EVALUASI HASIL-HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PADA AYAM BURAS

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU

AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

KAJIAN EFEKTIVITAS PELATIHAN TEKNOLOGI USAHA AYAM HIBRIDA BAGI PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN PETANI

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

RANGKUMAN HASIL PENGKAJIAN AYAM BURAS DI KABUPATEN BENGKULU UTARA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan

PROFIL USAHATANI UNGGAS DI KABUPATEN BREBES (STUDI KASUS)

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Sutrisno Hadi Purnomo*, Zaini Rohmad**

OPTIMALISASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TERNAK AYAM LOKAL PENGHASIL DAGING DAN TELUR

TEKNOLOGI BUDIDAYA ITIK DI LAHAN PEKARANGAN Oleh Ermidias Penyuluh Pertanian Madya I.PENDAHULUAN

Lokakarya Fungsional Non Peneiti 1997 Sistem Perkandangan 1. Dari umur sehari sampai dengan umur 2 mingggu digunakan kandang triplek + kawat ukuran 1

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN

Nama : MILA SILFIA NIM : Kelas : S1-SI 08

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

PEMANFAATAN LIMBAH RESTORAN UNTUK RANSUM AYAM BURAS

PERKEMBANGAN AYAM KUB pada Visitor Plot Aneka Ternak BPTP NTB. Totok B Julianto dan Sasongko W R

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

lebih dari 219 juta ekor (1992) dan merupakan 63,79% dari jumlah semua unggas yang dibudidayakan di Indonesia secara nasional dengan kontribusi daging

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

KERAGAAN PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL DITINGKAT PETERNAK DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM MENDUKUNG KECUKUPAN PANGAN HEWANI

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

PRODUKTIVITAS ITIK TEGAL DI DAERAH SENTRA PENGEMBANGAN PADA PEMELIHARAAN INTENSIF

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

Penyiapan Mesin Tetas

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN DENGAN AYAM BURAS BETINA UNTUK MENINGKATKAN AYAM BURAS PEDAGING

PENGEMBANGAN AYAM NUNUKAN DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN TIMUR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

PENGKAJIAN PEMANFAATAN TEPUNG DAUN PISANG TERHADAP PERFORMAN AYAM BURAS DI JAYAPURA

I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BALI DENGAN POLA SELEKSI PRODUKSI

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

JURNAL INFO ISSN :

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

Karya Ilmiah Bisnis ayam jawa super online

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM

PENGEMBANGAN AYAM LOKAL DAN PERMASALAHANNYA DI LAPANGAN

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

POTENSI LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN AYAM

BAB III MATERI DAN METODE. 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 Januari 2017 di kandang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam. meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BISNIS PETERNAKAN BEBEK

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan budidaya ayam arab di Indonesia semakin pesat hal ini

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT menciptakan alam semesta dengan sebaik-baik ciptaan. Langit

ADAPTASI TEKNOLOGI BUDIDAYA AYAM BURAS DI LAMPUNG

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENDAPATAN DAN KEUNTUNGAN INVESTASI USAHA TERNAK Deskripsi Organisasi Produksi Usaha Ternak Ayam Buras Petelur Kelompok Hidayah Alam

Itik Petelur - Itik Indian Runner (Malaysia dan Cina) - Itik Khaki Cambell (Inggris) - Itik lokal tersebar di Indonesia (Itik Cirebon, Itik Tegal, Iti

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

Kisi-Kisi Uji Kompetensi Awal Program Studi Keahlian Agribisnis Produksi Ternak

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Rodalon

TUGAS KARYA ILMIAH LINGKUNGAN BISNIS Peluang Bisnis Ayam Ras

Transkripsi:

EVALUASI HASIL-HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PADA AYAM BURAS MURYANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Telah dilakukan evaluasi terhadap hasil-hasil penelitian dan pengembangan ayam buras. Pembahasan makalah dilakukan dengan mengevaluasi upaya-upaya penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan mulai dari peningkatan produktivitas ayam buras melalui peningkatan sistem pemeliharaan ayam buras dari tradisional, ke semi intensif dan intensif. Evaluasi lebih dalam terhadap perubahan sistem pemeliharaaan ini difokuskan pada tujuan usaha pemeliharaan ayam buras yaitu untuk memproduksi telur konsumsi, telur tetas, anak ayam dan ayam siap potong. Pembahasan dilanjutkan dengan menganalisis hasil-hasil penelitian ditinjau dari aspek perbibitan yang didalamnya terkait dengan informasi produktivitas, perkandangan, pakan, pencatatan data dan seleksi, teknik perkawinan dan persilangan. Pada akhir makalah ini dibahas permasalahan usaha ayam buras saat ini di tingkat petani. Analisis dalam mengevaluasi hasil penelitian dan pengembangan ayam buras dilakukan secara deskriptif. Dari evaluasi ini diperoleh informasi bahwa penelitian dan pengembangan ayam buras khususnya pada aspek produksi meliputi bibit, pakan dan manajemen sudah banyak dilakukan, sedang pada aspek sosial-ekonomi/kelembagaan belum banyak dilakukan. Demikian juga dengan upaya pengembangan ayam buras dalam bentuk kebijakan publik di lapangan sudah banyak dilakukan, mulai dari program INTAB, JPS, program bantuan dari BUMN, program perbibitan sampai pada kebijakan paling baru yaitu program penanggulangan penyakit Flu Burung dan lain-lain. Upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu merubah peran ayam buras sebagai suatu komoditas yang dapat menyumbangkan pendapatan bagi keluarga petani secara kontinyu. Beberapa hasil survei terbaru menyebutkan bahwa peran ayam buras saat ini masih sebagai penyangga kebutuhan ekonomi keluarga yang dijual apabila petani membutuhkan uang tunai, pemeliharaannyapun pada umumnya masih seadanya. Oleh karena itu disarankan beberapa alternatif dalam rangka mengembangkan ayam buras diantaranya: (1) segera dilakukan penanganan kasus-kasus penyakit seperti Flu Burung dan tetelo secara intensif, (2) membangun perbibitan ayam buras yang ditangani oleh pemerintah daerah setempat, (3) mengembangkan ayam buras di tingkat petani/kelompok tani dengan pendampingan baik teknologi maupun kebijakan serta didukung dengan permodalan dengan bantuan subsidi bunga dan sejenisnya, (4) penelitian dan pengembangan diprioritaskan pada aspek sosial-ekonomi/kelembagaan, artinya hasil penelitian dari aspek produksi (bibit, pakan dan manajemen) ditindaklanjuti dengan penelitian pengembangan sosial-ekonomi/kelembagaan di tingkat petani. Pengembangan selanjutnya diselaraskan dengan kebijakan pengembangan ayam buras dari pemerintah daerah setempat sehingga terjadi kerjasama yang saling mendukung dalam pengembangan ayam buras. Kata kunci: Ayam buras, evaluasi, penelitian dan pengembangan PENDAHULUAN Ayam buras sudah sejak lama diketahui mempunyai eksistensi yang berarti bagi kehidupan masyarakat petani di perdesaan. Sebagai jenis peternakan rakyat yang banyak dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh keterbatasan, meskipun peningkatan populasinya relatif paling kecil di Jawa Tengah (1,34% per tahun) dibandingkan jenis unggas lainnya (itik 3,26%, burung puyuh 20,78%, ayam ras layer 3,24% dan ayam broiler 35,88% per tahun (KANWIL DEPTAN JATENG, 1994), akan tetapi potensi populasinya dan sumbangan terhadap petani pemeliharanya sebesar 60% (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1979) yang pemilikannya tersebar di perdesaan. Besarnya populasi ayam buras tersebut apabila diupayakan peningkatan produktivitasnya, akan menjadi aset nasional yang tinggi nilainya. Lebih lanjut pada pemeliharaan di tingkat petani dengan sentuhan input teknologi tepat guna diikuti perbaikan manajemen pemeliharaannya akan memberikan nilai tambah yang cukup berarti dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional. MANSJOER (1989) melaporkan bahwa 238

