SEJARAH TASAWUF DENGAN PENDEKATAN ARKEOLOGI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN II. RUMUSAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. Teosofi Islam dalam tataran yang sederhana sudah muncul sejak abad 9 M.

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

Membahas Kitab Tafsir

MEMAHAMI AJARAN FANA, BAQA DAN ITTIHAD DALAM TASAWUF. Rahmawati

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB I PENDAHULUAN. tasawuf. Tasawuf berisi ajaran-ajaran rohani untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak

BAB V KESIMPULAN. permasalahan yang dibahas. Dalam kesimpulan ini peneliti akan memaparkan

BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA

Rabi ah al- Adawiyah (w. 185 H). 309 H).

MODEL PENELITIAN AGAMA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN AL-RA Y OLEH

BAB V KESIMPULAN. akan memaparkan beberapa pokok pemikiran penting yang merupakan inti

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

2016 NEO- SUFISME NURCHOLISH MADJID. (Menyegarkan Kembali Pemikiran dan Kehidupan Tasawuf) Muhamad Nur, M.S.I

BAB V PENUTUP. 1. Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj tidak terlepas dari Nahdltul Ulama dalam

`BAB I A. LATAR BELAKANG

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut dan

ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam al-qur an dan al-sunah ke dalam diri manusia. Proses tersebut tidak

BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD HUKUM JILTERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA. A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama

Oleh: ENCEP SUPRIATNA

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

yang sama bahwa Allah mempunyai sifat-siafat. Allah mempunyai sifat melihat (al-sami ), tetapi Allah melihat bukan dengan dhat-nya, tapi dengan

BAB III PERKEMBANGAN SENI. terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerimaan wahyu al-

Jangan Samakan Yang Baik dan Yang Buruk

RAMADAN Oleh Nurcholish Madjid

BAB VI PENUTUP. 1. konsep upah perspektif Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. Bab I Pendahuluan. 10. Bab II Pengertian Manhaj Salaf Ahlussunnah wal Jama ah Salaf.. 19

KISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH ALIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan

Di antaranya pemahaman tersebut adalah:

BAB I PENDAHULUAN. Tasawuf adalah salah satu dari 3 cabang ilmu yang wajib. diketahui oleh pemeluknya, yakni Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. peran yang cukup sentral dalam kehidupan sehari-hari, bahkan hampir semua

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

SLABUS DAN SAP TASAWUF

RACIKAN KESATUAN TRANSENDENTAL ALA IBN ARABI, RUMI, DAN AL-JILI

AKHLAK DAN TASAWUF. Presented By : Saepul Anwar, M.Ag.

BAB IV ANALISIS. A. Perbedaan Ajaran Shalahuddin al-ayubi Dengan Ajaran Bahauddin. Secara mendasar setiap tarekat pasti memiliki perbedaan dengan yang

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Oleh: Hambali ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dalam seninya, akan menyadari bahwa bukan seniman yang mencapai

BAB V MENGANALISA PEMIKIRAN REKONSTRUKSI TRADISI PEWAYANGAN. Setelah memperhatkan secara seksama atas data-data yang penulis dapatkan

Dasar Pemikiran Al-Ghazali

Bab 4 PEMAHAMAN SUFIYAH. Kandungan THARIQ

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya

Kandungan. Mengenal TASAWUF TAREKAT DAN. Ustaz Mohamad Ali. Kandungan LIBRARY

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M

ARTICLE REVIEW: GAGASAN FORMASI NALAR ARAB AL-JABIRI DAN SIGNIFIKANSINYA UNTUK REKONSTRUKSI NALAR ACEH

Mengukir Masa dengan Tulisan

PENGARUH AQIDAH ASY ARIYAH TERHADAP UMAT

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

OByEKTIVIKASI SALAM Oleh Nurcholish Madjid

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

Dengan penuh kerendahan hati, kepada Allah penulis mohon ridho wal hidayahnya untuk menghadirkan tulisan yang berjudul Sumber Ilmu Tasawuf di situs

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. didapatkan keterkaitan dalam membuka dan menjelaskan penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. alam. Pedoman dalam mengajarkan ajarannya yaitu berupa Al-Qur an. Al-

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan bentuk masyarakat Heterogen, baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anwar Hafid Dkk, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2013, hlm

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV ELABORASI TEMA

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menuliskan sub-bab hasil penelitian dan sub-bab

BEDAH BUKU: KONTIUNUITAS ISLAM TRADISIONAL DI BANGKA 1 Oleh: Janawi 2

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN

KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. dan tujuannya di dunia ini. Manusia seharusnya mengingat tujuan hidup di dunia

Kata Kunci: Ajjaj al-khatib, kitab Ushul al-hadis.

