TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tuna Mata Besar

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. belakang, dan mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BIO306. Prinsip Bioteknologi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

3. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan

BAB I PENDAHULUAN. (Metapenaeus elegans), udang dogol (Metapenaeus ensis), udang pasir

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA

II. BAHAN DAN METODE

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

KERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA

KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam,

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

Identifikasi mikroba secara molekuler dengan metode NCBI (National Center for Biotechnology Information)

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

ANALISIS SIDIK DNA (DNA Fingerprinting) RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism)

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

Bahasa Indonesia version of: A Handbook for the Identification of Yellowfin and Bigeye Tunas in Fresh Condition

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

Gambar 1. Diagram TS

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia tersusun atas sel yang membentuk jaringan, organ, hingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar

Kryptopterus spp. dan Ompok spp.

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting,

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

Transkripsi:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tuna Mata Besar Menurut Saanin (1986), klasifikasi ikan tuna mata besar adalah sebagai berikut : dunia : Animalia sub dunia : Metazoa filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Scombroidae famili : Scombridae genus : Thunnus species : Thunnus obesus Ikan tuna mata besar termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang sangat kecil. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, dan pada umumnya 180 cm. Ikan ini tersebar di seluruh perairan di dunia baik di perairan tropis maupun subtropis yang meliputi perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tetapi tidak terdapat di Laut Mediterania. Tuna jenis ini bersifat epipelagik, mesopelagik, berada pada permukaan sampai kedalaman 250 m, dapat ditemukan pada perairan dengan suhu 13-29 o C, tetapi batas optimumnya antara 17-22 o C (Collette dan Nauen 1983).

8 Sumber: FAO (2005) Gambar 2 Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus). Menurut Fukofuka dan Itano (2006), ikan tuna mata besar mempunyai ciriciri luar sebagai berikut : Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor; Pada ikan dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain; Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata; Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4-1/3 kali fork length (FL); Sirip dada pada anak ikan tuna (yuwana) lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal; Ikan-ikan tuna mata besar dengan ukuran <75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding; Ikan-ikan yuwana sering mempunyai 7-10 strip-strip yang berwarna putih dan tidak terputus-putus, menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ikan tuna sirip kuning. Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tuna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat

9 Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik (Uktolseja 1988). Sumber: FAO (2005) Gambar 3 Peta penyebaran ikan tuna mata besar di dunia. 2.2 Hasil Tangkapan Ikan Tuna Mata Besar Didaratkan di Benoa Pengertian hasil tangkapan didaratkan adalah jumlah ikan dari satu atau lebih spesies ataupun hewn air lainnya yang tertangkap oleh suatu kegiatan operasi penangkapan dan didaratkan di suatu tempat pendaratan yang merupakan fishing base suatu perusahaan penangkapan atau di suatu pelabuhan perikanan. Hasil tangkapan terbagi menjadi 2, yaitu hasil tangkapan utama (HTU) dan hasil tangkapan sampingan (HTS). Hasil tangkapan sampingan (HTS) dapat diartikan sebagai hasil tangkapan yang tertangkap selain hasil tangkapan utama dan bukan merupakan target spesies. Beverly et al. (2003) menyatakan bahwa HTS adalah hasil tangkapan yang tidak diinginkan namun tertangkap secara kebetulan selama operasi penangkapan dengan tuna longline. Penanganan HTS terbagi 2, yaitu disimpan karena memiliki nilai ekonomis tinggi (by-product) dan dibuang karena tidak memiliki nilai ekonomis (discard). Hasil tangkapan utama tuna longline adalah jenis-jenis tuna dan paruh panjang (billfish), termasuk jenis-jenis hiu (cucut) yang merupakan salah satu komponen hasil tangkapan yang sangat penting (Beverly et al. 2003), sedangkan hasil tangkapan sampingannya adalah beberapa jenis ikan, penyu dan burung.

