan daun ubi kayu adalah Donorojo, Keling, Nalumsari, dan Batealit. g. Kecamatan yang dominan menghasilkan pucuk tebu adalah Mayong, Nalumsari, Kembang, dan Batealit. Berdasarkan hasil analisis IKPP menunjukkan bahwa beberapa kecamatan memiliki potensi sebagai lumbung hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara. Daerah tersebut adalah Kecamatan Nalumsari, Batealit, dan Mayong. Hal ini ditunjukkan dengan IKPP yang tinggi (IKPP > 1) lebih dari empat jenis hasil samping pertanian (Lampiran 8). Nilai IKPP juga menunjukkan daerah-daerah yang menjadi sentra hasil pertanian dan hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara seperti yang dijelaskan dalam Gambar 10. 44

Keterangan: : Jerami Padi : Daun Ubi Jalar : Jerami Jagung, Jagung : Daun Ubi Kayu, Ubi Kayu : Jerami Kedelai : Pucuk Tebu : Jerami Kacang Tanah Gambar 10. Sebaran Hasil Pertanian dan Hasil Samping Pertanian di Kabupaten Jepara 45

Kesesuaian Ternak yang Dapat Dikembangkan Berdasarkan IKPP dari Hasil Samping Pertanian Berdasarkan hasil analisis IKPP dari hasil samping pertanian memberikan indikasi bahwa hampir seluruh wilayah Jepara memiliki potensi hasil samping pertanian berupa jerami padi (Lampiran 8), hal ini dapat dilihat dari indeks konsentrasi pakan yang berada lebih dari 0.5 (Kecamatan tersebut hanya dapat mencukupi kebutuhan sendiri) kecuali pada Kecamatan Jepara dan Karimunjawa yang masing-masing memiliki nilai IKPP 0,27 dan 0,00. Selain itu juga dapat dilihat bahwa jerami padi memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu sumber pakan ruminansia di Jepara, produksi jerami padi adalah 65,58% dari total hasil samping pertanian yang dihasilkan. Dari hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa secara umum wilayah Jepara sangat cocok dikembangkan ternak sapi potong dan kerbau. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan terbesar jerami padi tersebut adalah sapi potong dan kerbau. Untuk meningkatkan pemanfaatan jerami padi secara optimal sebagai pakan ternak ruminansia perlu dikembangkan pola integrated farming dengan pendekatan zero waste (Tabrany, 2006). Dengan pola integrated farming ini diharapkan dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi ternak ruminansia, selain itu juga dapat mencegah pencemaran lingkungan oleh hasil samping pertanian dan meningkatkan pendapatan petani peternak. Sistem integrated farming diharapkan mampu menjaga keseimbangan ekosistem didalamnya dimana ternak mampu menyediakan pupuk yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesuburan tanah itu sendiri sehingga mampu menyediakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman agar tumbuh subur dan berproduksi tinggi. Tanaman tersebut mampu menyediakan pakan berupa hasil samping pertanian yang dapat mencukupi secara kuantitatif, kualitatif, dan berkesinambungan. Berdasarkan IKPP hasil samping pertanian terlihat bahwa potensi pakan dari hasil samping pertanian di tiap kecamatan berbeda-beda, sehingga kesesuaian ternak yang dapat dikembangkan di wilayah tersebut juga berbeda-beda pula. Kesesuaian ternak yang dapat dikembangkan di tiap kecamatan berdasarkan IKPP hasil samping pertanian adalah sebagai berikut : - Kecamatan Mayong, Nalumsari, Bangsri, Welahan, Batealit, Kedung, Keling, dan Donorojo lebih sesuai dikembangkan ternak sapi potong, kerbau, kambing, 46

dan domba. Pada daerah ini memiliki nilai IKPP yang sangat tinggi (IKPP > 1,0) untuk hasil samping pertanian yang dapat dimanfaatkan oleh ternak seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun ubi kayu, dan pucuk tebu. - Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan, dan Pakis Aji lebih sesuai dikembangkan kambing dan domba. Pada daerah ini memiliki nilai IKPP yang tinggi (IKPP > 1,0) untuk hasil samping pertanian seperti daun ubi jalar, daun ubi kayu, dan jerami kacang tanah. Hasil samping pertanian ini lebih disukai oleh ternak kambing dan domba. - Kecamatan Kembang lebih sesuai dikembangkan sapi dan kerbau. Pada daerah ini memiliki nilai IKPP yang tinggi (IKPP > 1,0) untuk hasil samping pertanian jerami padi dan pucuk tebu. Hasil samping pertanian ini memiliki tekstur yang keras yang kurang disukai oleh ternak kambing dan domba, hasil samping ini umumnya dimanfaatkan oleh sapi potong dan kerbau sebagai pakan. Distribusi Ketersediaan Hasil Samping Pertanian Berdasarkan Produksi Hasil Samping dalam Satu Tahun Sumber hasil samping pertanian diperoleh dari komoditi tanaman pangan yang ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas area panen (Syamsu, 2006). Pola tanam yang bervariasi selama satu tahun dapat menyediakan hasil samping pertanian yang bervariasi pula. Menurut Sajimin et al. (2000) pengaruh iklim dan kondisi ekologi sangat menentukan ketersediaan hijauan sebagai pakan ternak di suatu wilayah sehingga hijauan makanan ternak tidak dapat tersedia sepanjang tahun. Pola tanam yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Jepara mengikuti beberapa pola yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang bahwa responden mempunyai pola tanam sebagai berikut: Musim Tanam 1 (MT 1) yaitu antara bulan Desember s/d Maret komoditi yang ditanam berupa padi dan tebu, pada MT 2 yaitu antar bulan April s/d Juli berupa padi, kacang tanah dan ubi kayu, sedangkan pada MT 3 yaitu antara bulan Agustus s/d November berupa palawija seperti jagung, tebu, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang kedelai. 47