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah

BAB I PENDAHULUAN. B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SEMIOTIKA ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari, memahami dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur an adalah. merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV. A. Perbedaan Konsep Insan Kamil Muhammad Nafis al-banjari dan Abdus Shamad al-falimbânî

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebut masa remaja (adolescence) peralihan masa perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Perjalanan Islam di Nusantara (Indonesia) erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV PERAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MODERN. kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa apabila dikeluarkan dari konteks

Berderma dan Sejarah Sosial Politik Islam Indonesia

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM PASCA ORDE BARU

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh, al-quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus... (Q.S. Al-Israa /17: 9) 2

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

KISI-KISI SOAL UJIAN AKHIR MADRASAH BERSTANDAR NASIONAL (UAMBN) MADRASAH ALIYAH (MA) TAHUN PELAJARAN 2015/2016

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Ajaran Persaudaraan Setia Hati Terate dari masa ke masa mengalami

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa agama yang diakui oleh negara,

APLIKASI GAGASAN FIQH SOSIAL KH SAHAL MAHFUDH DALAM DUNIA PENDIDIKAN (Studi Kasus di Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati)

Transkripsi:

Masykur Arif, Sejarah Tasawuf dengan Pendekatan Arkeologi 353-359 SEJARAH TASAWUF DENGAN PENDEKATAN ARKEOLOGI Masykur Arif Institut Ilmu Keislaman Annuqayah masykurarif15@gmail.com Judul Buku : Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara Penulis : Abdul Kadir Riyadi Penerbit : Mizan Pustaka, Bandung Cetakan : Pertama, Juli 2016 Tebal : 404 halaman Tasawuf, sebagai ilmu, tidaklah lahir dengan mulus dan berkembang dengan pesat tanpa pertentangan di sana-sini. Kelahirannya, sebagaimana ilmu yang lain, diikuti dengan penolakan, mulai dari yang bernada biasa sampai yang cukup keras (diharamkan untuk dipelajari sebagai bagian dari ilmu keislaman, seperti ilmu-ilmu keislaman yang lain, karena dianggap sesat dan bid ah). Namun, penolakan atau pertentangan ini tidak sepenuhnya harus dianggap membahayakan bagi keberlangsungan tasawuf. Sebab, dalam Filsafat Ilmu, penolakan itu dapat disebut sebagai proses falsifikasi. Jika suatu ilmu mampu bertahan di tengah terjangan falsifikasi, maka ilmu tersebut akan semakin mapan atau sempurna. Demikianlah yang dialami tasawuf. Buku yang ditulis doktor di bidang filsafat Islam dan tasawuf ini, mengetengahkan sejarah pemikiran tasawuf, mulai dari awal kelahirannya, perkembangannya, dan pertentangan yang

354-359 Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 menyertainya. Melalui metode arkeologi, dalam arti menggali kembali ide-ide atau pemikiran tasawuf yang terdapat pada tokoh-tokoh penting tasawuf, dan dibalut dengan pendekatan historis, penulis menjelaskan dengan renyah dan lincah pemikiran tasawuf dari awal lahirnya, ketersambungan idenya dari satu tokoh ke tokoh lain, dari tanah kelahirannya di Timur Tengah sampai menjejakkan kaki di Nusantara. Dalam mengulas sejarah pemikiran tasawuf, penulis buku ini mengambil gagasan-gagasan tasawuf dari beberapa tokoh penting yang dianggap mampu memformat, mempertahankan, dan mengembangkan ide-ide tasawuf. Dilihat dari daftar isi, seolah-olah penulis hanya menyajikan tujuh belas atau delapan belas tokoh tasawuf yang dipaparkan secara panjang lebar, sebagaimana yang tertera pada sub-sub judul, tetapi setelah dibaca secara keseluruhan, ada beberapa tokoh lain yang juga diulas secara panjang lebar, namun namanya tidak dicamtumkan dalam subjudul daftar isi, seperti Ibn Arabi dan al-hallaj sehingga tidak hanya tujuh belas tokoh yang disajikan. Penting diketahui, istilah arkeologi yang digunakan sebagai judul dan pendekatan di buku ini, diakui penulis dipinjam dari filsuf Perancis, Michel Foucault (1926-1984) yang mempopulerkan istilah tersebut sebagai pendekatan untuk menggali artefak-artefak pengetahuan manusia. Tetapi, kesamaan ini hanya terletak pada kulit, tidak pada isi. Jika arkeologi yang dimaksud Foucault dalam mengungkap sejarah dengan menggunakan konsep-konsep seperti batas, retakan, diskontinuitas, tranformasi yang sulit disatukan kembali, maka penulis buku ini, dengan arkeologi, ingin mengungkap kontinuitas dan ketersambungan pemikiran tasawuf dari berbagai periode, meskipun dalam perkembangannya terdapat elaborasi, verifikasi, bahkan falsifikasi. Ditegaskan, meski terdapat pertentangan dan berseberangan di antara beberapa pemikiran tasawuf, semua itu adalah bagian dari substansi yang sama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu tasawuf, sehingga mudah disatukan. Dengan demikian, Arkeologi Tasawuf yang dimaksud

