V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 Identitas Responden Petani Hutan Rakyat

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VII. ANALISIS FINANSIAL

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

I. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jati Unggul Nusantara (JUN) UBH-KPWN Kabupaten Bogor

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU. Umumnya petani ubi kayu Desa Pasirlaja menggunakan seluruh lahan

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Petani cabai merah lahan pasir pantai di Desa Karangsewu berusia antara

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

IV. DESKRIPSI USAHA PENGOLAHAN TEPUNG UBI JALAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Keadaan Anggota Kelompok Wanita Tani Menurut Umur. Anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Dusun Pakel Jaluk juga merupakan

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lahan HKm Desa Margosari Kecamatan Pagelaran

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani PENDAHULUAN umumnya lebih memusatkan pada Hutan rakyat merupakan hutan yang pendapatan atau faktor ekonominya

ANALISIS COST-BENEFIT

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

MK. Biometrika Hutan Hari, tanggal : 16 Desember 2013 Kelas : Kamis ( ) Kelompok : 11

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI UBI JALAR

IV. METODE PENELITIAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

Lampiran 1 Kuisioner responden petani 1. Berapa luas lahan yang Bapak miliki? 2. Bagaimana cara bapak mengelola hutan rakyat yang Bapak miliki? a.

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

BAB VIII ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN NON SPO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK

IV METODOLOGI PENELITIAN

usaha dari segi keuntungan. Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CAISIM

ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

[Pengelolaan dan Evaluasi Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

ANALISIS FINANSIAL HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN JABIREN RAYA KABUPATEN PULANG PISAU KALIMANTAN TENGAH

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. perkebunan, khususnya pada sektor tanaman karet. Penduduk di Desa Negeri

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. aktivitas dan produktivitas kerja. Jumlah petani pada pola tanam padi-ubi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD, yaitu sebanyak 24 orang (66,67%). Bahkan ada yang tidak sekolah sebanyak 2 orang. Sedangkan sisanya di tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi tersebar masing-masing 5, 3 dan 2 orang (Tabel 1). Dari data tersebut dapat menjelaskan bahwa pendidikan dianggap bukan hal yang penting bagi kehidupan masyarakat. Kebanyakan dari mereka mengejar pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau membantu perekonomian keluarga. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir responden dalam menjawab soal kuisioner serta di dalam pengelolaan hutan rakyat. Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Strata Responden I (<0,35 Ha) II (0,35 Ha 0,63 Ha) III (>0,63 Ha) Jumlah n % n % N % n % Tidak Sekolah 1 8,33 1 8,33 0 0 2 5,56 SD 9 75 9 75 6 50 24 66,67 SMP 1 8,33 1 8,33 3 25 5 13,89 SMA 1 8,33 1 8,33 1 8,33 3 8,33 Kuliah 0 0 0 0 2 16,67 2 5,56 Jumlah 12 100 12 100 12 100 36 100 Sumber : Data Penelitian 2010 Seluruh responden mempunyai status sudah menikah dengan rata-rata anggota keluarga terdiri dari 4-5 jiwa. Mata pencaharian utama responden didominasi oleh petani untuk semua tingkatan strata dengan jumlah responden sebanyak 31 orang (86,11%). Mata pencaharian pokok yang menempati urutan kedua responden adalah wiraswasta dengan jumlah responden sebanyak 3 orang (8,33%) dengan masing-masing strata sebanyak 1 orang. Dalam hal ini wiraswasta untuk Desa Babakanreuma biasanya berupa usaha warung di rumah, warung rokok, warung bubur kacang ijo, pedagang asongan baik di desanya sendiri maupun merantau ke daerah lain, dan industri rumah tangga berupa pembuatan gemblong dari singkong yang merupakan makanan khas daerah Kuningan. Sedangkan sisanya bermata pencaharian PNS sebanyak 1 orang (2,78%) yang

25 terdapat pada strata I dan responden yang sudah tidak bekerja lagi karena faktor usia (Pensiunan) sebanyak 1 orang (2,78%) terdapat pada strata III. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk mengetahui identitas responden petani hutan rakyat di Desa Babakanreuma dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian pokok Mata Pencaharian Strata Responden I (<0,35 Ha) II (0,35 Ha 0,63 Ha) III (>0,63 Ha) Jumlah n % n % N % n % Pensiunan 0 0,00 0 0,00 1 8,33 1 2,78 Petani 10 83,33 11 91,67 10 83,33 31 86,11 PNS 1 8,33 0 0,00 0 0,00 1 2,78 Wiraswasta 1 8,33 1 8,33 1 8,33 3 8,33 Jumlah 12 100 12 100 12 100 36 100 Sumber : Data Hasil Penelitian 2010 5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat 5.2.1 Pola Tanam dan Jenis Tanaman Masyarakat Desa Babakanreuma dalam pengelolaan hutan rakyat umumya menanam tanaman jenis sengon (Paraserianthes falcataria) yang diselingi dengan tanaman tumpang sari. Pola hutan rakyat ini termasuk ke dalam pola kebun campuran umumnya terdiri dari berbagai macam tanaman setahun (pangan) yang diselingi pohon-pohonan yang tidak sengaja ditanam (tumbuh sendiri) atau dengan kata lain bukan komoditas utama seperti bambu dan mindi. Lokasinya jauh dari rumah petani. Tanaman tumpang sari yang termasuk dalam perhitungan kelayakan usaha tani hutan rakyat di desa ini adalah singkong (Manihot esculenta). Untuk jarak tanam, petani hutan rakyat di desa ini tidak mengenal jarak tanam, rata-rata menanam tegakan sengon sebagai batas areal dan sebagai tegakan penyeling, namun sebagian ada yang menanamnya dengan ukuran 3 m x 3 m. Pada tanaman singkong jarak tanam yaitu 100 cm x 50 cm atau dapat menyesuaikan dengan lahan dan tanaman lain. Singkong merupakan komoditas yang dijadikan sebagai tambahan pendapatan rumah tangga petani selain dari lahan pertanian seperti padi dan ubi jalar. Sedangkan hasil dari pepohonan/tanaman kayu rata-rata hanya sebagai sampingan dan tabungan.

