LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK STRATEGI KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DI DAERAH PASCA KEBIJAKAN BARU SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) : Studi di Provinsi D.I.Yogyakarta dan Papua Barat Oleh: Kelompok Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik Ketua : Edmira Rivani, S.Si., M.Stat. Wakil Ketua : Drs. Juli Panglima Saragih, MM. Sekretaris : Ari Mulianta Ginting, SE., M.SE. Anggota : Izzaty, S.T., M.E. PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2015
EXECUTIVE SUMMARY Latar Belakang Masalah Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubisidi berupa kebijakan penghapusan premium dan pemberian subsidi tetap (fixed) sebesarrp 1.000/liter untuk solar. Kebijakan tersebut mulai diimplementasikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK mulai 1 Januari 2015 dan dikeluarkan sebagai respon terhadap fluktuatif harga minyak dunia dan bentuk mekanisme penetapan harga BBM oleh pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat Indonesia. Penetapan ini didasarkan kepada prinsip konsistensi upaya merealisasikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih sehat dan produktif dengan mengarahkan subisidi agar lebih tepat sasaran dan mempercepat pembangunan infrastruktur, mendorong persaingan sehat baik antardaerah maupun antar pelaku bisnis, memperkuat Pertamina dan pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dengan memberikan margin lebih agar dapat meningkatkan mutu pelayanan dan meningkatkan daya saing, serta mendorong efisiensi penyediaan BBM dengan tetap memberikan peluang Pertamina sebagai tuan rumah di negeri sendiri untuk jangka panjang. Kebijakan BBM yang baru ini berdampak kepada harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah akan menjadi fluktuatif mengikuti perkembangan harga BBM yang ada di pasar. Kebijakan harga BBM bersubsidi yang baru akan menyebabkan harga BBM naik jika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan. Karena BBM merupakan bahan dasar untuk melakukan kegiatan di segala sektor dan kehidupan maka jika harga BBM mengalami kenaikan maka kenaikan ini akan menaikkan harga barang dan jasa termasuk harga kebutuhan seharihari rakyat banyak. Menurut Uka Wikarya, perhitungan tambahan inflasi akibat kebijakan BBM menggunakan model ekonometrika adalah setiap 10 persen kenaikan harga BBM jenis premium akan berkontribusi terhadap peningkatan inflasi sebesar 0,64 persen. Akibat peningkatan inflasi yang terjadi tersebut tentu berkontribusi terhadap penurunan daya beli masyarakat. Faktor yang i
tidak dapat dihindari dari peningkatan inflasi yang terjadi adalah penurunan daya beli yang rentan terhadap kelompok masyarakat golongan rendah seperti buruh, pengusaha skala kecil dan menengah, dan terutama masyarakat miskin. Pengeluaran rumah tangga untuk BBM hanya meliputi sekitar 1,07 persen untuk keluarga miskin dan 0,15 persen untuk kelompok rumah tangga tidak miskin, atau seluruhnya sekitar 0,21 persen dari anggaran belanja keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi BBM keluarga miskin lebih besar dibandingkan keluarga tidak miskin. Sehingga kenaikan harga BBM akan berdampak serius terhadap kelangsungan hidup keluarga miskin. Berdasarkanhaltersebut, kelompok rumah tangga miskin adalah kelompok yang paling menderita akibat beban kenaikan harga BBM. Karena di samping kebutuhan bahan bakar, dan transportasi, kebutuhan-kebutuhan lain pasti naik pula harganya, sedangkan penghasilan mereka relatif kecil. Ekonom Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa penghapusan subsidi BBM dari sisi moneter menimbulkan terjadinya ketidakstabilan pasar modal jangka pendek, meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, tergerusnya iklim investasi sampai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Dan dampak yang paling parah adalah terjadinya stagflasi di dalam suatu perekonomian. Tentunya hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengatasi dampak tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pengendalian inflasi