1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 KESIMPULAN DAN SARAN

3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi,

VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PELABUHANRATU. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

II. PENDEKATAN TEORITIS

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

PEMBANGUNAN MINAPOLIS DAN HINTERLAND KAWASAN MINAPOLITAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah 506,85 km 2

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan. Sumberdaya hayati (ikan) merupakan bagian dari sumberdaya alam yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik, khususnya setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi. Kedudukan dan nilai sumberdaya alam sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk. Kedudukan tersebut juga ditentukan oleh tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya alam. Semakin tinggi tingkat ketergantungan penduduk pada sumberdaya alam maka semakin tinggi pula nilai strategis sumberdaya tersebut. Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaakan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihakpihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya, khususnya antar kelompok nelayan. (Christy 1987). Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu : 1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas. 2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan tehnik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku.

3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan. 4) Hak eksklusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain, dan 5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual atau menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain. Ke lima hak di atas dapat bersifat terpisah dan tidak saling berpengaruh antara satu dengan yang lain. Pemegang hak pada sumberdaya milik bersama dapat dibagi ke dalam : 1) Pengguna sumberdaya Pengguna sumberdaya merupakan mereka yang menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya karena memiliki atau diberi hak akses dan hak memanfaatkan. Pengguna sumberdaya memiliki otoritas untuk masuk dan memanfaaatkan sumberdaya yang biasanya melalui lisensi atau izin. Meski demikian, merekahanya sekedar pengguna yang berotoritas atau resmi, tetapi tidak memiliki hak-hak kolektif (hak mengatur, hak eksklutif dan hak mengalihkan). Jika disebutkan di dalam aturan-aturan operasional, hak akses dan hak memanfaatkan yang dipegang pengguna atau sementara melalui penjualan hak atau penyewaan. Pengalihan hak seperti ini tidak sama dengan mengalihkan yang merupakan hak kolektif. Kehadiran pengguna atau pemegang izin yang menggunakn hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya ini dapat dijumpain di banyak perikanan di dunia. Di Indonesia, perikanan skala besar umumnya dikuasai pengguna sumberdaya, yaitu mereka yang masuk dan memanfaatkan sumberdaya berdasarkan izin penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah. Meski demikian mereka sekedar pengguna yang tidak dapat mengalihkan haknya kepada orang lain. 2) Claimant Claimant yaitu individu pemegang hak yang sama seperti yang dipegang pengguna sumberdaya, namun memiliki hak lain, yaitu hak mengatur atau mengelola sumberdaya. Dengan demikian dari sisi kepemilikan hak, seorang 2

claimant dapat secara kolektif menentukan cara dan metoda memanfaatkan mutu sumberdaya melalui konservasi atau pengayaan lingkungan. Meski demikian, seorang claimant tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. Begitu juga seorang claimant tidak dapat mengalihkan atau menyerahkan hak mengaturnya kepada orang lain. Menjadi seorang claimant tentu saja dituntut lebih banyak tanggung jawab dibandingkan dengan seorang pengguna atau sekedar pemegang izin. Hal ini disebabkan disamping memanfaatkan sumberdaya, seorang claimant memiliki hak atau bertangung jawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya itu. Jika seorang pengguna hanya mengeksploitasi sumberdaya, seorang claimant memiliki hak untuk mengembangkan konservasi sumberdaya itu. Disaat seorang pengguna hanya berpikir tentang saat ini, seorang claimant berpikir tentang masa depan sumberdaya yang akan dimanfaatkannya. Jadi dari sisi kelangsungan dan keberlanjutan sumberdaya, kehadiran seorang claimant lebih diperlukan dari seorang pengguna. 3) Proprieator Proprietor adalah individu yang memiliki hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur dan hak eksklusif terhadap suatu sumberdaya milik bersama (common property). Satu-satunya hak yang tidak dipegang proprietor adalah hak mengalihkan. Namun kehadiran seorang proprietor jauh lebih bermanfaat dibanding seorang claimant atau seorang pengguna yang berizin karena seoarang proprietor secara kolektif dapat menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. 4) Pemilik Selain memiliki hak kolektif mengatur dan hak eksklusif, seorang individu juga memiliki hak untuk menjual atau mengalihkan hak mengatur dan hak eksklusif yang dimilikinya sehingga orang yang membeli menjadi pemilik baru sumberdaya. Jadi seorang pemilik sumberdaya memiliki keseluruhan hak kolektif disamping hak untuk akses dan memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu seorang pemilik lebih besar otoritasnya dan pemegangn hak lainnya. 3