26 5.2.2 Tahapan Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat di Desa Babakanreuma terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain : pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kegiatan pengelolaan hutan rakyat Tahun Sengon Kegiatan Singkong 0 Persiapan lapang Penyetekan Pengadaan bibit Persiapan lapang Penanaman 1 Penanaman bibit Pemupukan Pemupukan bibit Pemeliharaan Pemanenan 2 Pemeliharaan Penanaman Pemupukan Pemeliharaan Pemanenan 3, 4, 5 dan 6 Pemeliharaan -sda- 7 Pemanenan -sda- Sumber : Data Hasil Penelitian 2010 1. Pengadaan Bibit Pengadaan bibit jenis sengon diperoleh dengan cara membeli bibit dengan harga sebesar Rp. 2.000,00 per bibit. Sedangkan untuk tanaman singkong bibit yang diambil dengan cara setek batang dari batang panenan sebelumnya. Setek yang diambil dari batang bagian tengah tanaman singkong agar matanya tidak terlalu tua maupun muda. Pemotongan batang setek menggunakan pisau atau sabit yang tajam dan steril. Potongan batang untuk setek adalah 3 4 ruas mata atau kira-kira 15 20 cm. Bagian bawah dari batang setek dipotong miring dengan maksud untuk menambah dan memperluas daerah perakaran. 2. Persiapan Lahan Pembersihan lahan ini dilakukan dengan cara pembabatan dan pencangkulan tanah untuk meratakan tanah di lahan. Untuk jarak tanam tidak begitu memiliki standar baku, sehingga petani hanya menggunakan perkiraan jarak tanam. Tetapi ada beberapa petani yang membuat jarak tanam 3 m x 3 m dan untuk lubang tanam tidak diperhatikan oleh petani. Untuk tanaman singkong persiapan lahan dengan pengolahan tanah. Tanah dicangkul dan diremahkan

27 kemudian diratakan, pada saat perataan dapat pula disebarkan pupuk kandang untuk penambahan unsur hara. 3. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan pada tahun ke-1 dimana kegiatan tersebut dikerjakan bersamaan dengan pemupukan. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk pada lubang tanaman, kemudian bibit baru ditanam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan NPK. Untuk tanaman singkong batang setek ditanam agak miring dengan kedalaman 8-12 cm. Jarak tanam 100 cm x 50 cm atau penanaman dapat menyesuaikan dengan lahan dan tanaman lainnya. 4. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan pada tahun ke-2 sampai tahun ke-6 diantaranya adalah kegiatan pengolahan lahan, pemeliharaan seperti pemangkasan cabang, penyiangan dan pemupukan. 5. Pemanenan Pemanenan untuk tanaman sengon masih berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan daur dari tanaman sengon. Kegiatan pemanenan dilakukan dengan sistem borongan oleh tengkulak/pembeli sehingga biaya yang diperlukan untuk kebutuhan pemanenan tidak dikeluarkan oleh petani. Untuk sistem pembayaran dilakukan secara tunai di lokasi lahan atau pembeli menanggung biaya panen dengan sistem penentuan harga rata-rata berdasarkan pohon atau tegakan berdiri. Sedangkan untuk singkong pemanenan dilakukan dengan memangkas batang singkong dengan tetap meninggalkan batang sekitar 15 cm untuk mempermudah pencabutan. Singkong dipanen pada umur lebih dari 10 bulan dengan ciri saat panen adalah warna daun menguning dan banyak yang rontok. Hasil pemanenan singkong rata-rata petani mendapatkan 1 ton - 1,5 ton singkong untuk lahan seluas 1.400 m 2. 6. Pemasaran Untuk pemasaran tanaman kayu setelah dijual ke tengkulak/pihak pemborong dan petani mendapatkan uang, maka urusan penjualan kayu menjadi tanggung jawab pihak pemborong. Adapun kisaran harga untuk kayu jenis sengon di desa ini berdasarkan hasil penelitian, yaitu untuk harga pasaran tengkulak dijual berdasarkan pohon atau tegakan berdiri dengan harga rata-rata Rp. 400.000,00 per