Persentase ketersediaan hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara berdasarkan luas panen tanaman pangan tahun 2009 (BPS Kab. Jepara, 2010) dapat dilihat pada Gambar 11. 70 60 50 40 30 20 10 Jerami Jerami Padi Padi Jerami Jerami Jagung Jagung Jerami Kacang Jerami Kedelai Kacang Kedele Jerami Jerami Kacang Kacang Tanah Tanah Jerami Daun Ubi Ubi Jalar Jalar Jerami Daun Ubi Ubi Kayu Kayu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Gambar 11. Pola Ketersediaan Hasil Samping Pertanian dalam Satu Tahun di Kabupaten Jepara Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa bulan-bulan produksi hasil samping pertanian adalah sebagai berikut: jerami padi adalah antara bulan Februari sampai Maret pada MT 1 dan antara bulan Juni sampai Juli pada MT 2, jerami jagung antara bulan Januari sampai Februari dan antara September sampai Oktober, jerami kacang kedele antara bulan Agustus sampai September, jerami kacang tanah antara bulan September sampai Oktober, daun ubi jalar antara bulan September sampai Oktober, dan daun ubi kayu antara bulan Juli sampai Agustus. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang bahwa bulan produksi pucuk tebu adalah bulan Mei. Tabel pola ketersediaan hasil samping pertanian dalam satu tahun disajikan pada Tabel 14. Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa produksi hasil samping pertanian tersedia antara bulan Januari sampai Maret dan antara bulan Mei sampai Oktober. Sedangkan peternak kekurangan pakan pada bulan April dan antara bulan November sampai Desember, apabila dilihat dari pola ketersediaan hasil samping pertanian seharusnya antara bulan-bulan tersebut kekurangan pakan dapat diatasi dengan memanfaatkan hasil samping secara optimal dan menerapkan teknologi 48

pengawetan hijauan pakan ternak pada bulan-bulan dimana hasil samping pertanian melimpah. Tabel 14. Ketersediaan Hasil Samping Pertanian di Kabupaten Jepara dalam Satu Tahun Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des J. Jagung J. Padi Pucuk Tebu J. Padi D. Ubi Kayu J. Kcg Kedelai J. Kcg Tanah D. Ubi Jalar J. Jagung Tabrany (2006) menyatakan bahwa berdasarkan nilai IKT Provinsi Jawa Tengah, kabupaten-kabupaten di sekitar Kabupaten Jepara mempunyai potensi ternak yang tinggi (IKT > 1) yaitu: Kabupaten Pati pada ternak sapi potong dan kambing; Kabupaten Demak pada ternak domba; Kabupaten Kudus pada ternak kerbau; Kabupaten Blora pada ternak sapi potong, kambing, kerbau, dan domba. Tabrany (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa Kabupaten Blora merupakan salah satu Kabupaten yang berpotensi besar menjadi lumbung ternak di Provinsi Jawa Tengah, selain itu berdasarkan nilai IKPP dari hasil samping pertanian Provinsi Jawa Tengah diketahui bahwa Kabupaten Jepara merupakan kabupaten yang dominan penghasil jerami kacang tanah, daun ubi kayu, dan pucuk tebu (IKPP >1) (Tabrany, 2006) sehingga kondisi ini merupakan peluang besar bagi Kabupaten Jepara untuk mendukung potensi tersebut dalam menyediakan pakan ruminansia yang berkelanjutan. 49