memerlukan koordinasi yang kuatantara Bank Indonesia denganpemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam rangka pengendalian inflasi telah diperkuat dengan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi (TPI) sejak tahun 2005 yang beranggotakan Bank Indonesia (BI) dan beberapa instansi pemerintah. Sementara itu di tingkat daerah, koordinasi antara Bank Indonesia dengan unsur-unsur pemerintah daerah dilakukan dalam wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang mulai terbentuk tahun 2008 di sejumlah daerah. Pengendalian inflasi secara nasional perlu mendapat dukungan dari daerah. Hal ini mengingat inflasi nasional dibentuk oleh hampir 81% inflasi daerah (di luar Jakarta), dan merupakan hasil agregasi dari inflasi sejumlah 82 kota di Indonesia. Dengan demikian koordinasi yang dikembangkan melalui harmonisasi kebijakan dari/ke level daerah diharapkan dapat lebih efektif bukan hanya dalam menekan laju inflasi di daerah, tetapi juga akan berlanjut pada pencapaian sasaran inflasi nasional yang rendah dan stabil sebagaimana yang ingin dicapai bersama oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. ii
Temuan Penelitian Selain dampak langsung, kenaikan harga BBM juga memberikan dampak lanjutan melalui jalur cost-push (kenaikan biaya transportasi) maupun ekspektasi inflasi, sehingga mendorong kenaikan barang-barang lainnya. Bahkan, kenaikan ekspektasi inflasi telah terjadi sebelum kebijakan kenaikan harga diimplementasikan. Hal tersebut tercermin pada kondisi di daerah, dalam hal ini telah dilakukan penelitian terhadap dua Provinsi yaitu DIY dan Papua Barat. Padatahun 2014 DIY mengalami inflasi sebesar 6.59% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2013 yang tercatat sebesar 7.32%. penurunan inflasi didorong oleh terkendalinya harga bahan makanan dan juga makanan jadi pada tahun 2014. Hampir semua kelompok mengalami inflasi dengan inflasi tertinggi pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Inflasi pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 8.43% (qtq). Inflasi terendah terjadi pada kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga yakni sebesar 0.04% (qtq). Salah satu dampak nyata dari kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah di Provinsi DIY adalah meningkatnnya harga barang pada kelompok barang Perumahan, Air, Listrik dan Bahan Bakar. Inflasi pada kelompok ini didorong oleh kenaikan tarif listrik dan kenaikan tarif angkutan yang merupakan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM. Kelompok transaportasi, komuniasi dan jasa keuangan juga mengalami lonjakan inflasi yang cukup tinggi akibat kenaikan komponen administered prices yaitu kenaikan harga BBM pada November 2014 kemarin. Walaupun terjadi kenaikan harga BBM di akhir tahun, produsen memilih untuk melakukan koreksi harga secara terbatas. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil Survei Pedagang Eceran yang dilakukan oleh Bank Indonesia, yang menunjukkan bahwa magnitude kenaikan ekspektasi harga pada bulan Desember 2014 masih lebih rendah dibandingkan kenaikan ekspektasi harga paska kenaikan BBM tahun lalu. Hasil liason juga menyatakan bahwa pelaku usaha masih mempertimbangkan pencapaian target omzet penjualan di akhir tahun, sehingga koreksi harga yang dilakukan relatif terbatas. Realisasi inflasi awal tahun Januari 2015 sebesar 0.13% (mtm) atau 5,62% (yoy), menurun dibandingkan bulan Desember 2014 sebesar 1.76% (mtm) atau 6.59% (yoy). Berkurangnya tekanan inflasi terutama didorong oleh penurunan harga BBM bersubsidi pada 1 dan 19 Januari 2015, penurunan tarif angkutan udara, dan penurunan harga sejumlah komoditas seperti cabai merah, kacang panjang dan jeruk. Penurunan inflasi berlanjut pada bulan Februari 2015 DIY yang mengalami deflasi sebesar 0,40% (mtm). Dengan demikian tingkat inflasi di DIY secara tahunan tercatat sebesar 5,12% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi komoditas yang masuk dalam kelompok administered price menjadi pemicu utama penurunan iii