28 pohon (umur 7 tahun atau diameter 20 cm up). Beberapa petani ada juga yang memanfaatkan tanaman berkayu untuk pribadi atau dikonsumsi sendiri, seperti untuk membuat rumah, buffet, lemari, meja, kursi dan lain-lain. Sedangkan pemasaran singkong rata-rata petani menjualnya langsung ke industri rumah tangga pembuatan gemblong (makanan khas daerah Kuningan). Untuk harga pasaran singkong yaitu Rp. 700,00 Rp. 800,00 per kilogram. 5.3 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat 5.3.1 Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Pendapatan rumah tangga petani berdasarkan hasil wawancara sangat beragam tergantung dari luasan lahan yang mereka garap dan mereka miliki dan tergantung dari jenis pekerjaan. Perbedaan sumber mata pencaharian responden akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan rumah tangga responden. Pada kasus di Desa Babakanreuma, pendapatan rumah tangga responden di peroleh dari usaha tani (padi dan ubi jalar), ternak, hutan rakyat, wiraswasta (industri rumah tangga gemblong, warung dan pedagang asongan), PNS dan pegawai swasta (pegawai staf, buruh kontrak dan buruh bangunan). Rata-rata pendapatan rumah tangga responden selama setahun terakhir (2010) dapat dilihat pada Tabel 4. Besarnya persentase pendapatan rumah tangga masing-masing sumber ini merupakan perbandingan antara pendapatan rata-rata rumah tangga responden dari sumber yang bersangkutan dan total pendapatan rata-rata rumah tangga responden, lalu dikalikan 100% (Lampiran 3). Tabel 4 Pendapatan rata-rata rumah tangga responden dari berbagai sumber tahun 2010 Sumber Pendapatan Strata Responden I (<0,35 Ha) II (0,35 Ha - 0,63 Ha) III (>0,63 Ha) (Rp/tahun) % (Rp/tahun) % (Rp/tahun) % Tani 11.450.000 40,38 10.745.000 33,88 13.345.000 31,54 Ternak 106.128 0,37 2.798.550 8,83 7.102.167 16,78 Hutan Rakyat 2.908.333 10,26 5.900.000 18,61 11.450.000 27,06 PNS 1.300.000 4,58 1.200.000 3,78 3.000.000 7,09 Swasta 4.625.000 16,31 1.050.000 3,31 1.413.333 3,34 Wiraswasta 7.966.667 28,10 10.016.667 31,59 6.003.333 14,19 Total 28.356.128 100 31.710.217 100 42.313.833 100 Sumber :Data Hasil Penelitian 2010

29 Dalam penelitian ini sumber pendapatan yang diperoleh atau diusahakan masyarakat desa terbagi atas usaha tani, peternakan, usaha hutan rakyat, PNS, pegawai swasta dan wiraswasta. Perbedaan pembagian ini terjadi karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapatan dari usaha hutan rakyat, sehingga usaha hutan rakyat harus termasuk ke dalam salah satu bidang pendapatan petani. Mayoritas responden memperoleh pendapatan utama rumah tangganya dari sektor pertanian (padi dan ubi jalar). Pada tabel 4 diketahui bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga responden terbesar pada strata I diperoleh dari sumber pendapatan usaha tani (padi dan ubi jalar) sebesar Rp. 11.450.000,00 per tahun (40,38%). Wiraswasta cukup berpengaruh terhadap total pendapatan rumah tangga responden menempati urutan kedua dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp. 7.966.667,00 per tahun (28,10%). Hal ini diperoleh dari anggota rumah tangga (istri, anak dan menantu) yang membantu menambah pendapatan rumah tangga dengan berdagang seperti membuka warung rokok dan warung bubur kacang ijo. Sedangkan usaha hutan rakyat kurang berpengaruh terhadap total pendapatan rumah tangga dengan pendapatan rata-rata hanya sebesar Rp. 2.908.333,00 per tahun (10,26%). Hal ini dikarenakan banyaknya responden yang memanen kayu tetapi tidak menjual kayu melainkan di konsumsi sendiri untuk membuat atau memperbaiki rumah dan ada 2 (dua) responden yaitu nomor responden 3 dan 5 yang lahan hutan rakyatnya tidak menghasilkan pendapatan karena tegakan yang ada hanya sebagai batas areal, belum pernah di panen dan tidak ada tanaman tumpang sarinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada strata I responden lebih memprioritaskan pada sumber usaha tani (padi dan ubi jalar) dan wiraswasta. Pada strata II, pendapatan rata-rata rumah tangga responden terbesar masih dari sumber pendapatan usaha tani (padi dan ubi jalar) sebesar Rp. 10.745.000,00 per tahun (33,88%). Tidak terlalu berbeda jauh dengan sumber pendapatan usaha tani, sumber pendapatan wiraswasta masih berpengaruh besar terhadap total pendapatan rumah tangga responden sebesar Rp. 10.016.667,00 per tahun (31,59%). Hal ini dikarenakan adanya responden nomor 18 yang memiliki industri

30 rumah tangga makanan khas kuningan gemblong yang bahan dasarnya terbuat dari singkong dengan pendapatan per tahun sebesar Rp. 60.000.000,00. Sedangkan dari usaha hutan rakyat pendapatan rata-rata rumah tangga sebesar Rp. 5.900.000,00 per tahunnya (18,61%). Sehingga terlihat pada strata II sumber pendapatan usaha tani (padi dan ubi jalar) dan wiraswasta masih memberikan pengaruh yang besar terhadap total pendapatan rumah tangga responden. Berbeda dengan strata I dan II, pada strata III usaha hutan rakyat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap total pendapatan rumah tangga responden yaitu dengan pendapatan rata-rata rumah tangga responden sebesar Rp. 11.450.000,00 per tahun (27,06%). Hal ini dikarenakan banyaknya responden yang memanen tegakan kayu dalam setahun terakhir (2010) dan luasnya lahan untuk menanam singkong sehingga pendapatan hutan rakyat semakin besar. Sama seperti srata I dan II usaha tani (padi dan ubi jalar) masih menjadi pendapatan rata-rata rumah tangga responden terbesar yaitu Rp. 13.345.000,00 per tahun (31,54%). Sedangkan wiraswasta pada strata III kurang berpengaruh terhadap total pendapatan rumah tangga responden yaitu dengan pendapatan rata-rata rumah tangga responden sebesar Rp. 6.003.333,00 (14,19%). Sehingga dapat diketahui bahwa pada strata III responden lebih memprioritaskan pada sumber usaha tani (padi dan ubi jalar) dan usaha hutan rakyat. Data pada Tabel 4 menjelaskan bahwa semakin luas lahan yang dimiliki responden maka tingkat pendapatan usaha hutan rakyat semakin besar pula. Berbeda dengan persentase pendapatan dari wiraswasta, perbedaan karakeristik nilai dari sumber pendapatan wiraswasta ini tidak dipengaruhi oleh luasan lahan yang dimiliki, karena sumber pendapatan wiraswasta ini tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha tani. Pendapatan peternakan tidak menjadi mata pencaharian utama bagi responden karena hasil dari peternakan rendah dan tidak terlalu berpengaruh terhadap total pendapatan rumah tangga responden. Hasil ternak ini biasanya dikonsumsi pribadi oleh responden dan binatang ternak yang biasanya dipelihara adalah ikan, ayam, kambing dan sapi. Adapun besarnya manfaat hutan rakyat terhadap pendapatan total rata-rata rumah tangga responden atau petani dalam satuan persen dijelaskan pada Tabel 5. Kontribusi ini merupakan perbandingan nyata antara pendapatan rata-rata dari

