BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

INUNG ISMI SETYOWATI B

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Bab

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan sentralistis yang dijalankan sebelum masa reformasi telah melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang berlimpah di daerah banyak dialokasikan ke pusat tetapi sangat sedikit di alokasikan untuk daerah sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti kurangnya pembangunan di daerah, kemiskinan dan konflik disintegrasi. Konflik disintegrasi yang menuntut lepasnya daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi di be berapa daerah, seperti pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Gerakan Aceh Merdeka, dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Konflik disintegrasi yang terjadi diakibatkan karena permasalahan ketidakadilan pusat terhadap daerah. Berkaca dari permasalahan tersebut maka pemerintah daerah yang desentralistis menjadi suatu solusi yang tepat yaitu dengan diberlakukannya Otonomi Daerah yang ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemberlakuan undang-undang tersebut diharapkan daerah lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan, penyaluran aspirasi, perimbangan keuangan yang lebih merata, dan kebebasan mengatur sumber-sumber keuangan. 1

2 Otonomi daerah berlaku secara umum di Indonesia kecuali Papua, Papua Barat, dan Aceh yang diberlakukan otonomi khusus atau dapat dikategorikan sebagai desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Desentralisasi ini merupakan pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hubungan pusat dan daerah. Hannum (2001) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pemberlakuan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Pertama, sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisis lainnya. Kedua, sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hak-haknya selama ini cenderung dilanggar atau kurang diperhatikan. Terkait dengan permasalahan di Aceh, Pemerintah telah merespon dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh dimana menyatakan bahwa beberapa hal yang mendasari pertimbangan diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, adalah; a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; c.

3 bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; e. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah selain memberikan otonomi khusus untuk Aceh juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk mendukung Daerah Otonomi Khusus Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 179 ayat (1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Ayat (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Dana Otonomi Khusus; dan d. lain-lain pendapatan yang sah. Pasal 183 ayat (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,

4 pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Ayat (2) dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon dana alokasi umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon dana alokasi umum Nasional. Pada awal diterima dana otsus pada tahun 2008 adalah sebesar Rp3.590.142.897.000 dan terus meningkat setiap tahunnya sesuai perkembangan DAU Nasional. Total dana otsus yang sudah diterima Aceh sampai tahun 2012 adalah sebesar Rp21.155.176.997.500. Perkembangan dana otonomi khusus Aceh dapat dilihat pada gambar 1.1 5.476.288.764.000 4.510.656.496.500 3.590,.42.897.000 3.728.282.000.000 3.849.806.840.000 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: LKPJ Gubernur Aceh Tahun 2012 Gambar 1.1 Grafik Dana Otonomi Khusus Aceh 2008-2012

5 Jumlah dana otsus yang sudah diterima merupakan jumlah yang sangat besar untuk bisa dimanfaatkan untuk pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Salah satu contohnya adalah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Hal ini sesuai pernyataan Gubernur Aceh: Didasarkan data BPS Aceh, angka kemiskinan di Aceh saat ini sebesar 19,72 persen dan dengan dana yang dimiliki Aceh, serta program dan kegiatan yang akan dijalankan tahun ini, pemerintah optimis akan terjadi penurunan kemiskinan sebesar 2 (dua) persen (www.bisnisaceh.com, 2013). Penurunan tingkat kemiskinan dilakukan melalui anggaran yang bersifat pro-poor. Anggaran pro-poor adalah anggaran yang lebih ditunjuk untuk memenuhi hak dasar rakyat terutama penduduk miskin. Hak dasar bagi rakyat adalah: hak atas pangan; kesehatan; pendidikan; pekerjaan; perumahan; air bersih; tanah; SDA dan lingkungan hidup; rasa aman; dan partisipasi (S trategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2009). Pemerintah berusaha memenuhi hak tersebut untuk menjalankan perannya yang berkaitan dengan investasi barang publik, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat ( Overseas Development Institute, 2008). Dalam memenuhi hak tersebut pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh diharapkan tidak hanya terpaku pada dana transfer dari pusat seperti DAK, DAU, maupun dana otsus, tapi juga harus berusaha menggali sumber-sumber melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, yang salah satu indikatornya terjadi penurunan kemiskinan. Sesuai dengan hasil penelitian Siregar (2007) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan. PAD merupakan salah satu sumber