Pola Ketersediaan Hasil Samping Industri Pertanian Industri penggilingan padi berproduksi sesuai dengan ketersediaan bahan baku, sebanyak 80% responden menyatakan bahwa faktor ketersediaan bahan baku sangat dipengaruhi oleh cuaca/musim sedangkan 20% responden menyebutkan dipengaruhi oleh pemasok padi. Persentase (%) ketersediaan hasil samping industri pertanian di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada Gambar 12. 12 Persentase (%) 10 8 6 4 2 Dedak Padi Ampas Tahu & Ampas Tempe 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Gambar 12. Persentase (%) Ketersediaan Hasil Samping Industri Pertanian Selama Satu Tahun di Kabupaten Jepara Pada Gambar 12 dapat diketahui bahwa produksi dedak padi tersedia antara bulan Februari sampai Agustus. Pada musim panen padi tiba maka ketersediaan dedak padi sangat melimpah dan pabrik penggilingan padi dapat berproduksi setiap hari terutama antara bulan Februari sampai Maret dan antara bulan Juni sampai Juli, akan tetapi ketika memasuki bulan September sampai Januari pabrik hanya berproduksi dua kali dalam seminggu. Bahan baku pabrik penggilingan padi diperoleh dari masyarakat Kabupaten Jepara dan Kabupaten sekitarnya seperti Kabupaten Demak dan Kudus. Pabrik pembuatan tempe dan tahu berproduksi relatif konstan setiap hari bahkan pada bulan-bulan tertentu seperti bulan puasa dan lebaran memproduksi sebanyak dua kali lipat seperti biasanya sehingga ampas tempe dan ampas tahu tersedia setiap hari. Menurut pengamatan di lapang menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku berupa kedelai tidak dipengaruhi musim panen kedelai dari dalam Kabupaten karena di pasok dari luar wilayah. 50

Evaluasi Pemanfaatan Hasil Samping Pertanian dan Hasil Samping Industri Pertanian Responden pada penelitian ini berjumlah 83 petani/petani-peternak, 5 pengusaha penggilingan padi, 3 produsen tahu, dan 2 produsen tempe. Responden diambil dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Welahan sebanyak 43 responden, Kecamatan Nalumsari sebanyak 33 responden, Kecamatan Jepara sebanyak 4 orang, dan Kecamatan Bangsri sebanyak 13 responden. Keadaan umum reponden di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 83 orang, memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan petani di Kabupaten Jepara cukup beragam. Petani ratarata memiliki tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 53,01% dari total responden. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan petani di Kabupaten Jepara masih relatif rendah. Rendahnya tingkat pendidikan dimungkinkan akan mempengaruhi optimalisasi adopsi teknologi yang berkembang dan tingkat kreativitas petani dalam pemanfaatan limbah pertanian. Chamdi (2003) menyatakan bahwa pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan sumber daya lokal sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan akan menentukan keberhasilan. Berdasarkan jenis pekerjaan, rata-rata petani di Kabupaten Jepara menekuni pekerjaan hanya sebagai petani saja 40,96% dan dominan berjenis kelamin laki-laki 90,36%. Para petani rata-rata berusia antara 51-60 tahun 30,12% dengan pengalaman bertani rata-rata selama 31-40 tahun 25,30%. Jika dilihat dari jumlah anggota keluarga yang dimiliki, rata-rata petani di Kabupaten Jepara memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang 22,89%. Hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara terdiri dari hasil samping pertanian yang tersedia dan yang tidak tersedia sebagai pakan ternak. Tidak semua hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara yang tersedia sebagai pakan ternak dimanfaatkan untuk pakan ternak, akan tetapi ada yang dibiarkan begitu saja di sekitar sawah atau dibakar oleh petani. Adapun hal yang menyebabkan hasil samping pertanian menjadi tidak tersedia untuk pakan ternak yaitu penggunaannya sebagai bahan bakar dalam pembuatan genteng atau batu bata dan hasil samping pertanian yang dibeli/diambil oleh masyarakat di sekitar Kabupaten Jepara untuk memenuhi 51

kebutuhan pakan ternak di daerahnya. Persentase pemanfaatan hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase (%) Pemanfaatan Hasil Samping Pertanian di Kabupaten Jepara Jenis Hasil Samping Pertanian Persentase Tingkat Pemanfaatan Hasil Samping yang Tersedia Hasil Samping yang Tidak Tersedia 1 2 3 4 5 Jerami Padi 20,00 34,29 14,29 2,86 28,57 Jerami Jagung 30,43 34,78 26,09 4,35 4,35 Jerami Kacang Kedele 75,17 14,57 5,26-5,00 Jerami Kacang Tanah 95,00 - - - 5,00 Daun Ubi Jalar 90,00 - - 3,63 1,37 Daun Ubi Kayu 73,68 5,27 19,05-2,00 Pucuk Tebu 30,00 54,93 10,07 2,87 2,13 Keterangan: 1. Hasil samping pertanian yang sudah dimanfaatkan sebagai pakan ternak 2. Hasil samping pertanian yang dibakar 3. Hasil samping pertanian yang dibiarkan di sekitar sawah/dibenam di sawah 4. Hasil samping pertanian yang dimanfaatkan untuk industri genteng dan batu bata sebagai bahan bakar 5. Hasil samping pertanian yang dijual ke luar daerah n = 83 Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui hasil samping pertanian yang tersedia sebagai pakan ternak adalah sebagai berikut: jerami padi sebanyak 70% dari total jerami, jerami jagung sebanyak 91%, jerami kacang tanah sebanyak 95%, jerami kacang kedelai sebanyak 98%, daun ubi jalar sebanyak 90%, daun ubi kayu sebanyak 98% dan pucuk tebu sebanyak 95%. Sedangkan hasil samping pertanian yang tidak tersedia adalah sebagai berikut: jerami padi sebanyak 30% dari total jerami padi, jerami jagung sebanyak 9%, jerami kacang tanah sebanyak 5%, jerami kacang kedelai sebanyak 2%, daun ubi jalar sebanyak 10%, daun ubi kayu sebanyak 2% dan pucuk tebu sebanyak 5%. Pada musim hujan sebagian besar hasil samping pertanian dibiarkan di sekitar sawah atau dibuang begitu saja. Pada musim ini petani mengalami kesulitan dalam pengeringan hasil samping pertanian karena curah hujan yang begitu tinggi sehingga banyak hasil samping pertanian yang menjadi busuk. Kendala lain dalam 52