sumbangan ayam buras terhadap produksi daging nasional sebesar 28%, sedangkan sumbangan terhadap produksi telur nasional sebesar 11,5%. Kelemahan yang dimiliki ayam buras adalah laju reproduksi dan pertumbuhannya lambat. Laju reproduksi yang lambat ditunjukkan dengan produksi telur yang rendah dan mempunyai sifat mengeram, sehingga membutuhkan waktu untuk bertelur kembali. Produksi telur ayam kampung yang dipelihara secara tradisional hanya 45 butir/ekor/tahun atau setara dengan 12,5% per hari (SIREGAR dan SABRANI, 1972). MURYANTO dan SUBIHARTA (1993) melaporkan bahwa untuk memproduksi 38 butir telur dibutuhkan waktu 210 hari, dengan rincian 38 hari untuk berproduksi, 68 hari mengeram dan 104 hari istirahat bertelur. Disamping itu masih terdapat kendala yaitu, sistem pemeliharaan di tingkat petani yang masih tradisional (seadanya) dengan pemilikan ayam yang rendah. Pemeliharaan yang demikian menyebabkan perhatian petani terhadap ayam yang dipelihara sangat kurang. Hal ini dapat dibuktikan, dengan adanya kematian ayam yang tinggi, petani tidak merasa rugi atau diangap hal yang biasa. Dari berbagai informasi pengamatan di lapangan bahwa biasanya penyakit yang sering menyerang dan menimbulkan kematian tinggi adalah tetelo (New Castle Desease/NCD). Hal ini terjadi karena peternak tidak melakukan vaksinasi pada ayamnya. Saat ini, penyakit yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar bukan hanya tetelo, tetapi penyakit gumboro dan Flu Burung. Dalam rangka meningkatkan produktivitas ayam buras, telah banyak dilakukan upayaupaya melalui penelitian-penelitian dan pengembangan mulai dari tingkat laboratorium sampai tingkat petani. Upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu merubah peran ayam buras sebagai suatu komoditas yang dapat menyumbangkan pendapatan bagi keluarga petani secara kontinyu. Beberapa hasil survei terbaru menyebutkan bahwa peran ayam buras saat ini masih sebagai penyangga kebutuhan ekonomi keluarga yang dijual apabila petani membutuhkan uang tunai, pemeliharaannyapun pada umumnya masih bersifat tradisional/ seadanya. Makalah ini membahas hasil-hasil penelitian dan pengembangan ayam buras dan beberapa kebijakan yang telah diprogramkan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan peran ayam buras sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga yang berkelanjutan. Dari evaluasi ini disarankan beberapa alternatif dalam rangka meningkatkan produktivitas dan peran ayam buras sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga petani yang dapat berkelanjutan. METODOLOGI Pembahasan makalah dilakukan dengan mengevaluasi upaya-upaya penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan mulai dari peningkatan produktivitas ayam buras melalui peningkatan sistem pemeliharaan ayam buras dari tradisional, ke semi intensif dan intensif. Evaluasi lebih dalam terhadap perubahan sistem pemeliharaaan ini difokuskan pada tujuan usaha pemeliharaan ayam buras yaitu untuk memproduksi telur konsumsi, telur tetas, anak ayam dan ayam siap potong. Pembahasan dilanjutkan dengan menganalisis hasil-hasil penelitian ditinjau dari aspek perbibitan yang didalamnya terkait dengan informasi produktivitas, perkandangan, pakan, pencatatan data dan seleksi, teknik perkawinan dan persilangan. Pada akhir makalah ini dibahas permasalahan usaha ayam buras saat ini di tingkat petani, kaitannya dengan upaya-upaya penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan, serta memberikan saran guna meningkatkan produktivitas ayam buras yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani. Secara keseluruhan analisis dalam mengevaluasi hasil penelitian dan pengembangan ayam buras dilakukan secara deskriptif. PEMBAHASAN Evaluasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan ayam buras diawali dengan membahas produktivitas ayam buras melalui peningkatan sistem pemeliharaan ayam buras dari tradisional, ke semi intensif dan intensif. Selanjutnya membahas hasil penelitian ditinjau dari aspek perbibitan dan terakhir membahas permasalahan pengembangan ayam buras saat ini dan memberikan alternatif pemecahannya. 239

Sistem pemeliharaan ayam buras Menyadari peran ayam buras sebagai komoditas yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan petani di perdesaan, maka pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan peran ayam buras bagi keluarga tani melalui program intensifikasi, yang dikenal sebagai program INTAB (Intensifikasi Ayam Buras). Program ini dilaksanakan melalui pendekatan kelompok tani dengan menerapkan. Sapta Usaha meliputi teknologi bibit, pakan, kandang, kesehatan, manajemen, pasca panen dan pemasarannya. Upaya pengembangan kelembagaan petani (kelompok-kelompok tani) merupakan strategi dalam pembangunan sub-sektor peternakan. Namun demikian dalam perjalannya pelaksanaan program INTAB tersebut belum sesuai dengan harapan. Dalam hal sistem pemeliharaannya, telah ditunjukkan adanya perkembangan yang dicirikan dengan adanya perubahan sistem pemeliharaan dari cara-cara tradisional menjadi semi intensif dan bahkan sudah ada yang melaksanakan secara intensif. Perubahan sistem pemeliharaan tersebut mampu meningkatkan produksi telur dan pertumbuhan ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan sistem semi intensif pada kandang umbaran terbatas produksi telurnya 18,4% hen day, sedang pada pemeliharaan intensif pada kandang batere produksi telurnya dapat mencapai 34,8% hen day (MURYANTO et al. 1994; MURYANTO et al. 1995c). Pada pemeliharaan tradisional produksi telurnya hanya 12% Berkembangnya sistem pemeliharaaan tersebut berdampak positip terhadap tujuan pemeliharaan yang mengarah pada spesialisasi usaha untuk memproduksi telur konsumsi, telur tetas, anak ayam dan ayam siap potong (penggemukan). Pemeliharaan sistem semi intensif dilakukan dengan menambah input produksi berupa pakan secara terbatas dan pemeliharaan pada kandang umbaran terbatas. Sistem semi intensif digunakan untuk tujuan produksi daging dan produksi telur tetas atau anak ayam bila dilengkapi dengan penetasan, sedang pada sistem intensif dikhususkan untuk memproduksi telur konsumsi. Sistem pemeliharaan untuk memproduksi telur (konsumsi) Sistem pemeliharaaan untuk memproduksi telur konsumsi merupakan implementasi dari pemeliharaan ayam buras sistem intensif. Pada sistem ini ayam dipelihara pada kandang batere individu, sehingga produksi telur masingmasing ayam dapat diketahui. Pakan merupakan faktor yang sangat menentukan keberlanjutan usaha ayam buras untuk tujuan produksi telur (konsumsi) dan secara ekonomis akan menentukan untung-ruginya usaha tersebut. Peternak dalam memberikan pakan pada ayamnya berupa susunan/campuran yang terdiri dari bahan pakan diantaranya: bekatul, jagung giling, konsentrat petelur, tepung ikan, mineral, vitamin dan hijauan. Namun persentase bahan pakan tersebut seperti yang dilaporkan oleh MURYANTO et al., (1995a) yang mengamati usaha pemeliharaan ayam buras di Jawa Tengah, sangat bervariasi baik antar kelompok tani ternak buras maupun antar peternak dalam kelompok. Dilaporkan juga bahwa bahan yang banyak digunakan adalah bekatul (50-62,5%), jagung (18-35%) dan konsentrat (7,5-20%). Besarnya persentase bahan-bahan tesebut akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pakan atau kandungan gizi pakan. Sehingga apabila terjadi perubahan bahan pakannya, maka secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Sebagai gambaran dicontohkan beberapa susunan pakan yang banyak digunakan oleh anggota kelompok tani ternak ayam buras di Jawa Tengah (Tabel 1). Pakan tersebut berdasarkan analisis kimia diketahui mempunyai kandungan protein antara 13-16% dan energi 2200-2400 kkal. Dengan pakan tersebut produksi telur rata-rata berkisar antara 30-40% (hen day; Tabel 1). Namun demikian pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perlu diperhatikan kualitas bahan penyusunnya dan teknik pencampurannya. Penurunan kualitas salah satu bahan pakan misalnya bekatul karena dicampur dengan serbuk gergaji atau tepung ikan dicampur dengan tepung tulang atau bahan lain, dapat menurunkan produksi telur 10-20% bahkan lebih. 240

