BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Cinta (love) merupakan salah satu tema yang paling umum dalam lagu-lagu, film, dan kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang menerima cinta sebagai pengalaman manusia yang paling umum. Menurut Sternberg (dalam Tambunan, 2001), cinta adalah sebuah kisah yang ditulis oleh setiap orang; merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. Banyak cara untuk mengungkapkan cinta, bisa dengan kata-kata dan tindakan. Mengungkapkan cinta adalah cara untuk meraih satu tujuan yaitu arti cinta itu sendiri. Berawal dari adanya ketertarikan terhadap lawan jenis, rasa cinta kemudian dilampiaskan dengan cara berpacaran ( Cinta, 2007). Berpacaran atau pacaran merupakan suatu proses pemilihan pasangan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Benokraitis (1996) yang menyatakan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Memilih pasangan hidup merupakan salah satu tugas perkembangan masa dewasa muda (Havighurst dalam Lemme, 1995). Individu yang berada pada usia 1
17 40 tahun dapat digolongkan dalam masa dewasa muda (Levinson dalam Monks, 2002). Pada masa inilah, individu mencari pasangan hidup dengan membentuk hubungan romantik atau yang sering disebut dengan pacaran (Kiessinger, Shulman & Krenke, 2001). Selain itu, pada masa dewasa muda ini, individu juga mengembangkan karir dan membentuk mimpi mengenai kehidupan yang diinginkannya (Craig, 1986). Kondisi mobilitas yang tinggi seperti pada masa sekarang ini menyebabkan kebanyakan orang berusaha mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik demi kelangsungan hidup. Namun, sebagai dampaknya, hubungan romantik antar pasangan harus dihadapkan dengan perpisahan fisik secara geografis yang cukup jauh. Mayntz (2006) menyatakan bahwa pada umumnya, pacaran jarak jauh terjadi pada pasangan yang telah bersama sebelumnya dan salah seorang dari mereka harus ditempatkan di tempat lain karena adanya faktor pekerjaan, sehingga memaksa hubungan mereka terpisahkan oleh jarak. Selain itu, ada juga hubungan yang mulai dibentuk walau terpisahkan oleh jarak. Pasangan yang menjalani hubungan ini harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak pernah bertemu secara fisik. Jenis hubungan ini bisa dimulai melalui berbagai cara misalnya melalui situs-situs perjodohan, personal ads., sahabat pena ataupun melalui ruang chatting. Pacaran jarak jauh atau yang sering disebut dengan long distance relationship, merupakan pacaran dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu (Hampton, 2004). Beberapa peneliti menganggap keterpisahan fisik untuk periode
waktu tertentu sebagai salah satu faktor yang menbedakan pacaran jarak dekat dengan pacaran jarak jauh. Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan jarak untuk mengkategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh. Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan ketiga faktor tersebut. Pacaran jarak jauh selain berkaitan dengan trend sosial, seperti dalam peningkatan tenaga kerja wanita (Johnston & Packer dalam Kaufman, 2000), juga berkaitan dengan faktor pendidikan (Hampton, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Stafford, Daly, dan Reske (dalam Kaufmann, 2000) menunjukkan bahwa kira-kira sepertiga dari hubungan sebelum menikah yang dijalani mahasiswa merupakan pacaran jarak jauh. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Dellmann- Jenkins, Bernard-Paolucci, & Rushing (dalam Dainton & Aylor, 2001) bahwa 25% - 40% hubungan yang dijalani oleh mahasiswa merupakan pacaran jarak jauh. Salah satu artikel mengenai pacaran jarak jauh yang berjudul How to Make a Long-Distance Relationship Work menyebutkan bahwa hambatan paling besar yang bertentangan dengan hubungan sehat adalah masalah jarak. Berpisah secara fisik merupakan hal yang sulit. Pasangan mungkin berada di kota lain, atau berada