pemanfaatan hasil samping pertanian adalah pada umumnya mempunyai protein dan kecernaan yang rendah, dan fluktuasi panen yang terjadi pada tanaman pangan. Umumnya bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian/industri pertanian tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan satu-satunya dalam ransum baik untuk ternak ruminansia maupun ternak non-ruminansia (unggas), oleh karena kandungan zat-zat makanannya tidak dapat memenuhi standar kebutuhan ternak. Disamping itu bahan makanan tersebut sering mempunyai kendala-kendala baik berupa racun maupun anti nutrisi sehingga penggunaannya pada ternak perlu dibatasi (Sukria dan Krisnan, 2009). Untuk meningkatkan kegunaannya sebagai pakan ternak ruminansia maka perlu dilakukan teknologi pengolahan hasil samping seperti fermentasi, amoniasi, dan silase. Sebanyak 52% peternak/petani-peternak mengetahui adanya teknologi pakan hasil samping pertanian, adapun teknologi pakan yang sering dilakukan ketika produksi hasil samping pertanian melimpah yaitu pengeringan hijuan makan ternak, hay (hijauan makan ternak yang dikeringkan) ini digunakan sebagai persediaan pakan untuk beberapa waktu kedepan setelah musim panen berakhir. Pada industri penggilingan padi akan dihasilkan hasil samping berupa dedak padi dan sekam padi. Angka konversi rata-rata yang diperoleh dari hasil penelitian untuk dedak padi adalah sebesar 9%, menurut Tabrany (2006) angka konversi ratarata untuk dedak padi adalah 8-22%, dengan angka konversi rata-rata sebesar 13,06%. Periode produksi penggilingan padi bersifat musiman, pada musim panen padi tiba maka pabrik dapat berproduksi setiap hari karena bahan baku tersedia melimpah, akan tetapi selain musim panen maka pabrik hanya berproduksi dua sampai tiga kali seminggu. Jumlah produksi beras sangat dipengaruhi oleh cuaca/musim dan ketersediaan bahan baku, sedangkan pola ketersediaan dedak padi sangat dipengaruhi oleh pola produksi pabrik penggilingan padi. Semua responden mengetahui tentang kegunaan dedak padi yaitu sebagai pakan ternak, 100% produksi dedak padi yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan harga jual antara Rp. 1.600,00 2.500,00 per kilogram dengan harga rata-rata Rp. 1.900,00. Menurut Sofyan et al. (2000) pemanfaatan dedak padi dalam ransum ternak umumnya sampai 25% dari campuran konsentrat. Pembatas dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat menyebabkan susahnya 53

pengosongan saluran pencernaan karena sifat pencahar pada dedak. Pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat memungkinkan ransum tersebut mudah mengalami ketengikan selama penyimpanan karena dedak mengandung lemak yang tinggi (14-18%). Angka Konversi dari Hasil Samping Industri Pertanian di Kabupaten Jepara dijelaskan pada Tabel 16. Tabel 16. Angka Konversi dari Hasil Samping Industri Pertanian di Kabupaten Jepara Industri Pertanian Limbah Industri Pertanian Angka Konversi (%) Pengilingan Padi Dedak Padi 8-10 Industri Tahu Ampas Tahu 25 41,6 Industri Tempe Ampas Tempe 10-16 Pada industri tahu akan dihasilkan hasil samping berupa ampas tahu. Angka konversi rata-rata ampas tahu sekitar 33,30%. Menurut Sofyan et al. (2000) angka konversi untuk ampas tahu antara 25-67% dengan angka konversi rata-rata 39,02%. Ampas tahu merupakan bahan pakan sumber protein karena ampas tahu mempunyai kandungan protein kasar yang cukup tinggi. 100% responden mengetahui kegunaan ampas tahu yaitu sebagai pakan ternak dan bahan baku pembuatan tempe gembus, bahkan salah satu responden menyatakan bahwa ampas tahu juga dapat menghasilkan biogas. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, pemanfaatan ampas tahu sebagai pakan ternak sekitar 60% dan sebagai bahan baku pembuatan tempe gembus sekitar 40%. Harga ampas tahu yang ditawarkan oleh responden kepada peternak dan produsen tempe gembus berkisar antara Rp. 500,00 700,00 per kilogram dengan harga rata-rata Rp. 600,00. Pada industri tempe akan dihasilkan hasil samping berupa kulit ari kedelai (ampas tempe). Angka konversi ampas tempe sekitar 13%, menurut Tabrany (2006) angka konversi ampas tempe berkisar 10-15%. Ampas tempe dapat digunakan sebagai pakan ternak karena kandungan proteinnya cukup baik akan tetapi memiliki kandungan serat kasar yang cukup tinggi. Sebanyak 100% responden mengetahui kegunaan ampas tempe yaitu sebagai pakan ruminansia, ampas tempe diambil sendiri oleh peternak dengan gratis. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, 100% ampas 54