Tabel 1. Beberapa contoh susunan pakan ayam buras untuk tujuan produksi telur konsumsi Uraian R1 R2 R3 R4 R5 Bahan: Bekatul 50 62,5 62,5 50 53 Jagung giling 30 25 25 35 18 Konsentrat 20 7,5 7,5 12,5 9 Ece/grit 2 2 2 2,4 Tepung ikan 2 1,9 8 CaCO 3 (kapur) 0,5 0,5 0,5 Top mix 0,5 0,6 0,5 8 Mineral *) 1,6 Hijauan *) 0,5 *) Kandungan gizi: Protein kasar (%) 16,00 14,00 15,16 15,63 13,60 Energi met. (kkal) 2.400 2.324 2.300 2.230 2.200 Calsium 2,9 2,4 3,4 Phospor 0,9 0,9 Keterangan: 1 = DIRDJOPRATONO et al. (1995) 2 dan 3 = MURYANTO et al. (1996) 4 = KTT-AB GEMAH RIPAH TEMANGGUNG (1994b) 5 = KTT-AB KARYA MAKMUR PEMALANG (1994) *) = Kadang-kadang diberikan Secara sederhana kualitas bahan pakan dapat diketahui dengan menelusuri asalnya atau sumber dan proses pembuatannya. Faktor lain dalam aspek pakan yang dapat merugikan atau sulit dikontrol oleh peternak adalah fluktuasi harga bahan dan kontinuitas pengadaan bahan pakan. Kedua faktor ini saling terkait, bila bahan pakan sedikit tersedia di pasaran sedang permintaannya banyak, maka harga bahan tersebut menjadi mahal. Hampir semua bahan pakan harganya semakin tinggi, namun khusus bekatul, jagung dan konsentrat persentase peningkatan harganya cukup tinggi. Masalah yang muncul adalah tidak seimbangnya kenaikan harga bahan pakan dibandingkan dengan kenaikan harga telur ayam, sehingga peternak mengalami kerugian. Upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyediakan beberapa alternatif pakan dengan susunan yang berbeda namun kualitasnya hampir sama. Beberapa susunan bahan pakan seperti pada Tabel 1, dapat dijadikan sebagai alternatif apabila terjadi kenaikan harga katul, jagung giling dan konsentrat. Disamping itu untuk mengatasi perubahan harga bahan pakan dapat dicari bahan-bahan lain yang dapat menggantikan salah satu bahan penyusun pakan seperti yang dilaporkan DIRDJOPRATONO et al. (1992), bahwa sorgum putih dapat menggantikan jagung hingga 30% tanpa mempengaruhi produksinya, hanya indeks warna kuning telur nilainya menurun. Hasil pengamatan pada dua Kelompok Tani Ternak Ayam Buras (KTT-AB) di Kabupaten Purbalingga dan Temanggung menunjukkan bahwa usaha memproduksi telur konsumsi merupakan usaha yang paling banyak diminati peternak. Hal ini disebabkan karena pendapatan peternak dapat diperoleh setiap hari, sehingga biaya produksi khususnya untuk pakan dan obat-obatan dapat dipenuhi dari penjualan telur yang diproduksi. Dari 2 KTT- AB yang diamati hampir semua peternaknya (95%) memelihara ayam buras dengan tujuan memproduksi telur konsumsi (MURYANTO et al., 1998). Teknologi yang dimanfaatkan dan sangat berpengaruh terhadap usaha pemeliharaan ayam buras ini diantaranya perkandangan, pakan disamping manajemen pencegahan penyakit. Kandang yang digunakan dalam pemeliharaan ayam buras untuk tujuan memproduksi telur konsumsi adalah kandang batere individu dengan ukuran 20 x 20 x 40 cm 241

