BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia pada tahun 2015 (UNDP,2003). Dengan terselenggaranya Sidang Istimewa Majelis Umum Beijing ke-5 yang menempatkan isu-isu kesetaraan sebagai prioritas utama. Bentuk usaha UNDP lainnya adalah mensponsori pertemuan yang dihadiri berbagai kalangan yang didasari oleh pengalaman dan keahlian seperti para menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah, tokoh nasional, masyarakat sipil di tingkat akar rumput. Acara tersebut diselenggarakan di New Delhi, India bulan Maret 1999, tema pertemuan tersebut adalah Partisipasi Politik Perempuan: Tantangan Abad 21. Pertemuan itu memfokuskan pada sejumlah masalah, antara lain; kemajuan yang dicapai pada partisipasi politik perempuan sejak program Aksi Beijing; Eksperimen India dengan amandemen konstitusinya yang mewajibkan sepertiga kursi wakil pemerintah lokal untuk perempuan dan kaitan yang lebih luas antar gender, kemiskinan dan tata pemerintahan. Pertemuan itu juga menyoroti Anggaran Perempuan Afrika Selatan, Pengalaman Uganda dengan aliansi baru bagi gender dan politik, serta mengkaji berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan yang berdasar gender. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tujuan tersebut, di antaranya, dengan membangun mekanisme baru yang memungkinkan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan politik dan ekonomi, terutama pada alokasi anggaran nasional. Di samping itu, kesempatan untuk membangun jaringan nasional, regional dan global tidak 1
boleh disia -siakan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet. UNDP mempunyai komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra lain. Cara-cara tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan inisiatif dalam menciptakan bentuk tata pemerintahan yang lebih inklusif dan efektif di semua tingkat masyarakat. Pendekatan gender dalam pembangunan yang dianut UNDP adalah mewadahi sepenuhnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pembangunan. Tujuan akhir adalah terciptanya pola hubungan gender yang lebih setara dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan manusia yang lebih luas. Program kesetaraan gender dan Pemberdayaan perempuan di Indonesia dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program UNDP sejalan dengan Program Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu implementasi pembangunan terhadap wanita Indonesia. Program UNDP telah membangkitkan semangat wanita Indonesia dan berbagai kalangan aktivis wanita serta LSM yang memperjuangkan peranan wanita pada tingkat tatanan pemerintahan serta pada kebijakan pengambilan keputusan. Kaukus perempuan di Parlemen mendukung adanya program pertemuan di India yang membicarakan Partisipasi politik perempuan dan tata Pemerintahan yang baik: Tantangan Abad 21. Sejalan dengan hal ini, Demokrasi di Indonesia yang terbuka setelah Orde baru runtuh, menimbulkan reformasi terhadap tata Pemerintahan yang diharapkan demokratis. Bersamaan dengan perjuangan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang mengarah kepada lebih adanya mekanisme yang menempatkan perempuan secara jelas dan luas dalam politik. Perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan berbagai pemerhati perempuan dengan keinginan sama yaitu berkeinginan mempengaruhi keputusan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka, 2
perekonomian dan nasib masyarakat, negara serta struktur hubungan internasional. Perjuangan ini berdengung di mana-mana, yang menginginkan keterlibatan perempuan secara nyata dalam kancah politik. Keterlibatan yang dimaksud adalah terlibat secara platform pasti di dalam Parlemen. Perjuangan itu akhirnya melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 65 ayat (1) berbunyi setiap partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30 persen. Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen merupakan suatu langkah affirmative action, sebagaimana dikatakan oleh Chusnul Mar yah (Kompas, 2002). Mekanisme kuota sebagai Affirmative-action (tindakan afirmatif) secara efektif dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Kuota juga dapat meminimalkan anggapan bahwa perempuan kurang kualitas untuk terpilih dalam lembaga politik, atau tidak adanya keinginan perempuan untuk masuk ke dalam masyarakat yang sangat patriarkhis. Melihat Indonesia dengan berbagai budaya bangsa, di mana setiap budaya mempunyai adat istiadat yang kukuh dan hampir semua budaya menempatkan posisi wanita adalah di dalam rumah atau sifatnya domestik. Kuota 30 persen merupakan peluang cukup besar bagi wanita Indonesia berada di publik, dan dapat terlibat secara langsung dalam pengambila n keputusan. Peluang ini sebagai tantangan bagi wanita Indonesia. Keterwakilan perempuan yang sudah didengungkan dan sudah menjadi suatu keputusan yang di muat dalam UU.No.12 tahun 2003 dengan harapan dapat mewakili perempuan. Namun pada pemilu 2004 tidak terpenuhi, hal ini mungkin disebabkan oleh karena masih banyak partai politik yang tidak melakukan dan memberi peluang kepada perempuan 3