tempe tersedia untuk pakan ternak, Periode produksi tahu dan tempe bersifat harian sehingga ampas tahu dan ampas tempe bisa didapatkan setiap hari bahkan produksi hasil samping ini sangat melimpah pada hari-hari tertentu seperti pada hari raya. Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak. Pencemaran oleh bahan kimiawi merupakan kendala utama dalam kegiatan pertanian dan perkebunan sehubungan residu yang dapat terbentuk di dalam produk. Pestisida adalah bahan agrokimia yang merupakan bagian penting di dalam kegiatan bertani untuk melindungi tanaman dari serangan hama penyakit. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (Indraningsih, 1988). Disamping itu residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang berlebihan tanpa mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh produsen. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan karsinogenik (Varsheya et al., 1988). Residu pestisida dalam produk pertanian dan ternak telah dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia (Indraningsih dan Y. Sani, 2004) Dalam memanfaatkan hasil samping pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan hasil samping pertanian, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka hasil samping pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan hasil samping pertanian yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak. 55

Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. Indraningsih et al. (2004) selanjutnya menyatakan bahwa pemberian limbah hasil pertanian organik kepada ternak ruminansia terlihat terjadinya penurunan kadar residu pestisida pada produk ternak yang dihasilkan. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan hasil samping pertanian yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak. Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. Daya Dukung Sumber Bahan Pakan Lokal Bagi Industri Pakan Ruminansia Evaluasi daya dukung sumber bahan pakan lokal meliputi evaluasi daya dukung hasil samping pertanian (DDHSP), indeks daya dukung hasil samping pertanian (IDDHSP), daya dukung hasil samping industri pertanian (DDHSIP), daya dukung Kabupaten Jepara, dan peningkatan populasi ternak (PPT). Daya Dukung Hasil Samping Pertanian (DDHSP) Sebagai Pakan Ruminansia Daya dukung hasil samping pertanian (DDHSP) merupakan kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan atau menyediakan pakan berupa hasil samping pertanian yang dapat menampung kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia tanpa melalui pengolahan. DDHSP berdasarkan produksi potensial, efektif, dan riil dijelaskan pada Gambar 13. 56

70000 Satuan Ternak (ST) 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Produksi Potensial Produksi Efektif Produksi Riil Keterangan: = Bahan Kering = Protein Kasar = Total Degistable Nutrient Gambar 13. Daya Dukung Hasil Samping Pertanian (DDHSP) Berdasarkan Produksi Potensial, Efektif, dan Riil di Kabupaten Jepara Karena produksi berdasarkan PK merupakan produksi yang terendah maka digunakan sebagai faktor pembatas produksi hasil samping. Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa DDHSP dari produksi potensial berdasarkan PK sebesar 37.565,64 ST, artinya adalah Kabupaten Jepara mampu menyediakan kebutuhan nutrisi baik berdasarkan kebutuhan BK, PK, maupun TDN untuk sejumlah 37.565,64 ST berupa hasil samping pertanian tanpa melalui pengolahan dan dengan asumsi tidak ada hasil samping pertanian yang terbuang. Berdasarkan produksi efektif (produksi yang benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak) Kabupaten Jepara mampu menampung ternak sebanyak 23.565,64 ST. Sedangkan DDHSP dari produksi riil (produksi yang tersedia dan benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak) Kabupaten Jepara mampu menampung ternak yang optimal sebanyak 19.292,36 ST. Indeks Daya Dukung Hasil Samping Pertanian (IDDHSP) Indeks daya dukung hasil samping pertanian (IDDHSP) merupakan nisbah antara produksi pakan yang tersedia dengan jumlah kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia yang ada di wilayah itu. IDDHSP berdasarkan produksi BK, PK, TDN dapat dilihat pada gambar 14. 57

