1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap pasangan (suami-istri) yang telah menikah, pasti berkeinginan untuk mempunyai anak. Keinginan tersebut merupakan naluri manusiawi dan sangat alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan tersebut mempunyai makna yang dalam, betapa tidak, khusus bagi penganut Islam anak merupakan suatu anugerah dari Allah karena dari anak itulah orang tua mendapat berkah dan sebaliknya dari anak itu juga bisa menjerumuskan orang tua ke dalam api neraka apabila tidak bisa mendidiknya. Kehadiran anak dalam sebuah keluarga dapat mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi keluarga. Namun keinginan itu terbentur pada takdir Ilahi. Keinginan untuk mempunyai anak tidak dapat tercapai. Dalam penyelesaian masalah ini pasangan suami-istri banyak yang melakukan pengangkatan anak yang bertujuan untuk melanjutkan keturunannya. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga yang bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anakpun. Dengan mengangkat anak diharapkan supaya ada yang mengurus, menjaga dan memelihara di hari tua, untuk mengurus harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya.
2 Perbuatan pengangkatan anak bukanlah perbuatan yang terjadi begitu saja, seperti halnya penyerahan barang, melainkan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak tersebut. Pasal 12 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan jelas menyatakan bahwa satu-satunya tujuan pengangkatan anak yang diperbolehkan adalah mengutamakan kepentingan anak. Apabila dilihat dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat keanekaragaman alasan yang dilakukan sehubungan dengan pengangkatan anak ini. Alasan pengangkatan anak menurut Stb. 1917 Nomor 129 adalah sebagai berikut: 1. Untuk meneruskan keturunan. 2. Alasan yang melatarbelakangi suatu kepercayaan bahwa setelah melakukan pengangkatan anak nantinya akan mendapatkan keturunan. Sementara menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110 tahun 2009, Persyaratan Pengangkatan Anak sebagai berikut: 1 (1) Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundangundangan. 1 Pasal 3, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor. 110 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
3 (2) Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan ini ditujukan sebagai acuan bagi masyarakat dalam melaksanakan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah diperbolehkan asalkan dilakukan menurut dasardasar hukum Islam dan ditujukan bagi kesejahteraan calon anak angkat yang akan dipelihara. Pengangkatan anak dalam Islam lebih diutamakan dalam fungsi sosial dan tidak dititikberatkan pada persoalan hukum. Dengan demikian tindakan pengangkatan anak tidak menimbulkan akibat hukum berupa perubahan dan peralihan kedudukan antara anak angkat dan orang tua angkat. Di dalam Hukum Kewarisan Perdata yang berlaku di Indonesia, salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status (kedudukan) anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Namun menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok yang menyebabkan kewarisan dalam Hukum Kewarisan Islam adalah empat hal berikut ini: 2 1. Hubungan kerabat atau nasab, seperti ayah ibu, anak, cucu, saudara-saudara kandung, seayah, seibu dan sebagainya. 2 Ahmad Azhar Basyir, 2001, Hukum Waris Islam Edisi Revisi, UII press, Yogyakarta, hlm. 19
4 2. Hubungan perkawinan, yaitu suami atau istri, meskipun belum pernah berkumpul atau telah bercerai, tetapi masih dalam masa iddah talak raj i 3. Hubungan walak yaitu hubungan antara bekas budak dan orang yang memerdekakannya apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan. 4. Tujuan Islam (ijtahul Islam), yaitu baitul mal (perbendaharaan Negara) yang menampung harta warisan orang yang tidak meinggalkan ahli waris sama sekali dengan sebab tertentu di atas. Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah di kemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat. Sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian Wasiat Wajibah sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya. Hal ini diatur di Pasal 209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya. 3 Dalam kasus yang terjadi di pengadilan agama, masalah wasiat wajibah biasanya masuk dalam sengketa waris. Misalnya orang tua angkat, yang karena 3 Pasal 209 ayat (2), Kompilasi Hukum Islam.