dengan posisi lantai miring agar telur yang diproduksi dapat keluar dari kandang. Disamping itu, peternak juga menerapkan teknologi mengurangi lama mengeram dengan memandikan ayam yang sedang mengeram dan mencampur dengan pejantan. Teknologi ini telah dilaporkan oleh MURYANTO dan SUBIHARTA (1992) yang ternyata mampu meningkatkan produksi telur. Teknologi seleksi sederhana juga dilakukan dengan mengeluarkan ayam-ayam yang produksinya rendah dan diganti dengan ayam baru yang diperkirakan mempunyai produksi tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata produksi telur ayam buras 35% + 4,5% dengan bobot telur rata-rata 36,9 g/butir, data selengkapnya disajikan pada (Tabel 2). Produksi ini hampir sama dengan laporan MURYANTO et al. (1995b) yaitu 33,9% yang memberikan pakan dengan kandungan protein 13,6% dan energi 2300 kkal, sedangkan YUWONO et al. (1995) melaporkan bahwa dengan susunan pakan yang mengandung protein 14-16% dan energi 2.400-2.700 kkal, produksi telurnya berkisar antara 33-39,8%. Tabel 2. Produksi telur konsumsi pada ayam buras No. Parameter Uraian 1. Jumlah peternak (orang) 22 2. Jumlah ayam/peternak (ekor) 100 3. Produksi telur/100 e/bl/ (btr) 1050,0 + 32,2 4. Produksi telur/100 e/hr/ (btr) 35,5 + 2,5 5. Produksi telur hen day (%) 35,0 + 2,5 6. Bobot telur/btr (g) 37,9 + 2,5 7. Konsumsi pakan/e/hr/ (kg) 0,1 Sumber: MURYANTO et al. (1995b) Pemeliharaan ayam buras untuk memproduksi telur tetas Usaha ayam buras untuk memproduksi telur tetas menggunakan teknologi pakan, perkandangan, manajemen dan seleksi yang sama dengan usaha pemeliharaan ayam buras untuk tujuan produksi telur konsumsi. Perbedaannya pada usaha ayam buras untuk tujuan memproduksi telur tetas adalah dengan memanfatkan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Teknologi IB ini telah disederhanakan agar peternak dapat melaksanakannya dengan baik. Bahan dan alat yang digunakan mudah didapat dan relatif murah harganya, disamping itu alat-alat yang digunakan tersebut dapat dimodifikasi dengan menggunakan alat yang ada di sekitar peternak. Teknologi IB yang diterapkan adalah IB secara langsung, artinya semen tidak diawetkan tetapi langsung digunakan. Pengencer yang digunakan adalah NaCl fisiologi 0,9% dengan derajat pengenceran 1:6. Setiap induk diinseminasi dengan 0,1 0,2 ml semen yang telah diencerkan sebelumnya. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata fertilitas telur hasil IB mencapai 70 80%. Keberhasilan IB dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: (1) kualitas sperma, (2) ketrampilan petugas/inseminator dan (3) kesiapan ayam. Kualitas sperma dapat diketahui dengan menggunakan mikroskop, apakah sperma normal, hidup dan sebagainya. Sperma yang tidak baik apabila diinseminasikan maka akan menghasilkan fertilitas telur yang rendah. Ketrampilan dalam menginseminasi dilakukan dengan berlatih secara kontinyu. Pejantan yang akan diambil spermanya dan induk yang akan diinseminasi sudah dilatih terlebih dahulu, untuk pejantan biasanya membutuhkan waktu 7 hari, sedangkan untuk induk bisa 1 2 hari. Induk yang akan diinseminasi harus sedang bertelur, sebab apabila tidak bertelur maka sperma yang diinseminasi sia-sia karena tidak membuahi telur. Jadi fertilitas telur masih dapat ditingkatkan apabila ketiga faktor tersebut dipenuhi. Penerapan teknologi IB menghasilkan telur fertil/tetas yang harganya lebih tinggi dibandingkan telur konsumsi, sehingga pendapatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pemeliharaan ayam buras yang hanya memproduksi telur konsumsi. Disamping itu telur yang tidak fertil yang dihasilkan dengan teknologi IB masih dapat dimanfaatkan sebagai telur konsumsi dengan catatan bahwa pemeriksaan fertil tidaknya telur dilakukan maksimal umur 5 hari dalam mesin tetas, dengan demikian telur tersebut mempunyai nilai ekonomis. Berdasarkan analisis ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan yang didapat dari pemeliharaan 100 ekor ayam buras dengan introduksi teknologi IB meningkat 117,8% dibandingkan dengan tanpa IB. 242

Pemeliharaan ayam buras untuk memproduksi anak ayam Keuntungan yang diperoleh dari usaha pemelihraan ayam buras untuk memproduksi telur tetas masih dapat ditingkatkan lagi dengan memanfaatkan teknologi penetasan, sehingga hasil akhirnya adalah anak ayam umur sehari (Day Old Chick/DOC). Berdasarkan perhitungan ekonomi keuntungan pada pemeliharaan ini meningkat sebesar 81,4% dibandingkan dengan usaha memproduksi telur tetas. Peningkatan keuntungan ini cukup tinggi, hal ini disebabkan bila daya tetas telurnya tinggi 70-80%. Namun, sering dijumpai di lapangan bahwa daya tetas telur yang ditetaskan menggunakan mesin tetas rendah bahkan gagal. Hal ini disebabkan 3 faktor penting dalam proses penetasan kurang diperhatikan yaitu (1) kelembaban mesin (2) temperatur mesin dan (3) ketrampilan petugas. Beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam menetaskan telur diantaranya: (1) sumber panas/alat pemanas harus selalu tersedia dengan temperatur antara 101-105 o F (30-38 o C), (2) air sangat diperlukan, bersama dengan temperatur akan mengatur kelembaban mesin yaitu antara 60-70%. Selain itu, perlu diperhatikan lubang udara/ventilasi dapat berfungsi sebagai pengatur sirkulasi oksigen dan pemutaran telur harus dilakukan dengan benar. Periode kritis telur dalam mesin tetas adalah 3 hari setelah masuk mesin tetas dan 3 hari sebelum menetas (RASYAF, 1987). Masalah yang sering dijumpai pada penetasan dengan mesin tetas skala kecil (tradisional) adalah sulitnya mengatur/ mempertahankan kelembaban, sehingga sering dijumpai kematian embrio yang disebabkan oleh rendahnya kelembaban mesin. Oleh karena itu, disarankan agar memperluas atau mempersempit permukaan air yang digunakan dan menambah atau mengurangi lubang udara yang ada pada mesin tetas sehingga kelembaban yang optimal (60-70%) pada saat telur akan menetas dapat tercapai. Kegagalan penetasan dapat terjadi bila temperatur mesin menurun drastis, akibat dari matinya aliran listrik, sehingga untuk menghindari kejadian tersebut perlu merancang mesin tetas yang mempunyai dua sumber pemanas yaitu listrik dan lampu minyak (MURYANTO et.al. 1996b). Alat penetas telur lain yang digunakan dapat berupa induk ayam buras dan entog. Penggunaan entog sebagai penetas disarankan hanya dilakukan pada lokasi-lokasi yang sudah terbiasa menggunakannya, sebab apabila belum terbiasa dapat menyebabkan kematian embrio dan anak yang baru menetas (MURYANTO et al., 1995b). Sedangkan kapasitas optimalnya adalah 12 butir untuk induk ayam buras (SUBIHARTA et al., 1984), dan 19 butir untuk entog (MURYANTO et al., 1995b). Pada penetasan yang menggunakan ayam dan entog sebagai alat penetas disarankan untuk menggunakan sangkar yang berbentuk kerucut (40 x 40 x 20 cm), karena dapat menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sangkar bentuk kotak (SUBIHARTA et al., 1994). Pemeliharaan ayam buras untuk memproduksi ayam siap potong (penggemukan) Usaha penggemukan anak ayam jantan merupakan usaha ayam buras yang mempunyai propek positif. Laporan YUWONO et al., (1993) menyebutkan bahwa permintaan ayam buras muda terus meningkat dan permintaan tersebut sampai saat ini belum dapat dipenuhi. Survei di Solo (pasar Silir) dan Semarang (pasar Kobong) menunjukkan bahwa persentase ayam muda yang dipasarkan masing-masing 90% dan 70%, sedangkan kapasitas penjualan di dua pasar tersebut masing-masing 12.000 ekor dan 3.000 ekor per hari. Secara teknis faktor yang sangat berpengaruh terhadap usaha penggemukan adalah faktor pakan dan manajemen. JULL (1972) dan SIREGAR et al., (1980) menyatakan bahwa 50 60% biaya produksi didominasi oleh pakan. Faktor manajemen lebih menitik beratkan pada sistem perkandangan baik mengenai tipe kandang yaitu litter dan kandang bok serta kepadatan kandang yang akan berpengaruh terhadap tingkat kanibalisme ayam. SUBIHARTA et al., (1994) melaporkan bahwa penggemukan selama 6 minggu pada anak ayam buras umur 14 minggu dengan susunan pakan yang terdiri dari 60% konsentrat grower, 20% jagung dan 20% bekatul dikombinasikan dengan tingkat kepadatan 8, 243