2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kecamatan Keterangan: = Bahan Kering = Protein Kasar = Total Degistable Nutrient Gambar 14. Indeks Daya Dukung Hasil Samping Pertanian (IDDHSP) Nilai IDDHSP ini memperlihatkan kemampuan suatu wilayah untuk meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara di wilayah tersebut. Berdasarkan IDDHSP menunjukkan ada beberapa daerah yang memiliki daya dukung pakan yang tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan produksi potensial (Lampiran 15). Daerahdaerah tersebut adalah: Kecamatan yang memiliki daya dukung pakan tinggi adalah Batealit. Kecamatan yang memiliki daya dukung pakan sedang adalah Welahan, Kedung, Pecangaan, Kalinyamatan, Mayong, Nalumsari, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakis Aji, Bangsri, Kembang dan Keling. Kecamatan yang memiliki daya dukung pakan rendah adalah Donorojo dan Karimunjawa. Daya Dukung Hasil Samping Industri Pertanian (DDHSIP) Nilai daya dukung hasil samping industri pertanian (DDHSIP) digambarkan dengan nilai kapasitas tampung hasil samping industri pertanian (KTHSIP), KTHSIP merupakan nilai yang menunjukkan seberapa besar jumlah ternak yang dapat ditampung dalam suatu wilayah dengan sumber daya berupa hasil samping 58

industri pertanian yang dimiliki oleh wilayah tersebut (Ahmad, 2010). Berdasarkan KTHSIP Kabupaten Jepara dijelaskan pada Tabel 17. Tabel 17. Kapasitas Tampung Hasil Samping Industri Pertanian (KTHSIP) (ST) No Hasil Samping BK PK TDN 1 Dedak Padi 9.855,71 8.096,70 9.117,26 2 Ampas Tahu 19,62 34,48 23,50 3 Ampas Tempe 38,33 57,26 42,01 Jumlah 9.913,65 8.188,43 9.182,77 Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa hasil samping industri pertanian yang mempunyai KTHSIP terbanyak adalah dedak padi yaitu sebesar 98,88% dari total ST yang optimal dapat ditampung. Kapasitas tampung berdasarkan wilayah dijelaskan pada Lampiran 16. Pada Lampiran dapat diketahui bahwa Kecamatan yang mampu menampung ternak paling banyak dan paling optimal dari daerah lainnya berdasarkan produksi dedak padi adalah Kecamatan Nalumsari, berdasarkan produksi ampas tahu adalah Kecamatan Pakis Aji, dan berdasarkan produksi ampas tempe adalah Kecamatan Pecangaan. Daya Dukung Kabupaten Jepara Nilai daya dukung Kabupaten Jepara menggambarkan besar jumlah ST yang dapat ditampung dalam suatu wilayah kabupaten dengan sumber daya yang dimiliki oleh Kabupatren Jepara. Berdasarkan analisis daya dukung, daya dukung Kabupaten Jepara dijelaskan pada Gambar 15. 59

Satuan Ternak (ST) 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Produksi Potensial Produksi Efektif Produksi Riil Keterangan: = Bahan Kering = Protein Kasar = Total Degistable Nutrient Gambar 15. Daya Dukung Kabupaten Jepara (ST). Dari Gambar 15 menunjukkan bahwa dengan sumber daya pakan yang dimiliki berupa hasil samping pertanian dan hasil samping industri pertanian maka berdasarkan produksi potensial Kabupaten Jepara dapat menampung sebanyak 40.156,46 ST, berdasarkan produksi efektif sebesar 36.207,88 ST, sedangkan berdasarkan produksi riil yang berarti bahwa populasi optimal yang dapat ditampung oleh Kabupaten Jepara berdasarkan sumber daya pakan yang tersedia dan benarbenar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah sebesar 27.480,79 ST. Dari hasil perhitungan daya dukung perwilayah berdasarkan produksi BK, PK, dan TDN (Lampiran 17) dapat diketahui bahwa jika dilihat dari produksi riil maka Kecamatan Nalumsari merupakan kecamatan yang mempunyai nilai daya dukung tertinggi dibanding wilayah lainnya sebesar 7.084,46 ST, kemudian diikuti Kecamatan Batealit sebesar 4.346,82 ST. Hal ini seiring dengan tingginya nilai daya dukung hasil samping pertanian (Lampiran 14) dan kapasitas tampung hasil samping industri pertanian di wilayah tersebut (Lampiran 16). Peningkatan Populasi Ternak (PPT) Berdasarkan nilai daya dukung dan populasi ternak suatu daerah dapat diperkirakan jumlah populasi ternak ruminansia yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah tersebut atau dikeluarkan dari wilayah tersebut. Berdasarkan analisis estimasi peningkatan populasi ternak (PPT), Kabupaten Jepara mempunyai nilai PPT berdasarkan produksi potensial, efektif, dan riil yang dijelaskan pada Tabel 18. 60