31 usaha hutan rakyat per tahun dan pendapatan total rata-rata rumah tangga per tahun. Tabel 5 Kontribusi pendapatan rata-rata hutan rakyat terhadap pendapatan total rumah tangga tahun 2010 Strata Pendapatan Rata-rata (Rp/tahun) Kontribusi (%) HR Non HR Jumlah HR Non HR I (<0,35 Ha) 2.908.333 25.447.795 28.356.128 10,26 89,74 II (0,35 Ha 0,63 Ha) 5.900.000 25.810.217 31.710.217 18,61 81,39 III (>0,63 Ha) 11.450.000 30.863.833 42.313.833 27,06 72,94 Pada strata I, hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar Rp. 2.908.333,00 per tahun (10,26%), strata II sebesar Rp. 5.900.000,00 per tahun (18,61%) dan strata III sebesar Rp. 11.450.000,00 per tahun (27,06%). Pendapatan dari usaha hutan rakyat ini nilainya tidak sampai 50% dari total pendapatan rumah tangga responden, ini menunjukan bahwa usaha hutan rakyat hanya merupakan pendapatan tambahan atau sampingan sedangkan para petani mengandalkan pendapatannya dari luar usaha hutan rakyat (non hutan rakyat). Hal ini dikarenakan hutan rakyat mempunyai pertumbuhan tegakan yang lama sehingga tidak dapat memberi hasil yang cepat dan rutin. Selain itu usaha hutan rakyat hanya sebagai investasi pendapatan para petani. Usaha yang menjadi sumber pendapatan utama petani adalah dari usaha tani atau sawah (padi dan ubi jalar). Biasanya hasil dari hutan rakyat ini, khususnya tegakan berdiri dimanfaatkan bila petani sedang ada keperluan mendesak serta sebagai tabungan untuk masa depan. Tabel 6 Kontribusi pendapatan rata-rata kayu hutan rakyat tehadap pendapatan total rumah tangga tahun 2010 Strata Pendapatan Rata-rata HR (Rp/tahun) Kontribusi (%) Kayu Non Kayu Jumlah Kayu Non Kayu I (<0,35 Ha) 2.208.333 700.000 28.356.128 7,79 2,47 II (0,35 Ha - 0,63 Ha) 3.800.000 2.100.000 31.710.217 11,98 6,62 III (>0,63 Ha) 5.500.000 5.950.000 42.313.833 13,00 14,06 Dari tabel 6 dapat dijelaskan nilai kontribusi pendapatan rata-rata kayu pada strata I dan II bernilai lebih besar dari pada kontribusi pendapatan rata-rata non kayu atau tumpang sarinya (singkong). Sedangkan pada strata III kontribusi pendapatan rata-rata kayu bernilai lebih kecil dari pada kontribusi pendapatan

32 rata-rata non kayu atau tumpang sarinya (singkong). Pada kasus kontribusi pendapatan rata-rata non kayu (singkong) rendah dan singkong masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Desa Babakanreuma karena sudah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat dan biaya untuk menanam singkong rendah. Selain sebagai tumpang sari, singkong juga merupakan bahan dasar yang digunakan untuk industri rumah tangga makanan khas kuningan di desa tersebut yaitu gemblong, walaupun harga pasaran singkong rendah antara Rp. 700,00 sampai Rp. 800,00 per kilogram. Bila dibandingkan dengan penelitian hutan rakyat terdahulu seperti penelitian Rachman (2009) yang dilakukan di Desa Sukadamai, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kontribusi kebun campuran terhadap pendapatan rumah tangga yaitu sebesar Rp. 6.933.274,00 per tahun (60,6%) dengan pendapatan dari jenis tanaman kayu sebesar Rp. 1.289.464,00 per tahun (16,3%) dan penelitian yang dilakukan Tri (2007) di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kontribusi kebun campuran terhadap pendapatan total rumah tangga adalah (48,67%) dengan pendapatan bersih rata-rata dari kebun campuran sebesar Rp. 2.308.367,00 per hektar per tahun. Sedangkan pendapatan total dari lahan monokultur sebesar 14,15%. Maka hasil penelitian kontribusi hutan rakyat yang dilakukan di Desa Babakanreuma, Kecamatan Sindangagung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini belum memperlihatkan hasil yang optimal tetapi nilai kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan total rumah tangga responden di desa ini, sudah sangat nyata terlihat dengan besarnya nilai kontribusi yang semakin tinggi dengan kenaikan strata lahan. Sehingga luas lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan hutan rakyat petani. 5.3.2 Pengeluaran Rumah Tangga Petani Pengeluaran untuk setiap responden masing-masing strata memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh pola konsumsi, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan setiap keluarga, kebutuhan hidup dan faktor pendukung lainnya. Pengeluaran ini adalah segala biaya yang dikeluarkan oleh responden dan anggota responden untuk melakukan kegiatan atau memenuhi kebutuhan hidup baik yang tetap atau kebutuhan insidental. Jenis-jenis pengeluaran untuk setiap