Masykur Arif, Sejarah Tasawuf dengan Pendekatan Arkeologi 355-359 adalah sistem pengetahuan tasawuf yang utuh atau tidak retak yang digali untuk dikembangkan. Pemikiran tasawuf yang digagas oleh para tokoh sufi walaupun hidup pada ruang dan waktu yang berbeda, dianggap oleh penulis, seperti mata rantai yang sambung sinambung membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Arkeologi ingin menampilkan kembali ide-ide masa lalu dalam konteks kekinian, seperti barang antik yang dicari di zaman modern guna melengkapi era kemodernan itu sendiri. (hlm. 14-15). Pada hakikatnya, penulis buku ini memaknai tasawuf sebagai ilmu yang mengulas tentang Aku/Diri/Manusia yang memiliki makrifat, dan tentang Tuhan sebagai hakikat, serta hubungan diantara keduanya. Sementara berbagai teori, konsep, atau ajaran dalam tasawuf dianggap hanya catatan kaki atau tambahan dari ketiga hal tersebut. Manusia yang memiliki daya makrifat berupaya keras menuju/menyatu (membangun hubungan) dengan hakikat (Tuhan). Ajaran yang dianggap catatan kaki dikelompokkan menjadi enam hal, yaitu (1) ajaran tentang penyucian jiwa yang biasanya dikemas dengan konsep maqamat dan ahwal (tingkatan dan keadaan spiritual), (2) ajaran tentang yang tiada dan yang kekal dengan konsep fana dan baqa (ketiadaan dunia dan kekekalan Tuhan), (3) ajaran tentang dunia sebagai jalan menuju akhirat, (4) ajaran tentang manusia dan alam sebagai manifestasi (tajalli) Tuhan, (5) ajaran mengenai kesatuan wujud (wahdatul wujud), dan (6) ajaran mengenai manusia sempurna (insan kamil), guru (mursyid), dan masalah kewalian. (hlm. 14) Dari keenam ajaran itulah lahir beragam corak dan aliran tasawuf. Masing-masing tokoh mengembangkan salah satu atau lebih dari enam tipe gagasan tersebut. Dari ini pula ditetapkan apakah seorang tokoh agama memiliki pemikiran tasawuf atau tidak. Jika tidak terdapat gagasan dari salah satu yang enam tadi, maka tidak dapat dianggap tasawuf meskipun, secara konsensus, diakui kesufiannya. Sebaliknya, walaupun lahir dari orang-orang yang dipertanyakan kesufiannya, seprti Ibn Taimiyah dan Yahya Suhrawardi, namun pemikirannya mengandung salah satu dari