di negara lain. Pada kenyataannya, semakin jauh jarak yang memisahkan pasangan, semakin besar hambatan dan tantangan yang dihadapi pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh, khususnya mempersulit pasangan untuk dapat bertemu. Intensitas pertemuan yang minim akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan tersebut (Rindfuss & Stephen dalam Stafford & Reske, 1990). Berdasarkan hambatan-hambatan dalam pacaran jarak jauh, banyak peneliti yang kemudian berkesimpulan bahwa pacaran jarak jauh mempunyai probabilitas kegagalan yang cukup besar dibandingkan dengan pacaran jarak dekat (proximal relationship) (Reisman, 1993 dalam Beebe, Beebe, & Redmond, 2004). Hal ini disebabkan karena pacaran jarak jauh penuh dengan keraguan dan ketidakpastian (Lydon, Pierce, & O Regan, 1997 dalam Stafford, 2006). Ketidakpastian hubungan lebih mungkin terjadi dalam pacaran jarak jauh karena jarak fisik merupakan sumber utama dalam ketidakpastian hubungan (Dainton & Aylon, 2001). Planalp & Honeycutt (dalam Dainton & Aylon, 2001) menyatakan bahwa peningkatan dalam ketidakpastian hubungan berhubungan dengan penurunan trust. Oleh sebab itu, individu yang menjalani pacaran jarak jauh mengalami ketidakpastian hubungan yang tinggi, maka mereka akan memiliki trust yang rendah dibandingkan dengan individu yang menjalani pacaran jarak dekat (dalam Dainton & Aylon, 2001). Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Dainton & Aylon (2001) ditemukan bahwa trust menjadi salah satu strategi dalam mengurangi ketidakpastian bagi individu yang sedang membangun hubungan dan menjadi hal yang penting dalam mengurangi ketidakpastian hubungan. Selain itu, Blake
(2007) dalam bukunya Loving Your Long Distance Relationship juga menyatakan bahwa jarak tidak dapat, dan tidak akan melukai ikatan antara dua orang yang didasarkan atas cinta, komitmen, saling menghargai, dan kepercayaan (trust). Adapun Westefeld & Liddell (1982) juga menyatakan bahwa trust merupakan elemen yang penting dalam mempertahankan hubungan, khususnya yang terlibat dalam pacaran jarak jauh (dalam Dainton dan Aylon, 2001). Sejalan dengan itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kauffman (2000) juga ditemukan bahwa trust merupakan syarat dalam keberhasilan pacaran jarak jauh, dimana banyak responden yang meyakini trust sebagai kekuatan hubungan mereka. Hal ini seperti yang terungkap dalam salah satu forum diskusi di salah satu website internet yang membahas mengenai long-distance relationships: Saya pernah mengalami masa-masa pacaran long distance selama 4 tahun. Mungkin saya bisa sharing apa yang membuat saya dan pasangan berhasil dan menikah). Kunci keberhasilan saya selama long distance date ini cuma ada dua yaitu percaya dan terbuka. Kalau salah satu kunci ini sudah dilanggar berarti saya mulai mempertanyakan keseriusan hubungan kita. Kita harus percaya bahwa dia disana enggak main dibelakang kita. Dan untuk bisa tetap percaya kita mesti terbuka! Sekali lagi percaya & terbuka!. Dan prinsip ini bukan hanya berlaku buat kita seorang, tapi juga buat pasangan kita. Sejauh pasangan kita masih terbuka ama kita, nothing to worry! (Curhat Room Indo Mp3z-01-08-2008) Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa trust merupakan kunci mempertahankan hubungan dalam menjalani pacaran jarak jauh. Trust dalam suatu hubungan percintaan merupakan hal yang perlu ada, bahkan dalam suatu hubungan tidak adanya trust akan mengantarkan ke suasana yang sangat negatif seperti saling curiga, saling tertutup, saling menipu dan kemunafikan (Gea, 2002). Saat pasangan sepakat untuk menjalani pacaran jarak