33 responden hampir sama yaitu untuk kebutuhan pangan, biaya usaha tani hutan rakyat, kebutuhan pendidikan dan kebutuhan lain-lain berupa biaya usaha tani sektor pertanian (padi dan ubi jalar), biaya kesehatan, biaya sandang dan papan seperti pakaian, peralatan rumah tangga, listrik, air, pemeliharaan rumah, dana sosial dan biaya pengeluaran lainnya. Pengeluaran responden diklasifikasikan berdasarkan luasan hutan rakyat yang dikelolanya, sehingga pengeluaran rata-rata tiap responden berbeda-beda dan beragam pula untuk setiap stratanya (Lampiran 4). Rata-rata pengeluaran petani per tahun dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rata-rata pengeluaran rumah tangga responden tahun 2010 Sumber Pengeluaran Strata Responden I (<0,35 Ha) II (0,35 Ha- 0,63 Ha) III (>0,63 Ha) (Rp/tahun) % (Rp/tahun) % (Rp/tahun) % Pangan 1.975.000 21,64 2.025.000 14,84 2.075.000 9,51 Usaha HR 1.811.810 19,86 3.477.167 25,49 7.046.750 32,29 Pendidikan 1.441.667 15,80 2.250.000 16,49 3.751.667 17,19 Lain-lain 3.896.500 42,70 5.890.500 43,18 8.947.333 41,00 Total 9.124.976 100,00 13.642.667 100,00 21.820.750 100,00 Sumber pengeluaran terbesar pada strata I, II dan III terdapat pada kebutuhan lain-lain berupa biaya usaha tani sektor pertanian (padi dan ubi jalar), biaya kesehatan, biaya sandang dan papan seperti pakaian, peralatan rumah tangga, listrik, air, pemeliharaan rumah, dana sosial dan biaya pengeluaran lainnya, masing-masing dengan pengeluaran rata-rata sebesar Rp. 3.896.500,00 per tahun (42,70%), Rp. 5.890.500,00 per tahun (42,70%) dan Rp. 8.947.333,00 per tahun (41,00%) terhadap total pengeluaran responden. Besarnya nilai kebutuhan lain-lain terjadi karena banyaknya responden mempunyai pengeluaran tiba-tiba atau biaya tak terduga dalam kurun waktu satu tahun. Selain itu juga kebutuhan responden akan usaha tani sektor pertanian atau sawah sangat tinggi. Pemeliharaan rumah juga mempunyai sumber pengeluaran yang tinggi dikarenakan harga material yang cukup mahal di pasaran. Pada strata I pengeluaran terkecil terdapat pada kebutuhan pendidikan yaitu dengan pengeluaran rata-rata sebesar Rp. 1.441.667,00 per tahun (15,80%) terhadap total pengeluaran responden, sedangkan pengeluaran terbesar ada pada strata III sebesar Rp 3.751.667,00 per tahun (17,19%). Hal ini terjadi karena pada

34 strata III respondennya masih banyak yang mempunyai tanggungan anak bersekolah sedangkan responden pada strata I merupakan responden yang tidak punya tanggungan atas anak mereka lagi, karena anak-anak mereka sendiri sudah memiliki keluarga sendiri. Pada strata II sumber pengeluaran terkecil terdapat pada kebutuhan pangan sebesar Rp. 2.025.000,00 per tahun (14,84%) terhadap total rata-rata pengeluaran responden dan pada strata III sumber pengeluaran terkecil juga terdapat pada kebutuhan pangan sebesar Rp. 2.075.000,00 per tahun (9,51%) terhadap total pengeluaran responden. Hal ini terjadi karena hasil pertanian (padi dan ubi jalar), peternakan, dan tumpang sari hutan rakyat responden digunakan secara pribadi untuk makan sehari-hari. Untuk usaha hutan rakyat cukup mempengaruhi pengeluaran total responden, untuk strata III pengeluaran hutan rakyat mempengaruhi 32,29% dari total pengeluaran rumah tangga responden dan merupakan pengeluaran terbesar kedua responden. Begitupun pada strata II usaha hutan rakyat menempati urutan kedua sumber pengeluaran terbesar yaitu sebesar 25,49% terhadap total pengeluaran dan strata I pengeluaran usaha hutan rakyat menempati peringkat ketiga sebesar 19,86% terhadap total pengeluaran. Tabel 8 Kontribusi pengeluaran rata-rata hutan rakyat terhadap pengeluaran total rata-rata rumah tangga responden pada tahun 2010 Strata Pengeluaran (Rp/tahun) Kontribusi (%) Hutan Rakyat Non Hutan Rakyat Total I (<0,35 Ha) 1.811.810 7.313.167 9.124.976 19,86 II (0,35 Ha - 0,63 Ha) 3.477.167 10.165.500 13.642.667 25,49 III (>0,63 Ha) 7.046.750 14.774.000 21.820.750 32,29 Tabel 8 menjelaskan pengaruh pengeluaran untuk hutan rakyat terhadap pengeluaran total responden. Kontribusi pengeluaran ini dipengaruhi langsung oleh luasan lahan. Semakin besar luas lahan yang dimiliki responden maka tingkat pengeluaran usaha hutan rakyat akan semakin besar pula. Kontribusi pengeluaran usaha hutan rakyat juga dipengaruhi oleh sistem pengelolaan lahan oleh petani. Semakin baik sistem pengelolaan usaha hutan rakyat maka tingkat pengeluaran usaha hutan rakyat juga akan semakin tinggi. Tingkat pengeluaran responden akan sangat berpengaruh pada pendapatan responden. Pengeluaran yang besar maka pendapatan responden akan berkurang, apabila pengeluaran lebih besar dari pendapatan maka responden akan mengalami