5 kasih sayangnya kepada anak angkatnya lalu berwasiat dengan menyerahkan dan mengatasnamakan seluruh harta kekayaan kepada anak angkatnya. Dikarenakan orang tua kandung dan saudara kandung merasa berhak atas harta almarhum atau almarhumah yang hanya meninggalkan anak angkat saja, mereka mengajukan gugatan waris. Dalam kasus ini umumnya wasiat dibatalkan oleh pengadilan agama dan hanya diberlakukan paling banyak 1/3 (sepertiga) saja. Selebihnya dibagikan kepada ahli waris. 4 Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara. Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-islam, karena berbeda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan disebabkan terhalang oleh keberadaan paman mereka, anak angkat tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan keberadaannya sangat berarti bagi si mayit. 5 Di dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2), Kompilasi Hukum Islam, istilah wasiat wajibah disebutkan sebagai berikut: 6 1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. 2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. 4 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit, hlm. 78. 5 Ibid, hlm. 79. 6 Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2), Kompilasi Hukum Islam.
6 Ketentuan Pasal 209 merupakan suatu gagasan baru, yang didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa pegangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal itu tidak dengan sendirinya terjadi hubungan hukum (saling mewarisi) antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak yang diangkat tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. 7 Permasalahan yang menjadi kajian dalam putusan Mahkamah Agung nomor 677 K/AG/2009 adalah bahwa anak angkat (alm) R. Achmad Sarbini bin Abdul Rojak dengan (alm) R. Hj. Nana Djuhana dimasukkan sebagai pihak tergugat (Dra.Nina Indratna binti H. ATJE). Hal tersebut disebabkan karena keseluruhan harta kekayaan peninggalan orang tua angkatnya yaitu (alm) R. Achmad Sarbini bin Abdul Rojak dengan (alm) R. Hj. Nana Djuhana sampai dengan gugatan diajukan berada dalam penguasaan tergugat, sebagai anak angkat. Keseluruhan harta kekayaan peninggalan almarhum R. Achmad Sarbini, termasuk juga sahamsaham sebagaimana diuraikan dalam posita gugatan, semenjak meninggalnya almarhum R. Achmad Sarbini bin Abdul Rojak, pada tahun 1992 dan istrinya pada tahun 1998 sampai sekarang berada dalam penguasaan tergugat, sebagai anak angkat. Almarhum R. Achmad Sarbini bin Abdul Rojak, semasa hidupnya pernah membuat surat wasiat tertanggal 18 Maret 1992 dihadapan Irene Ratnaningsih Handoko, SH., Notaris dan PPAT di Bandung dengan Nomor 9 dengan menunjuk 7 Cik Hasan Bisri, 1999, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 14.
7 istrinya sebagai pelaksana wasiat, hal serupa juga dilakukan oleh istriya (alm) R. Nana Djuhana pada tanggal 26 Desember 1995 dihadapan DR. Wiratni Ahmadi, SH., Notaris dan PPAT di Bandung nomor 201 dengan menunjuk Dra. Nina Indratna/tergugat sebagai pelaksana wasiat. Para penggugat menilai wasiat tersebut merugikan para penggugat, oleh karena bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam yang berlaku (Kompilasi Hukum Islam). Hal itu dikarenakan wasiat dilakukan tanpa persetujuan semua ahli waris, oleh karena itu wasiat tersebut harus batal demi hukum atau dibatalkan atau setidak-tidaknya harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 menyatakan tidak sah hibah wasiat yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat dan menyatakan akta wasiat tidak berkekuatan hukum. Permasalahan pengangkatan anak dan pemberian wasiat kepada anak angkat dalam kasus di atas menarik bagi penulis untuk membahasnya. Oleh karena itu kasus di atas akan diteliti dalam bentuk tesis dengan judul PEMBATALAN WASIAT BAGI ANAK ANGKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP AHLI WARIS LAIN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009). B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah yang hendak dijadikan bahan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa hakim membatalkan wasiat terhadap anak angkat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009?