untuk mewakili partainya. Ada alasan yang berkembang bahwa terlalu sulit untuk mencari perempuan yang dijadikan Calon Legislatif (Caleg). Karena belum banyak perempuan Indonesia yang melibatkan dirinya ke dalam kancah politik. Sehingga asumsi yang berkembang adalah apakah perempuan Indonesia belum siap berkiprah dalam politik? Atau apakah kesempatan yang tidak terbuka bagi perempuan tersebut? Atau apakah adat istiadat yang tidak membolehkan mereka berkecimpung dalam politik? bahwa : Senada dengan hal tersebut, juga disampaikan oleh Hubeis( 2003), sebagai perempuan dimanakah kita harus dan perlu bersikap untuk memotivas i diri dan sekaligus mengembangkan militansi diri dan lingkungan kita kaum perempuan- untuk berpacu dengan waktu. Pertama, di kalangan perempuan diperlukan adanya keinginan untuk mengintrospeksi diri yaitu sanggupkah perempuan menjadi representasi rakyat (yang mau mendengar dan mengutarakan aspirasi rakyat secara benar). Kedua, apakah kita - kaum perempuan- sudah memiliki data base tentang perempuan potensial di republik ini? Ketiga, siapkah kita merebut dan memposisikan diri kita sebagai sumber daya intele ktual strategis dan potensial dalam pembangunan negeri dan bangsa ini? Keempat, seberapa jauh kita kaum perempuan tanpa harus terkotak-kotak dalam suatu partai atau kelompok? Kelima, siapakah yang harus merekrut dan direkrut? Banyak pertanyaan yang timbul yang dihubungkan dengan kemampuan dan kesiapan wanita untuk memanfaatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Masih ada kesanksian baik dari kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan Indonesia. 4
1.2. Perumusan Masalah Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun 1998. Sebagaimana dikatakan oleh Bari Azed.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Gerakan tersebut juga mengilhami pemerhati perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan di Parlemen agar diberi kuota. Berbagai kalangan ada yang mempertanyakan perlukah kuota bagi perempuan? Karena selama ini perempuan telah diberi kesempatan untuk berkiprah dalam politik. Dapat dilihat contoh; seperti Megawati Soekarno Putri, Aisyah Amini, Fatimah Ahmad dan lain sebagainya. Pertemuan di New Delhi, yang dihadiri oleh Negara-negara yang menjadi anggota, memutuskan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik di setiap negara diharapkan minimal 30-33 persen. Keterwakilan tersebut menjadikan pemerhati perempuan di Indonesia memperjuangkan menjadi suatu hal nyata dengan harapan agar perempuan Indonesia dapat berpartisipasi untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam politik. Banyak pendapat yang menilai bahwa kuota merupakan jawaban bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup konsep-konsep yang dianggap gender neutral. Kuota juga memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan. 5
Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua ; melalui undang undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang undang pemilu juga dilaksanakan Di Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina (Kompas,2003). Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan disetujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun 2003. Undang-undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilu 2004 yang lalu sistem pemilu yang dilakukan adalah sistem Distrik yaitu sistem ini merupakan sistem pemilihan yang didasari atas kesatuan geografis. Artinya calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak itulah yang dianggap menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Bari Azed, (2005) mengatakan bahwa sistem single member constituency (sistem Distrik ) mempunyai beberapa kelemahan yaitu: a. sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. 6
b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan. Dari uraian tersebut diprediksi bahwa himbauan terhadap keterwakilan perempuan pada partai politik sebanyak 30 persen merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Karena posisi perempuan dalam calon legislatif pada setiap partai menempatkan pada posisi nomor yang jauh untuk menang, lebih tepatnya posisi tidak jadi (duduk menjadi anggota Dewan). Penelitian ini mengambil kasus Keterlibatan perempuan di legislatif DPRD kota Bekasi yang berjumlah lima orang wanita dari 45 orang anggota Dewan. Artinya baru 11 persen keterwakilan perempuan di legislatif tingkat Kota Bekasi. Dari lima orang perempuan anggota Legislatif tersebut mereka berasal dari Partai Golkar (3 orang), Partai PDI Perjuangan (1.orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1.orang). Ada dua partai pemenang Pemilu 2004 yang tidak memperoleh Keterwakilan perempuan yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Timbul asumsi awal pada peneliti, bahwa kuota 30 persen yang tercantum pada pasal 65 ayat 1 dalam Undang-Undang No.12 tahun 2003, dalam pelaksanaan pasal tersebut mungkin belum dipahami secara mendalam oleh sejumlah Partai pelaksana pemilu. Kuota tersebut hanya sebagai simbol bahwa kesetaraan gender dalam politik sudah ada di Indonesia hanya tinggal pelaksanaannya. Atau masing-masing individu yang terlibat di dalam partai pelaksana pemilu belum siap untuk menerima keterwakilan perempuan secara kuota yang telah ditentukan. 7
Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? Sehingga permasalahan ini di rinci sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? 2. Faktor-faktor karakteristik personal dan situasional apa yang berhubungan dengan persepsi tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui persepsi masya rakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. 2. Menganalisis faktor-faktor personal dan situasional yang berhubungan dengan persepsi masyarakat tersebut. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis yaitu : 1. Kegunaan Teoritis : a. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian Ilmu komunikasi, Terutama komunikasi politik dalam memperoleh persepsi masyarakat sehingga dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian komunikasi yang akan datang. b. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu psikologi Komunikasi yang menyangkut Persepsi Masyarakat. c. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu komunikasi. 8
2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi Komisi Pemilihan Umum untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009 yang akan datang. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan terhadap perempuan di Indonesia, terutama untuk penentuan kuota bagi keterwakilan perempuan. 9