35 defisit yang mengakibatkan responden harus mengeluarkan sejumlah uang dari tabungannya untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan jika pengeluaran lebih kecil dari pendapatan maka responden akan mendapatkan sisa yang dapat ditabung untuk kebutuhan yang akan datang. Untuk lebih jelasnya presentase pendapatan total rata-rata terhadap pengeluaran total rata-rata dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Presentase pendapatan total rata-rata rumah tangga terhadap pengeluaran total rata-rata rumah tangga responden Strata Pendapatan Ratarata (Rp/tahun) Pengeluaran Ratarata (Rp/tahun) Persentase Pendapatan terhadap Pengeluaran (%) I (<0,35 Ha) 28.356.128 9.124.976 310,8 II (0,35 Ha - 0,63 Ha) 31.710.217 13.642.667 232,4 III (>0,63 Ha) 42.313.833 21.820.750 193,9 Rata-rata 34.126.726 14.862.798 245,7 Pada Tabel 9, secara keseluruhan dari ketiga kelas, rata-rata persentase pendapatan terhadap pengeluaran adalah 245,7%. Dengan kata lain masyarakat di Desa Babakanreuma lebih mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan mempunyai sisa. Sisa dari pendapatan tersebut biasanya mereka tabung dan digunakan untuk membeli barang yang bersifat monumental seperti membangun rumah, membeli tanah, emas dan lain sebagainya. 5.4 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Untuk mengetahui kelayakan usaha hutan rakyat dilakukan dengan menggunakan metode analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto. Besarnya suku bunga yang digunakan adalah 6,5% yaitu suku bunga makro Bank Indonesia yang berlaku tahun 2010 saat penelitian dilakukan. Kelayakan hutan rakyat ini bisa dijadikan acuan untuk perbaikan pengelolaan hutan rakyat kedepannya dari segi pemeliharaan dan pengaturan biaya yang dikeluarkan. Biaya pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya tetap, antara lain biaya sewa/pajak, biaya peralatan, biaya bangunan dan biaya lainnya. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya pengadaan benih dan bibit, biaya persiapan lahan, biaya pemupukan, biaya pemeliharaan, biaya pemasaran dan biaya lainnya.

36 Kriteria Kelayakan yang digunakan dalam analisis adalah Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value daripada benefit dan present value daripada biaya, Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR). Tabel 10 Rata-rata biaya pengusahaan hutan rakyat berdasarkan strata Biaya Variabel (Rp/thn) Strata Pajak Bibit Pupuk dan Pemeliharaan Pemasaran Lain-lain (Rp/thn) penanaman I (<0,35 Ha) 168.393 8.000 880.000 545.000 80.417 130.000 II (0,35 Ha - 0,63 Ha) 387.500 16.000 2.066.667 617.083 155.250 234.667 III (>0,63 Ha) 1.025.000 24.000 4.683.333 683.333 197.750 433.333 Rata-Rata 526.964 16.000 2.543.333 615.139 144.472 266.000 Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa biaya pengusahaan hutan rakyat di Desa Babakanreuma (Lampiran 5) terdiri dari : A. Biaya Tetap Pembayaran pajak merupakan salah satu biaya tetap usaha hutan rakyat. Besarnya nilai pajak tergantung dari luasan hutan rakyat yang dimiliki petani. Biaya pajak selalu dikeluarkan setiap tahunnya oleh petani yang dipengaruhi oleh luasan lahan yang dimiliki. Berdasarkan hasil wawancara harga pajak tanah atau biaya sewa lahan dari pemerintah Desa Babakanreuma yaitu Rp. 150.000,00 per tahun untuk lahan seluas 1.400 m 2. Pada strata I rata-rata besarnya pajak adalah Rp. 168.393,00 per tahun sedangkan pada strata II sebesar Rp. 387.500,00 per tahun dan strata III sebesar Rp. 1.025.000,00 per tahun. B. Biaya Variabel Biaya variable yang dikeluarkan oleh responden di Desa Babakanreuma diantaranya: 1. Biaya pengadaan bibit, pengadaan bibit sengon dilakukan dengan cara membeli sendiri di lokasi-lokasi dekat dengan Desa Babakanreuma. Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan bibit tersebut sebesar Rp 2.000,00 per bibit sengon. Rata-rata responden menanam sengon tiap tahun pada strata I sebanyak 4 pohon, strata II sebanyak 8 pohon dan strata III sebanyak 12 pohon 2. Biaya pengadaan pupuk dan penanaman ini meliputi biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan pupuk kandang dan NPK, serta biaya untuk persiapan lahan, olah tanah, menanam bibit sengon dan tumpang sarinya (singkong). Biaya yang dikeluarkan bervariasi di tiap strata tergantung dari