10 Indonesia adalah salah satu negara perikanan tuna yang penting di Samudera Hindia. Potensi sumberdaya tuna di wilayah Samudera Hindia termasuk ZEEI 200 mil sebesar 216.275 ton/tahun atau 39,4% dari total potensi tuna Indonesia yaitu sebesar 548.387 ton/tahun (Uktolseja et al. 1997). Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean Tuna Commission, IOTC) memperkirakan hasil tangkapan tuna dan sejenisnya (tuna like species) dari Indonesia di Samudera Hindia sebesar 177.384 ton pada tahun 2000 (Herrera 2002, diacu dalam Proctor et al. 2003). Hasil tangkapan tuna mata besar yang didaratkan di Benoa hingga tahun 2002 diperkirakan mencapai 11.646 ton atau 43,5% dari total hasil tangkapan tuna yaitu sebesar 26.747 ton (Tabel 2) (Proctor et al. 2003). Tabel 2 Estimasi hasil tangkapan tuna yang didaratkan di Benoa tahun 2000-2002 2000 2001 2002 Jenis tuna Berat Berat Berat % % (ton) (ton) (ton) % Mata besar 8.676 34,3 9.362 36,2 11.646 43,5 Madidihang 12.596 49,8 12.165 47,1 10.380 38,8 Sirip biru selatan 1.046 4,1 1.419 5,5 1.631 6,1 Albakor 2.238 8,8 2.461 9,5 2.257 8,4 Paruh panjang 752 3,0 425 1,6 833 3,1 Total 25.308 25.832 26.747 Sumber: Proctor et al. (2003) Sebagian besar ikan tuna, termasuk ikan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline yang berbasis di Benoa dijual dalam bentuk segar dan beku. Produksi tuna segar dan beku pada tahun 2005 sebesar 13.184 ton. Produksi ini mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2000 yaitu sebesar 15.700 ton (Tabel 3) (Asosiasi Tuna Longline Indonesia, ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). Tabel 3 Produksi tuna segar dan beku kapal tuna longline di Benoa Tahun Segar (ton) Beku (ton) Total (ton) 2000 11.307 4.393 15.700 2001 11.038 4.042 15.080 2002 11.267 4.603 15.870 2003 13.048 5.862 18.910 2004 10.012 3.518 13.530 2005 5.199 7.985 13.184 Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007)

11 ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) melaporkan bahwa ekspor tuna dari Benoa semenjak tahun 2000-2005 mengalami penurunan. Penurunan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 dimana hanya 9.776 ton tuna yang diekspor dibandingkan pada tahun 2000 yang berjumlah 18.758 ton (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan nilai ekspor tuna dari Benoa tahun 2000-2005 Tahun Jumlah ekspor (ton) Nilai ekspor (US$) 2000 18.758 82.444.848 2001 17.590 72.595.501 2002 17.847 73.656.163 2003 17.545 72.838.508 2004 12.460 58.896.455 2005 9.776 41.135.741 Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 2005 jumlah kapal tuna longline pada tahun 2003 berjumlah 6.547 unit, sedangkan pada tahun 2002 hanya berjumlah 2.264 unit atau mengalami kenaikan sebesar 189,18%. Jumlah kapal tuna longline di Benoa sejak tahun 1997-2004 terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1997 jumlah kapal tuna longline di Benoa sebanyak 459 unit, bertambah jumlahnya pada tahun 2004 hingga mencapai 700 unit. Pada tahun 2005 jumlah kapal tuna longline menurun seiring dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) (Tabel 5) (ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). Tabel 5 Jumlah kapal tuna longline di Benoa tahun 1997-2005 Tahun Jumlah kapal (unit) 1997 459 1998 460 1999 485 2000 537 2001 562 2002 705 2003 701 2004 700 2005 668 Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Ukuran kapal tuna longline di Benoa terdiri dari 0-30 GT, 31-60 GT, dan >60 GT. Dari keseluruhan kapal tuna longline yang ada di Benoa, dapat dilihat bahwa kapal tuna longline yang mempunyai ukuran >60 GT 57% lebih banyak

dibandingkan kapal yang mempunyai ukuran <60 GT (Tabel 6) (ATLI 2006, diacu dalam Kosasih 2007). 12 Tabel 6 Ukuran kapal tuna longline dan jenis lainnya di Benoa tahun 2005 Ukuran kapal Tuna longline Alat tangkap lain Total 0-30 GT 172 87 259 31-60 GT 117 17 134 >60 GT 379 40 419 Jumlah 668 144 812 Sumber: ATLI (2006) diacu dalam Kosasih (2007) Beberapa daerah di Indonesia yang merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan selatan Jawa terus menuju timur. Begitu pula di perairan selatan dan barat Sumatera serta perairan lainnya (Gunarso 1998). Menurut Uktolseja et al. (1991) tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores, Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar. Menurut Wudianto et al. (2003) daerah penangkapan kapal tuna longline yang berasal dari Cilacap dan Benoa yaitu di perairan selatan Jawa Tengah antara 108-118 o BT dan 8-22 o LS dimana sebagian besar (>70%) melakukan penangkapan di luar perairan ZEEI. Penangkapan di luar perairan ZEEI Samudera Hindia diduga karena kelimpahan tuna di perairan ZEEI semakin sedikit. Hal ini terlihat dari laju pancing (hook rate) di perairan ZEEI makin kecil dan berat ikan yang tertangkap juga makin kecil. Pada awal-awal perkembangan tuna longline (1970-an), laju pancing berkisar antara 1,15-2,16. Pada tahun 1999 turun mencapai 0,67. Begitu pula dengan berat ikan yang tertangkap terus turun dari 37 kg/ekor pada tahun 1973 menjadi 26 kg/ekor pada tahun 1999 (Pusat Riset Perikanan Tangkap 2002). Daerah penangkapan yang pernah dilaporkan oleh PT. PSB sebagai berikut (Uktolseja et al. 1991):