6 belanja daerah, Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Jadi dengan bertambahnya sumber pendapatan daerah dari PAD akan lebih membantu daerah dalam melaksanakan anggaran yang berpihak pada penduduk miskin ( propoor budgeting). Dalam membangun kembali Aceh pasca konflik dan tsunami diperlukan banyak investasi (belanja modal) di berbagai sektor. Diharapkan dengan investasi tersebut selain dapat meningkatkan kesejahteraan juga dapat membantu daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah guna membiayai pembangunan. Menurut Halim (2001) tuntutan untuk mengubah struktur belanja semakin menjadi kuat, khususnya bagi daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Dengan alokasi belanja modal yang besar diharapkan akan mendorong peningkatan penerimaan daerah, dalam arti bahwa dengan terbangunnya berbagai fasilitas publik seperti jalan, pelabuhan, lapangan terbang, pengairan, penerangan, dan fasilitas publik lainnya maka akan menarik minat investor untuk datang menanamkan modalnya di daerah sehingga dampak langsung yang dapat dirasakan daerah adalah terserapnya tenaga kerja pada berbagai usaha yang dilakukan investor di daerah sehingga masyarakat memiliki pendapatan dan kehidupan yang layak, daerah juga memperoleh pendapatan melalui pajak dan retribusi dari berbagai usaha yang dilakukan oleh investor. Permasalahan belanja modal sampai saat ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah baik di pusat maupun di daerah sehingga ke depan hendaknya lebih intensif diperhatikan dan diprioritaskan, karena pada kenyataannya selama ini anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD lebih

7 besar porsinya untuk belanja pegawai daripada belanja modal. Hal tersebut mengakibatkan pembangunan di daerah belum terlihat berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masih minimnya kualitas pelayanan publik. Pembangunan yang memihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah perlu ditingkatkan terutama untuk penduduk miskin, karena salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara atau daerah dilihat dari upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari anggaran pemerintah yang berpihak kepada penduduk miskin (propoor budgeting). Belanja yang lebih berpihak kepada penduduk miskin dianggap sebagai investasi untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus menyiapkan kualitas sumber daya manusia dari kelompok yang rawan berada di bawah garis kemiskinan (Howell, 2001). Beberapa penelitian mengenai pengalokasian anggaran pemerintah terhadap kemiskinan antara lain studi yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt (1999); Fan et al. (2000); Agrawal (2007); Hong dan Ahmed (2009); Jung et al. (2009); Darmantyo (2012); Puspitasari (2012); dan Susiati (2012). Penelitian tersebut dijelaskan berikut ini. Ravallion dan Datt (1999) menganalisis kondisi pertumbuhan ekonomi yang mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menemukan belanja pemerintah untuk pembangunan mengurangi tingkat kemiskinan. Fan et al. (2000) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari belanja pemerintah terhadap kemiskinan desa di India. Hasil penelitian menemukan tiga jenis belanja