8 2. Bagaimana putusan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam Hukum Waris Islam? C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis di perpustakaan, penulis menemukan beberapa penelitian tentang wasiat antara lain dengan judul : 1. Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 338 K/AG/2009) oleh Fitri Susanti, tahun 2012 Rumusan Masalah: a. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum Kewarisan Islam? b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 338 K/AG/2009? Hasil penelitian: Dalam hukum kewarisan Islam seorang anak angkat tidak berhak mewaris dari orangtua angkatnya karena anak angkat tidak mempunyai hubungan nasab dengan orangtua angkatnya. 8 Anak angkat hanya berhak memperoleh wasiat wajibah. Wasiat wajibah terebut sebanyak-banyaknya 1/3 bagian dari harta peninggalan orangtua angkatnya, seperti tercantum dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam.Yang kedua, Dasar pertimbangan hakim 8 Fitri Susanti, 2012, Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 338 K/AG/2009), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. Intisari
9 Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 338 K/AG/2009 yang memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat sebesar 1/8 bagian adalah demi rasa keadilan dan kemaslahatan dikarenakan istri pewaris dalam ketentuan Hukum Kewarisan Islam hanya mendapatkan bagian 1/8 dari harta peninggalan, sementara wasiat wajibah kepada anak angkat adalah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian. Hal ini dirasa tidak adil oleh Mahkamah Agung karena istri mempunyai ikatan pernikahan dengan pewaris, sedangkan anak angkat tidak mempunyai hubungan nasab dengan pewaris. Dikarenakan Mahkamah Agung memutuskan wasiat wajibah disamakan dengan bagian yang diterima oleh istri pewaris, sehingga terjadilah radd yang harus dibagikan kepada semua ahli waris. Setelah radd dibagikan hak waris istri menjadi 7 bagian sementara wasiat wajibah kepada anak angkat sebesar 6 bagian. Keputusan ini sudah adil karena hak waris istri lebih besar dari wasiat wajibah yang diterima oleh anak angkat, dan keputusan ini telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku bahwa wasiat wajibah tidak boleh melebihi bagian yang diterima oleh ahli waris. 9 2. Pembatalan Akta Hibah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 233/K/AG/2007) oleh Eka Tentriabeng Prihasyanti, tahun 2012. Rumusan Masalah: a. Bagaimana status hak kepemilikan terhadap harta yang dihibahkan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 233 K/AG/2007? 9 Ibid.
10 b. Tepatkah pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan akta Hibah dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 233 K/AG/2007? Hasil penelitian: Status kepemilikan akan beralih kembali kepada Penggugat. Putusan Kasasi sudah tepat, meskipun hakim mengabaikan unsur yuridis (kepastian hukum), namun hakim lebih menekankan pada unsur sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan). 10 Adapun perbedaan dari tesis di atas dengan tesis yang disusun oleh penulis adalah bahwa tesis yang penulis susun mengkaji tentang mengapa hakim membatalkan wasiat terhadap anak angkat dalam putusan Mahkamah Agung nomor 677 K/AG/2009 dan bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam hukum waris Islam. Perbedaan antara peneliti terdahulu dengan penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai rumusan masalah yang akan diteliti. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian tentang Pembatalan Wasiat Bagi Anak Angkat Dan Akibat Hukumnya Terhadap Ahli Waris Lain (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009), belum pernah menjadi bahan penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis adalah asli, baik dalam lingkup perpustakaan Program Pasca Sarjana 10 Eka Tentriabeng Prihasyanti, 2012, Pembatalan Akta Hibah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 233/K/AG/2007), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Uniersitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. Intisari.
11 Universitas Gadjah Mada, maupun lingkup perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Tujuan Penelitian Mengacu kepada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim membatalkan wasiat terhadap anak angkat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009. 2. Untuk mengetahui putusan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/AG/2009 ditinjau dari asas keadilan berimbang dalam Hukum Waris Islam. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan bisa sebagai bahan masukan dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara umumnya dan ilmu pengetahuan hukum kewarisan secara khususnya. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para pihak seperti hakim dan juga bagi para ahli waris serta pihak yang terkait nantinya dalam hal menghadapi permasalahan yang ada hubungannya dengan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para ahli waris.