13 Tabel 7 Daerah penangkapan tuna longline di perairan Indonesia Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Daerah penangkapan barat Sumatera, selatan NTB/NTT, Laut Flores, Laut Banda bagian timur barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT, Laut Flores dan di Laut Banda cukup padat terutama di selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda selatan Jawa/Bali, lepas pantai NTB/NTT dan sedikit di Laut Banda sedikit di barat Sumatera dan selatan Jawa dan Laut Banda barat Sumatera, selatan Jawa, lepas pantai NTB dan Laut Banda.cukup padat selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan Laut Banda barat Sumatera, sedikit di selatan Jawa/NTB, Laut Flores dan Laut Banda selatan NTB/NTT dan Laut Banda serta Laut Flores 2.3 DNA (Deoxyribonuleic Acid) Mitokondria DNA mitokondria sangat potensial digunakan untuk pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies (intra spesies yang memiliki hubungan dekat). Brown (1983) diacu dalam Arifin (2005) menyatakan bahwa peranan DNA mitokondria dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan cukup besar, karena DNA mitokondria memiliki derajat polimorfisme yang tinggi serta hubungan yang jelas antara poplimorfisme dengan substansi basa-basa penyusun genomnya. DNA mitokondria, berbeda dengan organel sel lainnya, mitokondria memiliki materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi genetik di inti sel. Mitokondria, sesuai dengan namanya, merupakan rantai DNA yang terletak di bagian sel yang bernama mitokondria. DNA mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau dari ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Di antaranya adalah memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti. Selain itu DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1.000 kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. DNA inti merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA mitokondria hanya diwariskan dari ibu (maternally inherited) (Anonim 2008c). Aplikasi DNA mitokondria telah banyak dilakukan pada bidang perikanan sebagai dasar analisis keragaman genetik ikan dan struktur populasi (Saiki et al. 1988; Kitamura et al. 1996, diacu dalam Arifin 2005). Analisis DNA mitokondria

14 memberikan hasil yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis protein karena analisis DNA mitokondria dapat mendeteksi semua keragaman genetik yang bernilai bagi pemahaman identifikasi stok (Ferris dan Berg 1987, diacu dalam Rina 2001). Hal ini dapat dilihat dari perbandingan hasil-hasil penelitian dengan menggunakan DNA mitokondria dan analisis protein pada ikan-ikan American oyster (Crassostrera virginica), kepiting (Limulus polyphemus), ikan teleostei laut (Fundulus heteroclitus dan Theragra chalcogramma) ikan teleostei air tawar (Stizestedion vitreum) serta ikan anadromus American shad (Alosa sapidissima) yang menyimpulkan bahwa sub divisi populasi lebih besar terlihat pada analisis dengan DNA mitokondria dibandingkan dengan protein (Ward dan Grewe 1995, diacu dalam Rina 2001). Daerah D-loop atau dikenal juga dengan nama daerah kontrol (control region) merupakan bagian dari DNA mitokondria yang sangat spesifik. Analisis DNA mitokondria pada D-loop telah digunakan untuk menduga keragaman genetik dan struktur populasi ikan japanese flounder (Paralichthys alovaceus) oleh Fujii dan Nishida (1997). 2.4 RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) RFLP adalah suatu metode untuk melihat perbedaan profil dan panjang DNA yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease yang sama tetapi pada individu yang berbeda dalam suatu populasi (Stansfield 1991, diacu dalam Ayu 2005). Metode RFLP digunakan untuk mengetahui polimorfisme DNA pada wilayah tertentu dengan melihat tipe atau pola pemotongan DNA dengan menggunakan bantuan enzim restriksi (Sianipar 2003). RFLP atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah fragmen restriksi yang polimorfik merupakan penanda molekul yang pertama kali ditemukan dan digunakan. Penggunaannya dimungkinkan semenjak orang menemukan enzim endonuklease restriksi (RE), suatu kelas enzim yang mampu mengenal dan memotong seurutan pendek basa DNA (biasanya 4-6 urutan basa). RFLP bersifat kodominan dan cukup berlimpah serta polimorfik. Penanda ini juga mudah dipetakan dalam peta genetik dan bersifat stabil (Anonim 2008d).