356-359 Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 enam hal tersebut digolongkan sebagai tasawuf. Enam hal itulah yang juga dijadikan kriteria oleh Abdul Kadir Riyadi untuk menetapkan apakah seseorang memiliki gagasan tasawuf atau tidak sehingga pantas untuk diulas dalam bukunya ini. Sehubungan dengan itu, apabila ada tokoh yang diyakini pembaca sebagai tokoh tasawuf, namun tidak diulas sama sekali di buku ini, barangkali bisa dikatakan gagasannya tidak masuk kriteria tadi. Atau, bisa jadi luput dari pembahasan karena sempitnya waktu penulisan. Atau, untuk menjaga kontinuitas alur pemikiran masing-masing tokoh yang diulas akibat pengaruh dari pendekatan arkeologi yang digunakan. Barangkali juga penulis memfokuskan pada pemikiran tasawuf yang bersifat formatif, kritik, dan pengembangan. Sehingga hanya tokoh yang masuk kriteria terkahir ini yang diulas di buku ini. Ulasan tasawuf di buku ini dimulai dari pemikiran al- Muhasibi (w. 234 H/857 M). Tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah al-harits al-muhasibi ini dianggap sebagai pelopor lahirnya tasawuf. Menarik untuk dicermati, Abdul Kadir Riyadi tidak memulai ulasannya mengenai pemikiran tasawuf dari Hasan al-basri atau tokoh lain, sebagaimana beberapa pengamat lain. Salah satu alasannya, karena ia sudah menetapkan kriteria yang dapat dikatakan tasawuf atau bukan dan ia juga membedakan antara tasawuf dan praktik atas tasawuf atau yang sering disebut tarekat. Ditegaskan oleh Kadir Riyadi, tasawuf adalah ilmu, sedangkan tarekat adalah praktik atau pengejawantahan dari ilmu itu. Oleh karena itu, sebelum al-muhasibi yang ada hanyalah praktik-praktik tasawuf yang belum diformat sebagai ilmu. Al-Muhasibi yang dikenal menguasai beberapa ilmu keislaman yang berkembang pada saat itu, coba menawarkan dimensi moral dalam Islam, seperti kezuhudan untuk diemansipasi sebagai sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis sebagaimana ilmu keislaman yang lain, seperti fiqih dan hadis yang sudah lebih dahulu terbentuk. Ia berusaha keras ingin membangun keilmuan baru dalam Islam yang kemudian

Masykur Arif, Sejarah Tasawuf dengan Pendekatan Arkeologi 357-359 terkenal sebagai tasawuf. Namun, karena ia memakai pendekatan rasional dalam membangun ilmu baru ini, ada beberapa tokoh yang tidak setuju dengan gagasannya, seperti Ahmad b. Hanbal yang menggunakan pendekatan literal dalam membaca Islam. Ahmad b. Hanbal yang terkenal di bidang fiqih menuduh pemikiran al-muhasibi sebagai sesat dan bid ah. Penilaian ini diberikan karena pendekatannya yang tidak tekstualis sehingga dianggap melenceng dari al-qur an dan Hadits. Fiqih yang lebih awal lahir sebagai ilmu, ketika itu menjadi penentu bagi diterimanya ilmu-ilmu lain yang baru lahir sebagai bagian dari Islam. Al-Muhasibi sendiri telah berusaha untuk memasukkan dimensi fiqih (syariat) dalam tasawuf. Namun, pertentangan terhadap tasawuf tidak dapat dihindari, terutama ketika lahir tokoh-tokoh tasawuf kontroversial, seperti Abu Yazid al-bistami dan Husain b. Mansur al-hallaj. Setelah al-muhasibi, upaya untuk menyejajarkan dan mendamaikan tasawuf dan fiqih bahkan dengan hadist dilakukan oleh Abu Nasr al-sarraj (w. 378 H/988 M). Dialah orang pertama yang dengan tegas mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian dari Islam. Tidak ada kesesatan dalam tasawuf. Ia mengatakan, apabila ada seseorang mempunyai persoalan yang terkait dengan landasan, hakikat, dan hukum, maka sepantasnya ia bertanya kepada ulama yang ahli di bidangnya, misalnya ulama ahli hadis, fiqih, dan tasawuf. Tasawuf mencapai kemapanan sebagai ilmu berada di tangan al-ghazali (w. 1111). Ia bisa membuat tasawuf damai dan sejajar dengan fiqih dan ilmu-ilmu keislaman yang lain sehingga mudah diterima berbagai kalangan. Dalam membangun tasawuf, ia menggunakan berbagai pendekatan dan pisau analisa, mulai dari fiqih, hadis, wahyu, syariat, sampai pada filsafat dan logika. Sehingga di pangkuannya, tasawuf benar-benar cemerlang. Di samping itu, untuk membuat tasawuf hidup di tengah-tengah masyarakat, al-ghazali menyadarkan para sufi akan pentingnya tarekat. Dengan adanya tarekat, tasawuf akan terawat dan bisa semakin berkembang. Ajakan ini disambut baik oleh para sufi, seperti Abdul Qadir al-jilani (w. 1166) pendiri tarekat terbesar