10 dan 12 ekor per m 2, ternyata pertambahan bobot badan terbaik adalah 648,2 g/ekor pada kepadatan 8 ekor/m 2, sedangkan tingkat kepadatan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan namun berpengaruh nyata terhadap konsumsi dan konversi pakan. Masalah kanibalisme pada penggemukan ayam buras dapat diatasi dengan pemotongan paruh. MURYANTO et al. (1991) melaporkan bahwa dengan pemotongan paruh terdapat kecenderungan menurunkan kanibalisme, meningkatkan efisiensi pemeliharaan yang ditunjukkan dengan meningkatnya bobot badan dan menurunnya konversi pakan. PERBIBITAN Kualitas dan kelangkaan bibit ayam buras merupakan masalah yang berkali-kali disampaikan sebagai latar belakang atau alasan pentingnya dilakukan suatu penelitian dalam rangka meningkatkan baik kuantitas maupun kualitas bibit ayam buras. Namun sampai saat ini hasil-hasil penelitian yang sudah banyak tersebut belum dapat diadopsi oleh peternak. Hal ini diduga disebabkan karena pembibitan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi, sehingga sangat sedikit peternak yang melakukan usaha ini, kalaupun ada jumlah ayamnya terbatas dan banyak diantaranya hanya mencoba-coba. Pada umumnya peternak mengartikan bibit masih dalam arti kuantitas, belum banyak yang mempertimbangkan kualitas bibit yang dibutuhkan, padahal pengertian bibit untuk mendukung usaha ayam buras adalah meliputi keduanya baik kuantitas maupun kualitas. Upaya untuk meningkatkan kualitas bibit harus didukung dengan informasi produktivitas dari ayam buras. MURYANTO et al. (1998) melaporkan pengamatannya terhadap data performans ayam buras mulai dari telur sampai menjadi ayam yang berproduksi (Tabel 3). Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar sampai seberapa besar peningkatan produk-tivitas akibat hasil suatu perbibitan. Teknologi pendukung dalam perbibitan ayam buras ini adalah sebagai berikut: Perkandangan Seperti diketahui bahwa pemeliharaan ayam buras dewasa untuk memproduksi telur, sistem perkandangannya adalah umbaran terbatas dan batere individu. Ukuran kandang umbaran terbatas 4 x 4 x 2,5 m, dapat menampung 8-10 ekor ayam dewasa, ukuran dan kepadatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan. Untuk kandang batere ukurannya 25 x 40 x 40 cm/ekor, tinggi kandang + 1 m diatas permukaan tanah. Sistem perkandangan tersebut dijadikan pendekatan dalam upaya meningkatkan produksi telur tetas. Jadi upaya peningkatan produksi telur tetas melalui 2 pendekatan (MURYANTO et. al. 1996): 1. pemeliharaan pada kandang umbaran terbatas 2. pemeliharaan kandang batere individu Kedua pendekatan tersebut pada prinsipnya hampir sama, namun upaya peningkatan produksi telur tetas melalui pemeliharaan ayam buras pada kandang batere lebih baik. Hal ini disebabkan: data produksi lebih teliti (per individu), memungkinkan dilakukan inseminasi buatan (IB) tanpa mengganggu produksi dan bibit yang dihasilkan lebih baik kualitasnya, karena sudah diketahui produksi induk dan pejantannya melalui seleksi. Pakan Pakan ayam buras untuk perbibitan pada pengkajian ini dititikberatkan pada pakan induk dan pejantan. Susunan/kualitas pakan induk untuk menghasilkan telur tetas sama dengan pakan untuk menghasilkan telur konsumsi, sedangkan untuk pejantan pakannya juga sama namun ditambah dengan pakan tambahan berupa kuning telur (dari telur yang pecah) atau bahan pakan lain yang merupakan sumber vitamin maupun mineral guna lebih meningkatkan kualitas spermanya. 244

Tabel 3. Data performans produktivitas ayam buras Parameter Performans Bobot telur (gram) 40,73 + 12,10 Bobot tetas (gram) 30,78 + 3,14 Bobot umur 1 bulan (gram) 146,99 + 37,10 Konsumsi pakan 1 hari 1 bulan (gram) 592,92 + 230,84 Bobot umur 2 bulan (gram) 513,31 + 98,72 Konsumsi pakan 1 2 bulan (gram) 890,65 + 42,30 Bobot umur 3 bulan (grma) 809,21 + 162,19 Konsumsi pakan 2 3 bulan (gram) 1.812,06 + 60,77 Bobot umur 4 bulan (gram) 1.134,96 + 188,28 Konsumsi pakan 3 4 bulan (gram) 2.067,42 + 41,33 Umur I bertelur (hari) 196,96 + 26,23 Bobot I bertelur (gram) 1.650,09 + 272,60 Bobot telur I (gram) 32,78 + 3,58 Persentase ayam betelur umur 5 bulan (%) 0,83 Produksi telur umur 5 6 bulan /ekor (butir) 5,38 + 2,10 Produksi telur umur 5 6 bulan (% hen day) 17,95 Persentase ayam bertelur umur 6 bulan (%) 10,83 Produksi telur umur 6 7 bulan/ekor (butir) 9,55 + 4,92 Produksi telur umur 6 7 bulan (% hen day) 31,85 Persentase ayam betelur umur 7 bulan (%) 76,66 Produksi telur umur 7 8 bulan/ekor (butir) 9,65 + 9,65 Produksi telur umur 7 8 bulan (% hen day) 32,16 Persentase ayam betelur umur 8 bulan (%) 95,00 Produksi telur umur 8 9 bulan/ekor (butir) 12,38 + 4,51 Produksi telur umur 8 9 bulan (% hen day) 41,28 Persentase ayam betelur umur 9 bulan (%) 97,50 Produksi telur umur 9 10 bulan/ekor (butir) 10,87 + 5,63 Produksi telur umur 9 10 bulan (% hen day) 36,25 Persentase ayam betelur umur 10 bulan (%) 97,50 Produksi telur umur 10 11 bulan/ekor (butir) 9,81 + 4,46 Prod.telur umur 10 11 bulan (% hen day) 32,70 Persentase ayam betelur umur 11 bulan (%) 97,50 Produksi telur umur 11 12 bulan/ekor (butir) 11,14 + 4,81 Produksi telur umur 11 12 bulan (% hen day) 37,15 Persentase ayam bertelur umur 12 bulan (%) 97,50 Produksi telur s/d umur 12 bulan/ekor (butir) 57,06 + 23,43 MURYANTO et al. (1998) Pakan ayam buras tersebut baik yang dipelihara pada kandang umbaran terbatas maupun batere individu kandungan gizinya adalah: protein 14-17% dan energi 2400-2700 kkal (GULTOM et al. 1989). Pakan tersebut dapat disusun dari bahan pakan lokal yang ada di sekitarnya yang harganya murah, namun kualitasnya tetap sama. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pakan ayam untuk perbibitan variasinya sangat besar baik antar kelompok tani ternak maupun antar peternak dalam kelompok. Dilaporkan juga bahwa bahan yang banyak digunakan adalah bekatul yaitu 50-62,5%, jagung 18-35% dan konsentrat 7,5-20% (DIRDJOPRATONO et.al. 1995). 245