37 jumlah tenaga kerja yang digunakan dan upah tenaga kerja. Adapun upah tenaga kerja yang berlaku di Desa Babakanreuma adalah Rp. 25.000,00 per HOK (Hari Orang Kerja). Kegiatan penanaman biasanya dilakukan oleh petani pemilik lahan atau petani yang membayar jasa penanaman dengan upah. Biaya pengadaan pupuk dan penanaman yang dikeluarkan pada strata I, II dan III masing-masing rata-rata bernilai Rp. 880.000,00 per tahun, Rp. 2.066.667,00 per tahun dan Rp. 4.683.333,00 per tahun. 3. Biaya pemeliharaan, terdiri dari biaya untuk kegiatan pemangkasan cabang, pengadaan alat, pemberian pupuk tambahan dan upah tenaga kerja. Seluruh biaya tersebut lalu dijumlahkan dan dirata-ratakan untuk masingmasing strata. Strata I memiliki rata-rata biaya pemeliharaan sebesar Rp. 545.000,00 per tahun. Strata II bernilai Rp. 617.083,00 per tahun dan strata III sebesar Rp. 683.333,00 per tahun. 4. Biaya pemasaran yang dikeluarkan pada saat kayu akan dipasarkan ke tengkulak dimana biaya tersebut didapat dari hasil rata-rata total biaya pemasaran. Biaya pemasaran meliputi biaya kerusakan tanaman lain, HOK (hari orang kerja) hilang, pulsa untuk menghubungi tengkulak atau pembeli kayu (tegakan berdiri) via ponsel. Pada strata I biaya pemasaran adalah sebesar Rp. 80.417,00 per tahun, Rp. 155.250,00 per tahun (strata II), dan Rp. 197.750,00 per tahun (strata III). 5. Biaya lain-lain, biasanya merupakan biaya yang dikeluarkan petani untuk kegiatan pendukung usaha hutan rakyat. Biaya ini berkisar antara biaya sajian makanan dan rokok bagi para pekerja di lahan yang bersangkutan. Pada strata I Rp. 130.000,00 per tahun, Rp. 234.667,00 per tahun (strata II) dan Rp. 433.333,00 per tahun (strata III). Biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut didapat seluruhnya dari hasil wawancara secara terstruktur dan kemudian dirata-ratakan berdasarkan jumlah responden ditiap stratanya. C. Perkiraan Nilai Tegakan Sisa Tahun 2010 Nilai tegakan sisa ini merupakan perkiraan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani saat pertama kali melakukan usaha hutan rakyat sampai sekarang. Nilai ini diperoleh dari jumlah tegakan sisa yang ada saat penelitian berlangsung

38 atau tegakan yang belum ditebang hingga tahun 2010 kemudian dikalikan dengan harga tegakan yang berlaku di pasar. Harga tegakan pohon berdiri di pasar ratarata sebesar Rp 400.000,00 per pohon dengan ukuran diameter rata-rata yang banyak ditebang adalah 20-30 cm atau tegakan yang berumur 7 tahun. Setelah mendapatkan jumlah tegakan sisa di tiap kelas umur, maka tegakan yang sudah berumur 7 tahun atau lebih siap untuk dipanen dan kemudian hasil dari penjualan akan dikurangi dengan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan oleh petani. Dalam sistem pemanenan yang berlaku di Desa Babakanreuma rata-rata petani melakukan penjualan melalui tengkulak sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemanenan. Dengan pendekatan tersebut, menghasilkan rata-rata nilai tegakan sisa dari hasil pemanenan pada strata I sebesar Rp. 12.000.000,00 dengan jumlah tegakan sisa 30 batang. Strata II rata-rata nilai tegakan sisa yang berjumlah 56 batang memiliki nilai Rp. 22.400.000,00 sedangkan untuk strata III rata-rata besarnya pendapatan dari usaha hutan rakyat sebesar Rp. 34.400.000,00 (86 tegakan sisa). Perincian jumlah tegakan sisa pada lahan hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 11 berikut (Lampiran 6). Tabel 11 Simulasi proyek sisa kayu dan simulasi pendapatan usaha hutan rakyat dengan jumlah pohon sebenarnya Jumlah tegakan sisa pada umur ke- (batang) Strata 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 > 10 Total Pendapatan th th th th th th th th th th th th HR I 4 0 0 3 9 0 0 11 0 0 3 0 30 12.000.000 II 0 12 10 0 15 0 0 14 0 0 4 1 56 22.400.000 III 0 11 0 19 18 0 0 18 0 0 0 20 86 34.400.000 Total 4 23 10 22 42 0 0 43 0 0 7 21 172 68.000.000 D. Simulasi Proyeksi Rencana Tebangan Perhitungan hingga tahun ke-14 atau tahun 2024. Daur yang digunakan adalah 7 tahun. Pendapatan hutan rakyat dapat diilustrasikan dengan pemasukan ke dalam aliran kas, yaitu kegiatan penjualan tegakan kayu dan penjualan tumpang sarinya yaitu tanaman singkong. Sedangkan untuk pengeluaran usaha hutan rakyat adalah kegiatan penebangan saja. Perhitungan ini dilakukan atas dasar biaya penebangan borongan dan hasil penjualan singkong selama setahun terakhir. Sistem penebangan borongan ini memberikan nilai pemasukan dan pengeluaran untuk perhitungan aliran kas (cashflow), karena pada tahun tebang