jauh, seringkali timbul kecurigaan dan kecemburuan karena tidak bisa selalu mengawasi pasangan. Oleh karena itu, kepercayaan kepada pasangan sangat dibutuhkan agar individu tidak selalu disesaki oleh rasa curiga yang berlebihan (Oktady dalam Tips, 2008). Menurut Lewicki & Wiethoff (2000), trust dipengaruhi oleh orientasi psikologis. Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial mereka berdasarkan orientasi psikologisnya. Begitupula ketika individu sedang membangun hubungan percintaan dengan pasangannya. Cinta, sebentuk emosi yang yang mengandung ketertarikan, hasrat seksual, dan perhatian pada seseorang, membuat seseorang ingin memiliki hubungan khusus dengan orang lain melalui keterlibatan emosional yang mendalam dengan pasangannya. (Mendatu, 2009). Dalam membangun suatu hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi (Jones & George dalam Hoy & Moran, 2000). Oleh karena itu, individu perlu untuk memproses informasi yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosinya dengan kecerdasan dalam menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004). Menurut Levinson (1995) menyatakan bahwa untuk dapat dipercayai oleh pasangan maka individu harus berusaha menunjukkannya dalam kata dan perbuatannya. Kedua belah pihak harus menjaga agar apa yang dilakukan maupun dikatakan menimbulkan kepercayaan bagi pasangannya. Jadi kepercayaan ini tidak berarti karena pasangan saling cinta, mereka harus saling percaya tanpa mau berusaha agar apa yang dilakukan menimbulkan kepercayaan. Dengan kata lain,
cinta menuntut masing-masing pihak dalam hal kata dan perbuatannya dapat dipercaya (Ahmadi, 1999). Individu yang secara verbal mampu mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negatif, mampu mendengarkan orang lain, dan secara non verbal mampu menunjukkan ekspresi wajah, sikap tubuh dan pandangan mata); mampu mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan serta terampil dalam berperilaku; mampu mengidentifikasikan dan mendefinisikan perasaan yang muncul;mampu mengungkapkan perasaan; mampu menilai intensitas (kadar) perasaan; mampu mengelola perasaan dan mampu mengendalikan diri sendiri, serta mampu mengurangi stres merupakan individu yang berkembang kecerdasan emosinya dengan baik dan terampil dalam mengelola emosinya (Hidayati & Masyum, 2005). Menurut Hidayati dan Masyum (2005), kecerdasan emosi penting dan perlu dalam pacaran. Individu tidak hanya dituntut untuk mengenali emosinya sendiri, tetapi juga emosi pasangannya. Selain itu, yang paling penting adalah bagaimana individu bisa mengungkapkan dan mengendalikan emosi dengan baik. Sarbirin (2002) menyatakan bahwa hubungan dengan pasangan akan terjalin dengan baik apabila ada rasa nyaman, saling pengertian dan keterbukaan sehingga hubungan tersebut dapat terus dipertahankan. Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
B. RUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah : 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosi dan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan yang akan memperkaya ilmu pengetahuan psikologi, khususnya psikologi sosial, terutama yang berkaitan dengan tema trust dan pacaran jarak jauh serta diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti-peneliti lain yang berkeinginan untuk meneliti tentang pacaran jarak jauh. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pasangan yang sedang menjalani pacaran jarak jauh mengenai aspek kecerdasan emosi dan trust
dalam menjalani dan mempertahankan hubungan pacaran, khususnya pacaran jarak jauh. E. SISTEMATIKA PENELITIAN Sistematika Penelitian dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat dari penelitian. Dalam penelitian ini manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Selain itu pula terdapat sistematika penulisan pada akhir Bab I. Bab II Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan kecerdasan emosi yang mencakup definisi dan komponen-komponen kecerdasan emosi. Selain itu, juga akan dipaparkan teori trust yang mencakup definisi, komponen-komponen trust, faktorfaktor yang mempengaruhi trust. Selain itu akan dibahas mengenai definisi pacaran dan pacaran jarak jauh. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat
ukur yang digunakan, uji validitas, uji daya beda dan uji reliabilitas; prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan gambaran subjek penelitian dan pembahasan. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian. Diskusi membahas mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang diperoleh dengan teori yang ada dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.