358-359 Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 dalam Islam, Qadiriyah, dan Hasan al-syadzili (w. 1262) pendiri tarekat Syadziliyah yang pengikutnya puluhan juta di seluruh dunia. Sesungguhnya, al-ghazali melalui tasawuf tidak hanya mengembangkan tarekat, tetapi juga memprakarsai lahirnya tokoh yang terkenal di bidang tasawuf-falsafi, yaitu Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240). Pendekatan al-ghazali dalam mengulas tasawuf yang tidak hanya tekstualis namun juga filosofis telah melahirkan setidaknya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf amali dan falsafi. Yang dapat dimasukkan dalam kelompok tasawufamali yang dipengaruhi al-ghazali di sini adalah Syihabuddin Umar Suhrawardi, Ibn Atha llah al-sakandari, dan para pendiri tarekat tersebut di atas. Sementara, yang masuk kelompok tasawuf-falsafi, antara lain Ibn Arabi dan Yahya Suhrawardi. Pasca al-ghazali, tasawuf memang semakin meluas, tetapi kritikan terhadapnya juga semakin buas. Kritik Ahmad b. Hanbal di awal kemunculan tasawuf rupanya ada yang meneruskan, bahkan kritikannya lebih tajam dan disertai cacimaki. Ulama terkenal mazhab Hambali pengkritik dan pencaci tasawuf ini adalah Ibn al-jauzi (w. 1200) dan Ibn Taimiyah (w. 1230). Mereka berdua benar-benar menguji kemapanan tasawuf. Murid-murid kedua tokoh ini yang tidak setuju dengan adanya tasawuf masih tetap ada sampai saat ini. Ibn Jauzi, umpamanya, dalam kritiknya mengatakan bahwa tasawuf adalah produk iblis karena mengandung ajaran sesat yang tidak sesuai syariat. Meski kritik dan caci maki semakin menguat, tetapi tasawuf masih bisa bertahan. Bahkan dipertahankan oleh tokoh yang lahir dari kalangan pengkritik itu sendiri, yakni Ibn Qayyim al- Jauziyah (w. 1328). Menurut Ibn Qayyim, ungkapan-ungkapan ekstase kaum sufi yang menjadi sasaran kritik tidak bisa dimaknai secara literal. Kaum sufi mengungkapnnya dengan metode metafor sehingga kurang tepat apabila dimaknai secara literal. Karena itu, mereka tidak dapat dianggap sesat sebab di balik ungkapan itu ada makna agung yang tersirat. Dengan demikian, Ibn Qayyim telah menyelamatkan tasawuf dari serangan kaum salafi yang merupakan kalangannya sendiri.

Masykur Arif, Sejarah Tasawuf dengan Pendekatan Arkeologi 359-359 Tokoh sufi lain, Abdul Karim al-jili (w. -+ 1421) yang memilih tinggal di Yaman, mengembangkan tasawuf ke wilayah seni. Gaya keagamaan di Yaman memang sangat kental dengan nuansa seni, seperti dzikir yang dikemas dengan nyanyian dan tarian. Corak tasawuf semacam inilah yang mempengaruhi tasawuf Nusantara. Tidak heran apabila Walisanga dalam berdakwah di Jawa menggunakan pendekatan tasawuf-seni, sebab corak keagamaan semacam inilah yang cocok di Nusantara. Sisi menarik dari buku ini adalah ingin menampilkan pemikiran tasawuf yang inklusif. Sebagai ilmu atau wacana, menurut penulis buku ini, tasawuf tidak bisa dibatasi pada satu tokoh. Tasawuf bukan hanya milik al-ghazali, bukan pula milik Ibn Arabi, atau tokoh yang lainnya. Dengan memposisikan tasawuf seperti ini, penulis menyakini tasawuf akan terus berkembang atau tidak akan berhenti pada amalan-amalan saja. Dengan demikian pula, Abdul Kadir Riyadi, dalam menulis buku ini, telah memposisikan dirinya seperti tokoh yang diulasnya, antara lain Abu Nasr al-sarraj dan Muhammad Nawawi al-jawi (w. 1897) ulama Nusantara, yang mengusung tasawuf-inklusif agar tasawuf bisa terus berkembang.