Pencatatan data dan seleksi Pencatatan data ini sangat penting dalam upaya memproduksi bibit, sebab dapat membantu dalam menseleksi/memilih ternak yang akan dikawinkan. Untuk tujuan penghasil telur pencatatan data dititikberatkan pada kuantitas telur, namun harus didukung dengan data kualitas telur (fisik/bentuk telur, sifat kerabang dan lain-lain). Untuk tujuan memproduksi daging titik beratnya adalah pencatatan data bobot badan yang didukung dengan data mortalitas, konsumsi dan konversi pakan. Pada pemeliharaan di kandang umbaran terbatas pencatatan data diperhitungkan secara kelompok, sedangkan pada batere individu merupakan data individu. Data yang diperoleh dari pemeliharaan di kandang batere individu merupakan data individu, sehingga pemilihan ternak yang akan dijadikan tetua (pejantan dan induk) untuk dikawinkan akan lebih teliti. Ketelitian ini akan memperbesar peluang dihasilkannya keturunan yang sesuai dengan tujuan perbibitan. (MURYANTO et al., 1994). Teknik perkawinan Ayam yang akan dikawinkan merupakan ayam pilihan yang mempunyai produksi tinggi. Apabila akan menyilangkan ayam buras dengan ayam jenis lain di tingkat perdesaan, disarankan menggunakan lokal yang produksinya tinggi (Kedu, Pelung dll). Perkawinan ayam buras dengan ayam ras harus dipertimbangkan mengenai biaya dan waktu yang diperlukan serta harus dalam kondisi yang terkontrol dengan program yang terencana dengan baik. Perbandingan jantan: betina pada kandang umbaran terbatas berukuran 4 x 4 x 2,5 m (termasuk tempat berteduh) adalah 1 pejantan dengan 6 sampai 10 induk. Sedangkan pada kandang batere perkawinan dapat dilakukan secara Insemiansi Buatan (IB), kawin tempel atau kawin alam biasa. Kawin tempel adalah perkawinan yang dilakukan dimana induk dipegang oleh peternak kemudian pejantannya menghampiri untuk mengawini. Pejantan dan induk yang digunakan pada perkawinan ini sebelumnya harus dilatih agar terbiasa. Namun perkawinan pada kandang batere yang disarankan adalah dengan IB, karena lebih efisien, biaya relatif murah dan peralatan/ bahan yang digunakan mudah didapat serta fertilitas telur hasil IB cukup tinggi (84%; NASROEDIN et al., 1993). Tatacara IB pada ayam buras secara sederhana sudah dilaporkan oleh MURYANTO et al. (1995a) dan pada ayam buras menghasilkan fertilitas, kematian tunas dan daya tetas masing-masing 71,7; 37,7 dan 62,7%, sedangkan pada ayam Kedu masingmasing 85; 20 dan 20%. IB merupakan salah satu metode perkawinan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Dengan IB akan didapatkan keuntungan diantaranya: (1) mempercepat produksi telur tetas/fertil, (2) mengoptimalkan pemanfaatan pejantan, (3) memungkinkan dilakukan seleksi untuk tujuan tertentu (produksi telur, ayam potong), (4) sebagai sarana untuk meningkatkan mutu genetik, dan (5) dengan teknologi penetasan dapat mempercepat produksi anak ayam. Disamping itu pada kondisi pemeliharaan ayam buras saat ini dimana peternak sudah melaksanakan pemeliharaan di kandang batere untuk tujuan memproduksi telur konsumsi, maka dengan menerapkan teknologi IB peternak dapat sekaligus memproduksi telur tetas dan memungkinkan dilakukan seleksi induk yang berproduksi tinggi untuk dikawinkan secara IB, sehingga akan didapatkan keturunan ayam yang berproduksi tinggi. Tenik IB telah disederhanakan dimana inseminasi secara langsung dilakukan pada ayam buras betina atau tanpa penyimpanan sperma (MURYANTO et al., 1995a). Keberhasilan IB sangat diperngaruhi oleh kualitas pejantan (spermanya) dan induk serta ketrampilan inseminator. Khusus mengenai ketrampilan inseminator perlu didukung dengan pelatihan yang intensif bagi peternak yang berminat untuk mengembangkan IB. Pemanfaatan IB pada pemeliharaan ayam buras sistem intensif dapat meningkatkan pendapatan/penerimaan dibandingkan dengan pemeliharaan yang hanya memproduksi telur konsumsi. Hal ini disebabkan adanya perubahan produk yang dihasilkan dari telur konsumsi menjadi telur tetas. Saat ini, harga telur konsumsi Rp. 500 600 per butir sedang harga telur tetas dapat mencapai Rp. 1.000/butir. MURYANTO et al., (1994) melaporkan bahwa peningkatan pendapatan ini 246

Tabel 4. Kenaikan bobot badan ayam kampung dan persilangannya Persilangan dan umur Bobot (g) kampung Bobot (g) persilangan % kenaikan Kampung x RIR (10 mg) 1 552,34 737,00 33,43 Kampung x RIR (12 mg) 2 811,80 1021,20 26,44 Kampung x WL (12 mg) 3 751,57 871,49 15,96 Kampung x pedaging (8 mg) 4 559,97 1015,74 81,39 Kampung x petelur (8 mg) 5 528,38 643,13 21,71 Kampung x Kedu (12 mg) 6 713,45 795,28 11,47 Sumber: 1) MANSJOER dan MARTOYO (1977); 2) MANSJOER (1985); 3) RUBINO (1976); 4) MULYADI dan WIHANDOYO (1981); 5) SARENGAT et al. (1985); 6) HARDJOSUBROTO dan ATMODJO (1977) dapat mencapai 118,1% dibandingkan pemeliharaan ayam buras yang hanya memproduksi telur konsumsi. Melihat adanya prospek yang baik terhadap teknologi IB, maka perlu dilakukan pemasyarakatan teknologi tersebut secara intensif dan didukung dengan teknologi penetasan. Perpaduan kedua teknologi tersebut diharapkan dapat mengatasi kekurangan bibit ayam buras baik secara kuantitas maupun kualitas. PERSILANGAN Dalam upaya meningkatkan produktivitas ayam lokal, telah dilakukan persilangan antara ayam buras/kampung dengan ayam lokal lainnya yang produktivitasnya tinggi maupun dengan ayam ras petelur dan pedaging. Hasil dari persilangan tersebut disajikan pada Tabel 4. Hasil persilangan ayam kampung jantan dengan White Leghorn (WL) umur 12 minggu dapat mencapai bobot 871 g dan peningkatannya dibandingkan dengan ayam kampung adalah 15,9% (RUBINO 1976). Persilangan ayam kampung jantan dengan ayam petelur betina umur 8 minggu bobotnya 643 g, bobot ini lebih tinggi 21,7% dibandingkan dengan ayam kampung (SARENGAT et al., 1985). Ayam hasil persilangan antara ayam kampung betina dengan ayam Kedu jantan dan ayam kampung betina dengan ayam Pelung jantan yang dipelihara dengan manajemen yang sama dan pakan yang diberikan mengandung protein kasar 17% dan energi metabolis 2900 kkal/kg, ternyata bobot badan pada umur 3 bulan masing-masing 0,9 kg dan 1,20 kg (PRAWIRODIGDO et al., 2000). PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF PEMECAHAN Permasalahan Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya ayam buras selama 3 dasawarsa ini tidak jauh berbeda, diantarnya produktivitas yang rendah, pertumbuhan lambat, tingkat mortalitas yang tinggi, kesulitan bibit, kualitas pakan yang rendah, harga pakan mahal dan lain-lain. Disisi lain telah banyak dilakukan penelitian-penelitian mulai dari perbaikan sistem pemeliharaan, penggalian potensi bahan pakan, perbibitan, dan lain-lain disertai dengan kebijakan pemerintah dalam medorong peningkatan produktivitas ayam buras. Hal ini membuktikan bahwa hasil-hasil penelitian dan pengembangan (serta kebijakan) ayam buras belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap budidaya ayam buras di tingkat petani. Sekitar tahun 1980, pemerintah telah mencanangkan program intensifikasi, yang dikenal sebagai program INTAB (Intensifikasi Ayam Buras). Program tersebut dilaksanakan dengan menerapkan Sapta Usaha, meliputi teknologi bibit, pakan, kandang, kesehatan, manajemen, pasca panen dan pemasarannya. Pelaksanaan di lapangan dilakukan melalui pendekatan kelompok tani, hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan kelembagaan petani (kelompok-kelompok tani) sesuai dengan strategi kebijakan pembangunan sub-sektor peternakan. Pelaksanaan program 247