15 Suatu fragmen restriksi yang polimorfik (RFLP) akan muncul apabila DNA dari individu yang berbeda dalam populasi memberikan profil fragmen yang berbeda saat DNA-nya terpotong menggunakan enzim restriksi endonuklease yang sama (Stansfield 1991, diacu dalam Sunandar 2008). RFLP telah digunakan pada genom mitokondria di beberapa situs restriksi antara lain 16S rrna (ribosomal ribonucleic acid) dan CO (cytochrome oxidase)-i (Mathews et al. 2002, diacu dalam Sunandar 2008) dan area D-loop (Nugroho et al. 2002). Penelitian Bouchon et al. (1994) diacu dalam Rina (2001) memperlihatkan bahwa analisis mtdna dengan RFLP telah dapat memperlihatkan variasi DNA pada dua spesies udang penaeid (Penaeus monodon Fab dan P. japonicus Bate). Selain itu, Tabata dan Mizuta (1997) diacu dalam Rina (2001) melakukan penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih rinci pada populasi ikan red sea bream (Pagrus major) dengan analisis RFLP mtdna pada daerah D-loop. 2.5 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah reaksi berantai polimerase merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, orang dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar dalam waktu singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA (Anonim 2009a). Erlich (1989) diacu dalam Rina (2001) menyatakan bahwa PCR adalah sebuah metode in vitro yang digunakan untuk mensintesa sekuen DNA tertentu secara enzimatis dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridasi pita yang berlawanan dan mengapit daerah target DNA. Metode PCR terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap denaturasi (denaturation) untuk memisahkan DNA menjadi utas tunggal (single strand) pada suhu 95 o C, (2) tahap penempelan (annealing) merupakan proses penempelan primer DNA baru pada utas tunggal yang telah terpisah dan (3) tahap pengembangan (extension) yang merupakan proses pemanjangan utas DNA yang baru (Baker dan Birt 2000, diacu dalam Sunandar 2008). Lisdiyanti (1997) mengemukakan bahwa PCR adalah metode yang sangat sensitif sehingga hanya

16 dengan satu molekul DNA, dapat diperbanyak dua kali lipat DNA dalam satu siklus suhu denaturation, annealing dan extension. Sekuens primer DNA merupakan faktor kunci yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu PCR, karena primer ini sebagai awal dimulainya proses amplifikasi DNA. Jika primer langsung menempel pada susunan basa nukleotida pada sekuens DNA, maka proses berikutnya akan mudah bekerja dengan baik. umumnya suatu primer DNA memiliki panjang antara 20-24 pasangan basa (basepairs), baik primer yang berukuran panjang atau pendek keduanya umum digunakan dalam proses PCR (Baker dan Birt 2000, diacu dalam Sunandar 2008). Primer DNA yang digunakan sebaiknya memiliki kesamaan sekuens atau spesifik dengan target template DNA 2.6 Keragaman Genetik Keragaman genetik merupakan hirarki yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Keragaman hayati mencakup area yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi sampai dengan spesies. Keragaman genetik merupakan cerminan keragaman di dalam spesies yang secara umum disebut subspesies. Terminologi sumber daya genetik diartikan untuk merefleksikan adanya keragaman genetik di dalam satu spesies sampai pada tingkat DNA (Soewardi 2007). Lebih lanjut Soewardi (2007) menyebutkan bahwa keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati (biodiversity) yang memiliki pengertian yang lebih luas, yakni keragaman struktural dan fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan genetik. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan keragaman hayati, sumberdaya genetik memiliki peran penting karena semakin beragam sumberdaya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka yang lama serta semakin tinggi daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan semakin besar. Disamping itu, keragaman genetik juga merupakan kunci penting dalam memelihara keberlanjutan dan meningkatkan produktivitas dari suatu spesies. Menurut Sumantadinata (1982) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis,