8 pemerintah mengalami pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan: belanja bidang pertanian, pendidikan, dan pembangunan jalan. Dilihat dari pengaruh variabel paling besar, belanja bidang pertanian menempati urutan pertama. Hong dan Ahmed (2009) meneliti pengaruh pengalokasian belanja pemerintah pada barang publik terhadap pertumbuhan GDP dan penurunan kemiskinan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk barang publik yaitu pendidikan, kesehatan, dan perumahan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Susiati (2012) menganalisis faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi DIY. Hasil penelitian menunjukkan belanja publik berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Demikian juga Puspitasari (2012) menganalisis tingkat kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian menunjukkan belanja publik kebutuhan dasar, belanja publik infrastuktur, dan dana program nasional pembangunan masyarakat (PNPM) mandiri berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Akan tetapi, terdapat penelitian yang menunjukkan hasil berlawanan. Penelitian Darmantyo (2012) mengenai pengaruh alokasi anggaran APBD kabupaten/kota terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Hasil Penelitian menemukan alokasi anggaran APBD kabupaten/kota tidak bersifat pro-poor. Semua penelitian di atas menunjukkan bahwa belanja publik berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan hanya penelitian yang dilakukan

9 Darmantyo (2012) menunju kkan kebalikkan hasilnya. Berdasarkan Penelitian Darmantyo (2012); Susiati (2012) ; dan Puspitasari (2012), peneliti berasumsi bahwa rata-rata kabupaten/kota di Indonesia anggarannya tidak bersifat pro-poor namun masih ada anggaran kabupaten/kota yang bersifat pro-poor. Penelitian ini masih pada lingkup akuntansi sektor publik. Menurut Mardiasmo (2009) bahwa akuntansi sek tor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor swasta. Keluasan sektor publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, akan tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut. Salah satu komponen lingkungan yang mempengaruhi sektor publik adalah faktor ekonomi, faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, perubahan pendapatan perkapita (GNP/GDP), struktur produksi, tenaga kerja, arus modal dalam negeri, cadangan devisa, nilai tukar mata uang, utang dan bantuan luar negeri, infrastruktur, teknologi, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dan sektor informal. Akuntansi adalah suatu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu informasi yang dapat digunkan dalam rangka mengambil keputusan ekonomi. Menurut Mardiasmo (2009) i nformasi akuntansi bermanfaat untuk pengambilan keputusan, terutama untuk membantu manajer dalam melakukan alokasi sumber daya, jadi dalam penelitian ini akan menggunakan laporan keuangan pemerintah daerah ( LKPD) berupa laporan realisasi anggaran (LRA)

10 dana otonomi khusus, PAD, dan belanja modal dalam pengambilan keputusan ekonomik, dimana kedepannya agar kabupaten/kota dalam pengalokasian anggaran agar lebih bersifat pro-poor. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh dana otonomi khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja modal tahun berjalan terhadap perubahan persentase kemiskinan pada tahun sesudahnya ( K(K t -K t+1 )) dalam rentang waktu tahun 2008-2012. Hal ini sering kali dikarenakan pengaruhnya belum diketahui dalam jangka pendek. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah dana otonomi khusus berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh? 2. Apakah pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh? 3. Apakah belanja modal berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris pada:

11 1. Pengaruh dana otonomi khusus terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 2. Pengaruh pendapatan asli daerah terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 3. Pengaruh belanja modal terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai masukan bagi kabupaten/kota di Provinsi Aceh dalam rangka mengelola APBD khususnya dana otonomi khusus, PAD, dan belanja modal agar lebih bersifat pro-poor. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian berikutnya. 3. Sebagai bahan evaluasi, selama lima tahun berlakunya dana otonomi khusus. 4. Selain melihat dampak penurunan kemiskinan dari sisi belanja pemerintah yaitu belanja modal, juga melihat dari sisi pendapatan yaitu DOK dan PAD. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab sebagai berikut:

12 BAB I: PENDAHULUAN. Bab I berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab II menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian serta pengembangan hipotesis penelitian BAB III: METODA PENELITIAN Bab III menguraikan tentang populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metoda pengumpulan data, definisi operasional variabel hipotesis, model penelitian,dan teknik analisis data BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Bab IV menguraikan hasil analisis data dan pembahasannya. BAB V: KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Bab terakhir yaitu bab V merupakan kesimpulan umum yang bisa diambil dari penelitian, keterbatasan penelitian serta rekomendasi.