Tabel 18. Estimasi Peningkatan Populasi Ternak (PPT) (ST) Produksi Potensial Produksi Efektif Produksi Riil BK 35.849,97 26.005,57 10.391,38 PK 3.894,46-54,12-8.781,21 TDN 18.959,07 13.314,67 972,11 Data pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa apabila dilihat dari PPT produksi potensial maka Kabupaten Jepara masih dapat menambahkan sejumlah populasi ruminansia kedalam wilayah tersebut. Akan tetapi jika dilihat dari PPT produksi efektif dan produksi riil maka Kabupaten Jepara memiliki daya dukung yang lebih rendah dari populasi ruminansia yang ada. Secara riil menunjukkan bahwa Kabupaten Jepara sudah kelebihan populasi sebanyak 8.781,21 ST. Dari hasil perhitungan PPT perwilayah berdasarkan produksi BK, PK, dan TDN (Lampiran 18) dapat diketahui bahwa jika dilihat dari produksi riil maka Kecamatan Nalumsari merupakan kecamatan yang mempunyai nilai PPT tertinggi dibanding wilayah lainnya sebesar 3.216,32 ST, kemudian diikuti Kecamatan Batealit sebesar 1.661,32 ST. Sedangkan Kecamatan yang mempunyai PPT minus adalah Kecamatan Donorojo sebesar -6.175,92. Kelebihan populasi yang terjadi di Kabupaten Jepara ini dapat diatasi dengan mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut: 1) Mengembangankan kecamatan sentra bahan baku pakan lokal atau kecamatan yang berpotensi menjadi lumbung pakan lokal berdasarkan produksi hasil samping indusri pertanian (Lampiran 7) dan nilai IKPP di atas rata-rata (IKPP > 1,0) untuk masing-masing kecamatan (Lampiran 8) dengan meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan dan perkebunan khususnya tanaman tebu sebagai penghasil hasil samping pertanian, meningkatkan kualitas tanaman pangan dan perkebunan dengan menggunakan bibit unggul dan tahan penyakit sehingga produksi riil dan daya dukung dari hasil samping yang dihasilkan meningkat secara nyata. Kabijakan lain yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan intregated farming, intensivikasi pertanian, pengolahan paska panen, pengembangan industri pertanian dan industri pakan ternak. Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan bahwa sentra-sentra pengembangan industri 61

pertanian hendaknya bersinergi dengan kawasan peternakan. Produksi pakan yang melimpah ini selain dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak di wilayah tersebut juga dapat memenuhi kebutuhan pakan di Kecamatan lain yang memiliki populasi ternak tinggi tetapi produksi pakan yang dimiliki sangat kurang yang ditunjukkan dengan nilai PPT bernilai minus (Lampiran 18). 2) Memasok pakan ternak dari kecamatan sentra bahan baku pakan lokal atau kecamatan yang berpotensi menjadi lumbung pakan lokal ke kecamatan dengan nilai PPT minus (Lampiran 18) yang artinya bahwa daerah tersebut sudah sangat kelebihan ternak sehingga terjadi adanya kekurangan pakan. Pakan ternak yang dipasok bisa dalam bentuk konsentrat yang telah diolah oleh pabrik pakan yang ada di daerah sentra/lumbung pakan lokal atau dalam bentuk hijauan pengolahan hasil samping pertanian dari industri bahan baku pakan. Jika ternyata bahan pakan lokal belum mencukupi kebutuhan dalam daerah maka dapat memasok dari daerah di sekitar Kabupaten Jepara. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kecamatan potensial sebagai lumbung ternak di Kabupaten Jepara yang ditunjukkan dengan nilai IKT yang tinggi (IKT > 1) artinya memiliki lebih dari dua jenis ternak ruminansia (Lampiran 6) ternyata mempunyai nilai PPT minus. 3) Mendorong produksi efektif bahan pakan lokal menjadi produksi riil yang tersedia dan benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil kebijakan-kebijakan untuk mengurangi hal-hal yang menyebabkan hasil samping pertanian menjadi tidak tersedia untuk pakan ternak. Berdasarkan pengamatan di lapang dapat diketahui bahwa hal-hal yang menyebabkan hasil samping pertanian di Kabupaten Jepara tidak tesedia yaitu penggunaannya sebagai bahan bakar dalam pembuatan genteng atau batu bata dan hasil samping pertanian yang dibeli/diambil oleh masyarakat di sekitar Kabupaten Jepara. Karena dengan meningkatnya produksi riil pakan lokal di Kabupaten Jepara maka dapat meningkatkan daya dukung pakan lokal bagi ternak ruminansia di Kabupaten Jepara. 62

Model Pengelolaan Sumber Bahan Pakan Lokal Bagi Industri Pakan Ruminansia Berkelanjutan Industri pakan berkelanjutan adalah pembangunan industri pakan yang dilakukan dengan pola pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan pakan di Kabupaten Jepara secara berkesinambungan dari waktu ke waktu. Selain itu, untuk mencapai pembangunan industri pakan yang berkelanjutan maka suplai bahan baku dan pasar juga harus terjamin. Dilihat dari basis sumber daya yang digunakan, agribisnis peternakan termasuk didalamnya agribisnis pakan sangat tergantung pada faktor ekosistem spesifikasi lokasi dimana agribisnis dikembangkan. Beberapa keuntungan pembangunan peternakan yang berkelanjutan dengan pendekatan agribisnis antara lain: 1) pengembangan agribisnis pakan didasarkan atas sumber daya alam yang dapat diperbaharui tidak akan pernah habis, 2) kegiatan agribisnis pakan dapat diintegrasikan dengan mudah sehingga interaksi masyarakat dengan lingkungan dapat dipertahankan, 3) dapat membuka peluang kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan dengan adanya nilai tambah, 4) hasil produksi pakan memenuhi standar, berkualitas baik dan berdaya saing tinggi. Konsep model industri pakan ruminansia berkelanjutan di Kabupaten Jepara didasarkan pada model analisis industri pakan ruminansia berkelanjutan meliputi: analisis populasi dan kebutuhan nutrisi ternak ruminansia, identifikasi dan evaluasi ketersediaan sumber bahan pakan lokal, serta analisis daya dukung sumber bahan pakan lokal yang sudah dibahas sebelumnya. Sedangkan analisis terakhir yang akan dibahas adalah perancangan pabrik pakan (feedmill) meliputi penentuan lokasi pabrik, estimasi jumlah produksi pakan, dan formulasi ransum. Pabrik pakan merupakan komponen penting dalam industri pakan, jika dilihat dari kompetisi pasar (konsumen) maka pendirian pabrik pakan ini mempunyai peluang yang sangat besar dikarenakan di Kabupaten Jepara belum terdapat pabrik pakan ruminansia. Adapun prinsip pembangunan pabrik pakan di Jepara yaitu adanya suplai bahan baku yang cukup, memenuhi kebutuhan pakan ternak yang direkomendasikan untuk dikembangkan di Kabupaten Jepara, menggunakan lebih 63