39 tersebut petani akan kembali menanam tegakan baru untuk mengganti tegakan yang ditebang. Nilai pengeluaran ini berupa biaya bibit, pupuk dan penanaman. Jumlah tegakan yang digunakan sebagai acuan adalah jumlah tegakan sisa pada setiap strata tahun 2010. Pada strata I dengan lahan <0,35 ha diperoleh jumlah tegakan sisa sebanyak 30 batang, pada strata II dengan lahan 0,35-0,63 ha sebanyak 56 batang dan pada strata III dengan lahan >0,63 ha sebanyak 86 batang. Dari jumlah tegakan sisa tersebut diasumsikan sebagai jumlah tegakan kayu maksimal yang dapat diusahakan petani tiap tahunnya. Untuk menjadikan hutan normal (hasil tidak berfluktuasi dari tahun ke tahun) maka jumlah tegakan yang dipanen per tahun untuk setiap strata adalah hasil dari perbandingan jumlah tegakan sisa dengan daur tanaman 7 tahun. Hutan normal ini memiliki pengertian dimana jumlah tegakan yang ditebang sama dengan jumlah tegakan yang ditanam pada tahun tersebut. Pada strata I diperoleh jumlah tegakan yang dipanen per tahun sebanyak 4 batang, strata II sebanyak 8 batang dan strata III sebanyak 12 batang. Pada Lampiran 7, 8 dan 9 menjelaskan mengenai jumlah tegakan sisa yang menjadi dasar perhitungan cashflow. Pada strata I tersebar tegakan sisa mulai dari tahun 2000 sampai 2010 berjumlah 30 batang. Tegakan sisa tersebut mulai ditebang pada tahun 2011 sebanyak 4 batang tiap tahunnya (jumlah tegakan maksimal yang dapat diusahakan petani tiap tahunnya) sampai tegakan sisa habis ditebang dan mulai mencapai jumlah tegakan normal di tahun 2019. Pada strata II tersebar tegakan sisa mulai dari tahun <2000 sampai 2010 berjumlah 56 batang. Tegakan sisa tersebut mulai ditebang pada tahun 2011 sebanyak 8 batang tiap tahunnya. Jumlah penebangan setara dengan jumlah penanaman terjadi pada tahun 2018, sejak tahun ini telah diperoleh normalitas (menanam 8 tegakan dan menebang 8 tegakan). Pada strata III tersebar tegakan sisa mulai dari tahun <2000 sampai 2010 berjumlah 86 batang. Tegakan sisa tersebut mulai ditebang pada tahun 2011 sebanyak 12 batang tiap tahunnya. diperoleh normalitas pada tahun 2019. Pendapatan bersih petani merupakan hasil dari pengurangan keuntungan yang didapat dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Keuntungan ini diperoleh

40 dari hasil tumpang sari singkong dan penebangan tegakan. Faktor bunga juga mempengaruhi pendapatan bersih petani. Tabel 12 Pendapatan dan biaya dengan dan tanpa suku bunga Strata Tanpa suku bunga (i=6,5%) (Rp/thn) Dengan Suku Bunga (i=6,5%) (Rp/thn) Manfaat Biaya PV Bersih Manfaat Biaya NPV I 38.150.000 27.177.143 10.972.858 23.414.725 17.035.845 6.378.880 II 76.300.000 52.157.500 24.142.500 46.829.450 32.694.647 14.134.803 III 114.450.000 105.701.250 8.748.750 70.244.175 66.258.257 3.985.918 Rata-rata 76.300.000 61.678.631 14.621.369 46.829.450 38.662.916 8.166.534 Berdasarkan Tabel 12, pendapatan tertinggi (PV bersih) terdapat pada strata II sebesar Rp. 24.142.500,00 per tahun tanpa suku bunga dan dengan suku bunga yang berlaku dari Bank Indonesia pada saat penelitiaan sebesar 6,5% (NPV) bernilai Rp. 14.134.803,00 per tahun. Nilai pendapatan terendah (PV bersih) tanpa suku bunga terdapat pada strata III sebesar Rp. 8.748.750,00 per tahun sedangkan dengan suku bunga (NPV) bernilai Rp. 3.985.918,00 per tahun. Data tabel di atas telah dihitung cash balance dikalikan dengan discount rate, didapat untuk setiap strata nilai NPV positif dimana BCR>1 dan IRR> suku bunga yang berlaku saat penelitian. Perhitungan aliran kas ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10, 11 dan 12. Tabel 13 Analisis finansial hutan rakyat Desa Babakanreuma berdasarkan strata Strata Analisis Finansial Status NPV BCR IRR (%) I (<0,35 Ha) 6.378.880 1,37 20,59 Layak II (0,35 Ha - 0,63 Ha) 14.134.803 1,43 20,86 Layak III (>0,63 Ha) 3.985.918 1,06 14,69 Layak Rata-rata 8.166.534 1,29 18,71 Layak Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa nilai NPV, BCR dan IRR pada strata III nilai kelayakan semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan pendapatan dengan periode investasi 14 tahun belum memperlihatkan hasil yang optimal. Karena semakin luas lahan kepemilikan maka biaya yang harus dikeluarkan juga akan semakin besar. Selain itu jika dilihat dari rata-rata luas lahan dan jumlah tegakan sisa tiap strata maka diperoleh perkiraan (rata-rata) jarak tanam strata I, II dan III yaitu : 7 m x 7 m ; 8 m x 8 m dan 10 m x 10 m sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin renggang jarak tanam antar strata maka nilai NPV, BCR dan IRR akan semakin berkurang. Berdasarkan analisis

41 pertambahan nilai (incremental analysis) dengan menghitung nilai BCR dimana ditiap strata tidak memiliki kesamaan dalam manfaat maupun biaya (input dan output berbeda), maka ketiga strata hutan rakyat yang terdapat di Desa Babakanreuma ini cukup layak untuk dikelola.