INTAB pada awalnya menunjukkan peningkatan gairah petani dan instansi terkait dalam mengembangkan ayam buras. Sekitar tahun 1990, beberapa daerah di Pulau Jawa seperti Kabupaten Blitar, Pasuruan, Temanggung, Purbalingga dan Ciamis menunjukkan peningkatan budidaya ayam buras secara intensif dengan skala usaha yang memadai untuk ukuran ayam buras. Namun demikian perkembangan tersebut tidak dapat ber-langsung lama, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dan paling menonjol adalah akibat adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Krisis tersebut berdampak negatif bagi dunia perunggasan di Indonesia. Sistem pemeliharaan ayam buras yang sudah mulai berkembang dari tradisional ke semi intensif dan intensif mengalami kemunduran lagi. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga bahan pakan impor seperti bungkil kedelai, tepung ikan dan jagung serta pakan tambahan. Tingginya harga bahan pakan merupakan dampak krisis ekonomi yang mengakibatkan meningkatnya apresiasi US dolar terhadap rupiah, sehingga bahan pakan impor menjadi mahal. Namun demikian bahan pakan lain yang tidak diimpor seperti bekatul juga mengalami kenaikan harga yang tinggi. Akibatnya lebih lanjut banyak peternak ayam buras yang gulung tikar dan kembali memelihara ayam buras dengan sistem pemeliharaaan tradisional (seadanya) dengan jumlah ayam yang terbatas. Dampak lain dari krisis ekonomi adalah melemahnya daya beli masyarakat sebagai konsumen yang tidak mampu membeli daging dan telur ayam karena harganya tidak terjangkau. Pada tahun 1998-1999, pemerintah menfasilitasi upaya peningkatan pendapatan masyarakat melalui budidaya ayam buras. Pada saat itu usaha di bidang perunggasan termasuk ayam buras mulai bangkit lagi dengan difasilitasi program Jaring Pengaman Sosial (JPS), UPSUS, kredit lunak dan lain-lain. Namun demikian upaya tersebut belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor mulai dari kesiapan peternak, produktivitas ternak, sarana pendukung dan lain-lain. Sekitar tahun 2000, budidaya ayam buras khususnya di Jawa Tengah tidak mengalami perubahan yang berarti. Pengalaman yang sudah didapat dari kelompok-kelompok tani yang sudah maju dapat memberikan motivasi dalam budidaya ayam buras. Namun demikian pada saat itu, mulai berkembang breed ayam yang mempunyai produksi telur yang bobot dan bentuknya hampir sama tetapi produksi telurnya lebih tinggi dibandingkan ayam buras, ayam tersebut adalah ayam Arab. Keunggulan tersebut menyebabkan beberapa peternak di Kabupaten Temanggung, Brebes dan lainnya yang sebelumnya membudidayakan ayam buras beralih ke ayam Arab. Kondisi yang demikian akan berakibat semakin memperlemah keberlanjutan pengembangan ayam buras. Seiring dengan upaya pengembangan ayam buras yang masih dilakukan, pada tahun 2004 dan 2005 terjadi wabah Flu Burung yang menyebabkan tingginya angka kematian ayam termasuk ayam buras. Khusus untuk ayam buras, jumlah kematiannya sulit diprediksi, mengingat sistem pemeliharaannya dilakukan secara tradisional. Peternaknyapun tidak merasa rugi karena kematian seperti itu dianggap sudah biasa. Upaya vaksinasi terhadap ayam yang masih belum sepenuhnya dapat direalisasi di lapangan. Vaksinasi yang belum sempurna tersebut dapat memicu munculnya wabah penyakit pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, perlu diupayakan vaksinasi secara menyeluruh. Alternatif pemecahan Belajar dari pengalaman yang sudah didapat baik dari aspek penelitian dan pengembangan maupun dari aspek kebijakan pemerintah yang pernah dilakukan, maka disarankan beberapa alternatif yang perlu dilakukan dalam pengembangan ayam buras diantaranya: Penanganan kasus penyakit Upaya penanggulangan penyakit khususnya Flu Burung dan penyakit lain seperti Tetelo, perlu segera dituntaskan dengan menggalakkan vaksinasi sampai pada sasarannya. 248