dari 80% bahan baku pakan lokal, dan layak secara skala ekonomi (pada skala ekonomi yang minim). Berdasarkan sumber daya pakan yang tersedia dan benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, maka populasi optimal yang dapat ditampung oleh Kabupaten Jepara adalah sebesar 27.480,79 ST dan berdasarkan data populasi ternak (ST) Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Jepara tahun 2009, sapi potong merupakan ternak dengan populasi terbanyak yaitu 22.236 ST. Secara umum Kabupaten Jepara sangat potensial untuk dikembangkan ternak sapi potong dan kerbau (Tabrany, 2006), maka dari itu dalam model indusri pakan yang dibuat ini lebih diarahkan untuk menyediakan pakan untuk sapi potong berupa konsentrat yang didasarkan pada model analisis industri pakan ruminansia berkelanjutan yang dijelaskan pada Gambar 16. 64

Sapi Potong Muda Bahan Baku Lokal : Hasil Pertanian, Hasil Samping Pertanian & Hasil Samping Industri Pertanian Analisis: 1. Populasi: 9.620 Ekor 2. Kebutuhan konsentrat: 19,24 ton/hari atau 577,2 ton/bulan Evaluasi : 1. Jenis Bahan Baku 2. Kuantitas dan Kualitas 3. Pola Ketersediaan 4. Sebaran Daya Dukung Bahan Baku Terhadap Ternak Standarisasi Nilai Nutrisi dan Prosedur Pengolahan Bahan Baku Pakan Lokal Penentuan : 1. Jumlah Produksi 2. Lokasi Pabrik 3. Formula Ransum FEEDMILL Gambar 16. Model Analisis Industri Pakan Ruminansia Berkelanjutan di Kabupaten Jepara 65

Penentuan Lokasi Pabrik Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam industri pakan ternak adalah penentuan lokasi pabrik. Penentuan lokasi pabrik sangat menentukan kelangsungan hidup pabrik pakan. Pabrik pakan sebaiknya didirikan di wilayah yang diprioritaskan untuk pengembangan daerah industri yang direkomendasikan. Menurut Assauri (1980) penentuan lokasi pabrik pakan ternak, perlu mempertimbangkan beberap faktor antara lain: 1. Faktor primer: - Kedekatan dengan pasar (konsumen) - Kedekatan dengan sumber bahan baku - Fasilitas transportasi - Terdapatnya pembangkit tenaga listrik - Kemudahan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai kriteria 2. Faktor sekunder: - Perencanaan prospek pabrik pakan - Kemudahan sarana dan prasarana seperti fasilitas perbankan, suku cadang, telekomunikasi dan lain sebagainya Industri bahan baku pakan yang mengelola dan mengolah hijauan sebagai sumber serat hendaknya dikembangkan di kecamatan yang berpotensi menjadi lumbung hasil samping pertanian. Hal tersebut dengan pertimbangan untuk memudahkan penyediaan dan transportasi serta mengurangi biaya produksi. Sedangkan pembangunan pabrik pakan konsentrat sebaiknya didirikan di daerah yang dekat dengan bahan pakan dan pasar, maka dari itu pemilihan pabrik pakan direkomendasikan untuk dibangun di tempat yang dekat dengan kecamatankecamatan sumber bahan pakan lokal dan sentra sapi potong di Kabupaten Jepara. Adapun alternatif kecamatan yang direkomendasikan untuk dikembangkan industri bahan baku pakan adalah yang potensial menjadi lumbung hasil samping pertanian yaitu Kecamatan Nalumsari, Batealit, dan Mayong yang mempunyai nilai daya dukung dan PPT tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pakan wilayah tersebut melebihi jumlah populasi ruminansia yang dimiliki, kebijakan yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan dan mengolah bahan baku pakan yang melimpah ini dengan megembangkan industri bahan baku pakan berupa hijauan dari hasil samping 66