Priscoly (2002) menyatakan bahwa konflik sumberdaya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas serta masalah stereotype, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu.bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik, adalah aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting dimana nelayan harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama. Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap Indonesia adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya otonomi daerah, perebutan daerah/lokasi penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Sebagai contoh adalah konflik perikanan tangkap yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Jawa Timur (2005), tercatat bahwa pada kurun waktu 2001-2005 telah terjadi kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sebanyak 31 kali. Konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan berdasarkan agregasi data yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar penyebab munculnya kasus konflik diantaranya adalah : 1) kecemburuan 4

sosial akibat perbedaan hasil tangkapan antara nelayan lokal dan andon, 2) kecemburuan sosial akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda, 3) perebutan daerah penangkapan ikan (fishing ground), dan 4) penggunaan alat tangkap illegal. Sebagian besar kasus konflik pemanfaatn sumberdaya ikan di Jawa Timur terjadi di sekitar perairan pantai utara (Laut Jawa) dan timur (Selat Bali) Jawa Timur. Informasi tentang kasus konflik yang terjadi di perairan selatan Jawa Timur berdasarkan data-data yang dikemukakan relatif minim. Namun, minimnya data tersebut tidak berarti bahwa kasus-kasus serupa dan faktor-faktor penyebabnya tidak terjadi di perairan selatan Jawa Timur. Pada tahun 70-an terjadi konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan nelayan purse seine. Konflik tersebut dikenal sebagai Malapetaka Muncar (Malamun) yang berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional (Anonimous 2001). Di Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek misalnya, konflik terjadi antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Penggunaan lampu yang berlebihan pada operasi penangkapan ikan oleh perahu payang (skala kecil) ternyata mengganggu operasi perahu purse seine (skala besar), serta tumpang tindihnya fishing ground ikan sasaran yang sama (Anonimous 2002). Demikian halnya dengan daerah lain seperti di Teluk Sedang Biru, Kabupaten Malang. Konflik terjadi antara nelayan pancing dengan nelayan purse seine dan payang. Dibandingkan Teluk Prigi dan Teluk Sendang Biru, konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh mempunyai intensitas yang paling sedikit. Konflik yang terkait dengan hukum dan peraturan adalah akibat terbatasnya pemahaman nelayan, sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Selain itu juga konflik juga sering terjadi disebabkan adanya perbedaan nilai, yaitu pandangan tentang baik dan buruk, serta kurangnya pengetahuan dari aparat penegak hukum memperbesar terjadinya frekuensi pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari kasus penggunaan kompresor dan potas, pencurian, perusakan lingkungan dan sumberdaya habitat serta kasus nelayan andon. 5

Konflik perikanan tangkap juga sering terjadi karena peraturan lokal kurang komprehensif dan sangat sempit jangkauannya. Hal ini memberikan peluang pada setiap orang untuk melakukan intepretasi yang berbeda terhadap peraturan tersebut. Ada bentuk aturan lokal yang sudah disepakati oleh nelayan yaitu sejenis hak penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) atau lebih dikenal sebagai territorial use right for fisheries (TURF). Namun organisasi dan perangkat hukum dari aturan lokal tersebut masih bersifat non formal. TURF berhubungan dengan perikanan tangkap, seperti pada kasus jaring tarik (pukat pantai) di Prigi, Jawa Timur. Sebagian nelayan sebenarnya sudah memahami pentingnya mempertahankan habitat dan keberadaan sumberdaya pantai, terutama untuk kasus-kasus nelayan di Prigi. Pelanggaran atau perusakan habitat dan sumberdaya mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan. Kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan juga merupakan faktor penyebab konflik perikanan tangkap. Berbagai tindak kekerasan dalam menyikapi konflik perikanan tangkap sering dipicu oleh faktor ini. Tantangan terberat yang dihadapi adalah jika kelangsungan hidup menjadi terganggu karena hasil tangkapan ikan yang terbatas. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap yang muncul dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun hasilnya masih belum efektif. Anonimous (2002), menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap belum efektif, yaitu 1) Perangkat peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan 2) Kurangnya tingkat pengetahuan penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (PT) belum efektif adalah perangkat peraturan yang belum dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu Pemerintah, swasta dan masyarakat nelayan. Pengelolaan konflik (conflict management) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya, termasuk ke dalamnya sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka 6

konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Para ahli sumberdaya perikanan menyebutkan faktor utama yang menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya perikanan tangkap dan degradasi lingkungan di daerah pesisir adalah masalah sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu perhatian utama pengelolaan sumberdaya perikanan hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya perikanan guna kelangsungan hidup generasi yang akan datang, sehingga sudah sewajarnya bila faktor manusia (actor) menjadi perhatian utama dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan bukan faktor sumberdayanya (Pomeroy 2004). Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan resolusi yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan memiliki ketrampilan mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan dapat dihasilkan resolusi konflik yang menyeluruh, sehingga keputusan atau kesepakatan yang dihasilkan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous 2002). Disamping itu, resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara pihak yang berkonflik dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara komitmen yang sudah ada. 7

Untuk menyelesaikan konflik telah banyak upaya yang dilakukan, namun sampai sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hasil proses resolusi konflik belum memuaskan, yaitu 1) belum dikenalinya tipologi konflik, dan 2) belum tepatnya teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang tepat. Pemahaman terhadap tipologi konflik memberikan manfaat yang signifikan, karena dengan pemahaman ini maka outcome dari proses resolusi konflik dapat diprediksi dengan baik (Obserschall 1973). Pengelolaan konflik umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hock. Proses resolusi konflik belum dilakukan dengan benar, dan komitmen yang dihasilkan belum mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini mengakibatkan pengelolaan konflik belum menyentuh akar/pokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada saat menganalisis konflik dan menyusun model pengelolaan konflik perikanan tangkap, yaitu : 1) Bagaimana tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi? 2) Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap? 3) Bagaimana efektivitas pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dan sedang terjadi?, serta 4) Bagaimana model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif? Disertasi ini disusun dengan sistematika atau pola beberapa judul yang setiap judulnya merupakan artikel sebagai berikut : 1) Pendahuluan, menerangkan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian. 2) Pendekatan teoritis analisis konflik dan pengelolaan konflik, akan menerangkan mengenai berbagai pendekatan yang pernah digunakan dalam pengelolaan konflik. 8

3) Metodologi umum penelitian, yang menerangkan mengenai lokasi penelitian, responden, pengumpulan data, variabel penelitian, pengolahan data dan analisis data. 4) Tipologi konflik perikanan tangkap, menerangkan mengenai faktor penyebab konflik, tehnik resolusi dan efektivitas resolusi konflik menurut responden. 5) Keefektivan tehnik resolusi konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai efektivitas resolusi konflik di lokasi penelitian berdasarkan alat analisis yang digunakan. 6) Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang dibangun berdasarkan hasil analisis, berbagai referensi dan pengalaman negara lain dalam pengelolaan konflik. 1.2 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. 2) Mendeskripsikan upaya pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di lokasi penelitian. 3) Menganalisis keefektivan pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di lokasi penelitian. 4) Merancang model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif di lokasi penelitian. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah 1) mengembangkan pendekatan efektif yang dapat diaplikasikan dalam menyelesaikan konflik perikanan tangkap, 2) merupakan landasan penelitian lanjutan tentang analisis konflik laten, menyusun indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi dimana dan kapan konflik dapat terjadi, keterkaitan antara partisipasi masyarakat dengan modal sosial, dan bagaimana kebijakan pengelolaan berpengaruh terhadap konflik, serta 3) menjadi dasar pembentukan kelembagaan pengelolaan konflik. 9