inflasi pada Februari 2015. Kondisi ini terutama bersumber dari efek penurunan harga BBM bersubsidi pada 19 Januari 2015 yang masih terhitung pada perhitungan inflasi bulan Februari. Penurunan harga BBM khususnya bensin menyumbang deflasi terbesarya kini mencapai 0,24%. Penurunan harga BBM juga diikuti oleh penurunan tarif angkutan darat di DIY yang mencapai 10% sesuaidengan Surat Keputusan (SK) Gubernur bernomor 21/Kep/2015 tertanggal 26 Januari 2015. Sementara di Provinsi Papua Barat, kenaikan BBM bersubsidi pada bulan November 2015 menyebabkan meningkatnya laju inflasi pada Desember 2014, yaitu tercatat sebesar 1,75% (mtm). Hal ini khususnya secara langsung berdampak pada kenaikan inflasi di sub kelompok bahan bakar (3,14% mtm) dan sub kelompok tranportasi (5,95% mtm). Secara tidak langsung juga berdampak pada biaya pengangkutan dan distribusi bahan pangan dan makanan jadi sehingga kedua kelompok tersebut juga mengalami peningkatan, masing-masing tercatat sebesar 1,67% (mtm) dan 1,71% (mtm), walaupun juga didorong oleh faktor musiman karena menjelang natal dan tahun baru. Penurunan harga BBM bersubsidi pada awal tahun langsung mempengaruhi penurunan inflasi pada bulan Januari 2015 yang tercatat hanya 0,10% (mtm). Dampak langsung terlihat dari penurunan sub kelompok bahan bakar (1,43% mtm) dan sub kelompok transportasi (- 5,68% mtm). Secara umum kenaikan harga BBM memberikan sumbangan lebih dari 50% terhadap inflasi bulanan melalui kenaikan bensin dan tarif angkutan. Sedangkan penurunan harga BBM cenderung tidak elastis. Penurunan berdampak lebih kecil terhadap inflasi dibandingkan kenaikannya. Untuk meminimalkan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah seperti mengendalikan kenaikan tarif angkutan darat, komunikasi yang efektif untuk mengelola ekspektasi inflasi serta mengatur waktu yang tepat untuk implementasi kebijakan administirered prices lainnya. Langkah-langkah tersebut perlu juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah termasuk mengatur konsumsi BBM bersubsidi di daerah. Penutup Pada prinsipnya, pengendalian inflasi di daerah pasca kebijakan baru subsidi BBM berdasarkan penelitian di dua daerah yaitu Provinsi DI. Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat adalah diperlukannya langkah strategis dan koordinasi antar beberapa instansi pemerintah yang ada di daerah dan pusat dan Bank Indonesia kantor perwakilan daerah untuk saling koordinasi dan kerja sama. Langkah tersebut dapat dimulai dengan pemantauan harga-harga komoditas baik barang dan jasa yang ada di pasar oleh instansi terkait. Laporan tersebut harus iv
dilakukan secara regular dan teratur terhadap sampel di pasar-pasar tertentu yang dijadikan sampel. Berdasarkan laporan inilah lalu dijadikan dasar pada rapat TPID bulanan di Provinsi untuk dibahas apa yang menjadi kendala dan masalah terhadap harga-harga komoditas yang diperlukan oleh masyarakat. Hampir seluruh stakeholder instansi pemerintahdan BI kantor perwakilan yang ada di daerah membicarakan mengenai aspek produksi, distribusi, keterjangkauan harga dan ekspekstasi inflasi harga ke depan terhadap barang-barang danjasa yang ada di Provinsi. Setelah itu berdasarkan rekomendasi rapat TPID bulanan itulah dilakukan tindakan langkah konkrit dan strategis terhadap permasalahan yang ada di lapangan terutama terhadap barang-barang yang terkena dampak baik langsung mapun tidak langsung dari kebijakan baru BBM di Indonesia. Sehingga berdasarkan kerja sama dan koordinasi yang baik antar instansi dan stakeholder terkait di pemerintah daerah dan Bank Indonesia menunjukkan hasil yang baik. Hal ini terlihat berdasarkan kebijakan baru subsidi BBM di Indonesia yang membuat harga BBM naik dan turun per bulan dapat diantisipasi dampaknya terhadap harga-harga barang dan jasa di Provinsi. Selain pemantauan dan koordinasi antar lembaga di daerah, salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk menjaga tingkat harga adalah diperlukannya infrastruktur yang mendukung aspek logistik pasokan barang. Sehingga pada akhirnya inflasi di daerah dapat diredam dan dijaga kondisinya pada level yang stabil dan rendah. v