17 terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Secara umum keragaman genetik suatu populasi akan mempengaruhi respon populasi terhadap seleksi alam dan seleksi buatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individuindividu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman dan Utter 1987). Pembentukan struktur genetika populasi suatu jenis ikan dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat menambah maupun mengurangi keragaman genetik. Faktor-faktor yang menyebabkan penambahan gen atau meningkatkan keragaman genetik antara lain faktor mutasi dan imigrasi, sedangkan faktor-faktor yang menurunkan keragaman genetik antara lain seleksi alami dan penghanyutan genetik (genetic drift) (Gardner et al. 1991, diacu dalam Soewardi 2007). Menurut Soelistyawati (1996), keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat. Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam suatu atau antar populasi. Menurut Chambers dan Bayless (1983) diacu dalam Imron (1998), ada tujuh cara yaitu pengukuran asam inti, sekuensing protein, elektroforesis, imunologi, kromosom, hubungan antar lokus, morfometrik dan studi breeding; sedangkan menurut Allendorf dan Phelp (1981) diacu dalam Imron (1998) cara untuk menduga keragaman genetik populasi adalah dengan metode biometrik yaitu keragaman karakter fisiologis atau morfologis yang terukur seperti bobot, panjang, umur kematangan, ketahanan terhadap penyakit, toleransi salinitas, metode studi kromosom dan marka genetik biokimia. Powers (1991) mengajukan cara protein pengkode lokus (elektroforesis) dan pendeteksian keragaman genetik melalui metode asam inti. Metode-metode yang dimaksud

18 adalah DNA mitokondria, DNA figerprinting, amplifikasi DNA dengan PCR dan sekuensing protein dan DNA mikrosatelit. Metode untuk mengukur keragaman genotip yang sekarang ini banyak digunakan oleh para ahli genetika salah satunya adalah DNA mitokondria. Pengukuran tingkat DNA ini mempunyai hasil yang lebih akurat (Ryman dan Utter 1987). 2.7 Pengukuran Jarak Genetik Unit stok, sekelompok individu atau sub kelompok dari suatu spesies yang memiliki kesamaan dalam struktur atau pola genetik, dapat dipelajari berdasarkan frekuensi genetik dari setiap gen yang terlibat dalam ekspresi fenotipik. Pada tingkat molekular (DNA) ikan laut menunjukkan keragaman genetik walaupun dalam derajat yang lebih rendah dibanding ikan air tawar baik pada level supraspesifik maupun taksa kelompok individu (populasi dan subpopulasi) dimana pada tingkat protein (studi allozyme) tidak terlihat (Suwarso 2002). Berdasarkan sifat polimorfisme DNA mitokondria, keragaman genetik populasi dapat diketahui oleh dua ukuran divergensi yaitu divergensi di dalam populasi (intrapopulasi) dan divergensi antar populasi (interpopulasi). Selanjutnya dikatakan oleh Hartl (1980) bahwa divergensi interpopulasi diperoleh berdasarkan parameter jarak genetik (genetic distance) dan analisis statistik (sampling varian) terhadap perbedaan situs restriksi. Jarak genetik merupakan ukuran perbedaan genetik antar populasi karena mutasi, seleksi, persilangan acak dan penghanyutan gen yang akan mengubah genetic make up populasi; dan migrasi akan menyebabkan terjadinya evolusi. Keragaman intrapopulasi dinyatakan dengan parameter diversitas haplotipe atau diversitas nukleon (h), banyaknya nukleomorf (unit polimorfisme pada nukleon yang terdapat dalam bentuk pola situs restriksi), jumlah rata-rata perbedaan situs restriksi, jumlah segresi situs retriksi atau jumlah situs retriksi polimorfisme dalam sejumlah sampel nukleon. Nukleon merupakan suatu segmen DNA, identik dengan gen dalam DNA inti, yang dicirikan oleh peta situs restriksi atau jumlah dan ukuran frgamen DNA (Nei dan Tajima 1981). Penggunaan teknik molekuler tingkat DNA menambah dimensi baru dalam penyusunan filogeni dan reklasifikasi filogeni organisme karena lebih teliti dan

19 akurat, selain itu telah melahirkan interes baru dalam pengujian tentang hipotesis mekanisme evolusi. Algoritma dasar dalam rekonstruksi pohon filogenetik didasarkan pada asumsi bahwa bila satu gen pada sepasang spesies atau populasi berevolusi secara clocklike fashion dengan derajat divergensi gen menyimpang selama t generasi, maka diperkirakan gen terpisah dari nenek moyang umumnya selama ½ generasi (Hartl dan Clark 1997, diacu dalam Suwarso 2002). Asumsi ini dipakai dalam menerapkan metode rekonstruksi pohon filogenetik yang didasarkan pada ukuran jarak genetik. Salah satu metode yang sederhana adalah metode jarak rata-rata (Unweighted Pair-Group Method with Arihmatic Mean, UPGMA method) atau disebut metode least square. Dengan asumsi bahwa seluruh sekuen berevolusi dengan laju sama, metode ini meminimalkan deviasi dari jumlah kuadrat statistik (sum of square). Topologi pohon disusun berdasarkan matrik jarak secara berpasangan (pairwise distances matrix), sedang pengklusteran dimulai dari takson yang memiliki jarak genetik terkecil hingga terbesar.