Membangun perbibitan ayam buras Perbibitan ayam buras perlu dibangun, hal ini diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas ayam buras. Pelaksanaan perbibitan ini dilakukan oleh pemerintah daerah, hal ini disebabkan karena biaya yang dibutuhkan cukup besar dan bersifat rutin. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, maka pemerintah kabupaten/ kota dapat mengambil kebijakan untuk membangun perbibitan ayam buras. Hal ini disadari cukup sulit pelaksanaannya karena pada era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut untuk dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, padahal perbibitan ini adalah kegiatan yang membutuhkan waktu yang lama untuk ikut berperan dalam meningkatkan PAD. Namun demikian secara moral, kegiatan perbibitan mempunyai nilai yang tinggi terhadap upaya penngembangan komoditas khususnya ayam buras di wilayahnya masing-masing. Mengembangkan ayam buras Pengembangan ayam buras seperti telah dilakukan sebelumnya, perlu digalakkan lagi disertai dengan pendampingan di lapangan. Instasi terkait baik dari litbang dan dari unsur pelayanan sampai pada Penyuluh Pertanian di lapangan dapat mengawal kegiatan ini. Disamping itu, pengembangan ayam buras perlu didukung dengan permodalan dengan ketentuan yang ringan. Subsidi bunga dan sejenisnya sangat dibutuhkan dalam pengembangan ayam buras. Hal yang perlu diperhatikan adalah aturan-aturan yang diterapkan dalam pemberian subsidi bunga hendaknya sama dengan pemberian kredit komersial, bedanya adalah adanya subsidi/keringanan bunga. Penelitian dan pengembangan Penelitian dan pengembangan ayam buras perlu diarahkan pada aspek sosial-ekonomi atau kelembagaan dalam menunjang pengembangan ayam buras. Hal ini disebabkan karena aspek sosek belum banyak dikerjakan. Penelitian dan pengembangan pada aspek tersebut dapat sekaligus mendampingi upaya pemerintah daerah dalam mengembangkan ayam buras di lapangan. KESIMPULAN DAN SARAN Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa, penelitian dan pengembangan ayam buras khususnya pada aspek produksi sudah banyak dilakukan, sedang pada aspek sosial-ekonomi atau kelembagaan belum banyak dilakukan. Upaya pengembangan ayam buras dalam bentuk kebijakan sudah banyak dilakukan, namun hasilnya masih belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu disarankan beberapa alternatif dalam pengembangan ayam buras diantaranya: (1) penanganan kasus-kasus penyakit seperti Flu Burung dan Tetelo secara intensif, (2) membangun perbibitan ayam buras yang ditangani oleh pemerintah daerah setempat, (3) mengembangkan ayam buras di lapangan dengan pendapingan baik teknologi maupun kebijakan serta didukung dengan permodalan dengan bantuan subsidi bunga dan sejenisnya, dan (4) penelitian dan pengembangan diprioritaskan pada aspek sosial-ekonomi atau kelembagaan yang sekaligus berfungsi sebagai pendamping kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan ayam buras. DAFTAR PUSTAKA DIRDJOPRATONO, D., MURYANTO, SUBIHARTA dan D.M. YUWONO. 1995. Penelitian model-model pemeliharaan ayam buras di daerah Pantura Jawa Tengah. Laporan hasil kegiatan penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. DIRDJOPRATONO, W., D. GULTOM dan KASUDI. 1992. Evaluasi penggunaan sorgum pada ayam buras periode layer. Laporan kegiatan penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran GULTOM D., WILOETO, D. dan PRIMASARI. 1989. Protein dan energi rendah dalam ransum ayam buras periode petelur. Pros. Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan UNDIP Semarang. HARDJOSUBROTO, W. dan M. ASTUTI. 1979. The sociate of the advancement of breeding researchs in Asia dan Oceania Animal Genetic Resources in Indonesia. Workshop on Animal Genetic Resources. Toeshuba City, Japan. 249

HASYIM MULYADI, H dan WIHANDOYO. 1981. Kemungkinan penggunaan pejantan broiler dalam usaha meningkatkan produksi daging ayam sayur melalui perkawinan silang luar. Pros Seminar Penelitian Peternakan. 23 25 Maret 1981. Bogor. JULL, M. 1972. Poultry husbandry. 4 th Ed. Mc Grow Hill Book Company Inc. New York. KANTOR WILAYAH DEPARTEMENT PERTANIAN PROP. JAWA TENGAH. 1994. Profil pertanian Jawa Tengah. P2RT Jawa Tengah. Ungaran. MANSJOER, S.S. 1989. Pengembangan ayam lokal di Indonesia. Pros. Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan.UNDIP Semarang. MANSJOER, S.S. dan MARTOYO. 1977. Produktivitas ayam kampung dan ayam persilangan F1 (Native x RIR) pada pemeliharaan dalam kandang. Pros. Seminar I tentang Ilmu dan Industri Perunggasan. P3T. Bogor. MURYANTO, D. YULISTIANI, D. GULTOM DAN W. DIRDJOPRATONO. 1991. Pengaruh pemotongan paruh dan kepadatan kandang terhadap pertumbuhan ayam. Laporan kegiatan Penelitian Tahun 1989 1990. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. MURYANTO dan SUBIHARTA. 1992. Penelitian sifat mengeram pada ayam buras (2) pengaruh perlakuan fisik II terhadap lama mengeram dan aspeknya serta konsumsi pakan). Bulletin Ilmiah ISPI. VI. (2): 419-423. Purwokerto. MURYANTO dan SUBIHARTA. 1993. Penelitian sifat mengeram pada ayam buras (1) pengaruh perlakuan fisik terhadap lama mengeram dan aspeknya). Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1 : 1 6. MURYANTO, SUBIHARTA dan D.M. YUWONO. 1994. Studi manajemen produksi telur tetas pada pemeliharaan ayam buras di pedesaan. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. 2:1-8. MURYANTO, W. DIRDJOPRATONO, SUBIHARTA, D.M. YUWONO, I. MUSAWATI, HARTONO dan SUGIYONO. 1995a. Peragaan inseminasi buatan pada penelitian ayam buras. Sub Balitnak Klepu - Ungaran. MURYANTO, SUBIHARTA, W. DIRDJOPRATONO dan D.M. YUWONO. 1995b. Kapasitas entog (Cairina mochata) mengerami telur ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. Pros. Pertemuan Ilmiah Komunikasi dan Penyaluran Hasil Penelitian. Sub Balitnak Klepu - Ungaran. MURYANTO, W. DIRDJOPRATONO, SUBIHARTA dan D.M. YUWONO. 1995c. Studi manajemen pemeliharaan ayam buras untuk memproduksi anak ayam umur sehari. Jur. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. 3: 1-10. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. MURYANTO, SUBIHARTA dan D.M. YUWONO. 1996. Pembibitan ayam buras. Prosiding aplikasi teknologi pada ayam buras. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Ungaran. MURYANTO, W. DIRDJOPRATONO, SUBIHARTA, D.M. YUWONO, D. PRAMONO dan B. BUDIHARTO. 1998. Pengkajian teknologi pada sistem usaha ayam buras. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. NASROEDIN, T. YUWANTA dan J.H.P. SIDADOLOG. 1993. Waktu, ferekuensi dan sistem perkawinan terhadap fertilitas, kualitas sperma ayam kampung yang dipelihara secara semi intensif. Laporan penelitian Badan Litbang Pertanian - Lembaga Penelitian U.G.M. Yogyakarta. RASYAF, M. 1987. Beternak ayam kampung. Penebar Swadaya. Bogor. RUBINO. 1976. Pertumbuhan anak ayam hasil persilangan antara ayam jantan Leghorn putih dengan ayam betina kampung. Skripsi Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta. SIREGAR, A.P., M. SABRANI dan PRAMONO. 1980. Teknik Beternak Ayam Pedaging di Indonesia. Penerbit Maragei Grup. Jakarta. SARENGAT, W., SUGIARSIH, S. YUNINGSIH dan DWI SUNARTI. 1985. Performans anak ayam keturunan pertama hasil persilangan ayam kampung dengan ayam Kedu dan ayam ras petelur pada pemeliharaan intensif. Pros. Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Balitnak, Ciawi. Bogor. SUBIHARTA, D.M. YUWONO, MURYANTO dan W. DIRDJOPRATONO. 1995. Pengaruh tipe kandang dan kualitas ransum terhadap penampilan ayam buras jantan muda umur 2 4 bulan. Jurnal Ilmiah penelitian ternak klepu. 3: 22 25 SUBIHARTA, MURYANTO dan D. ANDAYANI. 1994. Pengaruh bentuk sarang dan kapasitasnya terhadap daya tetes telur ayam buras di pedesaan. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. 2:15-20. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. YUWONO, D.M., MURYANTO dan SUBIHARTA. 1993. Survai pemasaran ayam buras di Solo dan 250

Semarang. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu.1: 7-13. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. YUWONO,D.M., MURYANTO, SUBIHARTA dan W. DIRDJOPRATONO. 1995. Pengaruh perbedaan kualitas ransum terhadap produksi telur dan keuntungan usaha pemeliharaan ayam buras di daerah pantai. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. 251